Tuesday, December 26, 2006

PUISI POLIGAMI

Istriku,
Jika engkau bumi, akulah matahari
Aku menyinari kamu
Kamu mengharapkan aku
Ingatlah bahtera yg kita kayuh, begitu penuh riak gelombang
Aku tetap menyinari bumi, hingga kadang bumi pun silau
Lantas aku ingat satu hal
Bahwa Tuhan mencipta bukan hanya bumi, ada planet lain yg
juga mengharap aku sinari Jadi..
Relakanlah aku menyinari planet lain, menebar sinarku
Menyampaikan faedah adanya aku, karna sudah kodrati
dan Tuhan pun tak marah...


Balasan Puisi sang istri ...

Suamiku,
Bila kau memang mentari, sang surya penebar cahaya
Aku rela kau berikan sinarmu kepada segala planet yg pernah
TUHAN
ciptakan karna mereka juga seperti aku butuh penyinaran dan
akupun juga
Tak akan merasa kurang dengan pencahayaanmu
AKAN TETAPIIIIIIII. .......
Bila kau hanya sejengkal lilin yg berkekuatan 5 watt, jangan
bermimpi menyinari planet lain!!!
Karena kamar kita yg kecil pun belum sanggup kau terangi
Bercerminlah pada kaca di sudut kamar kita, di tengah remang-
remang
Pencahayaanmu yg telah aku mengerti utk tetap menguak mata
Coba liat siapa dirimu... MENTARI atau lilin???!!

"AKU"

Aku Pria Jalang
Dari Kumpulannya Yang Terbuang
Aku Kecantol Wanita Jalang
Demi Tubuhnya Kuhambur Uang
Gejolak Hasrat Nafsu Berpetualang
Membuat Masakan Di Rumah Terasa Kurang
Aku Anak Manusia, Aku Anak Malang
Affairku Akhirnya Tercium Orang
Karir Suksesku di DPR Akhirnya Hilang
Karena Ada Kelemahanku Yang Bisa Diserang
Semuanya Hancur Gara-gara Selembar Kutang
Kepada Siapa Aku Pantas Berang?
Semua Kesalahan Kulimpahkan Kepada Si Jalang
Tetapi Sebenarnya Godaan Si Wanita Jalang
Takkan Mempan Kalau Akunya Sendiri Tidak Jalang!
Kesadaran Selalu Datang Menjelang Petang
Kini Yang Ku-punya Tinggal Tulang
Tapi Sebelum Aku Berpulang
Aku Ingin Berpesan Kepada Sesama Hidung Belang !
Kiamat segera datang...... .!!!!
Tobatlah mulai sekarang.... ..rang..rang. rang..


By : (YZ)
Nb: YZ membuat puisi yang menggambarkan keresahan hatinya....he. ..he...he..please enjoy....(^_ ^)v

HAPUSKAN KOMISARIAT DAN KEMBANGKAN LEMBAGA KEKARYAAN

Siapakah yang akan direkrut menjadi calon kader HMI ? Jawabannya pasti mahasiswa, tepatnya mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang mana ? Jawabannya yang berkualitas. Sebelum menjadi mahasiswa, dari manakah mereka berasal ? Jawabannya dari pelajar SMA. Apa saja yang mereka lakukan sewaktu jadi pelajar SMA ? Jawabannya adalah belajar, belajar dan belajar. Sebagian kecil dari mereka menjadi aktifis OSIS tapi kegiatannya hanya sebatas Pramuka, UKS, PKS, Pecinta Alam dan beberapa aktifitas lainnya. Dari mereka mereka inilah para calon kader HMI itu berasal. Tanpa basic organisasi sama sekali. Dulu, sebelum zamannya OSIS, zamannya para organisasi pelajar, masih banyak para palajar yang menjadi aktifis organisasi pelajar, seperti PII dan lain sebagainya. Sehingga ketika ketika mereka menjadi mahasiswa, mereka cenderung memilih organisasi mahasiswa yang menjadi kakak dari organisasi pelajar yang digelutinya dulu. Seperti HMI yang kakaknya PII sering mendapat suplai kader dari para mantan aktifis PII. Sekarang tidak lagi, suplai calon kader HMI berasal dari yang nol pengalaman organisasinya, tak terkecuali penulis sendiri dulunya begitu. Secara singkat saya mengambil kesimpulan bahwa para calon kader adalah buta organisasi. Mereka menjadi mahasiswa adalah ingin menuntut ilmu dan menjadi sarjana. Seorang mahasiswa teknik ingin jadi Sarjana Teknik. Seorang mahasiswa ekonomi ingin menjadi Sarjana Ekonomi. Seorang sarjana kedokteran ingin jadi Dokter. TAK SATUPUN INGIN JADI AKTIFIS MAHASISWA, apalagi ingin Drop Out kuliahnya.

Ketika mereka memasuki kehidupan sebagai mahasiswa, mereka langsung bergabung dalam wadah Himpunan Mahasiswa Jurusan, sebuah wadah yang penuh dengan semangat profesi. Di saat itu pula mereka mengenal yang namanya BEM Fakultas dan BEM Universitas. Pikiran dan paradigma mereka langsung diisi oleh wajah intra kampus. Setelah itu baru kita datang memperkenalkan HMI sebagai sebuah wadah organisasi Muslim Intelektual Profesional calon Pemimpin Bangsa

Para mahasiswa baru tentu akan membanding- bandingkan, mana yang akan digeluti atau sama sekali tidak bergabung dengan keduanya, cukup kuliah saja, dan yang terakhir ini jumlahnya mayoritas.

Ada apa dengan mereka semua ? Benarkah mereka semua sudah tidak peduli dengan bangsa dan negara ini ? Saya tidak percaya, malah ketika berdiskusi dengan beberapa di antara mereka, ternyata kepedulian mereka melebihi kepedulian kita dan saya pribadi berkesimpulan : Mereka inilah yang kita cari, The Real (Calon) HMI.

Kalau kita masih ingin mendapatkan calon kader dari kelompok The Real (Calon) HMI ini, sebenarnya kita bisa bertitik tolak dari semua kondisi di atas, maka pintu awal untuk memperoleh The Real (Calon) HMI tersebut haruslah berbentuk PINTU PROFESI. Dan kita memiliki itu. dialah yang namanya Lembaga Kekaryaan.

Selama ini pintu masuk bagi calon kader HMI adalah Komisariat dan penampilan Komisariat sendiri untuk kondisi sekarang tidak kompetitif lagi, baik ditinjau dari Student Need dan Student Interest serta kemampuan bersaing dengan BEM fakultas dan BEM Universitas yang umumnya jauh lebih senior dan berpengalaman. Apalagi dengan adanya berita skandal YZ dan ME akan menambah suram wajah kita.. Bagi saya, HAPUSKAN SAJA KOMISARIAT. (Walaupun saya pasti sangat kehilangan Komisariat Teknikku yang sangat kucintai sepenuh hati). Serahkan saja urusan rekrutmen kader kepada pengurus Cabang dan Lembaga Kekaryaan. Lembaga Kekaryaan diperkuat karena akan menjadi Wajah Terdepan HMI bersinggungan dengan kehidupan kemahasiswaan di tingkat massa.

Pada tahap awal kita akan mendapatkan kader yang memiliki orientasi akademis yang sangat tinggi serta orientasi profesi yang dominan. Tapi yang penting adalah kita bisa mendapatkan The Real (Calon) HMI tersebut, mereka mereka yang berinteligensi tinggi dan kategori unggulan. Dan nantinya pada perjalanan dan melewati proses perkaderan akan bisa dibentuk melalui internalisasi nilai-nilai non akademik dan yang terpenting internalisasi nilai-nilai WIRAUSAHA yang akan menjadi ISU UNGGULAN HMI ke depan. Internalisasi ini selain lewat pelatihan formal juga akan lebih tertanam lewat pergaulan keseharian dengan para senior dan alumni. Dan tentunya materi Latihan Kader I akan berobah. Latihan Kader I akan didominasi materi profesi dan wirausaha sementara materi non profesi / wirausaha untuk sementara jadi tidak dominan lagi tapi tetap menjadi materi wajib dan menentukan. Bila perlu namanya diganti saja, jangan Latihan Kader I lagi, tapi Latihan Kader Wirausaha Profesional. Hanya sekedar wacana hehehe..... semoga HMI kedepan dapat menjawab semua tantangan-tantangan ummat serta dapat selalu menciptakan calon-calon ruling ellite bangsa kedepan. Wallhu'alam.

Pro HMI Sparatis

AKU AKAN MENANGGAPI DENGAN HURUP KAPITAL

> Tanggapan :
> Ass. wr.wb.
WSS. WR. WB.

> Saya bisa memahami keresahan dari sdr Ibnu Sina tentang
>HMI yang
> sekarang sudah kehilangan identitas & idealisme
>organisasinya.
> Khususnya di tingkatan Badko & PB HMI. Hingga di antara
>kawan-kawan
> ada joke :
> " Jika kalian ingin mencari idealis maka carilah di
>Komisariat. Karena
> HMI merupakan organisasi yang paradox. Semakin tinggi
>strukturalnya,
> semakin merosot pula idealismenya.
> Jika diambil presentase maka idealisme :
> Pengurus komisariat adalah 80 - 100%
> Pengurus korkom adalah 70 - 85%
> Pengurus Cabang adalah 55 - 80%
> Pengurusbadko adalah 30 - 50%
> Pengurus PB masih syukur jika bisa sampai 25%
> selebihnya adalah birahi politik & kekuasaan"
SEPERTINYA GEJALA INI HANYA MENJAMUR DI TEMAN-TEMAN DIPO
DEH. AFWAN YA....

> Tapi apakah kita akan mendiamkan saja keadaan ini?
>Sebagai kader yang
> masih memiliki kepedulian akan HMI tercinta, tentu kita
>tak bisa
> berdiam diri. Seperti kata Rasulullah :
> "Jika kamu melihat kemungkaran maka cegahlah dia dengan
>tanganmu
> (kekuasaan)
> Jika kamu tak mampu cegahlah dengan lidahmu (kritik)
> Jika tak mampu juga maka cegahlah dengan hatimu
> maka itulah selemah-lemah iman {tapi apakah kita mau
>disebut sebagai
> orang yang memiliki iman paling lemah?}"
> Mari kita perbaiki himpunan tercinta ini dengan
>kemampuan yang kita
> miliki.
> Tapi dalam ushul fiqh juga dinyatakan:
> "Menghindari mudharat lebih diutamakan dari mencari
>manfaat"
> Karena itu perlu dipertanyakan apakah pembentukan pro
>hmi baru hmi
> sparatis tidak malah menimbulkan mudharat bahu, dengan
>semakin
> terkotak-kotaknya umat wabil khusus kader2 HMI?
SEPAKAT!!!

> Kita selama ini sudah merasa terluka dengan adanya
>perpecahan antara
> HMI Dipo & HMI MPO yang sampai masih belum bisa
>terselesaikan, walau
> permasalahan dasarnya sudah tak ada lagi (permasalahan
>azas).
MASALAH AZAS SUDAH SELESAI...TAPI TIDAK MASALAH KULTURAL
BOS...LIAT AJA SAUDARA KITA YANG DI DIPO GIMANA GAYANYA?

Apakah
> ketika kita kita berbeda kita harus membentuk kelompok
>sempalan baru?
> Kalau seperti ini terus bukan problem solving yg
>terjadi, namun malah
> menghadirkan permasalahan baru.
> Menurut pendapat saya, kita harus melihat permasalahan
>secara
> menyeluruh. Permasalahan utama HMI bukan permasalahan
>struktral (namun
> bukan berarti permasalahan ini tidak penting). Tapi
>permasalahan
> mendasar ada pada proses kaderisasi di HMI.
SEPAKAT SAMPAI DISINI KANDA

Ada beberapa
>pertanyaan
> mendasar yang harus kita jawab dengan jujur:
> 1. Sudahkah kita melaksanakan proses kaderisasi secara
>maksimal sesuai
> dengan tujuan kaderisasi HMI?
SEPERTINYA BELUM TUH

> 2. Sudah berhasilkah kaderisasi di HMI?
SEBAGIAN AKU BERANI MENJAWAB IYA!

> 3. Sudahkah perkaderan terlepas dari kepentingan2 non
>perkaderan
> (seperti kepentingan politik misalnya)?
INI HAL YANG NONSENSE, PERKADERAN JUSTRU HARUS PEKA DENGAN
INI MESKIPUN TIDAK BOLEH LARUT, KARENA KITA MENGKADER BUAT
UMMAT, TERMASUK MASALAH POLITIK UMMAT TENTUNYA. BUKAN
BEGITU?

> Sekian lama saya berkecimpung di HMI ada beberapa titik
>lemah
> kaderisasi HMI:
> 1. Kaderisasi hanya berorientasi rasionalisme dan
>politic oriented.
> Lemah dalam membentuk ruhiyah dan pembinaan nafsiyah
>(pribadi).
> Sedang, dalam tujuan HMI disebutkan bahwa HMI
>bernafaskan Islam. Namun
> hal ini belum sepenuhnya tercermin pada diri kader2 HMI.
KALAU KADER DI DIPO IYALAH...INI KARENA KONSTRUKSI NDP
YANG MODERNIS BANGET SECARA FILOSOFIS...

> 2. Kaderisasi di HMI kurang menyesuaikan dengan
>kebutuhan zaman.
> Kaderisasi lebih banyak mengacu pada penilaian IQ, namun
>kurang
> pengembangan EQ & SQ (adalagi yang terbaru AQ&OQ).
INI AKIBAT KARAKTER INSAN AKADEMIS + BERNAFASKAN ISLAM
INI NYATA NYATA SEKULAR, ADA DUA BANGUNAN YANG DIBANGUN
BERSAMA TAPI TIDAK UTUH --> IPTEK DISATU SISI, IMTAQ
DISATU SISI

BERBEDA DENGAN INSAN ULUL ALBAB (KADER CITA HMI MPO) YANG
MENYATUKAN FIKIR DAN DZIKIR SECARA INTEGRAL DAN HOLISTIK
LIHAT QS. 3 : 190-191 DISANA ULUL ALBAB ADALAH MEREKA YANG
PADA SAAT BERFIKIR MAKA PADA SAAT ITU JUGA BISA DISEBUT
BERDZIKIR.

> Ini dulu sebagai bahan renungan bagi kita semua &
>sebagai langkah awal
> guna menyongsing HMI baru yang lebih berorientasi pada
>kepentingan
> umat & kepentingan rakyat serta pantas bergabung dalam
>kelompok
> syahidullah.
KEANGKUHAN NDP MEMBUAT KADER DIPO MENGALAMI KEPERIBADIAN
TERBELAH YANG AKUT.
INILAH PERSOALAN MENDASAR PERBEDAAN DIPO DAN MPO
BUKAN LAGI HANYA PADA KATA "ISLAM DI MPO" DAN "PANCASILA
DI DIPO"
PERBEDAAN SEKARANG TERLETAK PADA:
"ISLAM = NDP, DI DIPO"
"ISLAM = KHITTAH PERJUANGAN, DI MPO"
TAFSIR ISLAM INILAH YANG MEWARNAI PERBEDAAN YANG ADA KANDA
TIDAK SESEDERHANA KATA ISLAM DAN PANCASILA SEMATA.

> Af1 jika ada kata2 yang menyinggung tapi ini hanyalah
>sebagai bentuk
> ukhuwah & kecintaan pada HMI & seluruh kader
>hijau-hitam.
AKU JUGA MELAKUKANNYA DEMI UKHUWAH, DAN SEMANGAT SALING
BERTABAYYUN.
KALAU MAU SERIUS MENGURUSI PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DIPO
DAN MPO, JANGAN CUMA LIHAT BAHWA DIPO SUDAH ISLAM LAGI....
MOHON MENILAI SECARA SERIUS
JANGAN MENYEDERHANAKAN MASALAH
MESKIPUN INI TIDAK BERARTI BAHWA PERSOALAN HARUS DIPERUMIT
LHO.

> Billahi taufiq wal Hidayah
> Wassalamu'alaikum wr.wb
ASSALAMU ALAIKUM.

Thursday, December 07, 2006

Temasek dan Ancaman Iklim Persaingan di Industri Telekomunikasi

Wacana pembelian kembali ( buy back ) saham Indosat yang saat ini dikuasai oleh Temasek, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan. Berbagai elemen masyarakat, baik dari dunia usaha, masyarakat awam ( konsumen ) dan politisi sekalipun tentu mulai bertanya-tanya, ada apa ( lagi ) dengan Indosat? Jauh-jauh hari sebelum saham Indosat jatuh ke tangan perusahaan pelat merah asal Singapore ini, pertanyaan semacam ini sudah diramalkan akan muncul dikemudian hari mengingat proses privatisasi perusahaan ini dilalui dengan jalan yang boleh dikatakan tidak mulus atau penuh dengan kontroversi ( baca: masalah ).

Awal sekaligus akar dari masalah ini bermula pada saat pemerintah Megawati “diburu” target untuk melakukan privatisasi guna menutup deficit anggaran. APBN sudah sangat berat menanggung beban pembayaran hutang beserta bunganya yang mencapai kurang lebih 30% dari total dana APBN. Praktis, tujuan privatisasi untuk memperbaiki kinerja perusahaan sekaligus kinerja pasar industri telekomunikasi secara keseluruhan tidak menjadi pertimbangan utama. Kondisi seperti ini mempercerminkan posisi tawar ( bargaining power ) yang lemah disatu sisi dan memperkuat bargaining power calon investor disisi lain. Dampaknya dalam proses pelepasan saham Indosat, pemerintah terkesan under pressure dan kondisi ini menimbulkan masalah besar di kemudian hari.

Paling tidak ada dua masalah derivatif yang sebabkan posisi pemerintah tersebut, yaitu masalah yang terjadi sebelum dan pada saat proses privatisasi ( pra privatisasi ) dan masalah yang terjadi sesudah privatisasi ( pasca privatisasi ).


Masalah pra privatisasi

Seperti telah dipaparkan dimuka bahwa dalam melakukan privatisasi ini pemerintah terkesan memaksakan sehingga banyak sekali masalah-masalah yang terjadi baik masalah yang menyakut kode etik dunia usaha maupun masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran konstitusi. Beberapa masalah tersebut antara lain pelanggaran UUD pasal 33 ayat 2 dimana disebutkan dalam pasal tersebut bahwa cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dan selanjutnya dikuatkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf (c) UU No 1 Tahun 1967 tentang PM sebagaimana diubah dengan UU No.11 Tahun 1970. Berdasarkan pasal ini, salah satu bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah telekomunikasi, karena itu a) harus dikuasai Negara dan b) tertutup bagi PMA secara penuh. Tampak begitu gamblangnya pelanggaran konsitusi ini, akan tetapi tidak sedikitpun digubris oleh pemerintah,

Masalah lain yang muncul adalah sehubungan dengan pembeli Indosat. Divestasi Indosat jelas sarat dengan sejumlah kebohongan publik. Sebut misalnya mengenai siapa yang benar-benar bertindak selaku pembeli Indosat. Menurut keterangan resmi pemerintah, yang terdaftar sebagai salah satu calon pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan Singapore yang bernama Singapore Technologies Telemedia (STT). Tetapi, sebagaimana terungkap kemudian, pada saat penandatanganan kontrak jual-beli ( Sales and Purchasing Agreement ), yang membubuhkan tanda tangan selaku pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan asal Mauritius, yang bernama Indonesian Communication Limited (ICL).

Bagaimana halnya dengan persoalan harga jual 41,9 persen saham Indosat sebesar Rp 12.950 per lembar saham itu? Benarkah nilai jual Indosat sebesar itu? Bukankah Indosat memiliki enam anak perusahaan, diantaranya PT. Lintasarta dan PT. satelindo, belum lagi lebih dari 30 perusahaan yang beraviliasi dengan Indosat?. Sehingga dapat dikatakan bahwa penetapan nilai jual yang didasarkan pada nilai saham yang tercatat di bursa jauh dari nilai jual yang sebenarnya. Dugaan permainan orang dalam pun ( insider trading ) tidak bias terelakkan.


Masalah pasca privatisasi

Masalah selajutnya adalah terkait dengan status kepemilikan Indosat setelah diprivatisasi. Pertanyaan yang muncul adalah siapa pemilik Indosat sebenarnya? Benarkah “privatisasi” Indosat murni privatisasi. Privatisasi yang sejatinya adalah pengalihan kepemilikan dan kendali perusahaan dari pemerintah ke sektor swasta ( private sector ) sebenarnya tidak terjadi pada kasus Indosat, yang ada adalah pengalihan kepemilikan dan kendali dari pemerintah Indonesia ke pemerintah Singapore. Mengapa demikian? Singapore Technoligies Telemedia yang membeli saham Indosat melalui sebuah Special Purpose Vihicle yang bernama Indonesia Comunication Limited ( ICL ) merupakan anak perusahaan Temasek Holdings yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Singapore.

Kepemilikan Indosat oleh pemerintah Singapore sudah jelas bertentangan, bukan hanya dari sisi konstitusi, akan tetapi juga dari sisi prinsip privatisasi itu sendiri. Tentu saja masalah tidak hanya berakhir sampai disini. Kepemilikan Indosat oleh Temasek holdings, berdampak pada struktur industri telekomunikasi di Indonesia. Pasalnya dalam industri telekomunikasi, Temasek bukan hanya memiliki Indosat dengan jumlah saham 41%, akan tetapi melalui Singapore Telekomunikation Limited ( Singtel ) dan anak perusahaanya ( Singapore Telecom Mobile Pte Ltd ) Temasek Holdings juga menguasai PT. Telkomsel dengan penyertaan saham sebesar 35%. Telkomsel sebagai perusahaan seluler terbesar di Indonesia memiliki pangsar pasar sebesar lebih dari 50% sedangkan Indosat menguasai sekitar 28 % dan jika digabungkan, maka praktis Temasek memegang posisi dominan dalam pasar industri telekomunikasi khususnya seluler.

Dalam analisa ekonomi industri, struktur pasar ( Structure ) akan memperngaruhi perilaku ( conduct ) perusahaan dalam menjalankan usahanya dan pada akhirnya akan berdampak pada kinerja ( performance ) ekonomi dalam pasar tersebut secara keseluruhan. Sejatinya privatisasi diharapkan dapat menciptakan iklim persaingan sehingga tercapai kinerja ekonomi yang efisien dan transparan. Akan tetapi yang terjadi pada industri telekomunikasi kita tampaknya tidak demikian. Struktur pasar telekomunikasi di Indonesia secara nyata hanya didominasi oleh dua perusahaan yang notabene berada dalam satu payung perusahaan induk yaitu Temaseks Holdings.

Kondisi ini secara ekonomi sangat menghambat iklim persaingan dan pada akhirnya akan berdampak terhambatnya usaha mencapai efiensi ekonomi atau pencapaian harga pasar, dan pada akhirnya masyarakat khususnya sebagai konsumen akan menggung kerugian ini semua. Karena dalam struktur pasar yang monopolistik atau oligopolistik harga yang diterima konsumen bukanlah hasil mekanisme pasar melainkan hasil perilaku dari produsen yang memiliki kekuatan menetapkan harga (monopoly power). Perusahaan yang memiliki monopoly power secara otomatis akan memiliki perilaku ( conduct ) yang mengarah pada pelanggaran prinsip-prinsip persaingan karena perusahaan dihadapkan pada rasionalitas untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya ( maximum profit )

Beberapa pelanggaran itu secara factual telah dilakukan oleh Temasek seperti yang diungkap oleh Federasi Serikat Pekerja- BUMN BERSATU akhir-akhir ini. Pelanggaran itu antara lain, dugaan adanya kesepakatan penetapan harga tarif telephone seluler, dugaan persekongkolan tender yang memenangkan hampir semua tender proyek di wilayah Jawa-Bali, adanya rangkap jabatan dimana sejumlah posisi kunci di Telkomsel dan Indosat telah diduduki “orang-orang” Temasek, dan masih banyak berbagai pelanggaran prinsip persaingan lain sebagai akibat dari posisi dominant yang dimiliki Temasek dalam Industri telekomunikasi di Indonesia.

Komite Pemantau Persaingan Usaha ( KPPU ) yang bertanggung sebagai regulator sekaligus hakim dalam dunia usaha di Indonesia harus membuktikan kesungguhannya dalam menjamin adanya persaingan yang sehat dalam industri telekomunikasi. Adanya indikasi pelanggaran prinsip-prinsip persaingan ini, yang dalam konteks Indonesia tercermin dalam UU No.5 tahun 1999, akan mengancam memburukkan performa dunia usaha dan pada akhirnya dalam jangka panjang akan merugikan perekonomian secara keseluruhan. Dari sisi masyarakat ( konsumen ) akan mengalami kerugian karena surplus konsumen secara perlahan-lahan akan diserap oleh produsen monopolistic. Dari sisi produsen maka akan mengurangi insentif produden baru untuk terjun di industri telekomunikasi yang pada akhirnya industri telekomunikasi kehilangan daya saingnya.



NB : Diskursus ini ditulis oleh Sahabat saya Gianto Mahasiswa FE UI 02 yg di muat oleh Bisnis Indonesia

INTIMIDASI POLITIK

Politik Intimidasi pada hakikatnya adalah terorisme politik. Kultur politik kita masih belum beringsut dari pola pemanifestasian kekerasan, ancaman, intimidasi dan terror. Dalam tahap-tahap tertentu kekerasan fisik diganti dengan kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara. Di Indonesia kedua bentuk kekerasan fisik dan simbolis itu masih acap digunakan.

Manifestasi kekerasan simbolis itu tidak hanya marak dilakukan oleh organisasi masyarakat, tetapi partai politik sekalipun condong tidak bias melepaskan diri dari jerat kekerasan simbolis. Intimidasi Partai Golongan Karya (Golkar) yang berencana mencabut dukungan kepada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bentuk dari kekerasan simbolis melaui wicara. Wacana atau diskursus penarikan dukungan itu kian mengkristal setelah dipicu dua masalah. Pertama, kasus Gubernur Lampung yang belum terselesaikan hingga saat ini. Kedua, pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). kedua masalah itu mengilhami sejumlah kader Golkar memproduksi Issue besar penarikan dukungan. Atmosfer politik sedikit memanas, hubungan Presiden dan Wapres juga sedikit terganggu.

Suasana politik yang sempat memanas itu kemudian mendingin setelah Presiden hadir dalam acara halal bihalal keluaraga besar Partai Golkar di kediaman Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Wacana penarikan dukungan mereduksi dan tidak sekuat sebelum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Partai Golkar digelar.

Kita tidak menyoal perihal meredupnya tuntunan penarikan dukungan. Sejak awal kita sudah menduga diskursus penarikan dukungan yang disuarakan Partai Golkar tidak lebih sekedar instrument memperkuat posisi tawar (bargaining posisition). Yang kita permasalahkan adalah, apakah upaya untuk memperkuat kedudukan dan posisi tawar partai harus harus dilakukan dengan Intimidasi terror kekerasan dan wacana? Kita setujudan sependapat dengan pernyataan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh yang mengingatkan partainya agar tidak menggunakan cara-cara tidak elegan dalam membangun konstruksi perpolitikan bangsa. Ancaman, intimidasi, dan terror yang di produksi partai Golkar sejatinya harus dilaksanakan jika tidak ingin dikatakan sekedar geretak sambal. Tetapi, rasionalkah Golkar untuk merealisasikan ancamannya itu sementara sang Ketua Umum Partai Golkar masih bercokol sebagai Wapres. Inilah yang tidak bisa dijawab Golkar tanpa meminta posisi kekuasaan yang lebih dari yang sudah diperoleh sekarang.

Praktik intimidasi politik dan terorisme politik yang di lakukan oleh Golkar adalah sebuah proses politisasi yang kerdil dan hanya mempertebal pengelompokan kepentingan. Control terhadap kekuasaan yang dilakukan Golkar tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat. Tetapi, condong mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilsasi kader. Kekerasan simbolis yang dilakukan Golkar bersifat premature dan setengah hati karena sejumlah alasan politis. Maka, tak heran buat kita semua bagaimana partai ini bersikap double standard terhadap pemerintahan. Di satu sisi menginginkan distribusi kekuasaan yang lebih besar sebagai partai pemenang Pemilu, tetapi satu sisi mengusung diskursus oposisi setengah hati ketika distribusi dibatasi.

Mengapa itu terjadi, karena Partai Golkar (berpura-pura) tidak memahami kekuasaan sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh rakyat. Golkar berpikir tentang diri dan kepentingannya sendiri. Jika setiap partai politik condong mengembangkan pola intimidasi politik untuk menaikan posisi tawarnya, apa jadinya negeri ini kelak. Panggung politik nasional bakal sarat dengan intimidasi dan terror politik. Wallahu’alam