Saturday, February 24, 2007

Cinta Tulus nan Netral

Sebuah peribahasa mengatakan

"Pilih pasangan dengan pendengaranmu, kemudian dengan penglihatanmu dan lalu dengan hatimu"

Tidak semua orang akan memilih pasangan atas dasar penampilan rupa fisik. Adalah hal yang umum dari kita, tertarik pada seorang lawan jenis, karena wajahnya yang cantik rupa atau gagah tampan. Laki-laki kerap kali tertarik pada perempuan karena kecantikan (rupa fisik), dan perempuan cenderung menyukai laki-laki yang tampan (gagah/macho). Hal ini yang kemudian mendorong baik laki-laki ataupun perempuan untuk ingin lebih mengetahui lebih dekat dengan lawan jenisnya yang kemudian mengarah kepada menginginkannya untuk menjadi pasangan hidup.

Apakah bijak? Mencoba mengenal lebih dekat dengan lawan jenis diawali dengan ketertarikan rupa fisik. Tampaknya tidak bijak. Karena, kendatipun penilaian cantik rupa atau tidak adalah hal yang terkait dengan selera masing-masing individu: relatif, atau lebih tepatnya bahwa penilaian rupa fisik merupakan bentuk dari penilain subyektif manusia. Tetapi sepertinya sikap ketertarikan rupa fisik akan selalu menafikan ruang pengenalan dan pendekatan bagi mereka yang memiliki kekurangan penampilan rupa fisik (kurang cantik rupa atau gagah tampan). Seseorang yang memiliki kekurang rupa fisik bukanlah berarti tidak ada cinta buat mereka. Karena cinta bebas nilai tidak mengenal batasan ruang, waktu dan ukuran. Sungguh paradigama yang salah jika cinta hanya untuk orang-orang yang memiliki kelebihan rupa fisik (cantik rupa dan gagah tampan).

Sering kita mendengar pernyataan umum yang berbunyi, "Cinta pada pandangan pertama". Apakah benar ada cinta yang didasarkan pada pandangan pertama? Apakah ada, orang yang langsung merasakan cinta karena baru pertama kali melihat atau bertemu? "Aku langsung jatuh cinta, kepadamu. Cinta pada pandangan pertama. Cinta yang bisa merubah jalan hidupku lebih berarti", begitu Ahmad Dhani dalam sebuah liriknya yang berjudul "Kasidah Cinta". Adakah yang seperti itu, atau memang seperti itu adanya?

Menjawab pertanyaan tersebut, saya berusaha untuk berfikir mendalam. Sepertinya, cinta seperti itu tidak ada. Kendatipun ada yang menyatakan itu, sepertinya itu bukan cinta. Cinta sepert itu hanya pembenaran dari sikap yang didasari oleh rasa ketertarikan pada rupa fisik. Cinta seperti itu hanyalah sebuah utopis dan trik-trik dari obsesi seorang laki-laki untuk mendapatkan perempuan cantik rupa menjadi pasangannya (atau sebaliknya). Hal seperti itu lebih tepat disebut manuver-manuver cinta. Kemasan yang diyakini akan memberi kesan "tulus", yang berharap agar cinta (dengan dasar ketertarikan rupa fisik) bisa diterima.

Bagi saya cinta bukan seperti itu. Cinta sebagai nilai memang luhur, jangan direndahkan oleh dasar orientasi rupa fisik. Baiklah, kalau ada yang mengatakan itu cinta. Tapi jangan katakan "cinta" seperti itu cinta tulus. Cinta tulus bukan seperti itu. Cinta tulus adalah ketika engkau memberikan dan menebarkan tanpa mengharapkan pembalasan kecuali hanya Tuhan.
Cinta adalah bagaimana kita memberikan, mencurahkan dan mengusahakan segala yang kita miliki tanpa mengharapkan balasannya. Jika konteksnya terhadap lawan jenis, cinta adalah sikap menebarkan kebaikan dan kasih sayang tanpa mengaharapkan imbalan. Cinta yang tulus tidak harus mengharapkan balasan. Itulah mengapa pujangga asal inggris, William Shakespeare mengatakan bahwa, "cinta adalah ketika kamu berkorban, kamu tidak merasakn berkorban". Tampaknya cinta seperti itu terlalu utopis. Sepertinya sulit ditemukan cinta seperti itu saat ini.

Tetapi kembali, jika cinta didasari oleh penampilan rupa fisik, itu bukan cinta. Kendatipun itu cinta, itu adalah cinta yang rendah. Karena, penampilan fisik bukan hasil usaha dan kerja keras manusia. Penampilan fisik merupakan pemberian Tuhan terhadap manusia. Pemberian Tuhan memang berbeda, tapi keberbedaan itu bukan berarti membolehkan perbedaan yang satu bernilai lebih atau paling tinggi sedangkan perbedaan yang lain adalah lebih atau paling rendah.

Penampilan rupa fisikpun tidak menjadi abadi dan menjadi materialistik, karena ia bisa menua, keriput serta kendur. Sangat disayangkan jika cinta kita didasari atas sesuatu yang tidak abadi tersebut, sesuatu yang sifatnya sesaat dan fana. Tak salah jika Kahlil Gibran dalam "Risalah Cinta" menempatkan cinta yang berorientasi rupa fisik adalah cinta yang terletak pada bagian piramida terbawah. Cinta seperti ini rendah, serta banyak "penganut"-nya.

Lalu bagaimana cinta kita sebaiknya? Di satu sisi kita banyak melihat dan ditawarkan ajaran untuk menganut cinta rendahan yang beracuan fisik, di sisi lain cinta tulus adalah cinta yang sangat sulit bagi kita untuk mempraktekannya. Di satu sisi kita "tergiur" untuk menjadikan penampilan rupa fisik menjadi acuan menilai dan mencari pasangan, di sisi lain kita sulit untuk mencintai seseorang tanpa adanya hal-hal yang melatar belakangi kita untuk mencintai seseorang.

Mencintai bagi kebanyakan, membutuhkan alasan dan orientasi. Sulit rasanya mencintai seseorang (lawan jenis) dengan tidak menjadikan penampilan rupa fisik sebagai acuan awal. Sulit rasanya menebar kebaikan dan kasih sayang kepada seseorang tanpa mengarapkan sesuatu.

Karena itu, melompatlah sedikit lebih tinggi meninggalkan cinta terbawah piramida menuju tingkatan cinta pertengahan yang netral. Tidak menjadikan penampilan fisik sebagai acuan untuk mencintai. Kita tetap menggunakan acuan untuk mencintai seseorang, tetapi bukan dari penampilan rupa fisiknya, melainkan dengan acuan lain. Acuan yang non visual, tetapi terdengar. Acuan dengan melalui pendengaran, bukan visual. Pilihlah pasangan melalui pendengaran, bukan visual. Pilihlah pasangan melalui pendengaran kita, bukan melalui visual.

Di sini kita melompat menuju cinta tulus nan netral, yaitu bagaimana kita berusaha untuk hanya menggunakan pendengaran kita sebagai acuan untuk mencintai seseorang. Anggaplah kita sebagai orang buta yang tidak bisa melihat visual penampilan rupa fisik seseorang. Sehingga yang kita lakukan adalah mendengarkan siapa yang berbicara dengan kita, serta bagaimana sifat dan cara bebicaranya. Seputar apa saja hal-hal yang "keluar" dari mulutnya, apakah perkataan dan cara berbicaranya menunjukan orang yang cerdas dan berwawasan? Apakah untaian kata kebaikan dan kasih sayang selalu di ucapakannya? Biasakanlah bagi kita untuk mendengar dan mencermatinya.

Selain itu, dengarkanlah penilaian-penilaian terhadap seseorang sebagai refrensi sebagai acuan dalam mencintai seseorang. Dalam ajaran agama dikatakan bahwa, untuk mengetahui sifat seseorang, bertanyalah kepada tetangganya, dengarkanlah penilaian mereka. Hal ini menandakan, ada kecenderungan bahwa penampilan cenderung menipu. Apa yang tampak dan yang kita lihat kerap kali "menyilaukan" kita. Oleh karena itu , maka kedepankanlah pendengaran kita. Jadikan pendengaran menjadi acuan kita untuk mencintai seseorang.
Seperti kita mencintai Rasulullah SAW, bagi khalayak umum tidak ada yang pernah bertemu dengan Baginda Rasulullah SAW secara visual pasca wafatnya para Sahabat, tetapi hanya mendengarkan kisah-kisah tentang Beliau saja rasa cinta kita begitu mendalam.

Seperti dalam sebuah syair kecintaan seorang Mursyid Tarekat Maulawiah bernama Syaikh Jalaluddin ar-Rumi RA kepada Rasulullah SAW :
"Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, saya mencintainya dan saya mengaguminya, saya memilih jalannya dan saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya."

Begitu juga dalam konteks memilih pasangan hidup, pilihlah pasangan melalui pendengaranmu, bukan melalui visualmu. Karena dengan mendengarkan perkataan seseorang secara langsung serta mendengarkan penilaian-penilaian orang lain mengenai seseorang tersebut, kita bisa mengetahui sifat seseorang yang sebenarnya. Dan jika ini dijadikan acuan kita untuk mencintai seseorang dan menjadikannya pasangan bagi kita, saya rasa cinta seperti ini lebih tinggi kedudukannya dibandingkan cinta yang menjadikan penampilan rupa fisik sebagai acuan. Ini adalah cinta tulus nan netral. Maka melompatlah menuju cinta yang tengah, tulus nan netral, tentu saja sambil berusaha menuju cinta sejati nan hakiki "Cinta karena Tuhanmu".(Bud)HM

Wednesday, February 21, 2007

Milad HMI: Transformasi Intelektual dalam Rekayasa Peradaban Sosial Pasca Kapitalisme Global

Perkembangan kapitalisme global

Pada abad ke -16, pada saat Nicolas Copernicus mengajukan hipotesis tentang heliosentris, yang kemudian dilanjutkan Johanes Keppler dengan teori peredaran bumi dan Galileo Galilei dengan teori bintang jatuhnya merupakan awal dibukanya akal manusia dari abad kegelapan. Sampai akhirnya Francis Bacon dengan metode induktifnya mampu menempatkan alam sebagai objek penelitian, tentunya dengan metode ilmiah. Mulai pada saat itulah kebenaran diukur hanya dengan pandangan positivistik, yang merupakan akal permasalahan kapitalisme.

Konsep kapitalisme lahir bersamaan dengan awal lahir gerakan reformasi yang menggugat terhadap praktek absoulutisme kekuasaan Gereja (Katholik). Inilah yang kemudian melahirkan apa yang oleh Max Webber dalam "The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism", disebut sebagai etika Protestan sebagai landasan ajaran Calvin. Menurut Calvin bahwa "kerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi, kerja adalah tujuan akhir sipiritual.."

Ideology kapitalisme juga telah melahirkan masyarakat konsumtif yakni masyarakat yang hanya menerima kebutuhan sebagai penampung hasil produksi. Ideology kapitalisme juga sangat mengagungkan ilmu dan teknologi serta mengingkari nilai-nilai instrinsik alam. Menurut Hermann Kahn seorang futurlog "kapitalis menyatakan bahwa teknologi ialah motor kemajuan dan ilmu adalah bahan bakarnya."

Dalam perkembangannya kapitalisme bukan lagi hanya berupa sistem ekonomi tetapi telah berkembang lebih kompleks. Kapitalisme kini telah menjadi sistem yang telah menguasai seluruh kehidupan dari sistem sosial sampai sistem pendidikan. Bahkan telah menjadi 'agama baru' bagi manusia. Kompleksitas dari ideology kapitalisme itulah yang kini telah menjadi sebuah peradaban baru. Peradaban baru tersebut tidaklah seperti peradaban klasik yang bersifat regional terapi peradaban global, diamana umat manusia dibelahan bumi manapun menjadi pengikut ajarannya.

Sedangkan pada tataran ekonomi kapitalisme pun mengalami perkembangan yang terbagi dalam beberapa periode yakni, pertama: periode kapitalisme liberal. Dalam periode ini negara ditempatkan sebagai subordinat atau sekedar institusi yang bertugas pasif, tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya, kecuali hal yang menyangkut kepentingan publik. Kedua: periode kapitalisme teroraginisir atau Keynesian Period (period of organized capitalism). Periode ini berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai pasca Perang Dunia Ke-II. Perubahan setelah kekalahan kaum liberal, yakni dengan perkembangan sistem ekonomi dan sosial. Dalam sistem ekonomi muncul sentralisasi produksi, modal dan perdagangan. Pasca Perang Dunia Ke-II, perubahan-perubahan terjadi sesuai dengan merebaknya paham sosialisme dan pengaruh aliran ekonomi yang di pelopori oleh ahli ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946). Penguatnya doktrin Keynes akarnya adalah kegagalan sistem 'ekonomi pasar' yang di usung oleh kaum Ordo-Liberal. Gagasan Keynes ini menggunakan kebijakan eknomi terdistribusi kemudian teori ekonomi ini menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi ekonomi state-isme, yang mengarah pada menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat.

Ketiga: periode kapitalisme tak terorganisir atau kapitalisme neoliberal (period of disorganized capitalism) yang dimulai pada awal 1970-an dan berlangsung hingga kini. Perubahan ini terjadi pada akhir 1973, ketika negara-negara Arab, produsen minyak utama dunia membentuk sebuah kartel, OPEC, dan menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Karena harga minyak yang terus meningkat, terjadilah gerak naik harga-harga dan upah-upah. Akibat lebih jauh adalah terjadinya resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi harga mencapai lebih 20 persen di sejumlah negara, serta meluasnya ketidakmampuan negara-negara Dunia Ketiga untuk membayar utangnya. Doktrin Keynes yang telah berjaya pada sebelum dan pasca Perang Dunia ke-II terbukti tidak mampu menghadapi situasi ini. Tidak hanya bahwa Keynesian tak lagi mampu memberi solusi, banyak orang yakin bahwa doktrin Keynesian-lah penyebab utama dari crisis. Kemudian munculah sebuah gagasan baru yang di pelopori oleh Milton Friedman dan Friedich Hayek. Ekonom-ekonom ini tidak membantah bahwa pasar dapat gagal dan memang telah gagal, tapi mereka meyakini bahwa pasar bebas (free trade) mampu mengalokasikan barang dan jasa secara lebih efektif dibandingkan negara. Kemunculan gagasan baru ini menyebabkan peranan negara dimarginalkan (stateless) dan peranannya digantikan oleh perusahaan multinasional (MNC) yang melintasi batas negara. Dengan jargon globalisasi dan pasar bebas neoliberalisme semakin menguatkan hegomoni kapitalisme. Dan permasalahan neoliberalisme bukan hanya berkutat pada ekonomi, kerusakan alam, eksploitasi manusia, kelaparan, perang serta penghisapan-penghisapan lainnya merupakan konsekuensi dari perkembangan kapitalisme global.

Untuk itu harus ada sebuah gerakan yang purikatif untuk melawan hegemoni tersebut untuk mencegah kerusakan peradaban yang lebih dahsyat. Perlawanan itu adalah dari skema besar manusia yang memang terkena dampaknya lansung. Manusia itu manusia yang harus berada pada ranah sistem sosial yang tertinggi dalam piramida tatanan masyarakat. Kelas itu tidak lain adalah kaum intelektual.

Gerakan Intelektual Sebagai Agen Rekayasa

Julian Benda menyatakan bahwa "intelektual sejati menciptakan tatanan dalam masyarakat dengan menjunjung standar kebenaran dan keadilan abadi. Intelektual sejati dengan jati dirinya, digerakan oleh dorongan metafisik dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran". Ali Syari’ati juga menambahkan seorang intelektual tidak mencari tujuan praktis, tetapi mereka yang menemukan kepuasan dalam mempraktekan seni dan ilmu pengetahuan, atau spekulasi metafisik. Figur intelektual, bercirikan seorang yang bisa berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tendeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan individu pemberang. Bagi dia, tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritik. Dan mengkritiknya adalah tugas dia. Seorang intelektual dalam perjalanannya mengalami tantangan dan hambatannya, seorang intelektual mengalami keterasingan dan kesendirian, berisiko ditiang bahkan dikeluarkan dari komunitasnya atau bahkan juga disalib.

Kaum intelektual yang keberadaannya berawal adanya transformasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Kaum intelektual merupakan martir atau bagian orang-orang tertentu yang bersedia menjadi tumbal dalam menjalankan kehidupan berdasarkan inteprestasi baru persepsional yang mendasar dalam masyarakat. Keberadaan seorang intelektual sesungguhnya merupakan fenomena umum dalam sejarah kehidupan manusia, terutama dapat kita saksikan pada munculnya status masyarakat baru yang mampu mengemban dan manjadi kiblat peradaban umat manusia pada zamannya.

Masa Depan Peradaban Manusia

Neoliberalisme sebagai tonggak lahirnya kapitalisme global sudah sangat mengurita dan hampir tak terbendung. Kapitalisme global merupakan peradaban lama harus dilawan dengan cara me-revolusinya (hijjrah) dengan peradaban baru yang lebih berpihak kepada masyarakat demi terciptanya kesejaterahan dan keadilan sosial di masyarakat itu sendiri. Hegomoni arus kapitalisme global telah merusak hampir seluruh tatanan masyarakat dunia yang menimbulkan dampak ketimpangan-ketimpangan sosial melalui Multinational Corprations (MNC).

Seperti yang dikatakan Soeharsono bahwa salah satu timbulnya peradaban baru adalah ketika adanya perseps-perseps baru dalam memaknai realitas. Pandangan positivistik yang melatari peradaban yang kini berkembang menganggap bahwa dunia merupakan mesin raksasa dimana manusia merupakan bagian dari sekrup-sekrup penyusunnya. Begitu juga manusia dimaknai seperti mesin, hanya dipandang dari sisi materi. Dan kini pandangan tersebut semakin mengalami ketimpangan dan kerancuan dalam aplikasinya. Untuk itu manusia memerlukan konsepsi paradigma alternatif yang lebih holistik.

Konsepsi ilmu yang memisahkan secara tegas permasalahan ide dan materi telah menjadi pokok permasalahan keterasingan ilmu dan realitas sosial. Dalam peradaban alternatif pasca kapitalisme hubungan antara manusia dan alam semesta tidak dapat lagi saling menguasai tetapi harus adanya keseimbangan antara keduanya. Sebagaimana yang dikatakan Fritjof Capra dalam bukunya "Titik Balik Peradaban" bahwa pemaknaan dunia sebagai mesin raksasa telah mendatangkan berbagai macam problem dan peradaban tersebut telah mencapai titik balik. Sebagai gantinya perlu adanya pemaknaan terhadap realitas dengan perseps yang baru dan lebih sistemik.

Pada abad XX arah peradaban telah bergeser dari pandangan yang mekanis kearah pandangan dunia ekologis organis. Kalau dulu dunia dipandang sebagai balok-balok yang tersusun dan membentuk sistem dunia kini semakin berubah ke arah pandangan dunia yang sistemik, bahwa dunia merupakan satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Begitu pula dengan paradigma positivistik yang hanya mengakui materi sebagai unsur kehidupan yang bergeser kepada paradigma integralistik yang mengakui adanya ide dan hal yang bersifat spiritual sebagai penyusun kehidupan.

Dalam berbagai sistem kehidupan paradigma tersebut telah berkembang. Dalam sistem keilmuan dengan diakuinya intuisi sebagai salah satu metode pencarian ilmu telah menggugat metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Metode ilmiah kini tidak lagi menjadi ilmu yang pasti kebenarannya karena masih ada faktor lain yang menentukan kebenaran suatu penelitian. Dalam sistem sosial sekarang tidak hanya berkonsentrasi pada relasi antar manusia saja, tetapi lebih luas yaitu relasi alam dengan manusia menjadi sub pokok dalam membentukan sistem sosial eco-humanisme.

Dalam aplikasi ilmu kedokteran kini cara pandang manusia yang diasumsikan sebagai mesin telah bergeser dengan dikenalnya psikologi dan psikoanalisa sebagai bagian dari metode kedokteran. Dan dalam aplikasi ekonomi kini pertumbuhan tidak hanya diorientasikan pada moneter dan fiskal saja bahkan lebih luas, yaitu termasuk fleksibelitas sosial dan kelestarian lingkungan.

HMI Sebagai Perlawanan

Hari ini bertepatan dengan tanggal 5 Februari 2007 genap sudah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) berusia 60 tahun. Di usia yang sudah tidak muda lagi seharusnya HMI juga semakin matang dalam berfikir dan bertindak. HMI yang didirikan oleh Lafran Pane 60 tahun silam merupakan organisasi intelektual keagamaan pertama di Indonesia yang menjadi harapan ummat dan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan saat itu. Dalam perjalanannya, HMI juga aktif berperan dalam melakukan perubahan-perubahan pada zamannya. Selama ini kader HMI selalu aktif melakukan perlawanan-perlawanan, baik itu perlawanan terhadap penjajahan terlebih pada perlawanan rezim otoriter. Perlawanan terhadap sikap otoriterian merupakan sebuah keniscayaan sebagai kader HMI yang merupakan kaum intelektual yang berfungsi mangayomi ummat dan masyarakat. Dunia perlawanan bukan suatu yang asing lagi bagi kader HMI, mulai dari perlawanan fisik hingga pada perlawanan intelektual (pemikiran). Kini dalam belenggu kapitalisme global sudah saatnyalah kader HMI sebagai kaum intelektual melakukan perubahan peradaban dalam bentuk pemikiran-pemikiran alternatif sebagai bentuk gerakan perlawanan sosial. Kader HMI tidak hanya diciptakan sebagai insan ulull albab tetapi juga kader yang mempunyai tanggung jawab moral sebagai anak ummat dan anak bangsa untuk melakukan perubahan. Maka untuk itu dibutuhkan bentuk transformasi inheren terhadap ummat dan bangsa untuk melawan peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai peradaban itu sendiri. Kader HMI tidak hanya unggul dalam diskursus pemikiran dalam bentuk grand narasi saja tapi, ia juga harus mampu mentransformasikannya dalam bentuk aktualisasi konkret yang dapat dirasakan langsung oleh ummat. Proses transformasi tidak akan berjalan jika kader HMI merasa ekslusive terhadap ummat itu sendiri. HMI dan ummat merupakan satu kesatuan yang linear, yang dapat bersinergis untuk mewujudkan gerakan perlawanan massal, terhadap peradaban kapitalisme global tersebut. Seperti yang kita tahu kapitalisme global telah melahirkan bentuk penjajahan gaya baru (neoimperialisme) yang di luar batas kesadaran kitapun ikut menikmati hasil dari penjajahan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan mendasar saat ini, mampukah kader HMI sebagai kaum intelektual menjadi agen pengerak masyarakat sipil (civil society movement) sebagai perlawanan hegemoni yang menjadi harapan ummat, ditengah dahsyatnya serangan arus kapitalisme global? Bagaimana HMI melakukan perlawanan tersebut? Mampukah HMI menjawab semua tantangan tersebut disaat usia sudah beranjak mapan? HMI yang diharapkan sebagai martir penggerak perubah peradaban, justeru terjebak kedalam arus peradaban tersebut. Seperti perilaku konsumtif dan perilaku hedonisme yang merupakan bagian dari dampak ancaman kapitalisme global. Meskipun kejadian tersebut tidak dapat digeneralisir, karena masih banyak kader-kader HMI yang masih tetap konsisten menjalakan idealismenya sebagai agen rekayasa peradaban. HMI sebagai organisasi intelektual yang berbasiskan keummatan sudah seharusnyalah HMI lebih banyak berperan melakukan perubahan untuk ummat. Last but not least rupanya hanya kaum intelektual yang memiliki integritas tinggi sajalah yang harus serius memikirkannya. Dan bukan dari kaum intelektual yang justeru menjadi momok bagi masyarakatnya itu sendiri. Bahkan yang lebih parah lagi, ada sebagian kaum intelektual justeru menjerumuskan masyarakatnya kedalam jurang kapitalisme global demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Wallahu'alam bissawab

Ekspansi HMI: Ikhtiar Politik Menuju Masyarakat Tamadduni

Ekspansi HMI;
Pada masa lalu, HMI dilingkupi oleh sebuah rezim kekuasaan yang demikian otoriter dan despotik serta kondisi eksternal masyarakat yang apatis. Saat ini, sejak reformasi digulirkan, kondisi rezim perlahan mengarah ke wajah yang lebih demokratis dan terbuka serta kondisi masyarakat yang lebih kritis dan partisipatif. Terkait dengan perubahan rezim kekuasaan dan kondisi eksternal yang melingkupinya, HMI dituntut untuk melakukan pergeseran paradigma organisasi secara mendasar dan elementer.

Beberapa perubahan yang dimaksud adalah Pertama, Paradigma Oposisi Total yang selama ini menjadi ciri khas HMI harus digeser menjadi Kritis-Konstruktif. Ini berarti bahwa dalam mengartikulasikan kepentingan eksternalnya, HMI menggunakan jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga politik resmi seperti birokrasi, legislatif dan lain sebagainya. Maknanya bahwa aksi massa hanya akan dilakukan untuk isu-isu yang betul-betul sangat penting dan mendesak. Untuk itu, HMI dituntut untuk mencetak kader yang lebih memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa. kader-kader yang memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan.

Kedua, Gerakan Intelektual HMI yang selama ini berkutat pada wilayah Epistemologis, sudah saatnya digeser ke wilayah Gerakan Intelektual yang lebih Akademis sehingga HMI mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis. Dengan ini, maka ide dan gagasan intelektual HMI bersentuhan langsung dengan masyarakat akademis (kampus). Ini tidak berarti bahwa kader HMI harus menjadi seorang akademisi, melainkan bahwa setiap ide dan gagasan yang dilontarkan HMI harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan secara praktis dapat di-break down pada masyarakat. Model Intelektual ini menuntut HMI tidak hanya melahirkan kader yang mengetahui segalanya namun lemah secara metodologis. Intelektual-Akademisi adalah intelektual yang bervisi sosial profetis. Disamping memiliki pemahaman ideologi yang memadai, mereka juga cerdas secara akademik, bervisi profetis dan bernafaskan Islam serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis untuk melakukan pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan

Ketiga, untuk menjaga independensi gerakan HMI, maka ketergantungan finansial (terutama pada Alumni) digeser menjadi kemandirian dan independen. Kemandirian yang harus dibangun HMI terdiri dari kemandirian dalam hal perumusan ide dan gagasan (atau independen secara sosial politik) dan kemandirian keuangan (atau independen secara sosial ekonomi). Ini berarti HMI harus bisa membangun kerjasama dengan lembaga donasi yang tidak mengikat (dengan mengeluarkan kebijakan fund-raising). Kemandirian ini akan muncul kalau dalam kader HMI tertanam jiwa enterpreneurship. HMI dituntut untuk bisa membekali kadernya dengan kemampuan 'kewirausahaan' tidak dalam arti sempit dunia bisnis semata, melainkan dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya.

Dengan terjadinya pergeseran ini gerakan HMI harunya lebih ekspansi kewilayah-wilayah sosial-politik-budaya yang selama ini tidak disentuhnya. HMI yang selama ini hanya melakukan gerakan fight from harus menjadi fight for, atau menggeser sentrum gerakan dari nahyi al munkar menjadi amar ma'ruf. Ini berarti bahwa tidak ada lagi wilayah yang terkategori ‘haram’ untuk dirambah oleh perjuangan HMI, termasuk wilayah politik. Tentu selama independensi gerakan bisa tetap terjaga.

.....ikhtiar politik.....
Pergeseran paradigma serta pilihan strategi gerakan HMI telah membuka pintu bagi aktivitas perjuangan HMI untuk tidak hanya berjuang melalui jalur politik sempit dengan menjadi politisi serta tergabung dalam partai politik tertentu yang sudah ada. Secara spesifik, ekspansi HMI ke wilayah perjuangan politik, memiliki dua sifat dasar. Sifat dasar tersebut adalah gerakan politik yang bersifat lokal dan gerakan politik yang mengelaborasi potensi sektoral. Inilah yang dimaksud dengan diaspora politik HMI.

Artikulasi perjuangan HMI pada tataran politik lokal mengedepankan beberapa strategi gerakan, Pertama, Penguatan Visi Lokal, di sini HMI musti bisa mencari strategi yang paling tepat bagi gerakannya ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungan masyarakat politik-masyarakat sipil dibangun dalam kerangka yang konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (konsensus), semuanya dipertimbangkan secara matang berdasarkan kekuatan lokal masing-masing, tentu tanpa menanggalkan kritisisme dan independensi.

Kedua, Peningkatan Partisipasi Lokal, Peningkatan partisipasi lokal memiliki dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, menghamba pada pemodal yang eksploitatif, dan otoriter, sehingga dibutuhkan perlawanan kritis, sistematik, dan bahkan radikal untuk mengubah struktur yang menindas itu. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif. Lebih dari itu, partisipasi kooperatif (dengan pemerintah lokal demokratik atau pemodal yang humanis) juga bisa diberlakukan untuk agenda-agenda pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, Pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal, hal ini mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal harus memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat diandalkan melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut. HMI di tingkat cabang dalam hal ini juga dituntut untuk menggembleng dirinya dengan mental kepemimpinan, kompetensi di suatu bidang, dan pengetahuan luas untuk menjadi insan mutamaddin (manusia berperadaban yang arif dan tegas dalam membuat keputusan karena menguasai banyak bidang).

Artikulasi perjuangan HMI pada tataran politik sektoral dapat dilakukan oleh HMI dengan cara melakukan penyusupan pada berbagai instrumen politik diluar partai politik yang telah ada. Ini bisa dilakukan HMI dengan cara memasukkan kadernya ke Lembaga-lembaga negara yang independen (baik ditingkat lokal maupun nasional). Disamping itu, sudah saatnya HMI kembali melirik lembaga profesi yang berbasis kapasitas dan kompentensi serta profesionalitas, menjadi sebuah kekuatan penekan yang efektif bagi perubahan sosial. Tentu ini menuntut penguasaan kader-kader terhadap wacana-wacana akademik.

Untuk meningkatkan daya ekspansi dari gerakan politik yang berbasis pada kekuatan lokal dan kekuatan sektoral tersebut, maka HMI dapat mendorong terbentuk dan atau diakomodasinya partai politik lokal dalam sistem perpolitikan nasional untuk menjadi sarana mendesakkan kepentingan politik HMI. Tentu hal ini keberadaan partai politik lokal harus berbeda dari partai politik yang dikenal selama ini hanya mengeksploitasi masyarakat.

Inilah diaspora politik HMI, sebuah gerakan politik yang akan mendesakkan perubahan mendasar pada masyarakat dengan tetap memperhatikan lokalitas masing-masing daerah dan menawarkan solusi yang berbasis pada kapasitas dan kompentensi serta profesionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Secara riil politik, gerakan ini menjadikan Lembaga-lembaga negara yang independen (baik ditingkat lokal maupun nasional) dan partai politik lokal sebagai wadah yang paling strategis.

.....menuju Masyarakat Tamaddun
Tamaddun berasal dari akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti "kota" atau "peradaban". Kata madany kemudian mengalami penambahan ta’ di awal dan tasydiid pada ”dal” untuk menguatkan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud dengan masyarakat tamadduni merupakan peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.

Mayarakat Tamaddun sebagai cita masyarakat ideal HMI diasumsikan bekerja pada tiga level, Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Wonosobo, 15-18 Februari 2007