Friday, October 20, 2006

Muhammad Yunus Sang Peraih Nobel

Akhirnya lengkap sudah siapa saja yang meraih
gelar bergengsi Nobel untuk tahun 2006. Bertempat
di Stockholm, Swedia Jumat kemarin, orang
Bangladesh yang bernama Muhammad Yunus melengkapi
sang pemenang dengan meraih Nobel Perdamaian tahun
2006.

Khusus bagi Muhammad Yunus ini adalah sebuah
sejarah tidak hanya bagi dirinya pribadi tetapi
seluruh negeri Bangladesh. Muhammad Yunus menjadi
orang Bangladesh pertama sepanjang sejarah yang mendapatkan hadiah nobel.

Siapakah Yunus, sang peraih nobel perdamaian tahun
ini ? Dia lahir di Chittagong, salah satu kota di
Bangladesh tahun 1940. Menyelesaikan kuliah
ekonomi di di kotanya, tahun 1965 Yunus
melanjutkan kuliahnya di Vanderbilt University
Amerika Serikat. Di tahun 1976, saat resesi
ekonomi melanda dunia akibat perang Vietnam yang
digagas AS, Yunus kembali ke negerinya dan
mendirikan Grameen Bank. Institusi keuangan yang
berfungsi memberikan kredit murah kepada
masyarakat miskin dan tidak mampu di Bangladesh.
Maklum sampai saat ini Bangladesh masih tergolong
sebagai salah satu negara paling miskin di dunia
dengan pendapatan per kapita yang cukup rendah.
Perannya dalam mengentaskan kemiskinan di
negerinya inilah yang kemudian membuat akademi
nobel Swedia mengganjar hadiah nobel perdamaian
untuknya. Jalan-jalan di ibukota Dakka penuh sesak
dengan orang yang ingin memberikan selamat saat
pengumuman nobel disampaikan langsung dari Swedia.

Dengan demikian, Muhammad Yunus mungkin adalah
satu-satunya ekonom muslim yang pernah mendapatkan
Nobel sampai saat ini. Sebenarnya sudah lama
beliau juga dinominasikan untuk mendapatkan nobel
ekonomi. Namun siapa sangka, justru kategori nobel
perdamaianlah yang dia dapatkan.

Akhirnya Yunus menjadi muslim ke-7 yang
mendapatkan gelar nobel dari kurang lebih 500
orang di dunia yang pernah mendapatkan hadiah
serupa. Dan dia menjadi muslim ke-3 yang
mendapatkan Nobel perdamian setelah mendiang
Presiden Mesir Anwar Sadat dan mendiang Presiden
Palestina Yasser Arafat.

Namun, prestasi Muhammad Yunus lebih patut
diacungi jempol karena dia menunjukkan prestasi
profesionalnya. Beda dengan Sadat dan Arafat yang
diberi nobel lebih karena nuansa politisnya. Sadat
bersama PM Israel Menachem Begin diganjar nobel
1978 karena perjanjian camp David, hal yang justru
membuat Sadat dibunuh 3 tahun kemudian oleh
seorang bawahannya yang tidak sepakat dengan
keputusan berdamai dengan Israel. Sedangkan Yasser
Arafat mendapatkan nobel perdamaian tahun 1994
bersama 2 orang Israel, Yitzhak Rabin dan Shimon
Peres berkat peta jalan damai di timur tengah.

Adalah suatu kebanggaan bahwa tahun ini, 2 gelar
nobel disabet oleh muslim. Selain Yunus, penulis
Turki Orhan Pamuk meraih Nobel sastra tahun ini
lewat karya-karya satir-nya yang mengkritik sistem
sekuler Turki. Sudah saatnya memang para
cendekiawan muslim dunia menunjukkan prestasi
keilmuan ini untuk menampilkan sosok Islam yang
juga mencintai sisi-sisi keilmuan.

Ini jauh lebih baik dari revivalisme politik yang
didengungkan saat ini namun justru banyak juga
mendiskriminasi sesama muslim lainnya. Seperti
konflik Fatah-Hamas di Palestina.

Jika revivalisme ilmu ini bisa muncul, siapa tahu
kita bisa menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim
kelas dunia yang bisa bersaing dengan ilmuwan
barat yang selama ini cukup mapan dengan risetnya,
walaupun kebanyakan mereka menggunakan
literatur-literatur ilmuwan Arab Tempo dulu.

Dan dunia akan mengingat kembali bahwa dulu di
sebuah kota Spanyol bernama Cordova, pernah Islam
tampil sebagai suatu peradaban yang mengedepankan
ilmu pengetahuan dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Selamat untuk dua muslim yang turut mengharumkan
nama agamanya di kancah Nobel, Orhan Pamuk dari
Turki untuk Nobel Sastra 2006 dan Muhammad Yunus
untuk Nobel Perdamaian 2006.

By: Sorong

Wednesday, October 18, 2006

Bagaimana Menjadi Jurnalis?

Belajar meliput dan menulis berita sama dengan belajar berenang; Anda hanya bisa jika punya keberanian masuk ke air dan mulai berenang.
Menjadi jurnalis pun begitu.
Kemahiran Anda meliput dan seberapa cemerlang tulisan Anda tergantung pada pengalaman dan kesungguhan Anda belajar.
Selama Anda menghargai proses belajar menjadi jurnalis, selama itu pula pintu kesuksesan terbuka untuk Anda.
Prinsip-prinsip berikut bakal membantu Anda mengawali karir di dunia jurnalistik - jika Anda setuju, cetaklah dan tempelkan di dinding kamar Anda.

MENJADI JURNALIS
Tak ada yang menodongkan pistol ke kepala dan memaksa Anda menjadi jurnalis.
Anda datang atas kemauan sendiri, karena Anda mencintai dunia tulis-menulis, mampu mengendus berita dan punya ikatan pada orang kebanyakan.
Asah lah kerajinan menulis Anda, ketajaman akan berita dan kepekaan terhadap orang-orang di jalanan.
Asah lah selalu dan terus-menerus.Menggerutu boleh, asal jangan terlampau banyak.
Pikirkan selalu pembaca, pirsawan dan pendengar Anda.
Katakan pada mereka sesuatu yang baru, setiap hari. Itulah yang membuat mereka rela mengeluarkan Rp 1.000 atau Rp 2.000 dari kocek untuk selembar koran.
Cari tahu siapa mereka dan menulislah untuk bisa mereka baca.
Jika Anda bisa bilang "go to hell" ke mereka, Anda sendiri lah yang pertama-tama akan masuk ke neraka.
Lalu, koran atau majalah, televisi atau radio Anda.
Membacalah setiap hari - tiga atau empat buku setiap kali dan semua jenis majalah.
Bacalah sebanyak mungkin untuk menjadi penulis terbaik.
Bacalah Shakespeare dan karya-karya sastra lain seperti Anda membaca Al-Quran atau Bible sepanjang hayat.
Bacalah karya sastra klasik-untuk mengetahui bagaimana pikiran-pikiran besar masa silam mengekspresikan dirinya sendiri.
Suapi otak setiap hari, seperti Anda menyuapi perut. Petinju hebat tak bisa mengandalkan daging yang dimakannya 10 tahun lewat.
Jurnalis tak bisa menulis baik dengan pikiran 10 tahun silam.
Jagalah agar otak tetap terbuka terhadap gagasan dan pikiran baru.
Jangan arogan dan bersikap menghakimi orang lain. Mereka yang tak setuju dengan Anda tidak selalu berarti tolol atau gila.
Jauhkan diri dari memuja stereotipe. Sebab, hidup di desa belum tentu damai; birokrat belum tentu korup; haji dan pendeta belum tentu alim;
dan anak yang membunuh ibunya belum tentu durhaka.
Gali lah fakta hingga ke dasar-dasarnya.
Jangan terpukau pada omongan pejabat, para pakar, tentara, dan polisi. Kutip mereka sedikit mungkin. Gali cerita dari lapangan.
Berbicaralah dengan orang-orang di jalanan, di tempat peristiwa.

By: Pena Indonesia