Friday, June 22, 2007

Menanam Pohon Tanpa Akar

Belum lama ini beberapa pejabat dan pengamat menyampaikan kekhawatiran tentang kemungkinan terulangnya kembali krisis ekonomi di Indonesia, dengan melihat indikasi-indikasi ekonomi dan finansial yang mirip dengan yang terlihat menjelang Krisis Asia 1997-1998.

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah diskusi akademis di Tokyo sewindu silam, ketika seorang peserta diskusi menyatakan, Krisis Asia sampai batas tertentu merupakan pembuktian dari nubuat teori dependensi (dependency theory), yang intinya menyatakan bahwa posisi negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral countries) sangat lemah dan rentan (fragile) sehingga sewaktu-waktu dapat diruntuhkan oleh dinamika dan fluktuasi dalam sistem kapitalisme global.

Kerentanan itu terutama disebabkan oleh ketergantungan finansial ekstrem negara-negara tersebut terhadap para pemilik modal di negara-negara maju. Dalam ungkapan Robert Packingham, "The more a nation’s economy is penetrated by loans, investment, aid, and reliance on external trade, the more dependent the nation is" (Packingham, 1998:137).

Teori yang menjadi arus utama dalam ilmu sosial dekade 1970-an ini jelas bukan tanpa kelemahan. Solusi radikal yang ditawarkannya, revolusi dan pemutusan mata rantai ekonomi domestik terhadap sistem kapitalisme global, misalnya, jelas lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Negara-negara Asia Timur, seperti Korsel, China dan Taiwan mampu melakukan percepatan kemajuan ekonomi bukan dengan menutup diri, namun justru dengan strategi industrialisasi berorientasi keluar (outward oriented industry), dengan penguatan ekonomi domestik yang disertai pemanfaatan peluang-peluang yang ada di pasar global.

Dependensi dan otonomi

Sebaliknya, negara-negara komunis di Eropa Timur justru ambruk di pengujung 1980-an karena pemerintahnya yang terlalu ideologis, tertutup dan secara ekstrem mengabaikan mekanisme pasar. Persoalannya bukan terletak pada ideologi liberalisme atau sosialisme, tetapi pada ketahanan ekonomi sebuah bangsa, yang dapat memastikan bahwa fluktuasi ekonomi global tidak dengan semena-mena dapat menggoyahkannya. Ibarat pohon, pembangunan di sebuah negara harus dapat menancapkan akar yang kuat secara ekonomi dan sosial. Tanpa penguatan ke dalam, mustahil sebuah bangsa bisa eksis dalam kompetisi global.

Di Korsel, keterlambatan memulai industrialisasi tidak menghalangi pemerintahnya untuk mengembangkan daya saing industri di sektor manufaktur. Hasilnya, produk otomobil dan elektronik Korsel seperti Samsung, Hyundai, dan LG jelas bukan hanya jago kandang, tetapi pemain tangguh di Asia dan bahkan di level antarbenua.

Seperti negara-negara Asia lainnya, awalnya Korsel memiliki ketergantungan yang tinggi pada modal Jepang dan bantuan ekonomi AS. Yang patut dicermati adalah bagaimana negeri ginseng itu secara sistematis mengurangi ketergan- tungan pada modal dan teknologi asing melalui kebijakan industri (industrial policy) yang runtut dan determinatif.

Meminjam ungkapan Dudley Seers (1981), ketergantungan ekonomi tidak dengan sendirinya menutup ruang bagi suatu negara untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Yang harus dipastikan adalah terjaganya otonomi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan guna meletakkan fondasi ekonomi nasional yang tahan uji. Dependensi atau ketergantungan pada utang dan modal asing harus diimbangi dengan kemampuan memperkokoh, memperdalam dan mengintegrasikan struktur ekonomi dan industri bangsa ini.

Dalam waktu yang sama, sebuah negara kapitalis "pinggiran", seperti Indonesia harus dapat mengubah tantangan dalam sistem kapitalisme global menjadi peluang yang dimanfaatkan secara realistis dan kreatif sehingga negara itu tidak terus- menerus menjadi "bonsai" di kancah antarbangsa. Dalam tata pembagian kerja internasional (international division of labour) harus diupayakan suatu strategi pembangunan yang secara sistematis dapat menggeser keunggulan komparatif Indonesia dari tenaga kerja murah, bahan mentah, dan kekayaan alam kepada sebuah ekonomi yang didominasi oleh SDM yang terampil, produksi manufaktur dan pemilikan sektor ekonomi berdaya saing tinggi.

Akar yang rapuh

Negara-negara seperti Korsel, Jepang dan Malaysia melakukan liberalisasi ekonomi pada saat struktur ekonomi dan industri mereka sudah cukup tangguh. Di sisi sosial telah tercipta pula kelas menengah yang terdiri dari industriawan nasional dan golongan profesional yang mampu menjadi tulang punggung ekono- mi bangsa. Dalam situasi krisis, saat negara-negara tersebut berhadapan dengan tekanan-tekanan fluktuasi ekonomi global, kelas menengah tersebut menjadi semacam "pakubumi" (mainstay) yang secara faktual menopang daya tahan ekonomi.

Adalah naif untuk memandang investor asing sebagai sejenis "sinterklas agung" bagi ekonomi bangsa yang sedang terpuruk ini. Pada masa krisis, "kesetiaan" investor asing pantas diragukan, seperti tecermin dari hengkangnya beberapa perusahaan raksasa (MNC) asing dari bumi pertiwi semasa Krisis Asia. Wajar saja, logika modal asing memang logika pencarian profit, ia mengalir ke arah mana keuntungan lebih besar dapat diraih.

Alih-alih terus berjibaku mengambil hati para investor asing, perlu pula dipikirkan bagaimana strategi untuk mewujudkan struktur ekonomi domestik yang lebih "dalam" dan kokoh, dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal yang ada, termasuk SDM di sektor informal, UKM dan sumber daya kelautan yang tetap potensial. Harus ada masanya kelak negara-negara lain menunggu investasi kita, dan bukan kita yang terus gelisah menunggu investasi mereka.

Betapapun kita telah terikat dengan banyak perjanjian perdagangan bebas di level regional dan global, tentulah masih tersedia rooms for maneuver untuk melindungi rakyat lemah dan memperkuat basis ekonomi domestik. Adalah penting untuk memelihara ruang otonomi dalam menentukan arah kebijakan pembangunan agar nasib negeri ini tidak lagi lebih banyak ditentukan oleh sesuatu atau seseorang "di luar sana".

Memang, tak perlu hantaman badai untuk menumbangkan pohon dengan akar yang rapuh. Cukup angin semilir. Cukup jujurkah kita untuk menyadarinya?



By : Syamsul Hadi

Lagi, Demokrasi dan Kemiskinan

ADA yang menarik dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika berkunjung ke China pada awal Juni: demokratisasi, desentralisasi, dan kebebasan pers tak bisa ditarik kembali. Persoalannya, bagaimana membuat ketiga hal tersebut bekerja efektif bagi perbaikan kehidupan bangsa.

Pernyataan Kalla, lebih kurang, sejalan dengan pesan kunci Fareed Zakaria dalam bukunya The Future of Freedom, Illiberal Democracy at Home and Abroad mengenai tantangan abad ke-21: membuat demokrasi yang aman bagi dunia. Ini terkait realitas banyak negara di mana, alih-alih memperbaiki kesejahteraan, demokrasi justru membuat perekonomian dan kehidupan sosial- politik kian terpuruk. Situasinya berlainan dibandingkan tantangan abad ke-20 yang pernah disampaikan Woodrow Wilson: membuat dunia aman bagi demokrasi.

Bagi Indonesia dengan persoalan kemiskinan kompleks, prioritasnya adalah membangun demokrasi yang aman dan bermanfaat bagi kaum miskin. Mengapa pemerintahan yang dipilih langsung—baik di tingkat nasional maupun di daerah—gagal memberikan manfaat bagi kaum miskin, paling tidak berdasarkan pertambahan kaum miskin tahun 2005-2006 dari 35,1 juta menjadi 39,05 juta?

Politik dan kemiskinan

Banyak teori yang percaya bahwa tekanan politik dan kebebasan pers dalam demokrasi bermanfaat bagi pengentasan kaum miskin, di antaranya Amartya Sen (1999). Beberapa teori juga meyakini bahwa demokrasi memperkuat akuntabilitas dan transparansi tata kelola pemerintah, dan selanjutnya akan berfaedah dalam perang terhadap kemiskinan. Berbagai teori tersebut, sejauh ini, tidak menemukan implementasi memadai dalam praktik demokrasi Indonesia pascareformasi tahun 1998.

Dalam The Future of Freedom, Fareed Zakaria menyampaikan gagasan penting: tekanan politik dalam demokrasi justru kerap menyebabkan gagalnya kebijakan pemerintah. Alih-alih menjadi pemicu solusi, dia merupakan persoalan. Konteks Indonesia saat ini, demokrasi yang semakin "terderegulasi" menciptakan potensi lahirnya kebijakan yang mengabaikan kaum miskin.

Penyebab utamanya, tekanan politik dalam demokrasi bukan merupakan sesuatu yang "tulus" untuk kepentingan publik atau netral. Dia merupakan representasi kepentingan kelompok atau instrumen elite politik untuk mendelegitimasi lawan politik yang sedang menjadi pemerintah. Dalam proses interaksi tersebut, kepentingan kaum miskin tereksklusi walaupun kerap dijadikan selubung isu sebenarnya.

Untuk kasus Indonesia sekarang, persoalannya semakin rumit dengan lemahnya posisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) vis a vis kekuatan politik, kepentingan bisnis, dan negara-negara asing. Hal serupa dialami para kepala daerah. Konsekuensinya, aneka kepentingan kelompok elite dan agenda jangka pendek dengan mudah menginterupsi rencana-rencana jangka menengah dan panjang pemerintah. Energi pemerintah juga terkuras untuk bernegosiasi dengan elite dan memuaskan publik dengan program-program yang eyecacthing dan "tebar pesona" tetapi tidak menyelesaikan masalahnya secara fundamental. Selain itu, pembuatan suatu kebijakan memerlukan waktu lebih lama dengan ongkos politik lebih mahal.

Mengawal demokrasi

Seperti yang dikatakan JK di China, demokratisasi merupakan hal yang given bagi bangsa Indonesia. Lagipula, demokrasi bukan cuma alat untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga hak dasar warga negara. Yang penting dikoreksi adalah pemahaman keliru bahwa: (1) demokrasi akan memperbaiki segalanya secara otomatis, termasuk usaha mengatasi kemiskinan; (2) perbaikan demokrasi adalah perluasan atau "deregulasi" demokrasi lebih lanjut.

Kebutuhan mendesak saat ini adalah sistem dan peraturan perundang-undangan yang "mengisolasi" dan membuat jarak kebijakan utama dan jangka panjang dari kepentingan politik jangka pendek.

Kebijakan pemberantasan kemiskinan, misalnya, dapat dirancang dan diimplementasikan dalam sebuah "kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang terintegrasi" karena sekitar 80 persen kaum miskin tinggal di pedesaan. Faktanya, kebijakan besar seperti ini mustahil berjalan dalam tarik-menarik kekuatan politik seperti saat ini.

Jalan keluarnya, DPR bersama presiden dapat menyusun undang-undang mengenai "kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang terintegrasi" ini beserta sebuah lembaga pelaksananya yang independen, mirip seperti Federal Reserve dan MA di AS.

Menyerahkan persoalan ini kepada institusi yang terkait kepentingan dan godaan politik merupakan kekeliruan besar karena hanya akan mereproduksi kebijakan populis yang tidak menyelesaikan masalah sebenarnya. DPR berhak menolak atau menerima usulan kebijakan lembaga tersebut, tetapi tidak berhak mengamandemennya.

Banyak hal lagi yang mesti didiskusikan mengenai bagaimana supaya demokrasi bekerja efektif dalam mengatasi kemiskinan. Tidak hanya berdasarkan kepedulian terhadap nasib kaum miskin, tetapi juga demi masa depan demokrasi itu sendiri.



By : T. Mustasya

Tuesday, June 12, 2007

"Menuai Perdamaian Dengan Perbedaan", Mungkinkah??

Pertanyaan dan pernyataan yang menggelitik dan menukik menurutku. So banyak kalangan yang meniscayakan bahwa perbedaan akan sulit tuk didamaikan. Buktinya adalah pertentangan antara Fundamentalis dan Liberalis? Namun apakah sesederhana tersebut toh kenyataanya banyak yang beranggapan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, namun kenyataan di lapangan perbedaan malah menjadi sebuah permasalahan tersendiri yang merasuk ke relung-relung kehidupan.

Dewasa ini perbedaan, yang aku asumsikan dalam benakku hanya kelihatan dalam problematika perbedaan metodologi dan pandangan, yakni seperti yang diperlihatkan dengan adanya distingsi antara pandangan kaum liberal dan fundamental. Sebenarnya perbedaan tersebut hanya dalam wacana pemikiran...! menurutku...

Namun rasanya benturan pemikiran tersebut serasa amat "berbahaya" dalam pandangan beberapa pemikir. namun kalau mau ditilik lebih jauh dengan pendekatan antopologi misalkan perbedaan mampu untuk disemai dengan akulturasi budaya yang telah merasuki bahkan sampai kepada hal-hal yang "sakral" sekalipun, lihat contoh bagaimana perselingkuhan antara kebudayaan Islam dengan China dalam pembangunan mesjid di muntilan (lih, Dany's L, Silang budaya; Nusa Jawa), atau yang dinyatakan oleh tokoh antropolog C Geertz, yang melihat banyak persenyawaan antara kebudayaan-kebudayaan bahkan yang berbau keagamaan sekalipun. (lih, geertz, Agama dan kebudayaan).

Akhirnya saya berhasil pada sebuah asumsi kesimpulan awal bahwa perdamaain dapat disemai dalam ranah kebudayaan atau antoposentris hubungan sosiologi manusia atau pola bermasyarakat.

Namun dalam ranah pemikiran aku masih melihat adanya kesulitan untuk membentuk mozaik perdamaian. Lalu timbul asumsi saya mengenai tesis Huntington tentang benturan peradaban. Apakah hal itu menjadi sebuah keniscayaan sejarah? Apakah hal tersebut tidak bisa disemai dalam ranah perdamaian?

Akhirnya aku punya asumsi yang sedikit membenarkan asumsi Huntington bahwa jangankan dalam antar peradaban, dalam sebuah peradaban "Islam"-pun, ternyata masih tak mamapu untuk menyelesaikan permasalahanya. Terlepas dari problem pendekatan. Artinya adalah apakah radikalisme merupakan sebuah perbuatan yang baik (menuju perdamaian), apakah sebagian umat "Islam" akan menggunakan pendekatan yang dipakai oleh Machiavelli.

So apa formulasi kita, setidaknya apa hal yang akan mampu untuk kita jual sebagai agen perubahan menuju perdamaain.????????????


By : Josef

Merawat Pancasila dari Tangan jahil

Belum lama ini kita telah melewati hari kelahiran Pancasila, Kelahiran yang dibidani Sukarno ini menjadi tonggak ideologi bangsa Indonesia dalam menemu-ciptakan sebuah tatanan bangsa yang adil, sejatra serta berketuhanan. Sebuah Ideologi yang tidak ada duanya di dunia ini, dimana konsep ketuhanan menjadi spirit dalam dasar negara tetapi mensicayakan pemisahan antara wilayah agama dan negara.
Pancasila, kata Alamsyah Ratu Perwira Negara merupakan hadiah terbesar ummat Islam kepada bangsa Indonesia, tampa hadiah itu, Indonesia tidak seperti yang kita kenal sekarang. Ia mungkin menjadi negara Teokrasi yang bedasarkan salah satu agama tertentu saja. Kita juga patut besyukur atas "hadiah" itu dimana para kalangan Islam waktu itu bukan saja menerima tawaran Sukarno tetapi juga mengubah urutan Pancasila dan, terutama, menambahkan "Yang Maha Esa" dalam sila Ketuhanan serta menarik frase kunci "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya"
Seiring waktu berjalan dan pergantian Rezim antara Orde Lama kepada Orde Baru memulai babak baru dalam Ideologi Pancasila. Orde baru memonopoli penafsiran Pancasila melalui indoktrinasi kepada seluruh warga negara dengan segala profesi dan usia serta pendidikan dengan penataran P4. pada massa ini Pancasila diubah menjadi pisau bermata seribu yang dihunus penguasa untuk menikam siapa saja yang divonis melanggarnya, termasuk didalamnya adalah gerakan Islam Radikal seperti tragedi Tanjung Priyuk dan sebagainya.
Pancasila pada era reformasi diuji kembali kesaktianya setelah sekian lama dijadikan alat penguasa untuk melawan para pengkritiknya, dan, ketika pintu keterbukaan mulai di buka dan kebebasan yang dulu tersumbat kini mulai terkikis bersama derasnya desakan Reformasi yang membawa angin segar, angin segar yang memungkinkan siapa saja atau golongan apa saja untuk berekspresi maupun berserikat dan berpendapat yang didalamnya juga muncul gerakan yang dulu direpresi oleh pemerintah Orde Baru contoh saja gerakan Islam Radikal seperti MMI (majelis Mujahidin Islam) atau gerakan yang di impor dari Luar Negeri semisal HTI (hizbut Tahrir Indonesia) yang jelas jelas ingin merubah Pancasila dan digantikan dengan Islam sebagai Idelogi Bangsa
Pancasila kini mulai di usik oleh tangan tangan jahil karena berbagai macam alasan, para penentangnya kini mengajukan konsep tandingan dan melancarkan tindakan tindakan anarkis yang akan merobek perekat bangsa. Perda Syariah yang mengandung bias Agama seakan tak bisa kita biarkan begitu saja, ditambah lagi beberapa tahun yang lalu dimana marak sekali penyerangan terhadap kelompok agama minoritas seakan menambah daftar panjang kekerasan terhadap agama yang sebenarnya dijamin oleh Pancasia dan Undang Undang dasar negara
Perawatan pancasila pada era reformasi ini membutuhkan ekstra tenaga yang kuat dikarenakan demokrasi yang mengharuskan kita untuk lebih terbuka dan toleran, ditambah lagi gerakan gerakan yang dengan sengaja dan terbuka ingin mengganti Ideologi bangsa dengan yang lain. Perawatan pancasila itu penting karena hanya dengan ideologi pancasilalah yang bisa menjadi perekat bangsa. Kebinekaan kita dalam lanskap kesatuan dan persatuan bangsa merupakan modal dasar dalam mewujudkan kesejatraan yang berketuhanan dimasa depan dengan mengedepankan prinsip prisip toleransi dan kebebasan yang bertanggung jawab. Disamping itu juga Pancasila adalah idelogi terbuka, dimana Pemerintah hanya salah satu, bukan satu satunya penafsir. Dengan bebas tafsir itu semua peserta memperkaya Pancasila dan membuka kemungkinan kemuingkinan baru yang bergerak sama dinamismenya dengan perkembangan masayarakat sendiri.
Peranan Pancasila kembali di pertanyakan oleh beberapa kalangan semisal dalam tulisan Azumardi Azra bebrarapa tahun lalu di berbagai media, baginya, Pancasila mesti dipikir ulang dan sudah selayaknya di revitalisasi seirng alam demokrasi yang kian terbuka, meskipun pada dasarnya Azra tidak menginkan pergantaian Ideologi pancasila dengan yang lain.
Merawat Pancasila juga bukan pekerjaan yang mudah, sebab Pancasila adalah ideologi terbuka yang bisa ditafsirkan oleh siapa saja, berbeda denga era sebelumnya dimana Orde baru memonopoli Tafsir atas Pancasila. Di era ini Pancasila menjadi pasar tafsir dimana Agama diharapkan sekali sumbanganya, sebagaimana yang terjadi pada saat kelahiran Pancasila sebagai dasar Negara. Mereka semua bisa menyumbangkan ajaran Agama masing masing sebagai nilai, bukan sebagai hukum.

By :
M Zaim Nugroho

Revolusi Kesadaran; Menjawab tantangan dan probelmatika Modernitas

"Hai Orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan dan bersaksilah demi Allah –walaupun kesaksianmu akan merugikan dirimu, oang tuamu, atau sanak keluargamu, dan tidak peduli apakah yang tertuduh itu kaya atau miskin, betapapun juga, Allah lebih memiliki Prioritas"

(QS. 4:135)



Persoalan modernitas telah menjadi satu fenomena baru bagi manusia yang hidup dizaman ini. Disaat mayoritas kita (Umat Islam) masih larut dalam perdebatan-perdebatan teologi klasik, tuntutan akan solusi komprehensif untuk menjawab problematika modernitas-pun kian terasa.

Modernitas yang dalam konsep waktu dipahami sebagai "era baru" ternyata mengandung polemik yang kompleks ketika ia dipahami sebagai suatu konsep epistemis (kesadaran baru). modernisme sebagai idea yang banyak diwarnai pandangan dunia barat, secara historis berjalan sejajar dengan pandangan filosofi khas barat. Pandangan filosofi ini melahirkan satu sikap yang universal terhadap dunia material. Istilah Van Pearsen, sikap ini merupakan peralihan dari alam pikir ontologis ke alam pikir fungsional, atau dalam kriteria Comte, terjadi peralihan dari tahap metafisik ke tahap positif.

Aspek universalisme dalam muatan modernitas menggiring manusia pada subjektivitas yang relatif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu harus diuji dengan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik dan kesahihan tradiasi dipertanyakan atas alasan-alasan kebaikan futuristik.

Modernisme sesungguhnya tidak hanya mengacu pada proses pembebasan kesadaran, tetapi juga pada proses perubahan dan pembangunan pranata-pranata ilmu, teknologi, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Perubahan tersebut diarahkan (dibebaskan) dari sistem legitimasi supra-empirik yang transendental kepada sikap fungsional yang terarah ke dunia empirik, yaitu demi penegakan hidup manusia didalam dunia benda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peradaban modern adalah berciri kebendaan dan keinderawian (materialistik). Pada sisi lain, pandangan materialistik yang dilandasi instrumen universalisme ini telah melahirkan satu jargon baru di era ini yang disebut globalisasi.

Globalisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai "segala sesuatu yang terjadi dimana pun yang dapat mempengaruhi kejadian-kejadian lain di belahan dunia lainnya". Globalisasi telah menciptakan ruang dan waktu tidak lagi menjadi permasalahan berarti bagi aktivitas manusia. Apa yang digambarkan oleh Willy Brant sebagai "dunia yang satu", sekarang semakin mendekati kenyataan. Seluruh dunia tumbuh secara bersama-sama, namun pada saat yang sama dunia juga berada dalam bahaya kehancuran karena peluang dan resiko yang ditimbulkan oleh globalisasi tumbuh secara tidak seimbang, seperti dampak dari pemanasan global (global warming). Selain akan memarjinalkan otoritas kekuasaan dan kebijakan negara, globalisasi juga memiliki potensi perkembangan yang negatif seperti dampak-dampak independensi transnasional (ketergantungan antar bangsa), hegemoni kekuasaan, monopoli pasar, kriminalitas dan arus gelombang liberalisasi yang luar biasa.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, muncul satu fenomena "tidak kritis" dalam merespon isu-isu diatas. Istilah modernitas telah menjadi sangat dekat dengan seluruh lapisan masyarakat, namun kemudian tidak diiringi dengan pemahaman yang memadai terhadap muatan ide dan nilai yang dikandungnya. Apresiasi yang bersifat reaksioner dan cenderung latah dalam menyikapi dinamika modernitas telah membawa kita pada satu tatanan sosial hegemonik dan eksploitatif yang berkiblat pada barat. Bukankah ini tidak ada bedanya dengan kolonialisme atau penjajahan dengan "gaya baru" (Neo-Imperialisme)?

Hassan Hanafi melukiskan bahwa “orang-orang yang dijajah, merasa tidak punya tanggung jawab, mereka selalu merasa serba salah dan skeptik. Secara psikologis, semangat mereka telah habis. Massa islam telah menjadi kolonisasi ekonomi dan monopoli, dan mereka telah dilumpuhkan. Hasilnya, adalah keterbelakangan, penindasan, kediktatoran, tersumbatnya kebebasan dan demokrasi dan meluasnya kemiskinan.

Dalam ajaran Islam, seluruh kenyataan sosial harus terangkum dalam totalitas kesadaran bahwa tidak ada Tuhan atau karak­teristik pengikat apapun selain Allah. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan akhir dari keseluruhan proses sosial adalah keridhaan Allah SWT. Inilah revolusi yang akan membangun sebuah peradaban sejati yang berlandaskan prinsip tauhid.

Mahasiswa sebagai agent of Change memiliki peranan penting serta tanggung jawab moral untuk melakukan penyadaran ini. Kemajuan serta nilai peradaban ini sangat ditentukan oleh kualitas ijtihad dari setiap generasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kondisional. Wallahu'alam