Friday, August 25, 2006

Ah, Meneketehe!

"Apanya yang merdeka?!. Semua-semua mahal. Orang-orang gedean pada korupsi. Paribasane (pribahasanya) dulu idup kita susah, sekarang tambah susah. Yang kaya tambah kaya yang miskin terus aje miskin," ucap Mak Wati (66) berapi-api saat, Rabu (16/7), saya tanya apakah ia merasa sudah merdeka saat ini.

Mak Wati asal Cirebon adalah penjual rokok pinggir jalan. Kiosnya terletak di pinggir Jalan Mendut, Menteng, Jakarta Pusat. Sudah 53 tahun ia berjualan rokok di kawasan itu. Mulanya, tahun 1953 saat mulai mengadu nasib ke Jakarta ia berjualan di pinggir Jalan Diponegoro. Tahun 1980-an, Tramtib Pemda DKI Jakarta melarangnya berjualan di pinggir jalan utama. Ia pun memindahkan kiosnya masuk ke jalan mendut, sekitar 50 meter dari Jalan Diponegoro.

"Itu liat aja orang-orang yang sekarang udah punya jabatan," lanjut Mak Wati. "Contohnye..

.....(Mak Wati menyebut seorang tokoh politik), dulu aja waktu belum jadi pejabat ngomongnya baek-baek. Bilangnya bagus-bagus terus. Sekarang udah jadi pejabat mana, sama aja sama yang laen-laen. Paling sebentar lagi kena kasus korupsi," Mak Wati nyerocos tanpa bisa dihentikan.

Lho, kok Mak tahu soal orang itu? "Yeeee, kita kan nonton tipi (televisi). Pejabat pemerintah jangan macem-macem deh kelakuannya. Orang-orang sekarang tuh udah nonton tipi semua. Kita biar cuma warung kecil gini juga punya tipi," sahut Mak Wati panjang lebar.

Ia mengaku paling kesal kalau ada orang bicara politik dengan membawa-bawa agama. "Sekarang itu jamannya agama dijual. Ngomongin ini pake bawa agama. Ngomongin itu bawa agama juga. Sampe orang minta-minta aja sekarang bawa-bawa agama. Bawa-bawa kotak bilangnye dari yayasan ini itu. Aduh, udah nggak jelas deh," jelas dia.

Wah, Mak kok ngomongnya politik terus sih? "Tadi kan udah dibilangin, kita punya tipi!" jawabnya.

Mak, yakin nggak kalau pemerintahan sekarang bisa memperbaiki situasi? "Ah, meneketehe! (manakutahu)" jawabnya. Sepertinya Mak Wati memang kebanyakan nonton televisi.




Tuesday, August 15, 2006

Posisi Indonesia Terhadap Agresi Israel

Ketika hampir semua alternatif solusi kandas, lembaga-lembaga internasional tak punya taji, lalu peran apa yang bisa dimainkan oleh Indonesia? Sejauh ini Indonesia belum berperan secara maksimal. Tidak ada sikap kreatif dan berani dari pemerintah untuk menembus kebuntuan jalan damai di Timur Tengah ini. Lain dengan kerja pemerintah yang dinilai lamban, masyarakat Indonesia justru sudah tidak sabar untuk segera bergerak. Selain gencar melakukan demonstrasi, masyarakat juga telah mengirimkan voluntir perang dan relawan kemanusiaannya.

Gerakan Bom Jihad di Pontianak mengklaim telah mengirimkan 70 relawan. Beberapa organisasi masih terus membuka posko-posko pendaftaran jihad untuk diberangkatkan. Yang jelas sudah bergerak adalah tiga relawan kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Mereka menyalurkan 1,1 milyar rupiah dari masyarakat Indonesia untuk para korban perang di Lebanon. Bila pemerintah terus bersikap lunak, gumpalan emosi masyarakat untuk membantu rakyat Lebanon dan Palestina tidak mendapatkan katarsis. Harapan dan emosi mereka potensial menjadi gerakan yang lebih radikal dan tidak terkendali.

Modal Indonesia

Memang pemerintah telah mengecam agresi Israel dan siap mengirimkan pasukan perdamaian untuk misi perdamaian. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Bahkan komitmen yang tampaknya positif itu bisa menjadi blunder. Apa jadinya bila yang dimaksud pasukan perdamaian itu hanya melucuti senjata Hezbollah secara sepihak sementara pasukan Israel tidak ditarik ke belakang 'garis biru'. Itu sama artinya dengan membiarkan pasukan Israel bercokol di wilayah Lebanon. Kehadiran pasukan perdamaian menjadi muspra. Lalu, apa alternatifnya?
Pembukaan konstitusi dan arah politik luar negeri Indonesia jelas mengamanahkan perlunya partisipasi atau prakarsa pemerintah dalam mewujudkan perdamaian dunia secara bebas dan aktif. Dalam praktiknya, Indonesia pernah memprakarsai gerakan kemerdekaan dan perdamaian dunia melalui Konferensi Asia Afrika 1955 yang menghasilkan Gerakan Non-Blok. Gerakan ini berhasil merangsang kemerdekaan di beberapa negeri dan membuat keseimbangan baru dunia di luar bandul Blok Barat dan Blok Timur. Belakangan Indonesia juga dipercaya berperan aktif dalam lembaga-lembaga baru PBB seperti, Dewan HAM PBB, Peace Building Comission, dan Democracy Fund's Advisory Board. Seharusnya modal ini dapat membuat pemerintah percaya diri menjadi pemain utama dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Dengan modal seperti itu pula, kecaman pemerintah terhadap Israel dan kesiapan mengirim pasukan perdamaian terasa terlalu lunak. Biasa-biasa saja. Apalagi negara-negara lain, kecuali AS dan Inggris, melakukan hal yang sama. Indonesia semestinya dapat berbuat lebih banyak. Di antaranya adalah melobi AS agar menekan Israel dan yang tak kalah pentingnya adalah mendorong terwujudnya persatuan Arab dalam konteks menghadapi Israel. Ini penting karena tak ada yang disegani Israel kecuali AS. Sementara Lebanon dan Palestina tidak bisa berharap bantuan banyak selain kepada saudara-saudaranya di Dunia Arab. Barangkali akan muncul pertanyaan, kalau lembaga-lembaga internasional saja tidak mampu melobi pihak-pihak yang bertikai, apakah Indonesia bisa berbuat banyak?

Dua Poros Lobi

Kalaupun Indonesia tidak mungkin menekan Amerika Serikat sendirian, upaya itu dapat ditempuh melalui pelbagai cara. Salah satunya melalui PBB, khususnya Dewan HAM PBB. Indonesia sebagai salah satu dari 47 negera anggota Dewan HAM PBB seharusnya mampu menggalang lobi untuk menekan Amerika Serikat. Dalam konteks ini, komunikasi dan forum negara-negara Non-Blok juga bisa dioptimalkan.

Negeri Paman Sam ini harus diyakinkan bahwa kebijakannya di Timur Tengah kontraproduktif bagi perdamaian dunia. Kampanye perang melawan teror yang dikumandangkannya bisa hancur karena makin maraknya sentimen anti-AS dan radikalisme. Kaum moderat yang disponsorinya juga makin tersudut karena dianggap tidak punya keberpihakan dan sensitifitas kemanusiaan. Lebih dari itu, national interest Amerika sendiri banyak yang dirugikan akibat dukungan tanpa batasnya kepada Israel.
Penelitian John Mearsheimer dari Chicago University dan Stephen Walt dari Harvard University dalam The Israel Lobby (LRB, Vol. 28 No. 6, 23 Maret 2006) menunjukkan betapa sokongan AS kepada Israel justru berdampak buruk terhadap kepentingan nasional Amerika. Tingkat kebencian dan sikap antipati terhadap Amerika makin hari makin meningkat dan meluas. Sementara Israel semakin bebas memperluas wilayahnya dan meneguhkan superioritasnya di Timur Tengah. Amerika Serikat sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan ketika sebagian negara Arab memberi fasilitas kepada Amerika untuk menyerbu Irak, Israel tidak memberikan sejengkal tanah pun kepada AS untuk dijadikan pangkal militer. Ringkasnya, tidak pernah dalam sejarahnya Israel membantu Amerika Serikat secara ekonomi, politik, maupun keamanan.

Lebih jauh kedua ilmuwan berpengaruh di AS itu juga mendedahkan kenapa Israel tetap menjadi faktor paling menentukan dalam pengambilan kebijakan luar negeri AS. Menurut keduanya, kekuatan lobi Israel di tingkat eksekutif maupun yudikatif sangat kuat. Dipelopori oleh AIPAC (The American-Israel Public Affairs Committee) dan The Conference of Presidents of Major Jewish Organisations, lobi-lobi Israel sangat menentukan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Hasilnya tentu saja selalu menguntungkan pihak Israel.

Kekuatan lobi inilah yang tidak dimiliki oleh negara-negara pro-Palestina dan Lebanon ketika berhadapan dengan AS. Padahal bila kekuatan lobi Israel dapat dikalahkan dan pemerintah plus publik Amerika dapat diyakinkan bahwa kebijakan di Timur Tengah berdampak buruk bagi negerinya, tidak tertutup kemungkinan mereka mau berubah haluan. Kebijakan baru dibuat. Israel didesak menarik pasukannya dari Lebanon dan melakukan gencatan bersenjata tanpa syarat. Pasokan senjata pun dihentikan.

Lobi terhadap Amerika Serikat ini harus diimbangi dengan soliditas negara-negara Arab baik dalam menghadapi AS maupun Israel. Persatuan Arab yang terkoyak setelah kalah menghadapi Israel tahun 1948-1973 perlu direvitalisasi kembali. Indonesia dan negara-negara di Islam di luar Arab dapat memediasi persatuan Arab ini. Baik melalui OKI ataupun forum-forum lain yang memadai. Sebab sulit mengharapkan persatuan Arab dengan mengandalkan kesukarelaan dan kesedaran mereka sendiri. Polarisasi mazhab, kelompok, kabilah, atau kesukuan menjadi ganjalan yang berarti. Kelompok Sunni sulit berdampingan dengan kelompok Syi'ah. Mereka yang pro-Barat, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Jordania enggan bersikap sama dengan mereka yang anti-AS, seperti Iran dan Suriah. Indonesia bersama negara lain (misalnya Malaysia dan Brunei Darussalam) mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendudukkan negara-negara Arab itu di satu kursi untuk melawan Israel. Alangkah kuat dan kerasnya tekanan Arab jika negara seperti Arab Saudi, Mesir, Jordania, Suriah, plus Iran bersatu memaksa Israel mundur dari Lebanon. Amerika dan Israel pasti berhitung dibuatnya. Wallahua'lam bis shawab.


By : Syifa Amin W

Wednesday, August 09, 2006

Seorang Kawan

Perjalanan hidup manusia memang serba tak terduga. Siapa yang bisa menyangka, Mardin, kawan yang terkenal royal pada masa kuliah tiga tahun yang lalu, kini setelah tiga tahun menikah dan sudah punya dua orang anak, jangankan untuk menraktirku menonton film di bioskop seperti yang selalu ia lakukan seusai menerima gajinya di setiap awal bulan, untuk membeli sebatang rokok pun kini ia harus pikir-pikir. Pakaiannya pun kelihatannya sudah lusuh dan mungkin tidak pernah diganti dengan yang baru. Sinar matanya redup menandakan kelelahan yang sangat dalam pergulatan hidup yang keras. Ada apa dengan kawan ini? Itulah pertanyaan dalam batinku, ketika aku bertemu dengannya di rumah kontrakanku setelah dua tahun lamanya aku tak berjumpa dengannya.

Sore itu seusai shalat ashar, aku mengetik skripsiku yang hampir rampung di ruang tamu kontrakanku. Lapat-lapat kudengar suara dua orang laki-laki yang rasanya pernah aku kenal dekat. Radius suara itu makin dekat saja ke tempatku. Pintu masih tertutup. Beberapa saat kemudian, ada yang mengetuk pintu dan berucap: "Assalamu'alaikum." Aku beranjak dari depan komputer, sambil berjalan, "Wa'alaikumussalam", dan kubuka pintu. Betullah ternyata dugaanku. Dua laki-laki muda berdiri di depan pintu: Rizal dan Mardin. Rizal tidaklah mengejutkan bagiku. Setiap minggu aku biasa berkunjung ke tempat kostnya. Seperti aku, dia pun masih kuliah dan belum memutuskan untuk cepat-cepat berkeluarga. Tapi Mardin, mengapa dia datang dengan wajah buram seperti ini?

"Masuk, masuk. Lama tak berjumpa, nih. Bagaimana kabar?" kataku.

"Beginilah. Sudah lama tinggal di sini?" balasnya.

"Sudah. Sudah hampir setahun. Bagaimana kabar isterimu, anak-anakmu?"

"Baik. Sehat," jawabnya singkat.

Setelah puas mengobrol dan bernostagia hingga menjelang maghrib, aku persilahkan mereka untuk mandi. Setelah itu kami berjamaah di Mesjid yang dekat dari kontrakanku.

Usai shalat maghrib, Rizal minta izin untuk pulang. Ternyata Mardin turut meminta izin pulang juga. Kusarankan kepada mereka, menginap saja di kontrakanku. Jika pun tidak, paling tidak Mardin sendiri, sebab sudah lama tidak berjumpa. Apa salahnya dia bermalam di sini hanya untuk semalam, begitu jalan pikaranku berkata. Tiba-tiba Mardin memintaku berbicara dengannya di sudut Masjid. Ada apakah?

"Dai, sebenarnya aku ada perlu denganmu," katanya agak-agak segan, "Bisa kau bantu aku? Aku butuh uang untuk membayar kontrarakan tempat tinggal kami. Yang punya kontrakan sudah mencoba-coba meneror isteriku, jika tak dibayar pekan ini, ia memastikan akan mengusir paksa kami. Aku kasihan kepada situasi psikologis isteriku. Dia sangat tertekan sekali."

Aku terperanjat dengan perkataannya ini. Sungguh tak kuduga orang yang dulu berpantang meminta tolong kepada orang lain itu, kini seakan bersimpuh di hadapanku mengharap moga-moga aku memberikan jalan keluar baginya. Aku belum percaya dengan perkataannya itu. Mana bisa aku percaya ada perubahan sikap setajam ini padanya. Kawan yang dulu kukenal ini adalah orang yang tegar dan pantang membikin tangan di bawah. Egonya merasa terhina jika sempat ia melakukan itu. Pernah suatu ketika dia kekurangan uang untuk membayar rekening listriknya. Tak sedikit pun ia mencoba meminjam uang kepadaku, kendatipun ia tahu aku punya uang untuk itu. Sebagai kawan yang juga tempat kostnya berdekatan, apa salahnya ia melakukan itu. Saat itu aku pun tak berinisiatif menawarkan bantuan kepadanya, karena kutahu ia tak akan menerima tawaranku. Bisa-bisa ia menafsirkan dirinya sebagai beban orang lain saja. Kalau sudah seperti itu, harga dirinya akan terusik. Dengan cekatan ia dapatkan uangnya dari menarik angkot yang ia pinjam sehari dari teman sekampungnya. Tapi mengapa tiba-tiba sekarang ia berubah? Inilah yang tidak kumengerti itu.

"Berapa perlunya, Din?" tanyaku. Aku sengaja tak mencoba menanyakan ketidakmengertianku kepada sikapnya yang berubah itu. Kupikir-pikir, apa gunanya aku menanyakan hal itu kepadanya. Bisa-bisa ia menjadi malu dan mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan kepadaku.

"Aku butuh lima puluh ribu rupiah lagi. Dua ratus ribu sudah ada," katanya.

Aku terdiam sejenak. Mengapa cuma perlu lima puluh ribu rupiah, jauh-jauh datang kemari? Tidak bisakah kawan ini mencarinya di tempat lain seperti yang ia lakukan waktu dulu? Sebelum aku mengiyakannya, ia melanjutkan bicaranya:

"Sudah sebulan ini aku tak punya kerjaan. Kios buku yang kami buka di pasar Jatinegara itu, sudah hancur. Tak ada lagi yang tersisa di sana. Entah siapa yang membakarnya. Padahal sumber hidup keluargaku seratus persen berasal dari sana," katanya dengan pilu, "Aku terpukul sekali dengan musibah ini. Sungguh tak pernah kubayangkan, akan terjadi seperti ini. Aku belum melunasi semua utang-utangku ke distributor. Kini tanpa berperasaan mereka menagih semua utang-utang itu. Aku sudah coba jelaskan duduk persoalannya kepada mereka. Tapi mereka tidak mau tahu dengan keadaan itu. Akhirnya terpaksa aku melelang motor dan beberapa perhiasan isteriku. Tak ada lagi yang tersisa sekarang selain mungkin beberapa peralatan masak."

Tanpa berpikir panjang kuberikan keperluannya itu, meskipun uang di dompetku menjadi tersisa dua puluh ribu rupiah. Spontan aku melupakan keperluanku untuk seminggu ke depan yang tidak mungkin ditalang dengan tenaga uang sebanyak dua puluh ribu rupiah. Namun rasanya puas sekali dapat membantu orang seperti kawan ini. Dengan raut wajah penuh terima kasih, akhirnya Mardin permisi untuk pulang dan kedua kawan ini meninggalkanku di sudut Masjid dalam keadaan pikiran gundah.

* * *
Mardin adalah kawan seangkatan di masa kuliah dulu. Sama-sama aktif di gerakan ekstra unversitas. Saya masih ingat perannya saat memimpin barisan mahasiswa dalam menumbangkan pagar pengaman di depan gedung DPR/MPR sehingga para mahasiswa dengan leluasa dapat menyerbu masuk ke dalam gedung rakyat itu. Mungkin kalau pers jeli dalam mencatat kronologi pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa pada tahun 1998 itu, kiranya peristiwa itu menjadi story tersendiri dalam aksi penumbangan rezim Soeharto tersebut. Saat itu, sebagai kordinator lapangan, betapa gagahnya dia bentrok dengan para aparat yang kala itu masih dalam garang-garangnya. Tidak lama setelah itu, dia pun memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihannya. Saya ikut menemaninya melamar calon isterinya kepada orang tua gadis itu. Setahun kemudian aku baru bertemu lagi dengannya kala syukuran kelahiran anak pertamanya. Masa itu kelihatan kehidupan ekonomi keluarganya masih sehat-sehat saja.

* * *

Suatu petang, sebulan lebih kurang setelah kedatangannya yang pertama ke rumah kontrakakanku, dia datang kembali. Kali ini dia hanya datang seorang diri. Aku sebenarnya tidak merasa nyaman dengan banyaknya dia mengeluh tentang nasib keluarganya. Dikatakannya, isterinya mengalami radang tenggorokan karena meminum air fasilitas rumah kontrakan mereka yang tidak memenuhi standard kesehatan. Untuk ke Puskesmas memeriksa dan mengobatinya, mereka tidak punya uang. Ujung-ujungnya dia memintaku supaya memberikan bantuan kepadanya.

Selepas shalat maghrib aku meminta untuk ikut pulang bersamanya sekaligus ingin menengok keadaan keluarganya. Terutama aku ingin sekali melihat jagoannya yang sudah lancar merangkak seperti yang ia ceritakan itu. Di dalam perjalanan menuju rumahnya, setelah kuberikan tiga lembar sepuluh ribu rupiah seperti yang dimintanya, aku utarakan rencanaku hendak menikah dalam waktu dekat ini. Kuceritakan juga profil calon isteriku kepadanya. Dia antusias sekali mendengar rencanaku itu. Pendeknya ia akan mendukung dengan segala kemampuan yang ia miliki. Bila perlu, seperti tawarannya, ia bersedia menjadi piar dalam proses pernikahan kami.

Setibanya di rumah kontrakannya yang mungil, waktu sudah menunjukkan pukul 21. 00 WIB. Berarti hampir tiga jam di perjalanan dari tempatku ke tempatnya. Hal itu wajar saja, karena tiga kali ganti angkot baru sampai ke tempat tinggalnya. Pintu terbuka, kulihat isteri dan anak-anaknya sedang bercengkerama di ruang tamu. Mardin memberitahukan kedatanganku kepada isterinya.

"Assalamu'alaikum. Apa kabar," kataku kepada isterinya.

"Wa'alaikum salam," sahutnya datar.

Kugendong jagoannya yang menggemaskan itu. "Dialah yang membuat semangatku tidak pernah padam dalam hidup ini," kata Mardin sambil menatap jagoannya yang montok. Sedang putrinya yang pertama, terlihat agak malu-malu kepadaku. Tidak cepat akrab seperti adiknya.

Isterinya sudah siap menghidangkan makan malam dengan tumis kangkung ala kadarnya. Kemudian ia mempersilahkan kami untuk mencicipi masakannya. Aku pun sudah lapar, langsung saja kusantap yang terhidang di hadapan kami. Entah mengapa makan secara bersama nikmatnya terasa lebih dibanding dengan makan sendirian. Inikah namanya barakah?

Malam itu, sebelum mataku terpejam, pikiranku menerawang sampai ke langit-langit kamar tidur yang diterangi lampu pijar 25 watt. Mengapa selalu saja ada yang tidak adil dalam kehidupan ini? Apa kurangnya kawan ini, tapi mengapa rezekinya begitu payah? Sayup-sayup setengah berbisik kudengar percakapan Mardin dengan isterinya. "Besok kamu ke Puskesmas saja. Ini ada sedikit uang untuk keperluan itu," katanya kepada isterinya. Hatiku teriris dengan percakapan itu. Ya, Tuhan, betapa menyedihkannya kesulitan yang dialami kawan ini. Aku teringat dengan cerita-cerita sekolompok masyarakat yang menghabiskan uang dua sampai tiga juta rupiah dalam beberapa jam saja pada moment malam tahun baru yang lalu. Betapa kontrasnya kehidupan ini! Andaikan uang yang dihamburkan itu diberikan kepada kawan ini, alangkah bermanfaatnya. Tapi mana mungkin timbul pikiran seperti itu pada mereka. Akhirnya segalanya terbawa ke alam mimpi. Paginya aku tidak ingat lagi apa yang terjadi dalam mimpiku, selain ngilu sayatan yang dalam kurasakan dalam hatiku karena rekaman pesta pora para selebriti dan orang-orang pemburu kenikmatan hidup.



By : Syahrul ED

Saturday, August 05, 2006

Pagi,

Keheningan hati tercabik oleh luka tak berperi

Guruh membahana bersama kelamnya surya,

Namun mentari itu tak pernah pergi

Seperti bintang yang tak lelah untuk bersinar,

Berpijar memberi terang, pada hati yang dilanda bimbang

Di bawah pohon asam disela deru kendaraan perang. Dua anak manusia bercengkrama dalam keheningan. Mereka berbicara dari hati yang tak pernah sepi. Hati yang senantiasa dihiasi kidung-kidung indah serta rentak jantung yang bertalu bagai melodi kehidupan.

Intan : "lihatlah rara, sepertinya tuhan sedang murka, tidakkah ia lelah mendengar tangis anak manusia?"

Rara : "entahlah intan mungkin apa yang kamu pikirkan itu benar atau mungkin juga salah, karena hidup penuh dengan segala kemungkinan. Lagipula sepertinya air mata kita semua sudah kering dengan segala petaka yang kita terima"

Intan : "sampai kapan kepedihan ini terus menghantui kehidupan kita Ra?"

Rara : "Tan hidup hanyalah sebuah pilihan dan bahagia sedih derita serta kehampaan adalah sebuah rasa yang bertahta dalam hati dan jiwa.

Yang Terserak

Kalau saya berbicara tentang penyatuan antara agama dan ilmu pengetahuan, yang saya maksud bukan kesamaan metode, melainkan persamaan wawasan subyek dan dimensionalitas yang diteliti. Pendekatan agamawi jelas berbeda dengan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah diarahkan ke dunia materi, ke dunia luar, dunia fenomenal dengan cara ekstroversi. Pendekatan agamawi adalah petualangan ke dunia dalam, ke lubuk kesadaran humanistik itu sendiri, ke dunia noumenal, dengan cara introspeksi.

Kedua cara ini tidak kompetitif melainkan komplementer. Hal ini berarti bahwa kedua-duanya harus dilakukan secara berimbang.

Fungsi utma dari filsafat adalah menyatukan segala ilmu yang kita miliki menjadi satu. Karena itu filsafat tidak mengenal pengkotakan (dikotomi) disiplin, tidak mengenal pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Kesemuanya ilmu yang kita miliki dicoba dirangkumkan menjadi satu kesatuan yang konsisten.

Hidayat menggunakan istilah eling, yaitu suatu "tingkat kesadaran" dari aktuasi keperiadaan manusiawi. Inti keelingan bukan proses, melainkan hakekat keperiadaan.

Schumacher menyatakan bahwa inti dari kesadaran (eling) itu adalah "self awareness" atau pengenalan diri. Itulah inti ajaran Budhisme yang dianut oleh Schumacher. Alghazali , seorang filosof Islam mengatakan bahwa "mustahil orang yang tidak mengenal dirinya bisa mengenal Allah". Islam selanjutnya mengajarkan bahwa isi dari pengenalan diri adalam iman, taqwa dan tauhid.

Eling sebagai manifestasi tingkat keperibadian (existential state) terjadi dalam proses meditasi atau membiarkan pikiran atau keseluruhan keperiadaannya mencapai suatu keadaan dimana manusia bisa menangkap hakekat maknawi keperiadaannnya: pengenalan diri. Eling itu sendiri meruapakan dasar keperiadaan insani, yang bersumber langsung pada Allah.

Hanya dalam keadaan eling kita bisa memperoleh bimbingan Ilahi secara langsung, kita bisa mengalami sifat Ilahiah, yang tercermin dalam iman, taqwa dan tauhid. Taqwa menunjukkan kualitas iman, yang berarti manusia sadar akan tugas dan kewajibannya; tauhid menunjukkan pada pengalaman batin, pengalaman mengalami sifat-sifat Ilahi. Wallahu'alam


By : Anonim

UNDANG-UNDANG 45 HASIL AMANDEMEN TIDAK SAH

  1. Kata Indonesia merupakan suatu kata yang menunjukkan suatu kesatuan geopolitik, geografis srta geobudaya. Indonesia pertama kali dikenal dalam istilah pembagian dan asal-usul ras yang di dunia. Dalam pembagian ras Indonesia merupakan suatu ras yang berada di kepulauan yang terletak di Asia bagian tengggara yang membentang dan meliputi gugusan pulau-pulau dari pulau Crithmast (Tempat Pengungsian di Australia) yang berada di lintang selatan sampai dengan pulau Formosa (China Taiwan) di lintang utara dan gugusan pulau-pulau yang ada di sebelah timur pulau Mandagaskar dan sebelah barat pulau Ambon. Pengelompokan gugusan pulau tersebut didasarkan pada penghuni pulau tersebut, yang mendiami pulau tersebut mempunyai kesamaan ciri-ciri yakni berkulit sawo matang yang berambut lurus dan berasal dari keturunan ras kulit kuning.

  1. Akan tetapi seiring dengan perkembangan politik wilayah tersebut, dimana daerah tersebut merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, sehingga mendorong bangsa-bangsa lain untuk menguasai daerah tersebut. Dengan pembagian wilayah jajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropah membuat kesatuan ras Indonesia terkotak-kotaknya menjadi beberapa wilayah jajahan sehingga kesamaan ras bukan lagi sebagai faktor pengikat terbentuknya wilayah.

  1. Seiring dengan perkembangan paham Nasionalisme di Eropah membuat kaum muda mempunyai semangat untuk mengusir penjajah. Keinginnan terpatri dalam dada anak muda untuk bersatu yaitu satu Tanah Air Indonesia, Berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan yang ketiga berbahasa satu yaitu bahasa Indoensia

  1. Sejak adanya sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928 maka kata indonesia mengalami perubahan geografi dan geopolitik yang mengikuti faktor kesamaan nasib dan penderitaan, melainkan kesamaan nasib dan penderitaan: sama-sama mengalami penderitaan akibat penjajahan yang dilakukan Bangsa Belanda.

  1. Dan sekarang wilayah Indonesia menurut kesepakatan konverensi meja bundar di negeri Belanda, wilayah Indonesia membentang dari kota Sabang di Pulau Weh sampai kota Merauke di pulau Papua. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki wilayah yang cukup luas dengan sumberdaya alam yang melimpah ruah.

  1. Pengesahan UUD 45 tonggak sejak perjalan bangsa.

Tonggak Perjalanan

  1. Berlakunya UUD RIS
  2. Gagalnya pembentukan konstituante
  3. Dekrit Peresiden tahun 5 Juli 1950
  4. Pemilah Umum pertama di Indonesia
  5. Kondis pemerintahan rezim Soeharto
  6. Runtuhnya rezim Soeharto maka dengan berbagai kelebihan yang dimiliki oleh gerakan mahasiswa. Peluang untuk kembali menjadikan gerakan mahasiswa sebagai pelopor gerakan perubahan sosial sangat dimungkinkan, caranya adalah sebagai berikut; Pertama, Gerakan mahasiswa harus kembali mendekatkan diri kepada rakyat yang dibela, dengan kapasitas intelektual, gerakan mahasiswa harus bergabung dengan kekuatan masyarakat sipil, agar wacana perubahan yang dimiliki bisa sejalan dengan perubahan masyarakat. Kedua, Gerakan mahasiswa harus mampu mengarahkan masyarakat kearah perubahan sosial yang benar. Ketiga, Gerakan mahasiswa harus menghilangkan sekat-sekat perbedaan ideologi dan secara terus menerus melakukan konsolidasi sipil –demokratik.

  1. reformasi merupakan konsep perubahan masyarakat Pada sisi kedua Revolusi Sistemik berupaya untuk tetap mengarahkan transisi demokrasi pada arahnya yang benar, sebuah tatanan sosial, kultural dan politik yang berbasis pada nilai-nilai kebaikan, keadilan dan kesejahteraan. Dalam konteks ini Revolusi Sistemik mengehendaki instrumen politik kenegaraan yang telah mengalami kontaminasi oleh kepentingan neoliberal harus disingkirkan. Strategi yang ditempuh adalah mendorong dilakukannya Cut Generation dan Pembentukan Dewan Presidium Nasional.
  2. Amandemen UUD 45
  3. Kelemahan amandemen UUD 45
  4. Tidak sahnya UUD 45 hasil perubahan ke empat
  5. Peresiden SBY-JK tidak sah sebagai presiden dan wakil prsiden
  6. Perlunya pembentukan Dewan Presidium segera untuk memperbaiki kondisi bangsa.

By : Buddy

BOOK: SEVEN THEORIES OF RELIGION


Penulis: Daniel L. Pals

Penerbit: Oxford University Press

Cetakan: 1996

Tebal: vii + 293 halaman.

Buku ini untuk siapa? Atau buku ini ditujukan kepada siapa?

Lebih jelasnya buku ini ditujukan bagi:

Sesama sarjana bidang studi agama yang tak kenal dengan isu-isu metodologi dan teori serta mungkin memilih karya ini untuk menutup celah pengetahuan mereka

Para sarjanan selain bidang agama yang mungkin kurang mengenal teori-teori yang dipertimbangkan di sini, tetapi merasa bahwa mereka tidak memiliki ingatan tentang argumen yang baru atau menangkap dengan kuat pengaruh sejarah dari teori-teori itu dan perannya pada masa sekarang

Para peminat umum yang ingin mengetahui, bukan hanya tempat agama itu sendiri dalam usaha manusia, tetapi juga peran opini tentang agama dalam alur pembicaraan kontemporer yang umum;

Dan akhirnya yang tak kalah pentingnya menuntut mereka untuk mengetahui, setidak-tidaknya garis-garis besar teori-teori klasik ini bagi karya mereka dalam studi agama atau bidang yang lain, nemaun mereka memiliki waktu yang terbatas untuk melakukan tugas ini akibat komitmen akademik yang lain.

Mengapa tujuh teori?

Adapun yang dipilih sebagai wakil juru bicara dari setiap teori itu adalah: E.B Tylor dan James Frazer, Sigmund Freud, Emile Durheim, Karl Marx, Mircea Eliade, E.E. Evans-Pritchard, Clifford Geertz. Penulis buku ini menyadari kenapa dia tidak memasukkan nama seperti sosiolog besar Max Weber, psikolog Swiss Carl Gustav Jung dan bahkan Max Muller yang mengemukakan ide tentang ilmu agama (science of religion), dia dikesampingkan karena teorinya yang memandang agama berasal dari pemujaan alam, sebagian besar telah ditentang pada masanya dan hanya memiliki pengaruh yang terbatas setelah itu. max Weber ditinggalkan karena keruwetan teorinya yang menggabungkan beebrapa perspektif sehingga diabaikan untuk studi yang lain atau hari yang lain.dan kemudian memilih Emile Durkheim yang justru berlawanan dengan Weber. Demikian juga Carl Jung, walaupun Jung mengambil pendekatan terhadap agama secara tajam, simpatik dan tersusun terutama dalam mengemukakan materi agama dalam riset psikologisnya namun penulis buku ini lebih memilih Freud yang dianggapnya lebih baik, karena kejelasan lebih dipilih dibandingkan keruwetan ; dan teori-teori yang dipilih merupakan gambaran yang paling tajam dari tipe mereka.

Bagaimana pengertian istilahnya?

Membincang teori agama tidak terlepas dari upaya Max Muller - seorang profesor Jerman - yang pertama kali memperkenalkan suatu proyek besarnya dalam upaya merintis sebuah kajian yang ia sebut dengan ilmu agama (sciense of religion). "Sains agama" merupakan propaganda yang mengagetkan mengingat sains dan agama biasanya saling menegasikan. Bagaimanakah mungkin, agama yang absolut dan dianggap sebagai taken for granted digabungkan dengan sebuah program studi yang dipersembahkan untuk eksperimen, revisi dan perubahan? Bagaimana mungkin dua ranah yang berbeda ini, dua wajah yang nampak bermusuhan, bertemu tanpa salah satu atau keduanya hancur? Namun nampaknya Muller merasa sangat yakin bahwa keduanya dapat dipertemukan dan digabungkan. Ia percaya bahwa studi agama secara ilmiah memiliki banyak hal yang ditawarkan pada keduanya yang kemudian ia tuangkan dalam bukunya Introduction to the Science of Religion (1873) yang dirancangnya untuk membuktikan maksud dari persenyawaan frase "sains agama" tersebut. Baginya banyak hal yang dapat diperoleh dengan bergerak seperti seorang saintis yang baik, mengumpulkan berbagai fakta-kebiasaan, ritual dan kepercayaan - semua agama di seluruh dunia dan kemudian mengemukakan teori untuk menjelaskan mereka, sebagaimana seorang ahli biologi atau kimia yang mencoba menjelaskan cara kerja alam. (hal. 4).

Adalah Daniel L. Pals, yang mencoba mengetengahkan kepada kita sebuah pemaparan yang sederhana mengenai teori-teori agama yang sudah dirintis oleh Muller. Namun berbeda dengan Muller, yang optimis bisa bisa menjelaskan semua tentang agama dengan melakukan investigasi yang bersifat historis yang menelusuri hingga ke ide-ide dan praktik keagamaan yang paling awal dari bangsa manusia dan kemudian menelusuri perkembangan agama itu ke depan dan hingga sekarang (hal.7). Daniel L. Pals dalam buku ini mengkaji hasil survei-nya mengenai teori-teori agama yang kemudian disajikan dalam pemaparan yang sederhana. Buku yang ditulisnya ini diperuntukkan bagi pembaca awam yang memiliki perhatian pada agama sekaligus yang ingin mengetahui ide-ide para pemikir terkemuka di era modern dalam usaha mereka untuk memahami agama (v).

Daniel L. Pals, mengelompokkan pendekatan teori agama ke dalam dua ranah, pertama bersifat substantif dan yang kedua bersifat fungsional. Yang pertama melalui pendekatan "menafsirkan" (interpretive) dan yang kedua melalui pendekatan "menjelaskan" (explanatory) (13). Para teoretisi yang mendukung pendekatan pertama atau substantif, cenderung menjelaskan agama secara intelektual, dalam batasan ide-ide yang mendorong, menggerakkan, dan mengilhami manusia. Mereka menekankan niat manusia yang sadar, emosi dan agensi. Mereka mengatakan bahwa orang bersifat religius, karena pemikiran yang dianggap benar dan bernilai sehingga harus diejawantahkan dalam ranah kehidupan mereka. Para teoretisi yang menekankan peran pemikiran dan perasaan manusia ini menganggap bahwa agama adalah tentang sesuatu yang "memiliki makna" bagi kehidupan manusia. Pendekatan ini dianggap lebih bersifat "menafsirkan" (interpretive) ketimbang "menjelaskan" (explanatory). Bagi teoretisi interpretif, "penjelasan" hanya tepat berbicara tentang "benda", bukan manusia.

Sebaliknya, para teoretisi fungsional sangat tidak setuju dengan pendekatan yang bersifat substantif. Mereka menganggap bahwa "penjelasan" juga absah untuk menjelaskan manusia. Para teoretisi fungsional berusaha melihat ke bawah atau dibalik pemikiran yang sadar dari orang yang religius untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi. Mereka berpendapat bahwa ada struktur sosial yang pokok atau penderitaan psikologis tanpa perhatian yang akar tingkah laku agama yang sesugguhnya. Apakah akar-akar tersebut bersifat sosial, individual, atau bahkan biologis, kekuatan -kekuatan yang memaksa ini - dan bukan ide-ide yang oleh orang beragama sendiri dianggap mengatur tindakan mereka - merupakan sebab agama yang sesungguhnya dimanapun kita dapat menemukannya. Kita akan dapat menelusuri perbedaaan antara penjelas (explainers) dengan penafsir (interpreters)

Bagaimana metodologi buku ini?

Buku ini mencoba untuk, pertama-tama mengemukakan tentang kehidupan dan latar belakang juru bicaranya yang utama, kemudian dengan menguraikan ide-ide pokoknya seperti yang dihadirkan dalam beberapa teks sentral, dan akhirnya dengan memperhatikan ciri-ciri khasnya melalui perbandingan dengan teori-teori yang lain dan mencatat keberatan utama yang dimunculkan oleh para pengkritiknya.

Teori-teori agama di dalam buku ini telah ditempatkan dalam suatu rangkaian, baik kronologis maupun konseptual, hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan suatu pola. Setelah mengawalinya dengan teori dari intelektual klasik, Tylor dan Frazer, kita akan bergerak menuju pendekatan explanatory, menelusuri garis-garis fungsionalisme psikologis, sosial, dan ekonomi melalui freud, Durkheim, dan Marx. Kemudian beralih ke Eliade yang memulai suat proses menentang bentuk pendekatan penjelasan (explanatory) yang lebih ekstrem (sering disebut dengan "reduksionisme"), dan diakhiri dengan teori yang lebih mutakhir dari Evans-Pritchard dan Geertz, yang keduanya dapat dianggap berusaha menghilangkan perbedaan interpretive-explanatory.

Pertama-tama menjelaskan tentang dua istilah yang paling mendasar dalam pembahasan selanjutnya; "agama" dan "teori".

Apapun batasannya, pengertian yang biasa tentang istilah-istilah umum seperti "agama" dan "teori" sangat diperlukan bagi buku semacam ini - bukan hanya sebagai titik tolak, tetapi juga sebagai tonggak petunjuk jalan kita untuk bergerak. Pada saat yang sama, kita juga harus memperhatikan bahwa beberapa teoretisi yang akan kita bahas telah merasa puas dengan intuisi-intuisi pengertian umum.

Seorang teoretisi mungkin dapat mengikuti jalan yang diplih oleh Durkheim dan Eliade, yang lebih suka dengan konsep seperti yang "sakral" (sacred) saat mendefinisikan sifat-sifat dasar agama. Lagi-lagi para teretisi lebih suka dengan definisi-definisi substantif yang sangat serupa dengan pedekatan akal sehat. Mereka mendefinisikan agama dalam dalam batasan kandungan konseptual, atau ide-ide, yang dijalankan atau dirasa penting oleh orang-orang yang religius. Para teoretisi lain menganggap pendekatan ini terlalu restrictive, dan sebagai gantinya, merekamenawarkan suatu definisi yang lebih fungsional. Mereka mengesampingkan kendunagn ide-ide agama dan mendefinisikan agama sekadar dalam batasan bagaiamna ia beroperasi dalam kehidupan mansuia.mereak ingin tahu apa arti agama bagi seorang individu secara psikologis atau bagi suatu kelompok secara sosial.

Demikian kata teori, secara sekilas ide tentang "penjelasan" agama tidak sulit untuk dipahami. Tetapi setelah semakin dalam orang memasuki usaha menjelaskan secara sungguh-sungguh, amak akan semakin banyak keruwetan yang muncul.

Di akhir survei ini akan menyenangakan jika kita dapat mengeluarkan suatu keputusan sederhana tentang "benar" dan "salah" pada setiap teoretisi kita. Sejarah riset disenagian besar bidang, nilai teori jauh di luar fakta sederhana benar atau salah. Penjelasan yang "salah", namun menemukan suatu cara yang hampir baru dalam melihat suatu subyek atau membuka suatu jalan penelitian yang baru, dapat jauh lebih penting daripada penjelasan yang "benar" namun melakuakn lebih sedikit dari meyatakan kembali apa yang tealh diketahui oleh setiap orang.

Jika demikian, kita akan berusaha sekuat tenaga untuk mengakhiri survei kita tidak dengan serangkaian keputusan tetapi dengan serangakain perbandingan, mengumpulkan semua pandangan yang telah kita bahas secara terpisah sejauh ini dan mengukurnya secara bersama-sama dengan beberapa prinsip umum yang dapat diterapkan pada semua. Dalam hubungn itu, kita harus menanyakan pada setiap teoretisi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimanakah teori itu mendefinisikan subyek? Dengan konsep "agama" apa teori itu dimulai? Kedua, apa tipe teori itu? karena penjelasan dapat berjenis-jenis, jenis keterangan apa yang ditawarkan oleh seorang teoretisi, dan mengapa? Ketiga, bagaimana jangkauan teori itu? yakni, berapa banyak prilaku keagamaan manusia yang dapat dijelaskan? semuanya?atau hanya beberapa? Dan dari segi itu, apakah teori itu benar-benar melakuakn yang ia klai? Keempat, apa bukti yang diangkat teori itu? apakah ia mencoba untuk secara mendalam membuktikan berapa fakta, ide, dan adat kebiasaan atau apakah ia membayar dengan sendirinya secara luas hingga mencakup banyak? Apakah jangkaun bukti itu cukup luas untuk mendukung jangakauan teori? Kelima, apa hubungan antara keimanan atau kekafiran pribadi seorang teoretisi dengan penjelasan yang ia kemukakan? Sautu penjelajahan tentang pertanyaan-pertanyaan ini tidak boleh hanya menunjukkan kepada kita di mana teori-teori kita bertemu dan dimana berseberangan; ia mungkin juga meyusun dugaan tentang masa depannya.

EVALUASI 17 AGUSTUS: APA KABAR INDONESIA?

Kalau kita melihat asal terbentuknya kesatuan wilayah Indonesia, Indonesia merupakan wilayah yang terletak di Asia bagian tengggara yang membentang dan meliputi gugusan pulau-pulau dari pulau Crithmast (Tempat Pengungsian di Australia) yang berada di lintang selatan sampai dengan pulau Formosa (China Taiwan) di lintang utara dan gugusan pulau-pulau yang ada di sebelah timur pulau Mandagaskar dan sebelah barat pulau Ambon. Pengelompokan gugusan pulau tersebut didasarkan pada pengelompokan ras dimana ras yang ada diwilayah Indonesia tersebut merupakan ras yang berkulit sawo matang yang berambut lurus yang berasal dari keturunan dari ras kulit kuning.

Akan tetapi seiring dengan perkembangan politik wilayah tersebut, nama Indonesia mengalami perubahan geografi dan geopolitik yang mengikuti faktor kesamaan nasib dan penderitaan. Dengan terkotak-kotaknya wilayah tersebut berdasarkan pembagian wilayah kekuasaan penjajah, berarti kesamaan ras bukan lagi sebagai faktor pengikat terbentuknya wilayah Indonesia, melainkan kesamaan nasib dan penderitaan: sama-sama mengalami penderitaan akibat penjajahan yang dilakukan Bangsa Belanda.

Dan sekarang wilayah Indonesia menurut kesepakatan konverensi meja bundar di negeri Belanda, wilayah Indonesia membentang dari kota Sabang di Pulau Weh sampai kota Merauke di pulau Papua. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki wilayah yang cukup luas dengan sumberdaya alam yang melimpah ruah. Menjadi pertanyaan besar bagi kita sekarang adalah sejauhmana luas wilayah dan sumberdaya alam yang melimpah itu digunakan oleh bangsa Indonesia? Bagaimana bangsa Indonesia memperlakukan negaranya?

Sejak wilayah Indonesia dijajah oleh bangsa dari benua Eropa ditambah dengan penjajahan Jepang, wilayah Indonesia mengalami kerusakan akibat eksploitasi besar-besaran yang dilakukan penjajah baik Belanda maupun Jepang melalui perusahan yang bernama VOC dan Bosh Wezen dan beberapa perusahaan pertambangan milik Belanda, yang beroperasi diwilayah Andalas, Borneo, dan Papua. VOC badan usaha milik negara belanda didirikan sebagai perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan yang diberikan hak menopoli hasil perkebunan rakyat pribumi serta diberikan hak mendirikan perkebunan-perkebunan di pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Sedangkan perusahaan Bosh Wezen pengelolaan hutan didirikan untuk mensuplai industri perkapalan dan properti di kerajaan Belanda. Perusahaan ini mempunyai hak pengelolaan hutan diwilayah Jawa, Andalas dan Borneo dan Sulawesi serta Papua. Dengan upaya eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan tersebut negeri Belanda berharap pendapatannya meningkat.

Pembukaan perkebunan dan pemanfaatan hutan serta pembukaan pertambangan-pertambangan besar dilakukan secara besar-besaran. Perusahaan tersebut didirikan untuk menopang dan mengisih kas kerajaan Belanda sebagai pemilik perusahaan. Kebutuhan energi dan kebutuhan pembangunan di negeri Belanda berbanding lurus dengan kerusakan ekosistem yang ada di wilayah jajahan termasuk Indonesia. Hal yang sama juga terjadi kemiskinan yang semakin meningkat.

Hadirnya perusahaan VOC dan Bosh Wezen dan beberapa perusahaan pertambangan milik Belanda tersebut, ditopang dengan kebijakan raja-raja yang ada di wilayah Indonesia sebagai pemilik wilayah, yang mempermudah masuknya investasi, mempermurah upah buruh bahkan sampai upah gratis (romusa) bagi raja-raja yang kerajaannya sudah tidak mempunyai kedaulatan sebagai kerajaan berdaulat, sebagai akibat kebutuhan pembiayaan kerajaan yang dibantu pembiayaanya oleh pemerintah Belanda. Kebutuhan tersebut banyak tersedot ke pembiayaan peperangan, baik perang saudara maupun perang sesama kerajaan yang bertetangga sebagai akibat politik pecah belah yang dilakukan Belanda. Kondisi tersebut semakin membuat kesengsaraan rakyat bahkan ada yang tewas dalam pembukaan jalur trasportasi dll.

Kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia lambat laun berada dibawah kekuasaan Belanda dan posisi raja merupakan simbol perekat dan mempunyai tugas sebagai mandor atau centeng dalam pemeliharaan keamanan perusahaan yang dimiliki pemerintah Belanda. Sejak eksploitasi berlangsung justru sesuatu yang sungguh sangat ironis terjadi. Jumlah penduduk miskin kian bertambah justru ketika eksplorasi kekayaan berupa hutan, hasil perkebunan, dan tambang itu berlansung.

Gerakan perlawanan untuk melepaskan diri belenggu penjajahan dan ketergantungan dari kerajaan Belanda yang diyakini sebagai biang kerok dari ketertindasan dan kemiskinan dan kebodohan rakyat Indonesia lahir dari kaum muda yang ada di wilayah Indonesia, Mereka bersatu padu menggalang kekuatan untuk mengusir penjajah dan melepaskan ketergantungan dari bangsa-bangsa lain terutama bangsa penjajah Belanda. Berbagai bentuk gerakan perlawanan yang dipelopori oleh Kihajar Dewantoro dan sampai akhirnya rakyat Indonesia menyakatakan kemerdekaaanya tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.

Berbagai langkah pengalihan telah dilaksanakan, mulai sistem administrasi, perangkat hukum, pemilihan umum, sampai pada nasionalisasi perusahaan milik penjajah. Hal tersebut dilakukan demi kepentingan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Seiring dengan perkembangan paham nasionalisme di Indoneisa ternyata paham liberalisme yang dibawa penjajah belum juga hengkang dari bumi Indonesia. Ini dibuktikan dengan munculnya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia yang selama kepemimpinannya menganut paham idiologi pembangunan, suatu turunan dari idiologi liberalisme yang dianut oleh para penjajah termasuk kerjaan Belanda. Konsep utang luar negeri, pemberian fasilitas yang berlebihan bagi investor luar negeri, serta eksplorasi kekayaan alam merupakan kebijakan yang diambil Soeharto dan pernah di terapkan oleh raja-raja pada masa penjajahan. Transaksi utang atas nama pembangunan telah melanggengkan penderitaan dan bencana dalam kehidupan sehari hari rakyat. Potret pembangunan yang ditopang oleh dana utang selama 30 tahun menghasilkan sebagian besar rakyat Indonesia masih dalam kondisi dan ekonomi yang memprihatinkan

Laporan perkembangan pencapaian tujuan pembagunan milenium (Pebruari 2004) menempatkan sumberdaya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 117 negara. Laporan ini menunjukkan tingkat usia pendidikan dasar yang bisa menyelesaikan sebilan tahun pedidikannya hanya 46,8 %. Menurut laporan Bank-Key Indicators 2004 terdapat 38.394.000 orang penduduk Indonesia berada dibawah garis kemiskinan, penduduk Indonesia yang memiliki rumah sebanyak 32,3 %, dan pengagguran berjumlah 9.531.000 orang

Pembayaran utang luar negeri yang dibuat oleh mantan Presiden Soeharto pada saat berkuasa dibebankan kepada rakyat melalui APBN. Setiap saat rakyat harus membayar pajak baik pajak langsung maupun tak langsung demi untuk pemenuhan kebutuhan Anggaran Belanja Negara (APBN), disamping pemerintah juga melakukan pencabutan subsidi terutama subsidi bahan bakar minyak dan gas serta pencabutan subsidi pupuk untuk petani, penjualan aset negara dengan menjual perusahaan-perusahaan vital milik negara, diantaranya bidang energi, komunikasi, perbankan, transportasi dan lainnya. Hingga 2003 setidaknya lebih dari 30 BUMN yang telah diobral asetnya untuk mendapatkan pemasukan sebesar Rp 7,34 triliun dari target penjualan sebesar 8 trilyun. Ditahun 2004, selain PT Bukit Asam Tbk dan Bank Mandiri, terdapat sekitar 15-an BUMN non-Bank yang digadaikan ke ADB sebagai jaminan pinjaman sebesar US$400 juta.

Ekspolitasi sember daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan ini juga dilakukan agar supaya beban bunga utang luar negeri bisa di lunasi. Sesuatu yang sangat ironis ketika ditemukan fakta bahwa ternyata produksi energi yang dihasilkan dari eksplorasi sumberdaya alam Indonesia berbanding lurus dengan produksi kemiskinan. Jumlah paling tinggi populasi keluarga miskin, kasus pencemaran kingkungan dan pencemaran HAM ditemukan di daerah kaya tambang migas, tempat beroperasinya Trans Nasional Corporation's (dilansir oleh Jaringan Advokasi Tambang JATAM). Di Nangroe Aceh Darussalam dengan 9 perusahaan migas yang beroperasi di sana, termasuk daerah termiskin nomor 4 dengan 28,5% penduduk miskin, jumlah tertinggi terdapat di daerah Aceh Utara. Riau dengan 21 perusahaan migas, termiskin ke 13, dengan populasi miskin sekitar 22,19 % dimana 5 tahun terakhir presentase penduduk miskin terus naik. Padahal sebagaimana mahfum, Riau memasok sekitar 70% minyak produksi Indonesia. Sumatera Selatan dengan 22 perusahaan migas yang beroperasi, terkategori sebagai daerah "terkaya", terutama kawasan Musi Banyuasin, ternyata populasi penduduk miskinnya paling tinggi. Kalimantan Timur dengan 19 perusahaan migas, jumlah penduduk miskin merata di 13 kabupaten, dengan jumlah penduduk termiskin terdapat di Kutai Kertanegara. Termasuk Papua, mrupakan daerah termiskin di Indonesia, sebanyak 38,69% dari populasinya berada dibawah garis kemiskinan.

Indonesia sudah melakukan eksplorasi besar atas kekayaan alamnya, menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 60% daratan Indonesia habis dibagi untuk konsesi HPH, HTI, perkebunan dan tambang skala besar, belum termasuk tambang migas dan galian C. Sudah 75% cadangan minyak bumi dan 25% cadangan gas bumi dihabiskan. Sedikitnya 1,2 milyar ton tailing telah dihasilkan hanya oleh 6 perusahaan tambang skala besar, lebih dari 3 juta ha hutan dibabat dalam 3 tahun terakhir sampai-sampai laju kerusakan hutan Indonesia adalah 6 kali lapangan bola (300 ha) per detik.

Dengan adanya kondisi tersebut berdampak kepada hilangnya kemerdekaan rakyat Indoensia untuk menentukan nasib sendiri seperti yang terjadi pada zaman penjajahan. Campur tangan pemerintah Australia mengenai Timor-Timur, dan Papua, hilangnya pulau yang direbut negara tetangga sampai kepada intervensi amandemen undang-undang 45 khususnya pasal 33 maupun pembuatan undang-undang seperti, undang-undang minyak dan gas alam, undang-undang privatisasi Air, undang-undang kelistrikan, undang-undang kehutanan, undang-undang kenaga kerjaan, pendidikan, guru, dan lain-lain yang berpihak kepada pelaku bisnis luar negeri ketimbang keberpihakannya kepada pelaku bisnis dalam negeri. Disektor hukum terjadinya intervensi dipengadilan seperti pemberantasan pelakuku terorisme, intervensi peradilan terhadap pengedar dan pemakai narkoba yang berkebangsaan Australia sampai pada embargo persenjatan yang dilkukan oleh Amerika Serikat. Inilah bukti bahwa Indonesia sekarang tidak berdaulat di negerinya sendiri.

Presiden Repubilik Indonesia bersama kepala daerah, walaupun dipilih rakyat akan tetapi sama saja posisi dan fungsinya dengan raja-raja pada zaman penjajahan yang berfungsi sebagai mandor atau centeng-centeng penjajah, dan rakyat Indonesia merupakan budak-budak yang yang harus menghasilkan sesuatu untuk dinikmati oleh bangsa lain melalui libelarisasi perdagangan. Dan yang membedakan Posisi dan fungsi Presiden Repubilik Indonesia bersama kepala daerah dengan raja-raja tempo dahulu adalah raja-raja tempo dulu berbakti dan menjadi mandor atau centeng kepada VOC dan Bosh Wezen dan beberapa perusahaan pertambangan milik Belanda tersebut. Sementara pemerintah Indonesia sekarang berfungsi sebagai mandor atau centeng-centeng dari Dana Monoter Internasional (IMF), Bank dunia, Bank Pembangunan Asia, (ADB), UNDP, OECD, UNICEF, Internasional Found for Agricultural Develomen (AFAD), Internasional Finance Corporation (IFC) dan Consultative group on Indonesia (CGI) yang dulu bernama Inter-Governmental Gruop on Indonesia (IGGI) yang beranggotakan Jepang, USA, Australia, Austria, Belgia, Denmark, Findlandia, Inggris, Italia, Jerman, Canada, Norwegia, Perancis, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, Uni Eropa.

Jadi beberapa kebijakan pemerintah yang berparadigma eksploitatif dan sangat kental aroma neoliberalisnya tersebut yang mengakibatkan penderitaan rakyat Indonesia yang miskin ditengah kekayaan sumberdaya alamnya. Rakyat miskin harus pula menanggung efek dari kerusakan lingkungan akibat eksplorasi yang berlebihan. Bahkan yang lebih parah lagi rakyat miskin harus dibebani oleh utang dan bunga utang yang bahkan sama sekali tidak pernah mereka nikmati. Utang hanya dinikamati oleh segelintir orang kemudian beban cicilan utangnya diserahkan kepada rakyat. Pajak yang selalu dibayar oleh rakyat sepenuhnya tidak dapat dikembalikan dan dinikmati rakyat oleh karena anggaran negara (baca:APBN) sebagian telah terkuras untuk pembayaran cicilan utang dan bunga utang kepada debitor. Akhirnya rakyat tidak lagi menadapatkan subsidi kesehatan dan pendidikan yang seharusnya dapat sepenuhnya dinikmati oleh rakyat.

Penutup

Untuk menyelamatkan kondisi ini, pemerintah bersama dengan rakyat Indonesia harus segera melakukan berbagai macam upaya demi keselamatan bangsa dan negara Republik Indonesia dan paling mendasar yang seharusnya dilakukan adalah, pertama, menolak membayar utang luar negeri karena dinilai menjadi biang kerok dari permasalahan bangsa serta mendorong paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) maupun keunikan lokal (local unique). Kedua, dan paling penting adalah dalam rancang bangun negara Repubilk Indonesia ditekankan kepada pembangunan yang mengangkat harkat dan martabat rakyat. Melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang sepenuhnya untuk kedaulatan dan kemakmuran rakyat, jika kita masih ingin disebut negara ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lastly 61 tahun sudah Indonesia merdeka namun dalam perjalannya apakah itu sepenuhnya telah dirasakan oleh seluruh penghuni negeri ini??Semoga dapat menjadi renungan Akhir kata WASSALAM DAN SALAM SETENGAH MERDEKA!!!


By : Buddy