Saturday, January 27, 2007

KRONOLOGIS PENYERANGAN OLEH APARAT POLISI DI GEBANG REJO TANGGAL 22 JANUARI 2007

Mungkin kita sedang bertanya-tanya apa kira-kira gerangan yang terjadi pada tragedi tanggal 22 Januari 2007 di Poso beberapa hari yang lalu. Berikut informasi kronologis penyerangan oleh aparat Polisi yang didapat dari saksi warga Poso :

  1. KIRA - KIRA PADA JAM 08.00 WITA APARAT POLISI DENGAN SENJATA LENGKAP DENGAN MENGENDARAI BARAKUDA DAN SEKITAR 500 PERSONIL JALAN KAKI MENUJU JALAN P. IRIAN, P. SERAM , P. MADURA DAN SEKITAR 100 PERSONIL MENUJU KELURAHAN KAYAMANYA

  2. NAMUN BELUM SAMPAI DI P. IRIAN MASSA SUDAH MENGHADANG, BEGITU JUGA DI KELURAHAN KAYAMANYA MASSA JUGA MENGHADANG APARAT DENGAN MELEMPARI BATU, TEMBAKAN PUN TERJADI, DAN KORBANPUN BERJATUHAN .

  3. KIRA-KIRA PUKUL 10.00 WITA MASARAKAT SIPIL PUN JADI KORBAN, 3 ORANG YANG MENJADI SYUHADA ATAS NAMA MAHMUD 37 TAHUN, IDRUS 25 TAHUN DAN OM GAM 40 TAHUN (YANG SEDANG MELIHAT ANAKNYA DI PESANTREN AMANAH PUTRI) NAMUN AKHIRNYA DITERJANG TIMAH PANAS.

  4. APARAT SEMAKIN BRUTAL, SIAPAPUN YANG MENGHALANGI MEREKA TIMAH PANAS BAGIANNYA NAMUN MASSA SEPERTI TIDAK TAKUT AKAN MAUT MEREKA TERUS MENGHALANGI APARAT YANG MENCOBA MASUK KETANAH RUNTUH, BAHKAN ANAK-ANAK SDPUN IKUT DALAM AKSI TERSEBUT, DENGAN MODAL KETAPEL ALA PELESTINA MEREKA MELEMPARI BARAKUDA, WALHASIL ANAK KECILPUN MEREKA TANGKAP, MEREKA IKAT DAN MEREKA PUKULI. PENEMBAKANPUN TERUS TERJADI KORBAN TERUS BERJATUHAN, DAN KETIKA KIRA-KIRA JAM 12.00 WITA APARAT MUNDUR.

  5. SEKITAR PUKUL 14.00 WITA APARAT MULAI LAGI MELAKUKAN PENYERANGAN KEMBALI, SEKITAR 2 JAM PENYERANGAN TERJADI SEKITAR 15 SYUHADA MENEMUI KESYAHIDANNYA, KEBANYAKAN MEREKA BUKAN DPO TAPI RAKYAT SIPIL YANG TIDAK TAHU MASALAH.

  6. MASYARAKAT YANG MELIHAT DARI DALAM RUMAH TIDAK BISA BERBUAT APA-APA KETIKA MAYAT BERGELIMPANGAN, DAN JENAZAH DIKUASAI OLEH APARAT DAN DIBAWA KE POLRES DAN YANG MASIH HIDUP MEREKA DIINTROGASI, SEKITAS 9 ORANG YANG SYAHID YANG DIBAWA DI POLRES DAN ADA 24 YANG MASIH HIDUP SAMPAI SEKARANG MASIH DITAHAN DIPOLRES POSO DAN 8 DITAHAN DI POLDA PALU, MELIHAT KEJADIAN YANG SANGAT MENGERIHKAN ITU BANYAK MASYARAKAT YANG TRAUMA.

  7. TANGGAL 23 JANUARI 2007 MASYARAKAT MEMINTA JENAZAH YANG ADA DIRUMAH SAKIT DAN DI POLRES UNTUK DIKUBURKAN BAGAIMANA LAYAKNYA SEORANG MUSLIM, ADA SEKITAR 13 SYUHADA YANG DIKUBURKAN SECARA MASAL DI JALAN TARAKAN DIKELURAHAN GEBANG REJO.

  8. APARAT KEPOLISIAN TERUS MENGINTROGASI MASYARAKAT YANG BERHASIL MEREKA TANGKAP, DAN AKHIRNYA PENANGKAPAN BUKAN HANYA DPO SAJA NAMUN SEMUA MASYARAKAT YANG TIDAK SUKA ATAS TINDAKAN APARAT PADA TANGGAL 22 JANUARI 2007.


By: Anonim

Monday, January 15, 2007

Peranan BI Dalam Menjaga Stabilitas Moneter

Apa Itu Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)

Definisi SSK


Istilah Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:

" SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan."

" SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik."

" SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi."

Meskipun definisi yang seragam mengenai SSK belum ada, namun untuk memahami lebih jauh soal ini, dapat dilakukan dengan meneliti faktor-faktor yang dapat menganggu stabilitas itu sendiri. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Sistem keuangan secara umum terdiri dari pasar, lembaga dan infrastruktur. Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.

Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan tersebut.

Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.


Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:

Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.

Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.

Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.

Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.

Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

Friday, January 12, 2007

Menyoal Dekonstruksi; perlu atau tidak?

Luar biasa! Kata itulah yang pantas, pas dan bisa mewakili ketajaman dekonstruksi[1] sebagai pisau analisis. Sungguh tajam, seperti tak berperasaan. Dekonstruksi bak menjelma hantu yang siap menerkam apa saja. Membongkar sana-sini tanpa kejelasan bentuk dan makna. Bahkan, fenomena dekonstruksi menimbulkan keresahan, oleh sifatnya yang membabi-buta. Oleh siapa? Mereka yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang apa itu dekonstruksi.

Dalam literatur filsafat barat kontemporer, gagasan dekonstruksi dianggap sebagai terobosan baru untuk membongkar klaim universalitas pengetahuan dan kebudayaan barat. Dekonstruksi membuka jalan relativisasi makna dari setiap kebudayaan manapun. Tak ada bahasa yang melampaui zamannya, juga nalar yang universal. Maka, peminggiran terhadap makna manapun tidak memiliki dasar kecuali dikonstruksi oleh semangat untuk menguasai. Itu saja.

Yang aneh dari ketajaman dekonstruksi ini adalah munculnya gagasan atau ide dari hasil murni ekpolarasi intelek, tanpa perhitungan 'kapan dan dimana' ia dibutuhkan. Ini banyak menggerogoti kalangan intelektual yang terlalu euforia dengan kedatangan arus postmodernisme.

Salah satu contoh yang bisa dirujuk dari ketepatan pengunaan dekonstruksi adalah ketika Nietzsche menghotbahkan kematian Tuhan. Yang terjadi sebenarnya bukan kamatian Tuhan (karena Tuhan tidak mungkin mati). Di mata Nietzsche-ketika membaca zamannya-Tuhan telah kehilangan pesona untuk dijadikan tujuan dan dasar bagi hidup manusia. Manusia modern telah menemukan Tuhan-tuhan baru yang dapat memberikan jaminan kepastian hidup. Jadi Nietzsche sebenarnya melakukan interpretasi futuristik yang radikal pada zaman yang dihadapinya.

Di atas terlihat jelas, bahwa Nietzsche-sebagai seorang tokoh dekonstruksionis-cukup jeli, melihat, memahami semangat zamannya. Nah! Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana (1) pahaman kita terhadap dekonstruksi sebagai sebuah metode, dan (2) seberapa besar kepekaan kita terhadap kondisi sosio historis. Dan kedua syarat itupun harus berdasar atas butuh tidaknya dekonstruksi untuk diterapkan.

Dekonstruksi; tunggu dulu!

Dipahami bahwa dekonstruksi sebenarnya hanyalah modus baru dalam memahami realitas. Ia menjadi radikal dan meresahkan jika menyentuh wilayah fundamen keagamaan yang sarat dengan pola struktur oposisi biner. Jika pun dipaksakan diterapkan pada wilayah religius, dekonstruksi perlu dimodifikasi khusus sebagai metode dan terbatas pada ruang pemaknaan tertentu. Ini yang tidak banyak dipahami., apalagi oleh intelektual-intelektual karbitan yang lebih banyak disemangati oleh interes pribadi untuk mendekonstruksi.

Strategi pemakaian yang diperhitungkan matang, tentu akan menghapus jejak negatif yang pernah ditinggalkan pisau dekonstruksi. Karena tidak selamanya pisau akan tajam dan bisa digunakan untuk memotong apa saja, titik

[1] Dekonstruksi adalah satu metode analisis yang dikembangkan oleh Jacques Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir (Glosarium pada buku 'Dekonstruksi Spiritual' karya J. Derrida. Jalasutra, 2002).

By : Arief Gunawan