Saturday, November 18, 2006

APAKAH AMERIKA TELAH "KEHILANGAN" TIMUR TENGAH?

Paris - Richard Haass, salah seorang ahli kebijakan luar negeri Amerika, menyatakan, "Era Amerika di Timur Tengah… telah berakhir." Penilaiannya yang kontroversial - yang sudah pasti ditolak oleh Presiden George W. Bush - dapat ditemukan dalam paragraf pertama artikelnya di edisi November-Desember Foreign Affairs, jurnal bergengsi Dewan Hubungan Luar Negeri yang bermarkas di New York, dengan Haass sebagai Presidennya.

Haass berpendapat bahwa dalam sejarah terakhir Timur Tengah, supremasi Amerika dapat dilihat sebagai periode keempat dominasi oleh pihak asing. Periode pertama adalah kendali Ottoman hingga Perang Dunia Pertama, kemudian kekuasaan penjajahan Inggris dan Perancis di antara dua Perang Dunia, kemudian diikuti oleh Perang Dingin, yang di dalamnya Moskow dan Washington bersaing mencari pengaruh dan membagi wilayah tersebut di antara mereka. Kejatuhan Uni Soviet sekitar 16 tahun lalu membawa ke dalam sebuah periode ketika Amerika berkuasa sepenuhnya, menikmati apa yang Haass sebut sebagai "pengaruh dan kesewenang-wenangan yang tak pernah dikecap sebelumnya".

Tetapi sekarang, katanya, era ini juga sedang menuju akhirnya, dan mungkin memang telah berakhir. Ia meramalkan bahwa wilayah tersebut akan memasuki sebuah fase di mana "para aktor luar tidak memiliki dampak berarti dan kekuatan lokal berada di atas angin."

Benarkah Haass? Ataukah ia agak terburu-buru? Apakah kesimpulannya yang muram secara tidak langsung dipengaruhi oleh kesalahan dalam penilaian, kekeliruan, dan kekacauan kebijakan luar negeri kepresidenan Bush? Dapatkah Amerika mengembalikan wewenangnya di bawah sebuah pemerintahan baru? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang cukup menarik bagi wilayah tersebut.

Mungkin hal pertama yang harus dikatakan adalah bahwa, terlepas dari kegagalan-kegagalan yang terjadi belakangan ini, Amerika Serikat (AS) masih belum benar-benar memperoleh tantangan berarti di Timur Tengah dari sebuah kekuatan atau kelompok kekuatan asing lainnya. Perang Irak mungkin memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah bencana besar, tetapi kekuatan lain mana yang mampu membelanjakan $500 miliar dolar dan menerjunkan pasukan tentara sebanyak 140.000 orang, selama waktu yang tak ditentukan, ke tempat yang jauhnya separuh dunia?

Uni Eropa (UE), yang oleh banyak kalangan diharapkan berperan sebagai penyeimbang bagi AS, jelas telah gagal memaksakan sebuah kebijakan luar negeri dan pertahanan bersama. Para anggotanya berjalan sendiri-sendiri. Mereka terpencar dalam isu-isu utama seperti perang di Irak, konflik Arab-Israel, dan tentang bagaimana cara terbaik melawan ancaman militansi Islam. Dalam kasus Irak, Inggris memilih untuk memihak AS daripada mitra-mitra Eropa utamanya, sehingga UE pun terbelah dua.

Karena pertumbuhan ekonominya yang mengagumkan, Cina muncul sebagai penantang strategis bagi Amerika Serikat, khususnya di Asia Timur. Ia jelas merupakan pesaing yang hebat dalam pencarian bahan-bahan mentah di seluruh dunia. Ia telah membangun jalan-jalan hingga pedalaman Afrika-sekitar 500.000 warga Cina bekerja di sana, kebanyakan berada di lokasi-lokasi konstruksi.

Tetapi kemitraan dan persekutuan ekonomi Cina masih belum diterjemahkan ke dalam bentuk kekuasaan kasat mata yang dapat ditampilkan AS lewat sarana armada samudera dalam yang besar jumlahnya, jaringan global pangkalan-pangkalan militer, dan supremasi teknologinya.

Perekonomian Rusia, sebaliknya, telah membaik dengan mengandalkan pendapatan dari minyak dan gas, tetapi masih sangat jauh untuk dapat memulihkan kembali pengaruhnya yang cukup besar di Timur Tengah sebagai pemasok persenjataan dan kekuatan pelindung utama beberapa negara Arab.

Mengenai para aktor lokal, yang Haass ramalkan akan "berada di atas angin", sulit untuk melihat siapa saja yang ia maksud. Semua pihak terlalu sering berseberangan satu sama lain, bangsa Arab bahkan lebih terpecah-belah dibanding Eropa. Kekayaan minyak mereka - sebagai aset utama- masih belum dimanfaatkan secara konsisten untuk tujuan politik apapun.

Iran memberikan tantangan yang lebih serius terhadap kekuasaan Amerika, tetapi ambisinya tampak murni bersifat lokal dan defensif. Ia berusaha untuk memecahkan isolasi buatan AS. Ia ingin diakui sebagai sebuah kekuatan utama di Teluk, dan sebagai pelindung masyarakat Syi’ah di mana pun. Secara militer, ia berusaha mencari sarana untuk melawan atau menghalangi serangan atas dirinya-agar tak luluh lantak sebagaimana Irak - daripada menyerang pihak-pihak lain.

Sedangkan aktor-aktor non negara, seperti Hisbullah dan Hamas, mereka tidak memberikan tantangan yang memadai dalam bentuk apapun terhadap AS. Perselisihan mereka adalah dengan Israel, dengan sepak terjang Israel di Lebanon dan Palestina yang dibiarkan saja AS. Ambisi mereka hanya terbatas pada masyarakat mereka sendiri. Jika keluhan-keluhan mereka yang absah diatasi, mereka akan berhenti menjadi sebuah ancaman.

Sementara AS tidak menemui penantang serius dalam waktu dekat, baik dari dalam maupun luar, dapatkah ia mengembalikan kekuasaannya? Tak diragukan lagi bahwa Amerika Serikat saat ini sangat tidak populer di dunia Arab dan Muslim, bahkan menjadi bahan celaan di berbagai tempat. Kelompok-kelompok militan berniat untuk menyerangnya, tentu jika mereka sanggup.

Kebanyakan rakyat Arab memandang ke belakang penuh nostalgia ke masa kepemimpinan Presiden Eisenhower, yang mengakhiri agresi Inggris-Perancis-Israel di Suez pada 1956 dan kepemimpinan Jimmy Carter yang, telah berusaha menyelesaikan konflik Arab-Israel, walaupun hanya separuh jalan, dengan mendorong perdamaian Mesir-Israel .

Lalu apa yang harus dilakukan AS untuk memperoleh kembali kepercayaan dan kredibilitasnya? Mungkin harus diawali dengan mengakui segala kesalahannya.

Kesalahan terbesar AS selama 25 tahun terakhir adalah pemberian izin pada Israel untuk memperluas permukimannya di wilayah pendudukan Palestina. Tak ada hambatan lebih besar bagi penyelesaian damai konflik Arab-Israel dan integrasi Israel ke dalam wilayah tersebut, daripada yang ditimbulkan hampir setengah juta pemukim Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Tekanan terus menerus atas bangsa Arab Palestina yang tersisa telah menciptakan gerakan militan Hamas dan membangkitkan rasa permusuhan terhadap AS di seluruh dunia Arab dan Muslim.

Kesalahan lain, yang dibuat pada masa kepresidenan Ronald Reagan, adalah membiarkan Israel menyerbu Lebanon pada 1982, dengan membunuh lebih dari 17.000 rakyat Lebanon dan Palestina. AS bahkan mencoba memberi penghargaan kepada Israel atas serbuannya dengan memaksa Lebanon menyelesaikan suatu upaya perdamaian terpisah yang menempatkannya di orbit Israel. Ketika upaya itu gagal, AS membiarkan Israel tetap menduduki Lebanon selatan selama 18 tahun, hingga tahun 2000, yang akhrinya memunculkan gerakan militan Hisbullah.

Kesalahan ketiga adalah kegagalan memperbaiki hubungan baik dengan Iran selama kurun waktu 27 tahun, sejak revolusi Islam Ayatollah Khomeini, dan tentu saja dukungan terhadap Irak dalam perang Irak-Iran (1980-88) Sebaliknya, karena marah akibat penangkapan dan penahanan para diplomatnya selama 444 hari sejak awal revolusi Iran, AS mebiarkan dirinya sendiri terjebak dalam sikap permusuhan yang tak kunjung kendur terhadap kekuatan regional utama– dan sekarang kesalahan itu dibayar dengan perlawanan Iran dalam isu nuklir.

Kesalahan keempat, yang paling besar, adalah reaksi Amerika yang tergesa-gesa dan berat sebelah akibat serangan teroris pada 11 September 2001. Perang melawan Irak, dilancarkan atas alasan-alasan palsu dan penuh kebohongan, telah terbukti merupakan kesalahan yang menghancurkan. Ia didorong oleh sebuah keinginan, tanpa berpikir panjang, untuk memberi pelajaran kepada bangsa Arab tentang kekuatan militer Amerika; dengan ambisi untuk mengendalikan sumber-sumber minyak Irak yang luas; dan juga -terutama dalam pemikiran para pejabat pro-Israel di pemerintah AS - dengan sebuah taruhan untuk memperbaiki lingkungan strategis Israel dengan mengancurkan sebuah negara Arab utama.

Perang- termasuk "Perang Global Melawan Teror", yang merupakan bagiannya - tak hanyan menyia-nyiakan sumber daya manusia dan material Amerika, ia juga telah menyebabkan kerusakan besar, yang mungkin tidak dapat diperbaiki kembali, bagi kedudukan moral Amerika.

Apa yang seharusnya dilakukan AS sekarang? Ia harus merebut kembali kemerdekaan kebijakan luar negerinya dengan membebaskan diri dari tekanan lobi dan kelompok kepentingan tertentu. Ia harus menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang begitu menyolok mata, seperti penyiksaan. Ia seharusnya mengumumkan sebuah tanggal tertentu bagi penarikan mundur pasukannya dari Irak. Dan ia seharusnya melakukan segala usaha, tenagam, dan sumber daya, bagi pemecahan konflik Arab-Israel berdasarkan kesetaraan dan keadilan.

George W Bush memiliki masa jabatan dua tahun lagi. Dapatkah ia, atau maukah ia bertindak? Akankah ramalan Haass menjadi kenyataan?

###

PATRICK SEALE, seorang penulis yang berasal dari Inggris tentang Timur tengah dan pengarang Perjuangan bagi Syria. Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama HMINEWS dengan Kantor Berita Common Ground News Service (CGNews), Washington, DC.

REPUBLIK ARTIS!!

Langkah para selebriti menuju panggung politik nasional menuju posisi pemegang kekuasaan di Republik ini semakin mantap dan meyakinkan. Itulah yang sedang dilakoni, antara lain, oleh Marisa Haque, Dede Yusuf, dan Adjie Massaid. Setelah sukses meraih kursi legislatif, mereka berbekalkan kepopulerannya mencoba memulung suara untuk posisi eksekutif, seperti jabatan gubernur atau wakil gubernur. Marisa digandeng PKS melangkah mantap di Banten. Bahkan tak hanya di Banten saja, PKS -konon- juga berminat menggandeng Rano Karno untuk diduetkan dengan callon kuat Gubernur DKI Jakarta. Di propinsi tetangganya, Dede Yusuf didukung penuh oleh PAN sedang mengincar Jawa Barat, sementara Adjie Massaid berduet dengan Gus Ipul –calon dari PKB- sedang melirik Jawa Timur. Tak dapat dipungkiri -sewaktu pemilihan anggota DPR pada waktu lalu-mereka pada kenyataannya telah menunjukkan prestasi mendulang suara yang sangat mengagumkan. Betapa tidak, bahkan suara yang didulang oleh mereka didaerah pemilihan masing-masing menunjukkan hasil yang jauh mengungguli para politisi kawakan.

Tak heran pula jika fenomena keselebritisan ini kemudian juga merasuki para politisi, para eksekutif, para ulama, bahkan para jenderal, pun mulai melakoni kiat berlagak bak selebritis diatas panggung pentas politik nasional dengan memanfaatkan politik pencitraan oleh media.
Apakah Republik kita ini sedang menuju ke zaman Republik Artis ?
***

Sekalian rakyat itu hanya audiens. Mereka mudah terpukau, tergoda, menyumpah, jengkel, menangis, dan tertawa hanya oleh sebuah realitas yang disaksikannya di televisi. Sekalian rakyat pun berubah jadi kerumunan massa yang mudah terombang-ambing dalam arus informasi yang mengalir deras. Realitas yang mereka pahami juga praktis sebatas realitas media --yang kehadirannya tak bisa lepas dari kepentingan dan keterbatasan. Apa pun, begitulah peradaban kita kini.

Seorang pemikir, ia biasa disebut filsuf, Noam Chomsky, mengingatkan kita betapa gawatnya kecenderungan ini. Sampai-sampai ia mengatakan bahwa politik itu hanya permainan media. Pria Yahudi-Amerika itu menyebut industri pers di negerinya telah tumbuh menjadi kekuasaan besar. Ia seperti punya otoritas untuk memutuskan mana baik, mana buruk, mana benar, dan mana salah.

Chomsky pun berteriak. Ia tidak rela melihat pers di negerinya berkolaborasi dengan pemerintahan Gedung Putih dan perusahaan-perusahaan raksasa, lalu bersekongkol mengamankan kepentingan bersama. Utamanya dalam kebijakan luar negeri. Tema-tema kolaborasi itu bisa tentang demokrasi, advokasi HAM, atau perang melawan narkoba. Prakteknya, semua dilakukan dengan standar ganda. "Media pers Amerika telah merekayasa kesepakatan publik," ujarnya. Kesepakatan yang ada cuma fakta media, bukan realitas publik yang sebenarnya. Kesepakatan semu. Media pers telah menjadi antek Gedung Putih dan sekalian raksasa industri di negeri adikuasa tersebut.

Namun media Amerika pula yang membuat buku Chomsky, Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance, menjadi best-seller dalam pekan-pekan ini di Amazon.com. Gara-garanya, Presiden Venezuela Hugo Chaves, ketika berpidato di depan Sidang Umum PBB, 20 September lalu, memuji-muji Noam Chomsky dan mengutip isi bukunya. Promosi gratis itu semakin menggema, karena Chaves lagi-lagi menunjukkan sikap penentangannya yang terbuka kepada si "iblis" George W. Bush. Aksi Chaves mendapat liputan luas.

Media pers sebagai institusi tentunya netral. Ia bisa menjadi sarana penyesatan publik, sebagaimana kritikan Chomsky, atau bisa menjadi fasilitas komunikasi yang berguna. Syaratnya adalah komunikasi yang jujur. Apa yang disampaikan media secara jernih dipahami publik. Di sini pers juga bisa menjadi agen demokrasi yang efektif. Ia bisa ikut memandu menuju pencapaian kesepakatan umum.

Kuncinya adalah tindak komunikasi aktif, kata Jurgen Habermas. Pemikir Jerman itu mengingatkan pentingnya media pers menjaga komunikasi dua arah secara seimbang. Komunikasi satu arah bisa membuat salah kaprah. Itulah yang biasa dilakukan koalisi birokrasi dan pemain bisnis di negara berkembang. Maka, kesepakatan yang muncul cenderung semu, distortif, dan cuma melahirkan tatanan rapuh. Maka, bagi Habermas, media perlu ikut memainkan tindak komunikasi aktif agar terjalin kesepahaman yang tanpa rekayasa.

Sebagai bagian dari dunia yang terbuka, pers Indonesia sedikit banyak terbawa oleh tren dunia. Ia juga mulai berkembang menjadi kekuatan besar yang sangat potensial untuk memegang hegemoni. Sejauh ini, sepertinya persekutuan tiga pilar --negara, dunia usaha, dan media pers, seperti gambaran Chomsky di Amerika-- tidak (belum) menjangkiti Indonesia. Pentas media bisa menjadi milik siapa saja.

Maka, dari pentas media, lahir selebriti-selebriti kondang. Mereka umumnya manusia pilihan --setidaknya berparas menawan dan berpostur menarik. Mereka pun menjadi pujaan publik dan, diakui atau tidak, punya pengaruh. Ibarat model busana, mereka juga menjadi acuan, ikut menentukan tren.

Dalam konteks ini, barangkali pendapat Roland Barthes, pemikir Prancis, jadi relevan. Fashion bisa menjadi hegemoni, dan tren busana pun seolah satu hal yang kudu diikuti. Begitu halnya pentas keartisan. Boleh jadi, ia dapat melahirkan hegemoni pula atas audiens. Fenomena ini lalu masuk ke jurusan politik ketika audiens menjelma jadi sekalian rakyat alias massa pemilih.

Di sini hegemoni keartisan akan menjadi modal politik. Bisa besar, bisa kecil. Jangan heran bila hegemoni keartisan kemudian muncul dalam pilkada atau pemilu legislatif. Bahkan ada fenomena terbalik, politikus berlaku bagai artis untuk menguatkan hegemoninya. Lepas dari soal adakah ini sistem rekrutmen yang baik atau tidak, itu barangkali kehendak zaman.

Jangan mengecam artis. Tak usah pula mempersalahkan media. Keputusan pemilih memang selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni itu. Namun, kembali pada pendapat Habermas bahwa tindak komunikasi aktif adalah cara menggugah (juga kampanye) yang rasional karena sangat kalkulatif. Wallahu'alam