Wednesday, September 13, 2006

Sebuah Catatan Perjalanan Sejarah: "INDONESIA TANAH AIR BETA"

(dari berbagai saduran)


Pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari seluruh suku yang mendiami kepulauan yang terbentang antara benua Asia dan Australia berkumpul membicarakan identitas dan nasib mereka, dan ketika pada tahun 1945 Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan sebuah negara yang bernama Indonesia, para aktifis kepemudaan pada era itu menjatuhkan pilihan kepada nama "Indonesia" untuk nama negara republik yang akan didirikan, pilihan itu dilakukan tanpa ragu-ragu, dan boleh dikatakan tanpa mendapat tantangan.

Pilihan tersebut tidak terjadi begitu saja dalam sehari di dalam sebuah forum atau rapat raksasa, melainkan hasil proses pencarian identitas sebuah kumpulan suku bangsa yang berada di lautan Pasifik di bagian selatan benua Asia di pertengahan abad XIX, sampai pada nama "Indonesia" yang dipakai untuk sebuah nama perkumpulan pada dasawarsa kedua abad XX. Dan seperempat abad kemudian nama Indonesia benar-benar berarti sebagai sebuah republik yang merdeka.

Nama "Indonesia" bukanlah satu-satunya nama yang pernah diusulkan. Ada beberapa yang pernah dipopulerkan antara lain nama "Nusantara" (artinya kira-kira kepulauan antara dua benua) yang pernah diancang-ancang dan nama ini terdapat dalam cerita negara kertagama, walaupun nama tersebut terasa asing bagi orang di luar pulau Jawa. Dan nama ini kurang mencakup wilayah Indonesia seperti sekarang yang terdiri dari daerah jajahan Belanda.

Pilihan nama "Nusantara" tidak diterima oleh para penulis asing sebagai wilayah yang terbentang antara Sabang sampai Merauke dan tidak menggunakannya di berbagai tulisannya yang menyangkut wilayah tersebut, bahkan menyebutnya sebagai kawasan kepulauan yang luas dan terbentang antara Australia dan Asia yang tidak gampang untuk dibuat suatu batasan.

George Samuel Windsor Earl dalam tulisan-tulisannya menggunakan istilah India Belanda (Dutch India) untuk wilayah yang terbentang antara Sabang sampai Merauke. Ia berkali-kali ia mengulang nama kepulauan India, atau hanya Kepulauan, Kepulauan India Timur pada kesempatan lain, penggunaan nama India yang kita kenal sekarang ini saat itu sering disebut sebagai India British atau India Daratan (Continental India) atau India Barat, tetapi India Belanda memang lebih persis-setidaknya sama-sama dengan nama yang digunakan Belanda sendiri. Hanya George Samuel Windsor Earl sering menghindarinya, karena beberapa bagian wilayah berada diluar klaim Belanda.

Sir Josep Bank misalnya menggunakan dan mencamtukan nama India pada nama-nama dipakainya, dua abad lalu pulau-pulau India Timur (East India Island), kepulauan Timur (estern Islands), India Timur (East Indies), Pulau-Pulau Timur Eastrn Isles dan India. Itu semua dipakainya. Bahkan orang yang mendiami pulau-pulau tersebut disebut orang-orang India (The Indians).

Pada 1783 William Marsden menyebut Kepulauan India (India Archipelago) tetapi pada tahun 1812, setelah memakai East Indies dan Kepulauan Malaya (Malaya Archipelago) ia mengusulkan "wilayah kepulauan ini tidak boleh tidak lebih persis disebut dengan mirip-mirip Polenesia". Bahkan Apa yang dipakai Rafles, juga masih menggunakan The Eastern Islands, East Indies, The Indian Islands, Asiatik Isles, Malayan Archipelago, Archipelago saja dan Malay Island.

Pada awal abad XX muncul nama Indonesia dalam judul-judul karangan yang berbahasa Inggris dan Belanda. Dan pada tahun 1906 diterbitkan sebuah buku yang berjudul Het Animisme Der Indinesiers oleh A.C.Krijt dan pada tahun 1909 terbit buku yang berjudul "Het Indonesish Heigendom", oleh C. Spat dan pada tahun 1918 diterbitkan pula di Manchester, Inggris, buku "The Megalithic Culture of Indonesia", oleh WJ Perry, dengan karangan ini bertambah nama baru yaitu "Indonesia".

Seorang ahli Jerman yang sangat terkenal yang bernama Adolf Bastian. Dan ia hidup sebagai professor etnologi dan kurator museum di Berlin dan menulis buku, "Indonesia Oder Die Inseln Des Malayischen Arshipel". Diterbitkan pertama kali di berlin 1884, buku itu ditandai dengan banyaknya istilah Indonesia. Walaupun banyak memakai kata "Indonesia", tapi dalam entry beberapa ensiklopendia, asal kata Indonesia tidak dikaitkan dengan nama Adolf Bastian. Edisi 11 Enclopedia Britannica, vol. XIV, 1911, umpamanya menyebut: Indonesia, nama yang diberikan James Richardson Logan untuk menggambarkan penduduk non Malaya yang kulitnya terang yang menduduki kepulauan Timur..." lalu Grote Winkler Prin Encholpedia, 1970, menulis "nama Indonesia pertama kali dipergunakan oleh etnolog Inggris GR Logan pada 1850.." seorang akhli adat-istiadat Cina dan seorang pengacara asal Skotlandia yang tinggal di Penang pada tahun 1884. Yang menarik adalah catatannya yang berjudul "The Journal of the Indian Archipel and Eastern India", dikerjakan sejak 1847, dan muncul sampai 1863.

Dalam Volume IV Jurnal tersebut 1850 disebutkan bahwa Georger Samuel Windsor Earl sebagai pengarang artikel tentang karasteristik pokok bangsa bangsa Papua, Australia dan Melayu Polinesia, ternyata George Samuel Windsor Earl pernah berkunjung ke Australia pada tahun 1846, kemudian bergabung dengan Logan dan membuka kantor pengacara di Singapura.

Sampai tahun 1850, George Samuel Windsor Earl masih belum mengemukakan akan suatu nama untuk menyebut yang kepulauan yang terbentang antara benua Asia dan Autralia itu. Pada hal pada serial tulisannya ia sudah menyatakan sebuah istilah untuk menggambarkan cabang bangsa Polenesia yang mendiami kepulauan India. Dalam gambarannya tersebut India muncul lagi. Lalu ia mengajukan istilah Melayunesia. Dari istilah Melayunesia kemudian berperoses untuk sampai pada kata Indu nesian kemudian Indonesia.

Dalam volume yang sama dari jurnal itu, dimuat pula tulisan JR Logan "Etnologi Kepuluan India: mencakup hubungan Kontinental dengan penduduk Kepulauan Indo-pasifik". Disini ditemukan sebuah kalimat : diantara penyelidik tuan William cakap berhubungan dengan penduduk asli Indonesia.... dan seterusnya. Nah lihat disini untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul dalam literatur Inggris. Dan sikap logam sendiri, dalam catatan kaki sebuah karangannya ia menulis untuk nama "Indian Archipelago" sebuah ajektif atau bentuk etnografis, tuan George Samuel Windsor Earl menganjurkan pemakaian istilah Indonesians.... saya sendiri lebih suka semata-mata sebagai istilah geografi. Indonesia merupakan sinonim terdekat dengan Indian Islands atau Indian Archipelago dan Archipelagic serta Indonesians untuk Indian Archipelagians dan Indian Islander .....

Istilah "Indonesia" yang beredar pada tahun 1850, muncul untuk menggambarkan daerah kebudayaan dan geografisnya. Ketika nasionalisme Indonesia muncul ke permukaan nama Indonesia menyatu dengan cita-cita nasional dari dari sebuah negeri yang ingin merdeka. Lumrah jika kaum nasionalis tidak suka dengan nama resmi Nederlandsch Indie untuk sebuah negara merdeka yang kita idam-idamkan. Untuk alasan yang mirip pula mereka dulu menolak istilah India. "Indonesia sudah siap dipakai sebagai pilihan yang alamaiah- tidak mendua arti-an tidak berbau kolonial", johannes berkomentar.

November 1917 sebuah faderasi didirikan di negeri Belanda, dari mana mahasiswa-mahasiswa Indologie, nama-namanya: Indonesch Verbond van Studeerenden. Seperti yang ditujukkan Dahm, inilah pertama kali kata Indoensia muncul dalam sebuah nama organisasi, dan secara berlahan-lahan tapi pasti melekatkan diri pada arti geografis dan politis.

Pengertian politis itu setelah dipakai para nasionalis di tahun 1920. Muhammad Hatta, memulai sebuah artikel tentang subyek itu pada 1929 dengan kalimat: Dengan tidak bosan-bosannya sejak 1918 kita telah mempropagandakan Indonesia sebagai tanah air kita. Seorang penulis mengomentari nama itu memperoleh komoditas politik terutama dalam 10 tahun terakhir. Dihitung saat tulisan itu disiarkan 1929 berarti sejak 1919 atau sejak faderasi mahasiswa tersebut terbentuk.

Lalu tahun 1922 terdapat langkah yang menentukan, Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang didirikan sejak 1908 mengubah namanya menjadi Indonesische verenengin organisasi yang bahasa melayu berarti "Perhimpoenan Indonesia" dengan tujuan menjalankan politik nasional yang jelas dan sejak itu secara konsisten memakai istilah Indonesia.

Sebelum dasa warsa ke ketiga abad itu berlalu cita-cita nasionalisme semakin berakar dimasyarakat. Bulan Agustus 1926 Muhammad Hatta menyerukan agar nama Indonesia dipakai dalam kancah gerakan perdamaian dunia yang berkongres di Paris. Hatta sendiri hadir disana dan menjadi jurubicara delegasi Indonesia. Tak pelak atas inisiatif dan desakannyalah nama Indonesia diterima kongres. Dalam kongres perdamaian pemuda sedunia di Oerijssel, negeri Belanda, 2 tahun kemudian, utusan Indonesia terdaftar sebagai peserta dan tercantum nama Indonesia. "Perhimpunan Indonesia". Dan secara kebetulan kongres dibuka 17 Agustus.

Seiring dengan itu, ratu Wilhelmina mengucapkan pidato melalui radio oranje London, di suatu hari sabtu di bulan Desember 1942. dari sana di ketahui bahwa Belanda nampaknya sudah oke dengan penggantian nama Nederlandsche Inde menjadi Indonesia akan tetapi mereka, masih terkesan tidak ikhlas. Dalam berbagai kesempatan hanya satu kali menyebut Indonesiers dan satu kali Indonesie, maka tak heran jika refisi konstitusi Belanda baru terjadi 3 tahun kemudian setelah Indonesia merdeka yakni 1948 hingga menjadi Indonesia akan tetapi rakyat Indonesia tidak peduli, mereka enjoy dengan negara barunya yang bernama Republik Indonesia. Wallahu'alam.



By : Budhi Harto Munir

"GERAKAN TAMADDUNI UNTUK TRANSFORMASI MASYARAKAT"

Ibnu Khaldun, pemikir Islam abad pertengahan par excelent, menggunakan tiga istilah untuk merujuk pada sebuah konsep peradaban, yakni úmran, hadlarah, dan tamaddun. Para pemikir di dataran Melayu lebih memilih istilah yang berakar dari kata tamaddun daripada dua istilah lainnya; 'umran atau hadlarah, karena secara etimologis memang lebih mempunyai makna yang dalam dan dinamik. 'Umran mempunyai konotasi "keramaian dan kemakmuran", "hadlarah" mengandung pengertian "kosmopolit", sedangkan "tamaddun" dalam konteks peradaban mencakup dua pengertian sebelumnya karena karakteristiknya yang mengandung jiwa perkotaan (madaniyah) dimana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif kebudayaan dan pencapaian pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep tamaddun, menurut Naquib al-Attas ( 1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada " suatu kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan."

Gerakan Tamadduni: Jalan Profetik Bagi Transformasi Masyarakat

"Gerakan Tamadduni" (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep tamaddun di atas. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Itulah salah satu jalan transformasi kemasyarakatan yang jejaknya dapat dilacak dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah). Transformasi profetik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun Peradaban Madinah adalah pertama, pembangunan tauhid di Mekkah, kedua, pembangunan kemasyarakatan di Madinah awal dengan jalan saling mempersaudarakan antara Muhajirin-Anshar dan juga kontrak sosial dengan komunitas selain Islam (Piagam Madinah), dan yang terakhir (ketiga) adalah menjalankan pemerintahan yang berdaulat di Madinah. Dari sinilah peradaban Islam terbangun yang kemudian dapat mengatasi peradaban Persia dan Byzantium-Romawi.

Cita-cita transformasi dari gerakan tamadduni tentu saja adalah terciptanya masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT. Namun demikian, tamadduni lebih berkonsentrasi pada proses perjuangan, kuatnya energi untuk bergerak maju, dan daya kerja yang keras dan profesional untuk mencapai cita-cita transformasi daripada hanya menunggu atau bermimpi tentang bentuk jadi dari masyarakat bertamaddun yang diridhai oleh Allah SWT itu. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu kekuatan progresif yang mampu mengkonsolidasikan dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini.

Situasi kekinian menunjukkan adanya fenomena tiga kekuatan yang acapkali saling berkonflik meski di saat yang lain juga bisa saling bekerjasama dalam sebuah konsensus. Pertama adalah kekuatan pasar (pemodal). Kedua adalah kekuatan negara (masyarakat politik). Ketiga adalah masyarakat sipil (yang non-penguasa modal dan non-penguasa kenegaraan). Kekuatan yang pertama dan kedua mempunya kecenderungan yang besar untuk mengalahkan dan memperalat kekuatan ketiga untuk memantapkan dan memapankan kekuasaan masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat sipil sangat rawan untuk menjadi pihak yang lemah dan terpinggirkan, dan oleh karena itu susungguhnya, ia menyimpan kekuatan progresif untuk melakukan perubahan dan memaksa pemodal dan negara untuk memenuhi hak-haknya. Dari situlah peradaban yang tinggi akan dapat diwujudkan.

Masyarakat Sipil: Keniscayaan Konsolidasi Untuk Ber-Tamaddun

Masyarakat sipil adalah kekuatan ketiga yang peran dan posisinya sangat strategis bagi proyek tamaddun. Beberapa bentuk konsolidasi yang diharapkan dapat terwujud untuk menopang visi tamaddun itu adalah; konsolidasi untuk kemandirian ekonomi, konsolidasi untuk kemerdekaan politik, dan konsolidasi untuk pencapaian kebudayaan yang tinggi.

Pertama, kecenderungan mutakhir menunjukkan bahwa kekuatan pasar (neo-kapitalime) begitu kuat sehingga mengatasi negara dan masyarakat. Bahkan, negara dipaksa menjadi boneka yang manis untuk memenuhi selera para neo-kapitalis dan kemudian menindas masyarakat sipil. Maka dari itu, ketika neo-kapitalisme dan negara (sebagai bonekanya) berkongkalikong untuk semakin memperkaya dirinya masing-masing, masyarakat sipil mempunyai keharusan untuk melakukan konsolidasi sosial demi melindungi kepentingan ekonominya. Konsekuensinya, pada satu saat, masyarakat sipil musti melakukan perjuangan untuk mendesak kaum pemodal dan atau negara untuk memenuhi hak-haknya; misalnya kesejahteraan hidup, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat sipil juga niscaya untuk mengkosnsolidasikan kekuatan ekonomisnya melalui semangat kemandirian, keswadayaan, dan ke-swadhesi-an. Namun demikian, pada saat yang lain, masyarakat sipil juga dimungkinkan untuk bekerja sama dengan salah satu atau kedua kekuatan yang lain, hanya saja tujuannya harus jelas dan tegas, yakni; untuk kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi masyarakat sipil.

Kedua, selain kecenderungan menguatnya neo-kapitalisme yang membuat negara dan masyarakat tak berdaya secara ekonomi, negara juga mempunyai potensi yang kuat untuk menjadi korup, otoriter, dan memberangus hak-hak politik rakyat. Pendek kata, masyarakat sipil juga perlu untuk melakukan konsolidasi politik untuk makin meningkatkan bargaining position-nya terhadap negara maupun pemodal untuk menjamin bahwa kebebasan, harkat, dan martabatnya dijamin dan dihormati. Sebab, kedaulatan politik rakyat menjadi prasyarat utama bagi sebuah iklim tamaddun yang demokratik dimana fungsi negara adalah pelayan yang baik dan terpercaya bagi pemenuhan hak-hak politik rakyat.

Ketiga, masyarakat sipil juga tak luput dari krisis yang disebabkan oleh keroposnya bangunan budaya yang ada di dalamnya. Akibatnya, mereka mengalami ketumpulan dan kemunduran sense of advanced humanity (rasa kemanusiaan yang adiluhung), seperti ; religiusitas yang makin terkikis, semangat keilmuan yang menurun, gairah intelektualisme yang rendah, tak punya kreatifitas seni, sastra, atau musik yang dapat dibanggakan, tak ada kemajuan teknologi yang dapat dicapai, dan sebagainya. Konsolidasi kebudayaan masyarakat sipil diperlukan untuk mengatasi krisis itu. Dengan konsolidasi, gebrakan budaya untuk kembali menggairahkan energi kreatif masyarakat dapat dilakukan. Tidak hanya itu, cita-cita transformasi masyarakat yang nota bene adalah masyarakat yang diridhai Allah SWT sangat mungkin untuk diwujudkan. Masyarakat itu adalah masyarakat yang ber-tamaddun (civilized socoiety) yang di antara ciri yang disebutkan Ibnu Khaldun (sebagaimana dikutip Beg, M.A.J., 1982) adalah: a higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (Mustafa Kamal Ayub, 2004). Wallahu'alam




By : Syifa A.W

Saturday, September 09, 2006

PROSPEK GLOBALISASI USAHA KEHUTANAN DI ABAD 21 SEBUAH TINJAUAN DARI PERSPEKTIF BISNIS

I. PENDAHULUAN

Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang selama lebih dari tiga dasawarsa memiliki peran signifikan terhadap proses pembangunan nasional. Pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan yang berorientasi ekspor telah mampu menyumbangkan devisa terbesar kedua dari sektor non migas setelah industri tekstil dan produk turunannya, menurut catatan MPI pada tahun 2000 telah menghasilkan devisa USD 8 milyar, diantaranya dan produk kayu lapis USD 3 milyar, produk pulp dan kertas USD 3,5 milyar dan dan produk lainnya USD 1,5 milyar. Jumlah tersebut merupakan 17% dari nilai ekspor non migas atau 13% dari nasional earning. Industrialisasi kehutanan juga telah memberikan nilai tambah yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, antara lain melalui penyerapan tenaga Kerja dan terbukanya peluang berusaha, SDM yang terlibat langsung dalam sektor usaha kehutanan + 2,5 juta orang dan tidak langsung + 1,5 juta orang

Krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997 telah memporakporandakan struktur dan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia. Berbagai sektor dan usaha ambruk seiring dengan makin membumbungnya nilai mata uang dollar pada saat itu terhadap rupiah.

Dampaknya, tingkat kesejahteraan masyarakat menurun drastis sementara angka pengangguran membengkak. Kondisi ini menyebabkan terjadinya instabilitas sosial politik di berbagai tingkatan yang sampai saat ini masih dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dinamika sosial, ekonomi dan politik makro dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya telah menempatkan kehutanan pada posisi yang bersifat paradoks. Di satu sisi, usaha kehutanan yang berbasis pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam diharapkan akan dapat menjelma menjadi salah satu sektor andalan bagi proses pemulihan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, belum ada kejelasan dan kepastian mengenai sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berkembang di berbagai tingkatan dalam bentuk konflik sosial, perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), serta penyelundupan kayu yang didukung oleh tiadanya upaya penegakan hukum (law enforcement) dan stabilitas keamanan justru sangat kontraproduktif terhadap iklim bisnis di sektor kehutanan, sehingga dapat merugikan negara bermilyar USD, terakhir angin segar yang memberi harapan berkurangnya perambahan dan penebangan liar dengan diterbitkannya SKB dua Menteri, Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian, tertanggal 03 Oktober 2001, masing-masing No. 1132/KPTS-l 1/2001 dan No. 2S2/MPP/Kep/10/2001 yang intinya melarang ekspor kayu bulat/bahan baku serpih.

I. DINAMIKA SOSIAL POLITIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BISNIS KEHUTANAN

Dewasa ini iklim investasi dan berusaha di sektor kehutanan berada di posisi titik nadir. Dinamika sosial. ekonomi dan politik makro sebagai dampak krisis ekonomi 1997 dan disusul gejolak politik berkepanjangan telah menyebabkan keberadaan dan masa- depan para pengusaha hutan berada dalam ketidakpastian.

Salah satu faktor penyebab kondisional tersebut diatas adalah mulai diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda) pada tahun 2001, termasuk otonomi pengelolaan sumber daya hutan. Dalam perspektif politik, melalui otonomi daerah akan terdapat kewenangan daerah beserta masyarakatnya dalam menerapkan kebijakan pengelolaan dan pernanfaatan sumber daya hutan. Sementara dalam perspektif ekonomi, otonomi daerah diharapkan akan melahirkan keadilan ekonomi, khususnya dalam hal redistribusi manfaat hasil hutan. Kondisi tersebut akan berdampak pada aspek sosial budaya, dimana sistem dan pola pengelolaan hutan Masyarakat setempat yang bersifat khas setempat (local specific) akan terakomodir dalam setiap kebijakan dan praktek pembangunan kehutanan. Persoalannya, hingga saat ini sebagian besar pemerintah daerah dan masyarakatnya ternyata belum memiliki kejelasan konsep dan rancang bangun otonomi pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan pemberian ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) kepada masyarakat setempat seluas 100 hektar serta penetapan Peraturan Daerah (Perda) tentang iuran/pungutan hasil hutan adalah beberapa realitas kebijakan kehutanan yang bersifat tumpang tindih (overlapping) dan berulang (redundant) yang kini terjadi dan merebak di berbagai daerah Propinsi dan Kabupaten di seluruh Indonesia. Kondisi tersebut jelas menunjukkan kompleksitas interaksi sosial, ekonomi dan politik sumber daya hutan yang mencerminkan pertentangan antara kebijakan-kebijakan bernuansa populis egaliter dengan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan prinsip kelestarian sumber daya hutan.

Terdapat beberapa implikasi sosial ekonomi dan sosial politik sebagai akibat berbagai kondisional diatas. Pertama, Intensitas dan kuantitas konflik sosial di kawasan hutan meningkat pesat. Ketidakjelasan domain (kewenangan) pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan telah menimbulkan ketidakpastian status kawasan hutan. Sampai saat ini, konflik sosial di kawasan hutan telah menyebabkan terhentinya kegiatan operasional berbagai perusahaan pemegang HPH/HPHTI dengan kerugian yang sangat signifikan. Kedua, merebaknya praktek penebangan liar dan pencurian kayu (illegal logging) yang telah menjadi keprihatinan masyarakat luas bahkan dunia Internasional.

Bagaimanapun, dampak dan ketidakjelasan selalu menimbulkan instabilitas. Sementara instabilitas selalu melahirkan kondisi ketidakpastian hukum. Maka, para pemodal (baik lokal, nasional bahkan internasional) yang hanya mengedepankan sikap aji mumpung (moral hazard) kini dapat leluasa melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara eksploitatif dan masif tanpa rasa takut dan khawatir akan ditindak oleh aparat karena ketidakjelasan, instabilitas dan ketidakpastian hukum. Ketiga, implikasi berikutnya adalah meningkatnya praktek penyelundupan kayu bulat (logs), SKB dua Menteri yang melarang ekspor kayu bulat, merupakan uji coba yang harus disadari oleh semua pihak, betapa pentingnya kelestarian sumber daya hutan. Kini, tidak saja secara ekonomi negara dirugikan dengan praktek penebangan liar dan penyelundupan kayu, lebih jauh, kelestarian sumber daya hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan terancam hancur dan punah. Akhirnya, dalam perspektif makro telah terjadi kehancuran sistem dan tata niaga kayu. Industri hasil hutan yang mendukung praktek-praktek ilegal kini justru dapat bertahan bahkan menangguk untung yang tidak kecil. Sementara industri pengolahan kayu yang mentaati prosedur dan aturan perundangan terancam gulung tikar karena tidak dapat bersaing dalam hal biaya produksi maupun harga jual bahan baku.

Departemen Kehutanan sebagai institusi publik yang secara politik diharapkan mampu membuat kebijakan dan instrumen implementasi bagi upaya penyelesaian berbagai persoalan diatas diharapkan bersikap proaktif. Dasar hukum bagi landasan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang telah diterbitkan, yaitu UU No. 41. tahun 1999 tentang Kehutanan justru belum ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pelaksanaan, walaupun konon masih dalam penggodogan.

III. DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP USAHA KEHUTANAN INDONESIA

Komunitas dunia Internasional sejak awal memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan ekonomi kehutanan Indonesia. Kemampuan pasar kayu dunia dalam menyerap produk-produk hasil hutan Indonesia terbukti telah menempatkan kehutanan sebagai salah satu sektor penting dalam proses pembangunan nasional. Era kesejagatan (globalisasi) yang kini melanda dunia Internasional telah merubah perilaku dan tata hubungan produsen konsumen berkaitan dengan keberadaan hutan tropis Indonesia. Terdapat dua issue penting yang kini berkembang disektor kehutanan sebagai wujud perubahan perilaku komunitas dunia Internasional, termasuk para konsumen produk-produk hasil hutan Indonesia. Pertama, issue tentang kelestarian fungsi lingkungan dan keanekaragaman hayati sumber daya hutan yang semakin menurun sebagai dampak kegiatan pembalakan hutan. Kedua, issue penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang dalam terminologi masyarakat Internasional dikenal sebagai indigenious people (masyarakat asli). Terakhir, dalam perspektif ekonomi globalisasi menuntut diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas konsekuensinya, seperti yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir tidak ada monopoli sehingga akses dari dan kepasar dibuka secara bebas.

Implikasi berbagai tuntutan diatas menyebabkan setiap pengelola hutan dewasa ini harus dapat mengelola sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan. Baik kelestarian fungsi ekonomi, lingkungan maupun sosial budayanya. Mekanisme dan instrumen yang telah disepakati oleh para pihak dalam mengukur tingkat kelestarian sumber daya hutan adalah melalui sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) atau umum disebut dengan istilah ekolabel. Di Indonesia, dewasa ini berkembang sistem sertifikasi yang dibangun oleh Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia (YLEI) disamping sistem-sistem sertifikasi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga lain ditingkat Internasional. Bahkan, mulai tahun 2002, beberapa importir produk-produk kayu besar dibenua Eropa dan Amerika, telah menegaskan untuk hanya akan menyerap produk-produk hasil hutan tropis yang berasal dari produsen bersertifikat ekolabel.

IV. PROSPEK MASA DEPAN BISNIS KEHUTANAN INDONESIA

Dengan berbagai kondisional yang kini berkembang disektor kehutanan, baik dalam perspektif dimensional (ekonomi, ekologi dan sosial) maupun dalam perspektif kawasan (lokal, regional, Nasional dan Internasional) maka tidak mudah untuk membuat sebuah rancang bangun tentang konsep ideal bisnis kehutanan dimasa depan. Paling tidak terdapat beberapa faktor signifikan yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bisnis kehutanan yang layak secara ekonomis (profitable), ramah lingkungan (environmental friendly) dan diterima serta tidak menimbulkan resistensi masyarakat diberbagai tingkatan serta (community acceptable).

Karenanya, konsep usaha kehutanan dimasa depan harus mempertimbangkan tiga dimensi penting. Pertama, ditingkat lokal harus mempertimbangkan dimensi hak-hak masyarakat setempat sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem sumberdaya hutan. Usaha kehutanan dimasa depan, baik dalam bentuk perusahaan pemegang HPH maupun HPHTL harus berbasis pada peran serta dan keterlibatan masyarakat lokal. Kedua, dalam tatanan regional-nasional usaha kehutanan harus mempertimbangkan dinamika sosial politik sebagai dampak penerapan kebijakan otonomi daerah serta kebijakan pertimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kedua instrumen kebijakan tersebut harus mampu mewujudkan keseimbangan aktualisasi hak politik daerah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan hutan, memberi keadilan ekonomi dalam redistribusi manfaat hasil hutan serta mengakomodir sistem sosial budaya masyarakat lokal dalam praktek pengelolaan sumber daya hutan. Ketiga, dalam perspektif global setiap pengusaha hutan harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan. melalui mekanisme sertifikasi ekolabel.

Dalam perspektif teknis, metode pengelolaan hutan yang dapat diterima adalah metode yang ekfektif dan ramah lingkungan. Salah satu metode pengelolaan hutan yang ramah lingkungan di masa depan karena memiliki dampak minimal terhadap kerusakan lingkungan adalah metode Reduced Impact Logging (RIL). Metode ini juga telah diakomodir kedalam sistem kriteria dan indikator (C & I) pengelolaan hutan produksi lestari bidang produksi dan lingkungan. Artinya, menerapkan secara benar dan tepat tahapan-tahapan kegiatan dalam sistem silvikultur TPTI yang disertai dengan metode RIL akan meningkatkan produktivitas, meminimalkan limbah tebangan disamping akan memperkecil dampak kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

V. PENUTUP

Apabila masih berlangsung ketidakjelasan dan ketidakpastian sosial, ekonomi dan politik sulit bagi bisnis kehutanan untuk bisa menjadi salah satu sektor andalan. Pun dalam perspektif masa depan, tidak mudah untuk membuat suatu konsep tentang bisnis kehutanan yang prospektif. Dengan demikian, setiap prediksi atas prospek bisnis kehutanan dimasa depan hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat normatif. Secara konseptual, bisnis kehutanan yang memiliki prospek dimasa yang akan datang adalah bisnis kehutanan yang dapat melakukan proses adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi dan politik masyarakat diberbagai tingkatan. Hal ini sesuai dengan teori seleksi alam, bahwa yang akan mampu bertahan adalah yang mampu beradaptasi (survival of the fitest). Konsep ini merupakan sebuah landasan termudah bagi setiap pengusaha hutan dalam mempertahankan ataupun meningkatkan peluang dan kesempatan usahanya.

Diluar faktor-faktor yang telah disampaikan diatas, sesungguhnya syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi terselenggaranya iklim bisnis dan berusaha yang kondusif dan produktif adalah stabilitas sosial politik yang memungkinkan adanya suatu dukungan berupa kepastian dan konsistensi kebijakan, supremasi hukum sebagai mekanisme solusi berbagai persoalan secara terbuka, sejajar dan anti kekerasan serta ketersediaan jaminan keamanan sebagai landasan terciptanya suatu tertib sosial. Tanpa ketiga faktor tersebut, tampaknya yang akan terjadi adalah anomali anomali ekonomi politik yang berujung pada penyimpangan sistem bisnis kehutanan. Seperti yang terjadi saat ini. Wallahu'alam

MEWUJUDKAN PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN MELALUI RENTE EKONOMI DAN DISTRIBUSINYA YANG BERKEADILAN

PERSOALAN YANG TIDAK PERNAH TUNTAS

Sesungguhnya ada tiga isu dalam judul ini, yaitu pengelolaan hutan lestari, keadilan distribusi manfaat-biaya dan rente ekonomi. Dalam gugus kebijakan kehutanan tidak berada pada tingkat yang sama, dua isu pertama adalah prinsip kondisi yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan, sedang rente ekonomi instrumen kebijakan. Dalam struktur demikian persoalan yang muncut sesungguhnya adalah adanya konflik kebijakan, dan tidak terpenuhinya persyaratan kehausan dan kecukupan dari kebijakan tersebut.

Kajian rente ekonomi sudah banyak dihasilkan, demikian juga pembahasannya sudah beberapa kali, oleh berbagai lembaga domestik maupun internasionai. Dari berbagai kajian itu pada dasarnya menggunakan rumus yang sama dengan variasi a) penghitungan tanpa dimensi waktu, artinya hanya pada satu tahun tertentu, b) penghitungan dengan dimensi waktu, untuk periode waktu tertentu. Adapun hasil penghitungan bervariasi, hal wajar saja apabila penghitungan dilakukan pada waktu berbeda, namun perbedaan secara substansial terjadi pada beberapa hal berikut ini yaitu :

1. Penentuan harga

2. Biaya produksi/pengelolaan hutan

3. Faktor resiko – ketidakpastian, dan entrepreneurship

Kebijakan Pemerintah (Dephut) mengenai larangan ekspor logs dan pengintegrasian pengusahaan hutan dengan industri pengolahan kayu, dimana kebijakan sepert itu telah melahirkan struktur pasar monopsoni, yang membawa implikasi ketidakadilan harga, dimana harga sumberdaya (kayu) terlalu rendah.

Disisi lain terdapat biaya produksi yang tidak relevan (irrelevant) dari sudut pandang paham normatif, meskipun dari sudut pandang paham posilif, biaya ini riil di dalam kegiatan pengelolaan hutan / produksi. Disini juga terjadi ketidakadilan, karena biaya-biaya tidak relevan sesungguhnya pengambilan manfaat oleh pihak yang tidak berhak untuk mengambilnya. Biaya-­biaya ini masuk kedalam biaya transaksi, baik berupa biaya informasi, biaya layanan administrasi, sumbangan, biaya keamanan dan lain-lain.

Faktor ketiga pandangan para pemegang hak pengusahaan hutan bahwa dalam pengelolaan hutan tingkat resiko sangat tinggi dan entrepreneurship harus dibayar mahal. Padahal pengusahaan hutan alam itu tidak memiliki resiko yang tinggi, bahkan memiliki turn over (perputaran modal) yang tinggi. Hal ini menjadikan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh para pelaku usaha bidang kehutanan.

Dengan harga sumberdaya (kayu bulat) yang rendah dan biaya (dengan ditambah biaya tidak relevan) cukup tinggi, maka seolah-olah unit usaha kayu bulat dalam situasi jauh dari untung, sehingga beban rente ekonomi sudah sangat tinggi, padahal rente ekonomi itu berpindah kepada pemegang kekuasaan / pembuat kebijakan dan pihak industri. Potensi rente ekonomi sesungguhnya cukup tinggi, tetapi potensi itu berpindah tangan kepada pihak-pihak yang tidak seharusnya memperolehnya. Oleh karena itu adanya usulan kenaikkan tarif iuran-iuran kehutanan tidak pernah mendapat respon, dengan berbagai alasan, yang sesungguhnya berujung pada ketidakadilan tersebut.

Harga sumberdaya yang rendah memberikan kinerja palsu di sektor industri perkayuan, yang seolah cukup mampu bersaing di pasar internasional dan menghasilkan devisa yang tinggi. Padahal efisiensi industri perkayuan rendah, industri hidup dengan menghisap kehidupan di sektor primer (pengusahaan hutan), yang akibatnya terjadi pengurasan hasilnya adalah degradasi sumberdaya hutan, dan penurunan kualitas lingkungan.

Faktor-faktor tersebut di atas ini terkait erat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (Dephut). Dengan demikian kebijakan pemerintah telah menumbuhkan ketidakadilan, dimana masyarakat luas menanggung biaya berupa kerusakan suberdaya hutan dan lingkungan, dan hilangnya rente eknomi yang seharusnya dapat direalisasikan (biaya opportunitas), efisien yang rendah juga sesungguhnya menimbulkan biaya bagi masyarakat.

Lantas dengan segala persoalan yang ada dalam pengelolaan/ pengusahaan hutan yang telah berlangsung lama dan masih berlangsung sampai saat kini, apakah rente ekonomi dapat dijadikan salah satu pilihan instrumen kebijakan ekonomi dalam pengelolaan hutan lestari. Ini nampaknya tidak mungkin karena :

1. Harga tidak mencerminkan kelangkaan sumberdaya

2. Biaya tidak mencerminkan perilaku produksi diminishing return to scale, dengan quota produksi pada tingkat produktivitas hutan.

Sekali lagi berbagai kebijakan kehutanan gagal membangun kondisi (syarat keharusan dan kecukupan) bagi berlakunya mekanisme rente ekonomi di dalam keputusan produksi.

Jadi sudah jelas bagi kita semua kebijakan kehutanan yang terus dipertahankan sampai saat ini gagal mencapai pengelolaan hutan lestari dan keadilan distribusi manfaat biaya.

BERBUATLAH DAN BERUBAHLAH

Pembahasan kebijakan, kajian ekonomi dan kajian teknis sudah banyak dilakukan, tetapi hanya berakhir sampai di ruang diskusi dan dokumen. Persoalan tetap melekat, enggan

Menghilangkan, rent seeking dan free rider hidup subur, versus sumberdaya dan masyarakat menderita.

Apabila pengambilan keputusan atau kebijakan kehutanan dan pelaku bisnis berlaku unfair tetap on the stage, dan tetap tidak menyadari hal itu, apakah akan ada perubahan yang menyelesaikan pesoalan-persoalan yang ada ini ?. Sudah saatnya berbuat untuk perubahan itu.

Jika bicara keadilan, maka akhiri ketidakadilan (unfairness mundurlah sebagai langkah regenerasi, berikanlah kesempatan generasi muda untuk berperan optimal secara lebih baik, bukankah teori rehabilitasi hutan dengan regenerasi sumberdaya telah kita pahami semua.

Mari kita dukung dan sukseskan Kongres Kehutanan Indonesia-III ini menjadi tonggak sejarah perubahan itu ? semoga..!



By: Dudung Darusman

HUTAN HANCUR, MORATORIUM MANJUR

Usulan Proses Pelaksanaan Komitmen Pemerintah Indonesia untuk penyelamatan Hutan Tropis Indonesia Yang Tersisa

Mari sejenak membayangkan apa yang akan terjadi pada hutan kita lima tahun yang akan datang. Ada berbagai situasi yang mungkin terjadi. Salah satu kemungkinan skenario tersebut adalah bahwa dalam lima tahun yang akan datang, Indonesia gagal melakukan perbaikan mendasar di sektor kehutanan. Dan inilah yang akan terjadi.

Indonesia tahun 2005: Pemerintah sudah menyerah dan tidak mampu menghentikan kehancuran hutan Indonesia. Penebangan haram sejak 10 tahun terakhir tidak teratasi dan bahkan semakin terang-terangan dilakukan, dan bagaikan penyakit menular mewabah dikawasan hutan diseluruh Indonesia. Dokumen-dokumen resmi yang melegalisasi kayu-kayu haram tersebut dan perlindungan militer menyebabkan praktek haram ini semakin sulit diberantas.

Kebakaran hutan besar yang terjadi pada tahun 2002/2003 soleh mengulangi tragedi yang pernah terjadi pada tahun 1997/1998 yang lalu, dan menghabiskan jutaan hektar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Harimau Sumatera dilaporkan telah punah dan orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka.

Musim kemarau dan musim hujan semakin tidak menentu, puluhan sungai-sungai penting di Kalimantan kering pada musim kemarau dan banjir besar pada musim hujan. Intrusi laut ke sungai mahakam, Kapuas dan Barito dilaporkan telah mencapai 30 km ke hulu sungai dan menyebabkan kota Samarinda, Banjarmasin dan Pontianak mengalami krisis air yang serius. Penyakit muntaber, diare dan malaria menjadi penyakit yang mematikan bagi balita dan rumah-rumah sakit dikota-kota tersebut tidak mampu menampung ledakan penderita pada musim kemarau.

Kemiskinan menjadi pemandangan yang memilukan di pedalaman-pedalaman Kalimantan dan Sumatera. Hidup orang-orang Dayak di Kalimantan dan suku-suku asli Sumatera semakin tidak menentu dan urbanisasi menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah daerah di era otonomi.

Dalam lima tahun terakhir, kebutuhan bahan baku untuk industri olah kayu secara perlahan tetap meningkat, sementara kayu-kayu semakin sulit diperoleh. Ijin-ijin HPH skala kecil yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mencapai belasan ribu buah diseluruh Indonesia tidak pernah mencukupi kebutuhan kayu nasional. Pabrik-pabrik kertas belum berhasil membangun hutan-hutan tanaman dan beberapa diantaranya terancam tutup karena tidak mampu menutupi kebutuhan bahan baku. Meskipun telah pernah dilarang, pemerintah kembali mengeluarkan ijin praktek tebang habis (IPK) untuk menyelamatkan industri-industri tersebut. Sertifikat ekolabel yang dinujumkan dapat mendorong pengelolaan hutan lestari gagal, karena kerusakan hutan-hutan di 30 konsesi HPH yang telah mendapat sertifikat ekolabel sama parahnya.

Sebagian besar industri kayu di Riau, Jambi dan Kalimantan Barat nyaris gulung tikar, menunggu kematian, karena kesulitan mendapatkan kayu. Protes ribuan pekerja didaerah tersebut menjadi pemandangan sehari-hari yang menuntut pesangon dari perusahaan yang sudah bangkrut. Sementara itu, di Kalimantan Timur, penghasil kayu utama sudah sejak lama megap-megap. Beberapa kawasan koservasi didaerah tersebut diciutkan untuk mendapatkan pasokan kayu namun tetap tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku.

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam laporannya pada tahun 2005 menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan devisa 7 milyar dollar AS per tahun dari sektor ini, dan ratusan ribu pekerja terancam kehilangan pekerjaan dalam dua tahun mendatang.

Kehutanan Indonesia berada di kegelapan yang pekat, dan kehancuran lingkungan mengancam kehidupan rakyat Indonesia.

Masa depan hutan Indonesia ditentukan hari ini! Jargon ini mengikuti skenario IMD (Indonesia Masa Depan). Meskipun kerusakan hutan tropis telah parah, sebenarnya masih tersisa sedikit waktu untuk menyelamatkannya. Dengan tingkat keruskan hutan tropis telah parah, sebenarnya masih tersisa sedikit waktu untuk menyelamatkannya. Dengan tingkat kerusakan yang demikian parah dan kompleksitas masalah yang dihadapi memang tidak banyak yang masih dapat dilakukan. Salah satu aksi yang dapat dilaksanakan saat ini adalah moratorium penebangan (pembalakan) hutan. Solusi ini, dibeberapa tempat terbukti manjur untuk menghentikan kerusakan hutan dan menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa.

Apa dan mengapa Moratorium

Moratorium (jeda) pembalakan kayu adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala besar (skala industri) untuk aementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yan diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium biasanya ditentukan oelh berapa lama waktu yang dibuthkan untuk mencapai kondisi tersebut.

Masalah sturktural kehutanan yang kita hadapi saat ini begitu ruwet dan kompleks. Maslah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling mempengaruhi satu dengan lain. Reformasi kehutanan hanya dapat tercapai bila masalah-masalah tersebut dapat diatasi secara simultan dan menyeluruh untuk menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.

Dengan tingkat kompleksitas maslah tersebut, oratorium menyediakan peluang dan manfaat ganda bagi pelaksanaan seluruh langkah-langkah perubahan yang diperlukan untuk melakukan reformasi dibidang kehutanan.

Moratorium pembalakan kayu di Indonesia dapat dihubungkan dengan keinginan atau komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi dibidang kehutanan. Moratorium pembalakan kayu dapat dijadikan sebagai langkah dan proses pelaksanaan komitmen reformasi kehutanan tersebut.

Moratorium dapat menyelamatkan hutan tropis yang tersisa

Penebangan hutan untuk industri (industri logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan tropis dalam skala masif. Kecepatan penyusustan hutan alam antara tahun 1984 dan 1998 adalah sebesar 1,6 juta hektar per tahun, dan saat ini telah melampaui 2,4 juta hektar per tahun salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia.

Tutupan hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkuatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Sebagian besar hutan produksi dalam keadaan rusak parah, dan hutan-hutan tropis asli hanya tersisa di kawasan-kawasan konservasi seperti Taman Nasional, hutan Lindung Cagar Alam. Namun mal ngnya kawasan hutan ini tetap berada dalam ancaman terutama oleh aktifitas pembalakan haram (illegal logging) dan operasi pertambangan. Dengan tingkat kehancuran seperti ini, dimana lebih dari sparuhnya diakibatkan oleh operasi penebangan haram, maka WALHI memperkirakan hutan di Sumatera akan hilang dalam waktu lima tahun, hutan di Kalimantan akan hilang dalam 10 tahun dan hutan Papua akan menyusul dalam kurun waktu 15 tahun.

Over kapasitas industri olah kayu adalah salah satu penyebab utama kehancuran hutan Indonesia. Setiap tahun, industri kayu memerlukan 100 juta meter kubik per tahun, dengan sebesar 51,1 juta meter kubik untuk konsumsi domestik dan sebanyak 48,9 juta meter kubik lainnya untuk keperluan ekspor. Dengan mengimpor sejumlah 21,9 juta meter kubik, maka sebesar 78,1 juta meter kubik kayu ditebang dari hutan-hutan Indonesia setiap tahunnya.

Dengan suplai resmi hanya sebesar 21,4 meter kubik yang berasal dari HPH, IPK atau tebang habis dan hutan rakyat, maka industri perkayuan kita mengalami over kapasitas sebesar 56,6 meter kubik atau sebesar 70 persen setiap tahun (Scotland, dkk). Dengan kata lain, tujuh dari sepuluh kayu di Indonesia berasal dari pemanenan illegal dan atau penebangan yang tidak tercatat.

Hutan alam Indonesia telah menyusut dengan cepat--baik kuantitasnya maupun kualitasnya--, namun itu disisi lain, industri olah kayu tumbuh dengan kecepatan konstan, terutama oleh pertumbuhan industri kertas dan bubur kertas (pulp). Dengan tumbuhnya industri-industri olah kayu tersebut maka gap atau kesenjangan antara suplai dan permintaan semakin menganga lebar. Ketidakseimbangan antara permintaan dan supali inilah yang menjadi salah penyebab maraknya penebangan haram.

Industri olah kayu Indonesia tidak saja bermasalah dengan penghancuran hutan, tetapi juga bermasalah dengan keuangan. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat ini menyita utang-utang sektor industri kehutanan sebesar 21,9 triliun rupiah(2 milyar dollar AS). Utang –utang oni terkonsentrasi kepada beberapa kelompok besar yang mempunyai hubungan politik denagn Orde Baru. Dua kelompok usaha memiliki 47% hutang (Bob Hasan 32% dan Djajanti Group 15%) di BPPB. Lebih dari separuh utang atau hampir 12 triliun rupiah dimiliki oleh industri olah kayu yang bahkan tidak memiliki HPH.

Sebagian besar industri kehutanan Indonesia yang telah menikmati rezeki kayu murah, dengan berbagai kemudahan dan insentif (keuangan dan kebijakan) serta telah menikmati hak-hak istimewa dan perlindungan bisnis dari pemerintah selama puluhan tahun, malah menyisakan masalah-masalah keuangan yang harus di tanggung oleh publik.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk reformasi kehutanan

Pada sidang SGI ke-9 tanggal 1-2 Februaro 2000 di Jakarta Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan menyampaikan 8 komitmen pemernitah dalam bidang kehutanan, sebagai berikut: (1) moratorium konversi hutan alam; (2) penutupan industri sarat utang; (3) penghentian penebangan hutan secara liar atau illegal logging; (4) restrukturisasi industri olah kayu; (5) rekalkulasi nilai sumberdaya hutan; (6) pengaitan program reforestasi dengan kapasitas industri; (7) desentralisasi urusan kehutanan, dan (8) penyusunan program kehutanan nasional.

Dalam penyusunan action plan pada bulan November 2000, komitmen ini ditambah menjadi: (9) penanggulangan kebakaran hutan; (10) penataan kembali hak-hak tenurial; (11) melakukan inventarisasi sumberdaya hutan; (12) memperbaiki sistem pengelolaan hutan

Ke-12 langkah tersebut diyakini dapat membawa perubahan mendasar dalam kehutanan menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih berkelanjutan (lestari). Untuk melaksanakan seluruh komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah membentuk Inter Departmental Committee on Forestry (IDCF) melalui keputusan presiden (Keppres) No. 80 tahun 2000 pada tanggal 7 Juni 2000 sebuah badan yang akan mengkoordinasikan dan melaksanakan seluruh komitmen pemerintaha dibidang kehutanan tersebut.

Usulan moratorium logging

Dalam krisis kehutanan seperti ini, moratorium logging (pembalakan kayu) skala besar dapat menjadi langkah awal bagi dilaksanakannya reformasi pengelolaan sumberdaya. Langkah-langkah moratorium pembalakan kayu dapat dilaksanakan secara bertahap dengan tujuan untuk menghentikan penebangan haram dan penebangan hutan yang merusak sambil memajukan usaha-usaha pengelolaan hutan yang lestari.

Perubahan sejati pengelolaan hutan kearah berkelanjutan hanya akan dapat terlaksana bila keseluruhan masalah diatas diselesaikan sekaligus. Penyelesaian masalah-masalah tersebut diatas hanya dimungkinkan dengan moratorium pembalakan kayu dilaksanakan terlebih dahulu. Moratorium logging harus dilaksanakan sampai tersusunnya sebuah frame-work (kerangka kerja) bagi pelaksanaan komitmen reformasi diatas.

Keuntungan moratorium pembalakan kayu

Moratorium memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan berkelanjutan, seperti antara lain:

Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia

Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat serta penyergapan terhadap penebangan liar melalui teknologi monitoring satelit

Memberikan kesempatan unutk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan) sumberdaya hutan dan meningkatkan hasil sumberdaya hutan non-kayu

Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestic dengan membuka keran impor seluas-luasnya sehingga harga pasar kayu domestic sebanding dengan harga kayu bulat dunia

Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri oleh kayu dan mengkoreksi over kapasitas industri, hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing

Lewat mekanisme pasar, memaksa industri kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku

Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp unutk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya

Kerugian bila poratorium pembalakan kayu tidak dilaksanakan

Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan dating apabila tidak memberlakukan moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:

Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif

Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi

Tidak ada paksaan untuk industri unutk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku atau mengimpor lebih banyak

Industri pulp akan menunda-nunda pemabngunan hutan-hutan tanaman dan semakinjauh akan menghancurkan hutan alam

Defisit industri kehutanan sebesar US$ 2,5 milyar per tahun dari penebangan liar tidak bias dihentikan

Hutan dataran rendah di Sumatera akan habis dalam 5 tahun dan hutan dataran rendah Kalimantan akan habis dalam waktu 10 tahun

Kita akan kehilanagan basis industri yang menghasilkan devisa sebesar US$ 7 milyar pada masa yang akan dating dan bila sumberdaya hutan telah habis dan ratusan ribu pekerja disektor ini akan kehilangan pekerjaannya dalam masa 10 tahun mendatang

Kebutuhan kayu bagi industri dapat diimpor melalui kebijakan membuka keran impor kayu selebar-lebarnya. Marigin keuntungan dari industri kayu yang besar memungkinkan menggunakan suplai dari kayu impor. Tujuan jangka panjang pelaksanaan moratorium adalah menyeimbangkan kapasitas industri pada tingkat keberlanjutan hutan alam.

Subyek diberlakukannya moratorium tentu saja adalah pemerintah bersama masyarakat local. Dalam proses sosialisasi yang matang, maka masyarakat dapat menjadi aktor utama dalam memastikan bahwa moratorium ini dapat ditegakkan. Pemerintah-pemerintah daerah juga harus menjadi unsure penting dalam pelaksanaan moratorium ini bagi masa depan daerahnya.

Tahapan moratorium logging dan implementasi reformasi kehutanan

Moratorium pembalakan kayu hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah disektor kehutanan. Moratorium juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah moratorium dapat dilakukan selama dua hingga tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian pengeluaran ijin-ijin baru

Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK, perkebunan,sambil menghentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan kebijakan impor bagi industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000>

Komitmen reformasi yang dapat dilaksanakan pada tahap ini adalah komitmen # 1 (Moratorium konversi hutan alam) dan komitmen # 10 (penataan kembali hak-hak tenurial).

Tahap II: Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan

Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium dilaksanakan, penghentian ijin HPH bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh BPPN. Utang harus dibayar kembali pemilik dan penegakan hokum dilakukan bagi industri-industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independent oleh pihak ketiga.

Pada tahap ini, pemerintah dapat mengimplementasikan komitmen # 2 (Penutupan industri sarat utang) serta komitmen # 5 (Rekalkulasi nilai sumberdaya hutan).

Tahap III: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu di Sumatera dan Sulawesi, kedua pulau ini hutannya terancam. Penataan kembali wilayah hutan di Sumatera dan Sulawesi serta penanganan masalah social akibat moratorium logging dengan mempekerjakan kembali pekerja pada proyek-proyek penanaman pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina.

Pada tahap ketiga ini, pemerintah dapat melaksanakan komitmen # 4 (Restrukturisasi industri olah kayu); komitmen # 6 (Pengaitan program reforestasi dengan kapasitas industri); Komitmen # 7 (Desentralisasi urusan kehutanan) dan komitmen # 3 (Penghentian penebangan hutan secara liar atau illegal logging).

Tahap IV: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalah-masalah potensi social

Dalam waktu satu tahun moratorium pembalakan kayu dilaksanakan, pemerintah dapat menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kalimantan dan penanganan masalah social yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan melalui sebuah kebijakan nasional.

Pada tahap ini, langkah-langkah reformasi dapat dilaksanakan dengan melaksanakan komitmen # 12 (Memperbaiki system pengelolaan hutan) serta komitmen # 8 (Penyusunan program kehutanan nasional)

Tahap V: Larangan sementara penebangan hutan diseluruh Indonesia

Dalam waktu 2-3 tahun, penghentian seluruh penebangan kayu dihutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh Indonesia. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat local.

Psda tahap ini, pemerintah dapat menjalankan komitmen # 9 (Penanggulangan kebakaran hutan) serta komitmen # 11 (Melakukan inventarisasi sumberdaya hutan).

Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

Moratorium di negara lain

Pelaksanaan moratorium pembalakan kayu nampaknya sulit dilaksanakan, tetapi banyak Negara di Asia Pasifik menggunakan moratorium untuk menghentikan penebangan haram dan mengontrol degradasi hutan. Kamboja, Filipina , Vietanam dan Papua Nugini telah menggunakan moratorium pada decade terakhir ini dengan maksud untuk menghentikan penebangan liar.

Negara Cina dan Thailand telah melarang penebangan hutan alam untuk melindungi banyak nilai-nilai dan ekonomi yang tergantung pada hutan alam yang terancam oleh penebangan kayu (logging). Indonesia seharusnya mengikuti jejak Negara tetangganya bila berniat untuk menyelamatkan hutan tropis yang tersisa. Berikut ini adlah ringkasan singkat dari penggunaan moratorium dan larangan penebangan hutan (logging ban) di Thailand, Cina dan Papua Nugini.

Thailand (1988)

Menyusul banjir besar dan tanah longsor akibat penebangan hutan, Thailand menerapkan larangan penebangan kayu di hutan-hutan Negara (hutan public). Permintaan larangan penebangan kayu diminta oleh organisasi petani Thailand dan kelompok lingkungan selama bertahun-tahun. Larangan penebangan hutan tersebut masih berlangsung hingga kini.

Cina (1998)

Setelah puluhan tahun mengalami bencana, Cina melarang penebangan 80 persen kawasan hutannya yang tersisa. Keputusan ini dikeluarkan menyusul terjadinya banir besar di kawasan dataran endah di sekitar sungai kuning dan sungai yang tse. Banjir tersebut meminta korban ratusan jiwa dan sementara itu jutaan rumah musnah dihantam banjir, dengan kerugian ekonomi diperkirakan lebih 10 miliar dolar.

Larangan penebangan berdampak pada sekitar 1 juta pekerja kehutanan. Separuh diantaranya kemudian dipekerjakan pada proyek-proyek penanam pohon (umumnya menggunakan pohon-pohon asli untuk memulihkan lahan hutan yang mengalami degradasi). Sementara itu, seperempat diantaranya menjadi penjaga hutan yang terlibat di dalam perlindungan dan pemulihan kawsan-kawasan hutan-hutan asli. Pemerintah Cina mengakui bahwa keputusan itu akan mengakibatkan langkah mundur terhadap tujuan mereka menjadi swasembada kayu. Kebutuhan kayu bagi industri perkayuan Cina ditutupi dengan impor dari luar negeri. Industri perkayuan Cina justru meningkat selama dilaksanakannya moratorium pembalakan kayu.

Papua Nugini (1999)

Papua Nugini menetapkan moratorium terhadap pemberian ijin baru HPH, akibat masalah-masalah social dan lingkungan yang muncul akibat penebangan pohon oleh HPH-HPH. Sebuah kajian dilakukan pemerintah saat ini untuk pelanggaran yang terjadi pada HPH yang beroperasi dan terhadap ususlan HPH baru. Pemberian HPH baru ditunda sampai rekomendasi atas kajian dapat diselesaikan. [selesai]



Longgewa Ginting