Sunday, May 28, 2006

National Disaster : Sabtu Kelabu

Turut berduka cita yang mendalam kepada saudara-saudara kami atas terjadinya gempa bumi tektonik di daerah Solo, Jogja dan sekitarnya. Semoga kiranya tuhan tetap memberi ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi cobaan.


Korban yang meninggal sementara 3.002 jiwa dan diperkirakan akan terus bertambah, sementara puluahan ribu orang luka-luka dan kehilangan tempat tinggal.


Gempa yang di lansir oleh pemerintah tercatat dengan kekuatan 6,2 Skala Ritcher yang terjadi pada hari sabtu tanggal 27 mei 2006 pukul 05.53 WIB. Epicentrum gempa diperkirakan terletak di Samudera Indonesia pada kedalaman 33 KM, 37 KM dari arah selatan Jogjakarta dengan 8,26 Lintang Selatan dan 110,3 Bujur Timur. Gempa diakibatkan pergeseran pertemuan lempeng eurosia dan lempeng austarlia. Semoga dengan semua kejadian ini kita lebih dapat mengambil hikmahnya. Wallahu'alam



By : Buddy

Friday, May 26, 2006

"American Beauty" Versi Michael More

Durasi: 2:00 Rasio Aspek Teater: 1,85:1 Pemain: Michael Moore, Charlton Heston, Marilyn Manson, Matt Stone Sutradara: Michael Moore Produser: Michael Moore, Charles Bishop, Jim Czarnecki, Michael Donovan, Kathleen Glynn Skenario: Michael Moore Sinematografi: Brian Danitz, Michael McDonough Musik: Jeff Gibbs

"Kami menyukai nonfiksi tapi kami tinggal di zaman yang fiktif. Kita hidup di suatu era dengan pemilihan umum yang fiktif dan menghasilkan presiden yang juga fiktif. Kita hidup di suatu tnasa dengan orang yang mengirimkan kita berperang dengan alasan-alasan fiktif. Apakah ini soal duct tape atau orange alerts yang fik­tif, namun kami menentang perang ini Mr Bush. Kami malu dengan Anda, Mr Bush, kami malu dengan Anda. Dan setiap kali Anda mendengar Paus dan Dixie Chicks menentang Anda, waktu Anda telah usai. Terima kasih."

POTONGAN PIDATO TADI DISAMPAIKAN MICHAEL MOORE 23 MARET

Lalu saat filmnya, Bowling for Columbine, memenangi Oscar. Sikap sinis itu menuai kontroversi. Tak sedikit yang membenci. Namun tak sedikit pula pengagum sutradara film dokumenter ini. Buktinya dia menerima standing ovation dari hadirin, sambutan yang juga diterimanya ketika filmnya diputar kali pertama di Festival Film Cannes. Tak lama setelah penyelenggaraan Oscar, di aula Katedral St.


John the Divine, New York, ribuan orang antri di pintu masuk. Sahabat saya, Dhyta Caturani, mantan aktivis mahasiswa Yogyakarta yang kini bermukim di New York, ikut berdesakan. Michael Moore hendak bicara untuk sebuah acara pengumpulan dana.

Acaranya ramai. Moore lagi-lagi punya ide gendeng. Menurut Dhyta Oktober lalu, Moore mengambil mikrofon, menghidupkan ponselnya, dan melafalkan sebuah kalimat. Tak lama kemudian ia sibuk memencet telepon genggamnya. Moore meletakkan teleponnya di depan mikrofon.


Hening. Nada sambung dari telepon genggamnya memenuhi ruangan. Sejurus kemudian sebuah suara terdengar di ujung sana, "Gedung Putih, bisa dibantu?"


Moore menjawab dengan memperkenalkan diri. la lalu bilang bahwa bersamanya ada banyak orang yang ingin menyampaikan pesan untuk Presiden Bush. Lalu, bersama Moore, ribuan orang yang hadir di situ berteriak, "Mr President, your time is up".


LAHIR 23 APRIL 1954 01 FLINT, MICHIGAN

MICHAEL Moore dibesarkan dalam keluarga Katolik Irlandia. Moore tak pernah belajar film, la bahkan drop out sejak tahun kedua di universitas sebelum mulai bekerja di surat kabar berhaluan kiri Flint Voice, la menghabiskan 10 tahun di sana. Setelah menganggur pada 1986, ia mulai membuat film Roger & Me (selesai 1989). Dari mana dananya? Moore membuka usaha permainan bingo di rumahnya.

Hasilnya lumayan. Film pertamanya menarik perhatian publik. Dokumenter itu berbicara tentang apa yang terjadi di kota kelahirannya, Flint, setelah perusahaan mobil raksasa General Motors menutup pabriknya dan pindah ke suatu tempat di Mexico.

Selain sebagai sutradara, Moore juga dikenal sebagai aktivis, penulis buku, dan produser program acara televisi. la menyutra-darai dua serial televisi TV Nation dan The Awful Truth. Seperti juga film-filmnya, kedua program ini sangat satiris. TV Nation disiarkan di NBC dan kemudian Fox.

Moore menulis Downsize This'. (1997), Stupid White Men (2002), dan Dude, Where's My Country? (Oktober 2003). Pada buku pertama, Moore mengulas kejahatan perusahaan-perusahaan raksasa Amerika. Dua buku yang terakhir berisi kritik terhadap kehidupan orang Amerika dan kebijakan luar negeri negara itu.

Stupid White Men yang diluncurkan 13 Maret 2002, sempat menduduki peringkat pertama daftar buku nonfiksi harian The New York Times. Situs resmi Michael Moore www.michaelmoore.com, menyebut buku ini juga menjadi best seller di Inggris, Jerman, Australia, Jepang, Irlandia, dan Selandia Baru. Buku ini juga sudah diterjemahkan dalam 24 bahasa dan terjual lebih dari tiga juta kopi di seluruh dunia. Sekarang ia tentu tidak perlu lagi membuka tempat bermain bingo.

Tanggal 31 Oktober 2003, ketika saya mengunjungi daftar buku terlaris di situs The New York Times, buku Dude, Where's My Country? bercokol di urutan teratas kategori nonfiksi.


Moore juga sempat membuat video musik Testify berkolaborasi dengan kelompok band Rage Against The Machine. Videonya memprotes Wall Street dan dana-dana investasi Amerika yang berkeliaran di luar negeri. Karyanya ini, menurut Internet Movies Data Base (www.imdb.com), sempat membuat bursa saham New York Stock Exchange tutup lebih cepat pada suatu hari perdagangan. la sempat berurusan dengan aparat gara-gara ini.

BOWLING FOR COLUMBINE, FILM YANG MENARIK PERHATIAN PUBLIK

Amerika belakangan ini, diilhami oleh sebuah tragedi. Tanggal 20 April 1999, terjadi penembakan oleh dua orang siswa sekolah menengah umum Columbine di Littleton, Colorado, terhadap para pelajar yang sedang ramai di kantin sekolah. Duabelas pelajar dan seorang guru tewas. Pelaku penembakan itu, Eric Harris dan Dylan Kelbold, keduanya berusia 18 tahun, akhirnya bunuh diri.


Kedua remaja itu membawa beberapa senjata api dan 97 buah bom dalam berbagai bentuk serta ukuran. Bom-bom ini ikut diledakkan dalam penyerangan itu. Limapuluh lima tembakan meluncur dari senapan semiotomatis yang mereka bawa.


Bowling for Columbine diawali oleh pertanyaan Moore, "Apakah kita sebuah bangsa yang gila senjata atau kita memang gila?"

Masih di awal film, Moore terlihat menuju sebuah bank, la mengisi formulir aplikasi untuk membuka rekening. North Country Bank memberikan senjata api untuk setiap nasabah baru yang membuka jenis rekening tertentu. Selain menunjukkan betapa mudahnya mendapatkan senjata, Moore berhasil menunjukkan rasisme yang terselubung di bank itu. Kolom pertanyaan apa jenis ras nasabah, menurut petugas bank, akan memengaruhi apakah sebuah aplikasi diterima atau ditolak.

Lalu, Moore menjejalkan semua data ke penonton tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai peristiwa penting di dunia, dari 1953 sampai 2001. "Presentasi" yang diiringi lagu What a Wonderful World oleh penyanyi ternama Louis Armstrong itu diakhirinya dengan gambar dokumentasi penyerangan gedung World Trade Center pada 11 September 2001. Dengan ciamik paparan dosa AS ditutup dengan "Osama bin Bin Laden uses his expert CIA training to murder 3,000 people."


Footage menjadi andalan Moore. Tak kurang dari 58 lembaga arsip, perusahaan film, stasiun televisi, dan perpustakaan diandalkannya. Gaya jurnalistik hadir dominan dengan mewawancarai banyak orang. Narasumbernya warga biasa, bentuk pertanyaannya tidak ribet. Lagaknya seperti orang yang penuh rasa ingin tahu. Untuk menunjukkan kontras paranoia bangsanya, Moore perlu menyeberang ke Kanada. Satu per satu rumah warga didatanginya, diketuk, kalau perlu langung membuka pintunya. Apa yang didapatinya dari tindakan itu? Sederhana. Dibandingkan warga Amerika yang gila membeli senjata api untuk mempertahankan diri, kebanyakan warga Kanada tak mengunci pintu rumahnya.


Moore senang menggunakan teknik mengolah cerita dan menampilkannya sebagai sebuah konflik yang berhadap-hadapan. Sepanjang film, pola bercerita seperti ini tidak sulit ditemui. Terlihat misalnya dalam segmen Presiden National Rifle Asso­ciation Charlton Heston yang berpidato dan Tom Mauser, ayah Daniel, korban penembakan di sekolah Columbine, berorasi dalam demonstrasi menentang kedatangan Heston. Kedua orang ini seperti berdialog satu sama lain.


Jurus sama ditunjukkan ketika Moore menyajikan kontroversi kelompok religius yang mengecam Marilyn Manson, penyanyi punk yang lirik dan aksi panggungnya dituduh mengins-pirasi para siswa pelaku pembantaian di Columbine. Moore datang mewawancarai Manson. Hasilnya, wawancara Manson dan orasi sang demonstran tampil berselang-seling seperti sebuah dialog.


Marilyn Manson cukup mendapat tempat dalam Bowling for Columbine. Terlahir sebagai Brian Warner pada 1969, nama panggung bintang ini diambil dari nama depan Marylin Monroe, aktris legendaris Amerika, dan penjahat yang juga legendaris karena serangkaian pembunuhan yang dilakukannya, Charles Manson. Moore sempat dikritik lantaran menghilangkan informasi soal Charles Manson ini dalam filmnya.


Bersama dengan kelompok bandnya, Marylin Manson dikenal suka menggunakan kostum yang ganjil. la pernah menyuntik tubuhnya dengan silikon sehingga seperti postur tubuh perempuan. Terhadap tuduhan telah menginspirasikan kekerasan, Marilyn Manson menolak. la dengan cerdas justru membahas bagaimana media tidak tertarik menyoal presiden yang mefempar bom di luar negeri. Penembakan di Columbine memang terjadi di hari yang sama saat AS mengebom Kosovo.

Saat ditanya Moore apa yang akan ia sampaikan terhadap remaja dan generasi muda Amerika, Manson hanya mengatakan bahwa ia tidak akan berkata apapun pada mereka. "Saya hanya akan mendengar apa yang mereka katakan."

By: Fendry P


Masyarakat Mutamaddin dan Demokrasi Lokal Perspektif Ormas

A higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (IbnuKhaldun).

Demokrasi di tingkat lokal menjanjikan dua kemungkinan sekaligus, yakni: kemajuan dan kemunduran atau perubahan dan kemandegan. Apabila demokratisasi itu berjalan secara substatif maka perubahan menuju tata masyarakat yang maju dapat diharapkan. Sebaliknya jika proses demokrasi itu hanya menyentuh aspek-aspek yang superfisial, hanya formalitas dan ritual demokrasi belaka, maka angan-angan tentang perubahan itu hanya akan menjadi mimpi. Salah satu yang menjadi penentu apakah demokratisasi akan mengarahkan masyarakat pada peradaban yang luhur (tamaddun) atau tidak adalah masyarakat itu sendiri.

Masyarakat yang apatis dan berpartisipasi secara pasif atau oportunistik dalam konteks demokratisasi di wilayahnya sangat berpotensi untuk melahirkan kualitas peradaban yang rendah. Di dalamnya tidak ada interpersonal trust (kepercayaan antar-orang) dan civic engagement (ketelibatan sosial masyarakat) juga nihil. Padahal keduanya, menurut Putnam dalam Making Democracy Work (1993), merupakan faktor yang sangat penting (crucial) bagi kukuhnya bangunan demokrasi. Dengan demikian keruntuhan demokrasi tinggal menunggu waktuny saja.

Sebaliknya bila masyarakat memupunyai partisipasi kritis dalam konteks demokratisasi itu, maka kekuatan tamadduni bisa mengarahkan masyarakat kepada kualitas peradaban yang lebih baik. Kekuatan gerakan tamadduni yang asasnya adalah sinergi antara konsolidasi ketauhidan, sosial, dan budaya terbukti menjadi penopang utama bagi demokrasi yang bernafas keagamaan. Dalam desertasinya yang berjudul Religious Democrats (2003), Dr, Saiful Mujani mendedahkan sebuah hasil penelitian bahwa kesalehan seorang muslim mempunyai kontribusi yang positif bagi demokrasi. Menurutnya, kepercayaan kepada Allah, mengerjakan ibadah wajib, kegemaran mengerjakan amalan sunnah, dan keaktifan dalam organisasi islam maupun sekuler di tingkat lokal maupun nasional secara linear mempunyai korelasi yang langsung dan positif bagi kekuatan masyarakat sipil yang pada gilirannya menjadi pondasi bagi demokrasi yang substantif.

Oleh sebab itu, penting bagi organisasi massa atau organisasi non-pemerintah untuk melakukan gerakan partisipasi kritis terhadap proses demokrasi yang berlangsung di daerahnya. Gerakan inilah kemudian yang penulis sebut sebagai gerakan tamadduni. Ia membasiskan dirinya pada ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban adiluhung. Peradaban itu dirumuskan oleh Ibnu Khaldun sebagai A higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architectur (Mustafa Kamil Ayub, 2004).

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik Masyarakat Mutamaddin meliputi empat aspek, yakni: aspek keberagamaan (A higher form of religion), aspek kenegaraan (a well-organized state, a system of law), aspek kemasyarakatan (city life), dan aspek kebudayaan (writing (script),art, and architectur).

Tercapainya tingkat ketamaddunan yang tinggi di sebuah masyarakat memerlukan partisipasi aktif dan kritis dari masyarakat yang tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki tata kenegaraan saja, tetapi juga tata kemasyarakatan, keberagamaan, dan kebudayaan sekaligus. Artinya apa? Ritual demokrasi melalui pemilu adalah sesuatu yang perlu untuk melakukan regulasi kepempinan dan keterwakilan politik. Demikian pula adanya sistem hukum yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat juga sangat diperlukan. Akan tetapi formalisme demokrasi semacam itu saja tidak cukup. Masyarakat Mutamaddin juga membutuhkan kepeloporan organisasi-organisasi independen di dalam masyarakat untuk menggerakkan konsolidasi demokrasi di tingkat akar rumput. Hal ini utamanya bisa diperankan oleh organisasi-organisasi keagamaan non-partisan untuk menggarap perbaikan kualitas keberagamaan, meninggikan kualitas hubungan sosial, dan menumbuhkan kreatifitas kebudayaan. Oleh sebab itu penting bagi organisasi masyarakat di tingkat lokal untuk melakukan tigal utama sebagai pondasi masyarakat tamaddun di wilayahnya. Pertama, penguatan visi lokal, kedua, penguatan partisipasi lokal, dan ketiga, pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal.

Singkatnya, dalam konteks demokratisasi di tingkat lokal, kekuatan tamadduni merambah di dua aras sekaligus; negara dan masyarakat. Di satu sisi, negara harus dipaksa untuk menjadi a well-organized state yang dicirikan dengan adanya akuntabilitas, transparansi, bersih dari segala praktik menyimpang, sistem hukum yang baik, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang bertamaddun juga mempunyai partisipasi yang lebih substantif dalam konteks demokratisasi daripada hanya partisipasi formalistik melalui pemilu. Partisipasi itu pada gilirannya akan memperbaiki kualitas keberagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan. Wallahua`lam bis shawab.

By : Syifa A.W

Menunggu untuk Kematangan Demokrasi

Menarik, membincang masa depan demokratisasi di Indonesia di tengah menguatnya subkultur keagamaan pada hasil pemilu legislatif 2004 yang lalu. Tawaran yang kemudian mengemuka demi merawat masa depan demokratisasi ini adalah dengan jalan sekularisasi politik (Kompas, 8 Mei 2004). Sekularisasi politik yang dimaksud adalah membebaskan partai politik dari sentimen keagamaan.

Fenomena melambungnya suara PKS (Partai Keadilan Sejahtera) melampaui perolehan partai Islam PAN, sejatinya memberikan ruang bagi konstituennya untuk menjadikan partai ini menuju cita-cita transenden politik berupa kesejahteraan yang sejatinya (al-sa'adah al-haqiqiyah) dengan jalan menjalankan pemerintahan syari'ah (al-siyasah al-syar'iyah) secara substantif, berupa tumbuhnya rasa keadilan dan tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Pemerintah yang bersih dan peduli merupakan magnet baru.

Demikian juga secara mengejutkan perolehan dari PDS (Partai Damai Sejahtera) yang mengantongi perolehan sebanyak 2,13 persen melampaui partai-partai baru lainnya yang berbasis nasionalis dan sekuler yang hanya memperoleh suara kurang dari satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa betapa menguatnya kembali subkultur keagamaan dalam arena politik.

Tawaran sekularisasi politik dalam membaca fenomena dua 'partai sejahtera' di atas (PKS & PDS) yang mengedepankan sentimen keagamaan perlu kita sikapi secara cermat jangan sampai hal ini mengarah kepada simbolisasi agama berupa misalnya menaruh salib atau menaruh kaligrafi di istana negara seperti yang terlontar dalam diskusi Kompas tanggal 28 April 2004. Kalau kita ingin merawat demokrasi di Indonesia maka kita harus mendudukkan persoalan ini secara kritis dan jernih.

Politisasi Tuhan

Sebenarnya khittah awal munculnya 'politisasi Tuhan' dalam arena politik muncul dari doktrin agama yang menjadikan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi, yang dalam agama Islam disebut dengan konsep khalifah. Ditambah lagi dalam sejarah awal perkembangan Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad terbentuk sebuah rejim khilafah atau kekhalifahan yang mempertegas bahwa ada pertautan tegas antara agama dan politik, dimana politik harus didasarkan atas hukum-hukum agama (siyasah diniyyah) atau yang kita sebut sebagai nomokrasi religius. Penguasa akhirnya menamakan dirinya sebagai khalifatullah yang bertugas untuk menjalankan hak-hak allah atas hamba-hambanya (QS. Al-An'am: 165).

Sebenarnya konsepsi pemimpin sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) justru sedari awal sudah dijegal oleh al-Mawardi - seorang teoretikus pertama tentang politik Islam yang mengatakan bahwa penyebutan khalifatullah adalah hal yang keliru karena perwakilan hanya dapat dilakukan bagi orang yang sudah meninggal, sementara Allah bersifat abadi. Untuk mempertegas pendapatnya ini, al-Mawardi mengangkat peristiwa sahabat yang memanggil Abu Bakar dengan "wahai khalifah Allah", ia menjawab "aku bukan khalifah Allah, namun aku adalah khalifah Rasulullah).

Demikian juga hal yang sama juga terjadi pada Umar khalifah kedua, yang membentak sahabat ketika memanggilnya khalifah Allah dalam politik. Kemudian sahabat memanggilnya khalifah Rasulullah, tapi Umar balik berkata bahwa khalifah Rasulullah itu Abu Bakar yang sudah wafat. Lalu sahabat memanggilnya khalifah khalifah rasulullah. Kata Umar panggil saja aku seorang pemimpin. Dari narasi di atas jelas bahwa dalam politik termasuk sejak rezim khalifah Islam Tuhan tidak dibawa-bawa dalam politik. Bahkan Nabi Muhammad pun menjadi pemimpin bukan ditunjuk oleh Allah sebagaimana Nabi Daud melainkan diangkat oleh rakyat Madinah secara demokratis karena dianggap bisa menengahi dua kaum yang saling bertikai saat itu. Karena itu, praktek politik sejatinya harus bersifat sekuler, karena negara sekuler adalah negara madani non-aliran dan non-sektarian. Oleh karena itu dibutuhkan visi kepemimpinan postreligius dalam merawat proses demokratisasi di Indonesia.

Kepemimpinan Postreligius

Istilah postreligius di sini tidak bisa dimaknai sebagai antireligius, melainkan pembacaan terhadap hubungan agama dan kekuasaan yang melampaui agama (beyond religion). Khittah awal kepemimpinan postreligius ini adalah bahwa kalau kita percaya bahwa kenabian telah berakhir pada Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi yang berhak mengklaim sebagai penggantinya dalam urusan politik. Bagaimana mungkin kita menggantikan nabi sebagai simbol kerasulan untuk mengurusi persoalan non-kerasulan. Benar kata al-Asymawi bahwa Allah menghendaki Islam sebagai agama (din); tetapi manusialah yang menghendaki Islam sebagai politik. Mengalihkan domain agama pada ranah politik, hanya kan mempersempit ruang gerak dari agama itu sendiri. Agama akan bersifat ekslusif, temporal, picik dan sebagainya.

Oleh karena itu, harus digagas kepemimpinan politik postreligius dengan mengedepankan moralitas politik, yaitu pemerintahan yang bersih dari KKN. Bukankah kehadiran nabi Muhammad adalah pembawa pesan ketuhanan dalam rangka membenahi moralitas masyarakat dengan ucapannya yang populer: sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dalam persoalan politik nabi berpesan kamu lebih tahu tentang urusan duniamu. Wallahua`lam bis shawab

By : Buddy

Thursday, May 25, 2006

Mengapa Beragama dengan Kekuasaan?

--Sebuah Kepemimpinan Postreligius--

Allah menghendaki Islam sebagai agama (din);

tetapi manusialah yang menghendaki Islam sebagai politik (siyasah).

(Muhammad Sa'id al-Asymawi)

Pendahuluan

Sementara ini Islam dipahami oleh sebagian kalangan mencakup tiga 'D' yaitu: dindunya (dunia) dan daulah (negara). Karena watak holistik (kaffah) Islam ini, pada akhirnya Islam ditawarkan sebagai sebuah totalitas solusi terhadap kemelut seluruh aspek kehidupan, baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Inilah akar persoalan munculnya pemikiran bahwa Islam bukan hanya sekedar agama melainkan sekaligus sebagai 'agama dan negara'. (agama).

Munculnya asumsi pertautan antara Islam dan negara atau antara yang sakral dengan yang profan meniscayakan adanya negara Islam (daulah Islamiyah) sebagai sebuah 'negara ideologis'. Namun kemudian pertanyaannya adalah benarkah Islam menyediakan cetak biru (blue print) piranti kenegaraan secara given? Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi tentang pertanyaan mendasar tentang relasi agama dengan kekuasaan (politik atau negara) dan selanjutnya memberikan perspektif baru tehadap relasi agama dan kekuasaan.

Perselingkuhan Agama dan Kekuasaan

Terlebih dahulu kita harus mendudukkan perdebatan mengenai apakah keniscayaan menegakkan pemerintahan Islam merupakan suatu kewajiban keagamaan, ataukah justru suatu kebutuhan yang bersifat rasional semata-mata untuk kepentingan duniawi. Hal ini menjadi penting, untuk menentukan cara pandang kita atas sifat sakral atau profannya cara-cara pengelolaan suatu negara atau pemerintahan.

Ibnu Taimiyah menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa mengatur urusan-urusan umat manusia adalah salah satu di antara kewajiban-kewajiban terbesar di dalam agama (min a'dzam wajibat al-din), namun hal ini tidak serta merta berarti bahwa agama tidak bisa hidup tanpa adanya negara. Namun demikian kita juga tidak bisa melaksanakan hukum-hukum al-Qur'an tanpa adanya kekuasaan dan otoritas.

Agama, sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun tidak cukup hanya mencurahkan perhatian terhadap urusan duniawi belaka, melainkan lebih dari itu agama juga harus berpolitik, dengan jalan menjadi rejim politik. Kekhalifahan adalah contoh rezim Qur'ani, sebuah rezim politik yang ditasbihkan melalui kalam Ilahi, yang bidang garapannya adalah kebutuhan duniawi dan ukhrawi umat manusia. Institusi kekhalifahan adalah sebuah intitusi yang berdasarkan nomokrasi religius (siyasah diniyyah) yaitu sebuah institusi politik yang didasarkan atas hukum-hukum agama. Dan politik sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farabi adalah untuk memenuhi cita-cita transenden politik yaitu harus membawa kepada kebahagiaan yang sejati (al-sa'adatu al-haqiqiyyah), yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa'adah al-darain). Caranya adalah sebagaimana ditegaskan ibnu Taimiyah adalah dengan menempatkan syariah sebagai kekuasaan tertinggi dalam sebuah pemerintahan. Itulah sebabnya mengapa karya Ibnu Taimiyah yang ekslusif mengenai ilmu politik di beri judul al-Siyasah al-Syar'iyah (Pemerintahan Syari'ah).

Pandangan yang meniscayakan negara Islam tersebut memastikan untuk menempatkan hukum syariat (nomos) di atas segala-galanya. Mereka menyandarkannya pada tiga argumen sebagaimana tesis Abul A'la al-Maududi. Pertama, kedaulatan ada ditangan Tuhan, bukan ditangan manusia, dan manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Tuhan. Kedua, Tuhan adalah pencipta hukum yang sebenarnya (the real law-giver), sehingga Dia sajalah yang berhak membuat legislasi secara mutlak. Manusia diperkenankan membuat legislasi sepanjang legislasi itu tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Ketiga, suatu pemerintahan yang menjalankan syariah wajib memperoleh ketaatan rakyat, karena pemerintahan seperti itu pada prinsipnya bertindak sebagai badan politik yang memberlakukan peraturan-peraturan Tuhan.

Dari tesis di atas, nampak bahwa kedaulatan rakyat sangat terbatas bahkan hampir tidak ada karena diberangus oleh peraturan-peraturan Tuhan, norma-norma dan nilai-nilai Ilahi yang harus menjadi panduan mutlak. Abul A'la al-Maududi yang memperkenalkan istilah theo-democracy, ternyata dalam konsep politik dan pemerintahannya memberikan kedaulatan semu kepada rakyat, karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat terbatas di bawah pengawasan Tuhan, atau a limited popular sovereignty under the suzerainty of God seperti diistilahkan oleh Maududi.

Pemikiran kontra-demokrasi ini tentu banyak mengandung persoalan, karena di dalamya baik manusia, parlemen, ataupun penguasa tidak bisa menjadi sumber hukum. Negara tidak memiliki kekuasaan positif yang berdiri sendiri. Apa gunanya mendefinisikan lembaga politik secara tepat, kalau semua kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tak memiliki banyak ruang gerak? Kedaulatan kemudian hanya ada pada Tuhan dan hukum yang sudah diwahyukan. Sebagaimana yang ditulis al-Maududi dalam the Islamic Law and Costitution, (h. 218), bahwa "institusi apapun yang dibentuk manusia untuk menegakkan sistem politik Islam adalah negara yang tidak akan memiliki kedaulatan nyata dalam arti hukum dan politik, karena... kekuasaannya terbatas dan dibatasi oleh hukum Ilahi yang pasti ataupun tak tercampuri."

Memang konsep Islam mengenai politik dan negara belum beranjak dari titik sentral imam, khalifah, atau sultan sebagaimana riset Lambton (1985) dalam State and Government in Medieval Islam: an Introduction to The Study of Islamic Political Theory. Penguasa dilihat sebagai suatu pancaran dan delegasi dari otoritas Ilahi. Penguasa pun kemudian disebut -antara lain oleh Ibn Taimiyah-sebagai bayangan Tuhan di bumi dan bahwa kedaulatannya merupakan refleksi kemahakuasaan Tuhan. Sedangkan benteng terakhir yang mungkin dapat mengurangi kesalahannya adalah semangat keagamaan dan akhlak. Karena itulah dalam pemikiran-pemikiran politik Islam tidak dapat melampaui apa yang dikenal dengan 'nasihat untuk para raja'. Jadi, nasehat merupakan tema utama dalam pemikiran politik Islam, bukan pengawasan atau pembatasan kekuasaan.

Pada akhirnya, dalam sejarah Islam kita temukan bagaimana Tuhan dan penguasa menjadi identik, melebur, bahkan saling menguatkan. Yang pertama mencerminkan kekuasaan agama pada alam semesta, sedangkan yang kedua menggambarkan kekuasaan politik atas negara. Bahkan untuk membedakan kedua kekuasaan tersebut sangat sulit. Atau dalam istilah Hassan Hanafi sulit untuk membedakan antara dua tuhan, tuhan langit dan tuhan bumi, tuhan agama dan tuhan politik. Padahal Allah menegaskan dalam al-Qur'an bahwa Dialah "Tuhan langit dan bumi", "pemelihara langit dan bumi". "Dialah Tuhan yang di langit, dan Tuhan di bumi."

Untuk mengatasi problem adanya Tuhan politik yang memiliki karakter kekuasaan tunggal ini, menurut Abed al-Jabiri dibutuhkan suatu pemerintahan demokratis yang bertujuan mewujudkan bentuk yang paling baik dan memungkinkan, bagi penyelesaian masalah kekuasaan, yaitu dengan menjadikan para penguasa tunduk pada kehendak rakyat, atau terpaksa tunduk berdasarkan aturan dan undang-undang yang mengawasinya, dan secara aktual menyediakan perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga yang dipilih secara bebas oleh anggota masyarakat yang berhak memilih.

Keseluruhan konsepsi kontra-demokrasi ditandai oleh penafian 'sekutu' dalam kekuasaan, sementara substansi demokrasi tidak lain adalah adanya 'sekutu' dalam kekuasaan. Tauhid yang melandasi bangunan aqidah seharusnya diiringi dengan kepercayaan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah plural dan harus berpijak pada alasan pluralitas, dan sebagai awal dari sikap ini adalah keharusan bagi kita untuk mencabut sepenuhnya sifat ketunggalan dari kekuasaan manusia yaitu kekuasaan Tuhan politik.

Menggugat Agama Kekuasaan

Sebenarnya khittah awal munculnya agama kekuasaan dalam Islam adalah apa yang kita sebut dengan rejim khilafah atau kekhalifahan. Kata khalifah muncul dua kali di dalam al-Qur'an. Yang pertama mengacu pada Adam (QS. al-Baqarah: 28), dan kedua mengacu kepada Daud (QS. Shad: 26). Yang kedua ini muncul dalam konteks membawa kesan yang kuat mengenai kedaulatan, karena Daud adalah Nabi dan sekaligus raja, yang mengkombinasikan baik otoritas religius maupun otoritas politik.

Kekhalifahan historis, yang pertama dan sangat penting dalam institusi kedaulatan dalam sejarah Islam, bermula setelah wafatnya Nabi Muhammad dan pengangkatan Abu Bakr sebagai penggantinya dalam kepemimpinan komunitas Muslim. Abu Bakar merupakan khalifah yang pertama dari rangkaian panjang para khalifah. Menarik mengangkat suatu narasi yang diilustrasikan oleh Bernard Lewis bahwa "ketika Abu Bakar menggantikan Nabi, ia disebut khalifah Rasul Allah, wakil Rasul Allah. Kemudian Umar meneruskan atau menggantikannya (istakhlafahu). Seseorang datang menghampiri Umar dan menyebutnya sebagai khalifah Allah.Tapi ‘Umar membentaknya, dan lantas berkata. 'itu Daud'. Orang itu kemudian menyebutnya khalifah Rasulullah, dan Umar berkata: tapi itu Abu Bakr, yang sekarang sudah wafat." Lalu orang itu menyebutnya sebagai khalifah khalifah rasulullah, wakil dari wakil rasulullah, dan Umar berkata: "nah itu baru tepat, tapi ini akan berkembang lebih panjang lagi" dan orang itu kemudian betanya, "lalu kami harus menyebut Anda apa?" Umar menjawab: "kau adalah orang yang beriman, dan aku adalah komandanmu, maka panggillah aku komandan kaum beriman."

Begitu juga menarik mengangkat analisis dari al-Mawardi mengenai terma khalifah, yaitu sebagai khilafah an-nubuwwah atau khilafah Rasulullah dan bukan khalifatullah sebagaimana yang disebut-sebut oleh sebagian ulama' dengan merujuk pada QS. Al-An'am: 165, dimana seorang khalifah bertugas untuk menjalankan hak-hak Allah atas hamba-hambanya.

Penyebutan khalifatullah justru menurut al-Mawardi adalah tidak boleh, karena perwakilan hanya dapat dilakukan bagi orang yang sudah meninggal, sementara Allah adalah bersifat abadi. Untuk menegaskan pendapatnya ini, Al-Mawardi meriwayatkan sahabat yang memanggil Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan panggilan, "Wahai khalifah Allah" Ia menjawab, "Aku bukan khalifah Allah, namun aku adalah khalifah Rasulullah saw."

Dengan pemilihan kata kepemimpinan profetis (khalifah an-Nubuwwah) atau atau khalifah Rasulullah ini, maka menurut al-Mawardi seorang khalifah tidak bisa memiliki kekuasaan absolut dan justru bisa diturunkan dari jabatannya karena dua hal, yaitu kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya.

Dari pemaparan di atas, nampak bahwa kepemimpinan pasca Rasulullah adalah kepemimpinan yang didasarkan atas kontrak sosial sebagaimana Nabi diangkat sebagai pemimpin karena menjadi mediasi (hakam) antara kaum Khazraj dan Aus dan bukan diangkat secara langsung oleh Allah. Bahkan berbeda dengan Ibnu Khaldun yang menganggap bahwa pemerintah khulafa al-Rasyidin adalah rezim agama, Ali Abd Raziq justru menganggap bahwa kekhalifahan bukanlah rezim agama, dan bahkan lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas dari niat para khalifah-tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yang menggantikan, kedudukan Rasulullah, karena "rasul tidak pernah menjadi raja, dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan; dia adalah pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik." Jadi tidak ada peralihan legitimasi politik dari Rasulullah kepada khalifah.

Apapun bentuk kekuasaan yang dikaruniakan kepada Rasul, itu diperoleh dari misi kerasulannya. Konsekuensi logis dari argumen formal ini adalah bahwa kekhalifahan bukanlah kewajiban agama karena sang khalifah hanya dapat menggantikan Muhammad, yang merupakan simbol kerasulan, untuk urusan non-kerasulan. Karena Muhammad tidak memiliki fungsi non-kerasulan, berarti kekhalifahan tidak memiliki landasan agama.

Demikian juga al-Asymawi mengkitik tentang sistem politik Islam. Sistem politik adalah salah satu ciptaan sejarah yang tidak memiliki rujukan dalam ajaran asli Islam. Islam seolah sengaja membiarkan tidak adanya satu standar baku sistem pemerintahan, demi memudahkan kaum muslim agar menentukan sistem politik yang terbaik bagi mereka. Orang yang mengklaim adanya sistem politik Islam, menurut al-Asymawi, adalah orang yang tidak mengetahui hakekat Islam, dan tidak bisa membedakan mana Islam substantif (al-Islam al-ruhi) dan mana Islam yang historis (al-Islam al-Tarikhi). Karena sifatnya yang historis itulah, menurutnya, ia bukan Islam itu sendiri. Islam harus dipisahkan dengan politik atau dengan kata lain Islam tidak mengenal kesatuan doktrin din dan daulah. Tujuannya, jelas agar tidak terjadi politisasi agama hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.

Karena itu, praktek politik harus bersifat nir-agama untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya pendangkalan hakikat agama Islam ke tingkat yang rendah dan hina yang disebabkan oleh tindakan politik atas nama agama (bi ism al-din). Dengan demikian benar pernyataan Muhammad Syahrur bahwa yang dimaksud dengan negara Islam tidak lebih dari negara sekuler, karena negara sekuler adalah negara madani non-aliran dan non-sektarian.

Sekali lagi tidak ada dalam al-Qur'an suatu ketentuan yang mengarahkan umat Islam untuk membentuk sistem politik tertentu. "Kalau sistem pemerintahan itu merupakan hal fundamental, maka niscaya Tuhan akan mengaturnya dalam al-Qur'an". Kalau persoalan politik kekuasaan itu sangat penting dan krusial, maka tidak mungkin Tuhan lalai dan alpa dengan pokok soal ini.

Kepemimpinan (perwalian) dari rasul adalah perwalian spiritual, sedangkan perwalian pada penguasa adalah perwalian yang bersifat material. Yang pertama merupakan agama, dan yang kedua adalah dunia. Yang pertama merupakan kepemimpinan religius, dan yang kedua merupakan kepemimpinan politik. Kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan risalah dan bukan kepemimpinan seperti seorang raja.

Kepemimpinan Postreligius

Istilah postreligius bisa dikatakan relatif baru. Postreligius tidak bisa dimaknai sebagai antireligius melainkan pembacaan terhadap hubungan agama dan kekuasaan yang melampaui agama (beyond religion). Khittah awal kepemimpinan postreligius ini adalah bahwa kalau kita percaya risalah telah berakhir pada kenabian Muhammad, maka tidak ada lagi yang berhak mengklaim sebagai penggantinya dalam urusan agama (religius) alih-alih untuk kepentingan politik. Bagaimana mungkin kita menggantikan nabi sebagai simbol kerasulan untuk mengurusi persoalan non-kerosulan. Oleh karena itu tepat sekali pernyataan Muhammad Sa'id al-Asymawi dalam al-Islam al-Siyasi bahwa Allah menghendaki Islam sebagai agama (din); tetapi manusialah yang menghendaki Islam sebagai politik (siyasah). Mengalihkan domain agama pada ranah politik, hanya akan mempersempit ruang gerak dari agama itu sendiri. Agama akan bersifat ekslusif, temporal, picik dan sebagainya.

Kemudian khittah awal Islam adalah agama moral. Kehadiran Muhammad sebagai pembawa pesan ketuhanan adalah dalam rangka membenahi moralitas masyarakat Arab yang telah rusak. Nabi Muhammad bersabda bahwa aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak (innama bu'itstu li utammima makarim al-akhlak) dengan demikian, tugas pokok Muhammad sebagai Nabi adalah menyampaikan risalah kenabian yang mengandung ajaran-ajaran moral kepada umat manusia, bukan untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan. Dalam persoalan kekuasaan Nabi berpesan kamu lebih tahu tentang urusan duniamu (antum a’lamu biumuri dunyakum).

Oleh karena itu, praktek politik harus bersifat nir-agama untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya pendangkalan hakikat agama Islam ke tingkat yang rendah dan hina yang disebabkan oleh tindakan politik atas nama agama (bi ism al-din). Dan perlu diingat bahwa kepemimpinan dari rasul adalah kepemimpinan spiritual, sedangkan kepemimpinan pada penguasa adalah kepemimpinan yang bersifat material. Yang pertama merupakan agama, dan yang kedua adalah dunia. Yang pertama merupakan kepemimpinan religius, dan yang kedua merupakan kepemimpinan politik postreligius, yaitu dengan risalah dan amanah moralitas dalam persoalan keduniawian dan menghilangkan berhala-berhala Tuhan politik yang bisa memaksakan segala kehendak otoritariannya. Wallahua`lam bis shawab


By : Buddy

Wednesday, May 10, 2006

Memimpikan Indonesia Sebagai Poros Dialog Peradaban

Jakarta (7/5), Islam di Asia Tenggara, dengan kepeloporan Indonesia, memiliki peluang yang paling baik untuk menjadi poros peradaban sebab watak toleran dan moderat dari Islam di Indonesia diyakini mampu belajar, menyerap, dan sekaligus berdialog dengan pelbagai kekuatan peradaban.

Rencana kunjungan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada 10-11 Mei ini memperkuat keyakinan, bahwa Indonesia mempunyai posisi strategis dalam konteks peradaban dunia. Tidak hanya para petinggi negara-negara Barat yang melihat potensi Indonesia dalam agenda dialog peradaban. Republik Revolusi Islam Iran, sebuah negara yang dipersepsikan radikal dan dituduh sebagai poros setan pun, juga melihat posisi strategis Indonesia dalam konteks dialog dan diplomasi peradaban ini. Untuk itu, the sleeping giant yang bernama Indonesia ini harus segera bangun dan bangkit sebagai bangsa besar. Dengan kebangkitan itulah Indonesia akan mampu menjadi pusat gravitasi dialog peradaban dunia.

Kenapa Indonesia?
Negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini sebenarnya sangat potensial memainkan peran penting di dunia global. Akan tetapi pemerintah dan otoritas-otoritas yang berkompeten belum berinisiatif mengambil peran itu. Rendahnya inisiatif pemerintah terlihat dari pembangunan ekonomi yang masih berbasis pada hutang, terutama hutang luar negeri. Dan tak ada terobosan yang berarti untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kalangan masyarakat sipil juga mengidap penyakit yang serupa. Sinergi antar pemuka agama atau lembaga-lembaga non-pemerintah tak terlihat. Padahal semua itu penting untuk mengokohkan bangunan keindonesiaan, yang pada gilirannya, memperbesar kans Indonesia menjadi pusat gravitasi dialog peradaban dunia.

Namun demikian, semua itu tak menyurutkan peluang Indonesia untuk menjadi bangsa besar. Jumlah populasi yang besar dapat menjadi modal. Ditambah lagi dengan watak masyarakatnya yang toleran. Alvin Toffler, seorang futurolog, dalam sebuah ceramahnya di hadapan Muslim Melayu (Indonesia dan Malaysia) memperkuat optimisme ini. Sebagaimana dikutip oleh Dr. Mustafa Kamil Ayub (2000), ia mengatakan: You are here a test case for Islam. If you could develop your region, the center of Islam will move from the Middle East to this region. Kenapa Alvin Toffler tampak begitu optimis dengan Islam di kawasan ini? Tantu saja ada beberapa alasan. Di antaranya adalah berkaitan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang unik.
Cak Nur pernah mencatat tiga karakteristik utama masyarakat Muslim berdasarkan iklim dan alam yang mengitarinya. Pertama, Desert Islam (Islam Sahara). Islam kategori ini berada di wilayah Timur Tengah (Arab) dan kawasan Afrika Utara (White African). Ciri utamanya adalah warna tribal yang kental dan cenderung agresif. Kedua, Savanah Islam (Islam Sabana). Kaum Muslim yang berasal atau tinggal di wilayah Persia, Pakistan, dan Afrika Hitam (Black African) termasuk model Islam Sabana ini. Umumnya mereka menyukai model dan praktik keagamaan yang estetik, gnostik, dan spiritualistik. Ketiga, Archipelagic Islam (Islam Kepulauan). Ini adalah Islam yang berkembang di wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan.
Karakter keberagamaannya meski cenderung pasif tapi memiliki sikap yang toleran.

Meski pemilahan yang dilakukan Cak Nur tadi sangat bermanfaat, tapi ada beberapa wilayah yang luput. Sebagaimana diketahui bahwa Islamic hemisphere (belahan dunia Islam) tidak hanya tersebar di wilayah Arab, Afrika Sahara, Afrika Sub-Sahara, atau Melayu saja. Perlu dicatat juga penyebaran Islam di Asia Selatan (Pakistan-Bangladesh), Asia Tengah (eks Uni Soviet), Dunia Barat (Eropa dan AS), serta Islam di Cina. Semua memiliki potensi untuk menjadi pusat peradaban Islam yang koeksisten dengan peradaban-paradaban lainnya. Dari zaman klasik hingga modern peran itu berturut-turut dimainkan oleh Madinah, Damaskus, Baghdad, Mesir, Andalusia, Afrika Utara, dan terakhir Turki. Kini dunia Islam kehilangan pusat sekaligus orientasi peradabannya. Lalu, siapa yang paling potensial mengemban amanah untuk berinisiatif membangun peradaban itu?

Dunia Arab (Timur Tengah pada umumnya) di masa kontemporer tak bisa diharapkan. Selaras dengan karakteristiknya (yang tribal dan agresif), mereka selalu diwarnai dengan pusaran konflik yang tak berkesudahan. Lalu, apakah mungkin berharap kepada negeri-negeri Asia Tengah (Uzbekistan, Kazakhstan, dsb.) dan Asia Selatan (Iran, India, Pakistan)? Konsolidasi Islam di Asia Tengah belum maksimal pasca represi rejim komunis Uni Soviet. Negeri-negeri di Asia Selatan juga masih tak bisa dilepaskan dari lingkaran konflik tak berkesudahan, baik dengan negeri-negeri tetangga mereka maupun dengan dunia luar. Negeri-negeri di Afrika masih berjuang untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan politiknya. Dalam posisi yang seperti ini, maka Islam di Indonesia (plus Malaysia) sesungguhnya mempunyai peran yang sangat strategis.

Islam di Asia Tenggara, dengan kepeloporan Indonesia, memiliki peluang yang paling baik untuk menjadi poros peradaban. Ini tidak hanya didasari oleh karena Indonesia mempunyai jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Utamanya adalah karena watak toleran dan moderat dari Islam di bumi pertiwi ini diyakini mampu belajar, menyerap, dan sekaligus berdialog dengan pelbagai kekuatan peradaban. Namun disadari bahwa modal karakteristik Islam yang seperti itu saja tidak cukup. Dibutuhkan konsolidasi pondasi-pondasi peradaban yang lebih intens dan konkret.

Penguatan Tiga aspek
Pertama, yang patut dicamkan adalah bahwa pembangunan peradaban dimanapun tak bisa dilepaskan dari konstruk filosofis (mode of thought) yang melandasinya. Revolusi Prancis menghasilkan rumusan filosofis; liberte, fraternite, dan egalite. Lain halnya dengan filosofi yang melandasi Revolusi Amerika. Dengan diilhami oleh White Anglo Saxon Protestan (WASP) yang nota bene mendasarkan diri pada etika Protestan, kaum imigran di AS merumuskan filosofi revolusi negeri barunya dalam slogan; life, liberty, dan pursuit of happiness.

Untuk konteks Indonesia, Pancasila sebagai landasan teologis (filosofis) bangsa ini harus dielaborasi dan dilaksanakan secara konsekuen. Inilah konsolidasi peradaban tingkat pertama. Sayang di aspek ini Indonesia tampak belum mempunyai kekuatan enforcement untuk mempraktikkannya. Kepercayaan kepada Tuhan lazim hanya berbuah ritus. Padahal bakti kepada Tuhan meniscayakan penghargaan setinggi-tingginya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kasus pelanggaran HAM yang tak tuntas dan berakhir pada impunitas pelakunya, menandakan tidak seriusnya kita dalam agenda kemanusiaan ini.

Amanah konsolidasi peradaban yang kedua adalah keharusan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ternyata cita keadilan sosial ini juga masih jauh dari kenyataan. Meningkatnya angka kemiskinan (mencapai 30% dari jumlah penduduk) dan pengangguran (BPS 2005: 10,24%) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di negeri ini masih dinikmati oleh segelintir orang saja. Membaiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar di pasar uang tidak seiring-sejalan dengan perbaikan taraf kehidupan ekonomi rakyat di tingkat riil. Oleh sebab itu, langkah kedua dalam konteks konsolidasi peradaban ini adalah dedikasi seluruh kegiatan ekonomi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indikatornya adalah berkurangnya kemiskinan dan pengangguran secara drastis.

Kemudian, konsolidasi peradaban yang juga harus diintensifkan adalah investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Peluang perbaikan sumber daya manusia Indonesia sangat terbuka bila anggaran 20% untuk pendidikan terealisasi. Hanya saja memang diperlukan perbaikan birokrasi terlebih dahulu agar dana yang diperkirakan mencapai 125 triliun rupiah itu tidak dikorupsi dan mencapai sasaran yang tepat. Kini, yang menjadi kendala bagi pembangunan sumber daya manusia ini adalah mahalnya biaya pendidikan. Orang miskin mempunyai akses yang sangat terbatas pada pendidikan yang baik. Padahal jumlah orang miskin makin meningkat saja.

Konsolidasi peradaban di tingkat filosofi, ekonomi, dan pendidikan adalah sebuah keharusan. Filosofi yang kokoh akan memandu sebuah peradaban ke arah peradaban yang agung. Sejarah mencatat keunggulan peradaban Yunani, Arab, India, Persia, Eropa hingga Cina yang berbasis kokoh pada bangunan filosofisnya. Penopang peradaban berikutnya yang tak kalah penting adalah ekonomi. Gairah industri dan perdagangan terbukti mampu menjadi penyangga utama peradaban di Eropa dan Amerika.

Di atas itu semua adalah perlunya memperkuat basis pendidikan. Dari sinilah penyegaran filosofi berbangsa bermula, ketrampilan dan profesionalisme diasah, serta karakter sebuah generasi dibangun. Sejarah kebangkitan Jepang dari keterpurukan Perang Dunia II membuktikan kekuatan pendidikan sebagai basis pembangunan peradaban. Lalu, bagaimana dengan kita? Wallahua`lam bis shawab.

By : Syifa A.W

Sunday, May 07, 2006

Tangan

Tangan...
Tangan adalah medium...
Dimana kreatifitas...
Kasih sayang...
Bisa terungkapkan...
Melalui tangan kita berkesenian...
Berbudaya...
Melalui tangan kita berinteraksi..
Bersosialisasi...
Jadi Bersyukurlah...
Melalui tangan...
Tuhan kita telah menganugerahi...
Tangan-tangan mungil...
Untuk melahirkan...
Karya-karya seni...
Jadi jagalah tangan...
Karena ia adalah titipan...


By : Buddy

Dia

Dia yang ku sayangi
Dia yang ku kasihi
Dia yang ku cintai
Dia yang ku kagumi
Dia yang ku pujai

Tuhan...
Mengapa kau ciptakan dia
Dia yang begitu sempurna
Hatiku seakan luluh ketika
Aku memandanginya

Tuhan...
Jiwaku ingin berontak
Hatiku ingin teriak
Jantungku keras berdetak
Nurani ku ingin bergerak
Ketika ku ingat dia

Tuhan...
Aku sudah tak tahan lagi
Untuk menyimpan hati ini
Seakan ingin ku ungkapi

Tuhan...
Aku pencinta yang semu
Mencintai yang belum tentu
Hingga membuat hatiku
Menjadi tak menentu

Tuhan...
Apakah dia seperti aku
Menyayangi aku
Mangasihi aku
Mencintai aku
Mengagumi aku
Memujai aku

Mei 07, 2006


By : Buddy

Friday, May 05, 2006

May Day di 3 Mei

Jakarta (3/5), Aksi Memperingati May Day dilakukan oleh puluhan ribu buruh yang berasal dari berbagai daerah tumplek di Ibukota. Aksi mereka sudah semakin menjurus ke anarkis. Aksi ini dipicu kekecewaan para buruh atas sikap pemerintah, yang dinilai tidak mendengar hati nurani buruh dan tetap akan merevisi Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Ditambah lagi satatemen dari Wapres dengan pernyataanya yang kontoversial cenderung memancing buruh untuk berbuat lebih anarkis. Dengan rencana Undang-Undang Ketenagakerjaan itu, pemerintah dianggap condong membela pengusaha, tidak membela kepentingan kaum buruh.

Kekecewaan itu mereka lampiaskan dengan merobohkan pagar pembatas jalan TOL di depan gedung DPR dan mencabut pohon-pohon di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Dampak dari aksi demo yang sudah mengarah anarkis itu, jelas saja membuat warga Jakarta takut keluar kantor maupun keluar rumah. Pasalnya, dari pagi hingga sore hari lalu lintas di kawasan Jalan Gatot Subroto, mulai dari depan Gedung LIPI hingga POLDA Metro Jaya lumpuh total. Sehingga Polisi harus memblokir jalan dari bunderan Semanggi hingga kawasan Palmerah. Semua kendaran yang akan melalui depan gedung DPR jalan Gatot Subroto dialihkan ke jalan Sudirman.

KALAU kita amati, revisi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan dari kacamata pemerintah, untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Sedangkan dari kalangan buruh, menolak revisi UU tersebut. Pasalnya, tingginya biaya produksi bukan karena pengeluaran untuk buruh, melainkan akibat birokrasi yang tidak efisien. Kalangan buruh menuding birokrasi dan pengusaha yang korup, sebagai penyebab utama kemunduran ekonomi.

Dari 133 pasal naskah Revisi Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat beberapa pasal kontroversial, di antaranya Pasal 35, kontroversi revisi pasal 59, kontroversi pasal 155, kontoversi revisi pasal 156, pasal 158 dan kontroversi pasal 167. Pasal pasal kontroversial itu, membela kepentingan majikan daripada buruh, sehingga menyulut amarah kaum buruh.

Dengan modal berhimpun, kaum buruh punya kekuatan dan berupaya mempertahankan Undang Undang no 13 tahun 2003, dari usaha revisi yang diajukan pemerintah atas desakan para pengusaha dan investor. Dengan mempertahankan Undang Undang yang ada saja, nasib mereka masih bisa terkatung-terkatung, apalagi dengan revisi Undang Undang Ketenagakerjaan yang lebih memihak kepada majikan.

Masalah tenaga kerja nampaknya menjadi kerikil kerikil tajam bagi Pemerintah untuk investor masuk. Karena dinilai sangat penting tentang revisi Undang Undang Ketenagakerjaan itu, awal April sudah masuk ke DPR. Targetnya, sebelum akhir tahun sudah diberlakukan.

Dengan adanya kontroversi yang tajam, antara pemerintah dan pengusaha di satu pihak dan buruh di pihak lain, memicu iklim yang buruk. Baik DPR sampai Presiden SBY, tidak berani menanggung resiko dan memilih memihak kepada kaum buruh. Meski rencana revisi bakal dicabut, pemerintah mendukung pemberian hak-hak yang adil bagi tenaga kerja.

Dari sini kita mengambil kesimpulan, agar tidak terjadi ketidakadilan, antara kepentingan majikan dan buruh, maka pemerintah harus adil dalam melindungi kepentingan mereka. Dengan demikian, tidak ada lagi demo buruh yang mengarah ke anarkis. Wallahua'lam bis shawab.


By : Buddy

Pemikiran Islam: Menjemput Renaissans Ketiga

Prawacana; Sebuah Sketsa Biografis

Sejarah itu mengandung penalaran kritis (nazhar)
dan usaha mencari kebenaran (tahqiq).

(Ibnu Khaldun)

Sebuah komunitas Intelektual muda mencoba untuk mengada (dasein) di tengah-tengah episteme (cara melihat realitas) dan wacana (cara membicarakan realitas) 'baru' dalam setting pemikiran Islam serta dalam kancah percaturan intelektual di HMI.

Wacana; Napak Tilas Kebangkitan Menuju Renaisans Ketiga

"Aku Protes terhadap Eropa dan daya tarik Barat
Celakalah Eropa dan pesonanya
Segera tawan, dan lucuti senjata Gerombolan Eropa dengan bara dan api
Pencilkan dari pergaulan dunia
Hai Arsitek Tempat-tempat suci
Dunia menunggu pembangunan kembali
Bangunlah
Bangunlah dari tidur lelap
Bangunlah dari lena sekejap"

(Muhammad Iqbal)

Inisiasi kebangkitan di masa depan selalu diiringi oleh memori kolektif tentang kejayaan di masa lalu. Bukan untuk bernostalgia, melainkan untuk cermin (ibrah) dan spirit (ghirah) untuk terus melecut kreativitas-prestatif menjemput fajar kebangkitan yang dijanjikan. Karena kemajuan bukan melulu berorientasi pada firdaus masa silam, melainkan pergulatan pada realitas kekinian dengan horizon kemasadepanan. Struktur triadik inilah; firdaus masa silam, realitas kekinian dan kearifan masa depan harus terus dipertautkan. Namun begitu masa lalu bukanlah untuk dilanggengkan, tetapi untuk direkonstruksi; masa depan bukan untuk dilamunkan, tetapi untuk dipersiapkan; dan masa kini tidak mungkin dikembalikan ke masa lalu atau diajukan ke masa depan, tetapi merupakan tempat persemaian ketiga medan perlawanan sebagaimana yang dinyatakan Hassan Hanafi, yaitu kritis terhadap tradisi lama, kritis terhadap Barat dan kritis terhadap realitas kita dengan mengubah dan mengembangkannya, bukan malah menjauhinya. Ingatlah bahwa hantu gentayangan yang menggelayuti umat Islam sekarang bukanlah hantu komunisme maupun hantu fasisme, tapi suatu momok baru yang lebih menakutkan yaitu impotensi Islam di tengah kapitalisme para penganutnya.

Seruan Iqbal dalam sebuah wacananya adalah obor pergulatan kekinian dengan horizon kemasadepanan yang harus sudah matang dipersiapkan dalam 'mazhab gerak' kita. Kita memang perlu berguru kepada Iqbal dalam sikap optimisme terhadap kejayaan umat Islam di masa yang akan datang. Ia bercita-cita membangun kembali Islam dengan kejayaan dan kesederhanaannya sambil menghadapi tantangan dari ilmu pengetahuan modern dan filsafat. Ilmu pengetahuan dan filsafat modern hanyalah perluasan dari kebudayaan Islam. Saat ini Barat meminjam prinsip-prinsip petunjuk Islam untuk kepentingan intelektual dan ilmu pengetahuan mereka, sehingga kita selalu mempertanyakan, kenapa kita harus mengambil petunjuk dari Barat? Seharusnya umat Islam haruslah setia dan bertanggung jawab pada jiwa ajaran Islam, yang menurutnya "paling berkembang, paling ilmiah, dan yang paling alami dibandingkan Ilmu-ilmu yang lain di dunia."

Kadang kala umat Islam sendiri jarang memikirkan mengapa saat ini umat Islam tidak termotivasi dan terinspirasi oleh semangat perubahan ilmuwan Islam pada masa lalu. Dimana ilmuwan Islam pada waktu itu selain melakukan koreksi-kritis terhadap dominasi trend filsafat Yunani. Seharusnya kita menggali dan mengapresiasi peradaban gemilang umat Islam ini dan bukan larut dan terpesona pada penelitian dan studi pemikiran ilmuwan-ilmuwan Barat yang sebenarnya mereka pada awalnya mencontek dari pemikiran Islam, karena orang Islam yang terlebih dahulu mempelajarinya. Walaupun dengan pongahnya Barat kemudian meremehkan dan mencibir konstribusi umat Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Iqbal mencoba menawarkan solusi terhadap bagaimana caranya membangkitkan kembali keinginan belajar pada umat Islam? Ia nampaknya sudah menyusun sebuah program, dimana langkah awalnya adalah mengidentifikasi karya asli para ilmuwan Islam baru kemudian menyebarkan jiwa murni Islam dalam pemikiran religius-filsafat Islam pada orang Islam itu sendiri. Untuk tujuan ini Iqbal menggambarkan kebutuhan pendidikan dan pelatihan generasi muda Islam dalam bidang filsafat Islam, sejarah Islam, teologi Islam dan yurisprudensi Islam seperti halnya dalam pemikiran Barat modern. Generasi muda ini harus menguasai dan terspesialisasi dalam studi tentang pemikiran Yunani, Islam dan Barat.

Menjemput renaissans ketiga, yang tiada lain adalah sebuah optimisme yang sudah seharusnya kita miliki sebagai kader HMI dan umat Islam pada umumnya. Semangat ini harus menjadi obor yang tak pernah redup dipancangkan dalam setiap "mazhab gerak." Istilah renaissans biasanya dirujukkan kepada perhatian terhadap khazanah intelektual Yunani yang dianggap sebagai biangnya pemikiran rasional-filosofis. Sehingga renaissans pertama harus diidentifikasikan kepada renaissans Islam yang ditandai oleh maraknya penterjemahan warisan klasik Yunani pada abad ke-9 dan awal abad ke-10 atau abad ke-3 dan ke-4 Hijriah. Proses penterjemahan ini pada gilirannya menjadi bahan dasar (raw material) bagi pembentukan sintesis-sintesis agung yang dilakukan oleh Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Mulla Shadra. Renaisans kedua adalah renaisans Barat pada abad ke-14 hingga abad ke-16, dimana ribuan karya-karya besar ilmiah dan filosofis muslim diterjemahkan secara besar-besaran sehingga memicu dan mengilhami Renaissans di Eropa. Seandainya Eropa dulu tidak berkiblat ke Islam maka terjadinya revolusi ilmiah yang sekarang menandai peradaban Barat modern tak mungkin akan pernah terbayangkan. Dan Renaissans ketiga, setelah Arab dan Eropa tentunya kita berharap akan terbit di negeri kita ini dan kader HMI harus menjadi pelopornya, sebagaimana telah diramalkan oleh mendiang Fazlur Rahman, bahwa kebangkitan Islam pada masa mendatang akan muncul bukan di dunia Arab, melainkan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia. Dan kemungkinan untuk meraih Renaisans ketiga ini sangatlah besar, mengingat tersedianya khazanah intelektual Islam yang sangat luas dan terbentangnya pemikiran ilmiah dan filosofis Barat di hadapan kita. Satu hal yang perlu kita ingat bahwa peluang emas ini tidak bisa terjadi hanya dengan sikap menunggu saja, melainkan harus dijemput, karena kalau tidak kita mungkin akan kehilangan peluang emas ini untuk selama-lamanya.

Laksana; Tadarus Atlas Pemikiran dan Epistemologi Islam

"Aku ada karena aku bergerak
bila kuberhenti aku pun mati"
"Manusia adalah ombak yang selalu bergerak,
ia bukanlah pantai yang selalu diam"

(Muhammad Iqbal)

Dengan sederet narasi di atas maka kita dalam alam kesadaran akan kekinian dengan menelaah berbagai metodologi dan pemikiran Islam kontemporer. Adapun epistemologi Islam ini didasarkan pada pemikiran bahwa paradigma keilmuan kita sekarang adalah paradigma tahafut (incoherence). Paradigma keilmuan Barat yang mencekoki kita dibangun di atas simpton paradigma keilmuan tahafut al-falasifah. Demikian juga tradisi keilmuan dunia Islam sekarang disinyalir sebagai ikon dari tahafut a-tahafut. Diagnosa tahafut ini ternyata bersumber dari anthrax pikiran atau HIV (Human Intelligence Virus) yang menimbulkan AIDS (Acquired Intelligence Deficiency Syndrome) akibat dari sekularisme dan saintisme yang menjadikan kacamata empirisme sebagai kacamata penjelas universal atas realitas wujud.

Dari kenyataan di atas, tentu saja kita memerlukan terapi epistemologis menuju keselarasan pengamatan empiris, pemikiran rasional, dan pengalaman spiritual, ketiganya memiliki kesepaduan paradigmatik dalam dua ranah; teoretis dan praktis. Kesepaduan teoretis menyatukan al-ilm, al-hikmah, al-kitab atau sains-filsafat-agama (QS. An-Nisa':113). Sedangkan kesepaduan praktis adalah al-kitab, al-huda dan al-ilm atau agama-etika-teknologi (QS. Luqman:20). Dengan kajian intensif dan tematis tentu kita akan menguak selubung epistemologis yang bisa membukakan selimut kalbu (almuzammil) dan kerudung akal (al-Muddatsir) menuju kebangkitan (al-Qiyamat) atau Renaisans ketiga?

Problema; Sebuah "Mazhab Gerak" yang Terlelap

"Tanda seorang kafir adalah ia larut dalam cakrawala dan tanda seorang mukmin adalah bahwa cakrawala larut dalam dirinya"

(Muhammad Iqbal)

Postwacana; Secercah Asa yang Membentang

"Saya persembahkan tulisan ini
untuk setiap orang yang mau berubah,
lalu bergerak, melompat dan menciptakan hal-hal baru"

(Hassan Hanafi)

Penutup

Lipatan totalitas wacana di atas menyiratkan pada pembangunan epistemologi yang holistik. Yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini, sanggupkah umat Islam merebut Reanaisans ketiga? Hanya umat Islam sendirilah yang dapat menjawab tantangan tesebut. Dus, wacana yang bisa menjadi lembaran berikutnya adalah persentuhan agama yang merupakan tonggak peradaban masa lalu dengan sains yang merupakan tonggak dan lokomotif peradaban modern. Demikian juga perlu ditumbuhkembangkan kajian-kajian multidisipliner sehingga sains tidak menjebak dirinya pada parsialitas realitas, namun merupakan bangunan holistik-dialogis antar wilayah kebudayaan dan peradaban manusia; misalnya, dialog antar filsafat dan sains, filsafat, agama dan sains, fislafat dan kebudayaan kontemporer dan sebagainya. Wallahu 'alam Bish Shawab.

By : Buddy