Friday, July 27, 2007
Lee, PDIP-Golkar, dan DCA
Thursday, July 26, 2007
Realisasi 20% Anggaran Pendidikan: Menguji Komitmen SBY-JK!
Belakangan ini pemerintah tampaknya menghadapi masalah-masalah yang super sulit dan dapat terlihat bahwa semakin hari posisinya makin terjepit. Belum lagi bencana-bencana yang melanda Nasional akhir-akhir ini, yang pastinya akan membutuhkan dana yang tidak sedikit, kali ini pemerintah harus dihadapkan dengan kenyataan harus merealisasikan 20% anggaran pendidikan. Masalah ini berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materil atas UU APBN 2006. Alhasil, uji materil tersebut dimenangkan oleh pemohon yang sebagian besar adalah praktisi pendidikan, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), dan Yayasan Nurani Bangsa. Dengan keputusan MK tersebut, pemerintah harus menyediakan anggaran sektor pendidikan sebesar 20% APBN/APBD.
Menurut MK UU APBN 2006 menyalahi amanah konstitusi UUD 1945 pada amendemen ke empat (18/8/2002), Pasal 31 ayat (4) menyatakan, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.". Dan yang membuat pemerintah semakin kebakaran jenggot adalah keputusan tersebut dikuatkan oleh keputusan MK sebelumnya yaitu: putusan perkara No.011/PUU-III/2005, yang berbunyi bahwa, "Pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda". Artinya jika pemerintah tidak merealisasikan 20% anggaran dalam waktu cepat maka pemerintah telah melakukan tindakan inskonstitusional. Secara politis ini sangat tidak menguntungkan bagi pemerintah.
Perhatian pemerintah akan sangat terkuras untuk mencari alternatif untuk menjaga kesinambungan fiskal ini atau dengan kata lain sikap konservatif dalam mengelola anggaran masih tetap menjadi karakter pemerintah yang sulit dirubah. Tentu, pemerintah sebenarnya tidak menginginkan posisi seperti ini atau jika pemerintah berargumentasi pasti situasi dan kondisi yang akan menjadi kambing hitam. Dan itulah mengapa pemerintah saat ini masih berat hati untuk merealisasikan amanah konstutusi ini.
Pembiayaan Pendidikan Di Bawah Naungan Logika Pasar
Tahun ajaran baru bagi siswa sekolah dasar dan menengah sudah dimulai. Bagi siswa baru tersebut ini merupakan awal atau pun kelanjutan dari sebuah upaya meretas mimpi masa depan mereka.. Akan tetapi, mungkin lain bagi sebagian orang tua mereka. Orang tua harus menghadapi realitas pahit yaitu semakin mahalnya biaya pendidikan. Padahal, mereka sering mendengar janji-janji elite politik baik lokal maupun nasional tentang pendididan gratis, pembebasan SPP, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sebagainya. Namun, fakta dilapangan mereka masih harus mengeluarkan biaya atas nama uang gedung, uang seragam, uang buku dan sebagainya yang jumlahnya bisa mencapai jutaan lebih. Bahkan untuk mendapatkan kursi di sekolah favorit, wali murid harus melakukan tawar-menawar "harga" dengan pihak sekolah, seperti yang ditemukan DPRD kabupaten madiun akhir-akhir ini.(Koran Tempo, Kamis, 19 Juli 2007, hal A8). Seiring dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, tentu ini bukanlah fenomenal lokal yang kasuistik, melainkan fenomena yang dapat terjadi secara nasional..
Di tingkat perguruan tinggi (Universitas) pun demikian. Mahasiswa yang sudah berhasil masuk lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) harus menghadapi "seleksi " berikutnya yang tak kalah menegangkan, yaitu "seleksi finansial". Mahasiswa baru harus menyediakan uang pangkal (admission fee) yang besarnya bervariasi tergantung pada jenis dan kualitas pilihan Universitas tersebut. Untuk Universitas favorit jumlah bisa mencapai puluhan juta. Bagi mahasiswa kaya "seleksi" ini dapat dilalui dengan mulus. Akan tetapi, bagi mahasiswa yang tidak memiliki uang sebanyak itu harus berjibaku dengan ruwetnya birokrasi demi mendapatkan keringanan biaya. Bahkan tidak sedikit dari mahasiwa yang terpaksa melepaskan status (mahasiswa) yang baru saja didapat lewat kerja intelektual mereka. Hal ini karena mereka kecewa atau pun putus asa, baik oleh besarnya dana yang harus mereka tanggung maupun ruwetnya birokrasi yang harus mereka lalui.
Fenomena umum tentang realitas pendidikan di atas adalah untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak biaya. Lalu pertanyaanya, bagaimana dengan dengan mereka yang tidak memiliki uang alias miskin? Adakah hak mereka untuk menikmati pendidikan berkualitas? Bukan fakta di atas menunjukkan telah adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan?
Paling tidak ada dua argumentasi yang selalu didengungkan oleh birokrat pendidikan selama ini. Pertama,
Konsep pembiayaan pendidikan
Jadi, benarkah konsep pembiayaan pendidikan dengan penyamarataan antara si kaya dan si miskin, yang sudah diimplementasikan negara ini selama puluhan tahun lalu tidak adil? Atau lebih adil jika seorang harus membayar sesuai dengan biaya yang seharusnya dia bayar (harga pasar)?.
Untuk menjawab masalah keadilan ini tergantung dari mana kita memandang masalah pemerataan. Robert S. Pindyck dalam teori mikroekonominya yang membahas masalah pemerataan (social welfare function) memaparkan beberapa pandangan tentang konsep pemerataan. Pertama, Egalitarian, yaitu seluruh anggota masyarakat menerima jumlah barang (dalam hal ini subsidi pendidikan) yang sama. Kedua, Rawlsian, yaitu pandangan ini menitikberatkan kepuasan maksimum bagi kelompok masyarakat yang paling menderita. Ketiga, Orientasi Pasar, menyatakan alokasi pasar adalah alokasi paling adil dan merata.
Dari ketiga pandangan tersebut kita bisa menilai perkembangan konsep pembiayaan pendidikan yang kita anut di negara kita sampai saat ini. Pandangan egalitarian tampaknya menjadi justifikasi konsep pembiayaan pendidikan dimana semua siswa baik miskin maupun kaya membayar dengan nilai yang sama, yang telah dipraktekkan pemerintah selama tiga dasawarsa ini. Sedangkan pandangan Rawlsian merupakan justifikasi adanya beasiswa bagi anak. Dan pandangan terakhir tampaknya yang melatarbelakangi kebijakan pembiayaan pendidikan akhir-akhir ini. Atas nama Badan Hukum Pendidikan (BHP) untuk Sekolah Dasar dan Menengah dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk Universitas Pemerintah telah melepaskan tanggung jawab, khususnya dalam hal pembiayaan pendidikan.
Logika pasar yang semakin menghegemoni dalam setiap pengambilan kebijakan ekonomi belakangan ini sudah merambah dunia pendidikan. Salahkah dengan gejala ini? Dalam teori ekonomi, logika (mekanisme) pasar tidak selamanya berjalan baik, sehingga ada istilah kegagalan pasar (market Failure). Salah satu bentuk kegagalan pasar adalah adanya gejala eksternalitas, yaitu efek yang diterima satu pihak akibat aktivitas pihak lain. Pendidikan bukan hanya bermanfaat terhadap individu yang bersangkutan, tetapi berdampak positif yang dinikmati masyarakat secara keseluruhan, misalnya tercipta keteraturan sosial, peningkatan kualitas budaya, perilaku masyarakat dan sebagainya. Banyak studi yang membuktikan keterkaitan erat antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara secara keseluruhan. Memang manfaat ini tidak dapat dinominalisasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat secara umum mendapatkan manfaat tersebut dan masyarakat (yang direprensetasikan oleh negara) berkewajiban menanggung biaya pendidikan ini. kegagalan (pasar) ini juga berarti pasar gagal menjalankan mekanisme efisiensi dan pemerataan.
Selain gagal menjamin pemerataan, logika pasar dalam pembiayaan pendidikan ini juga berarti berkontribusi melestarikan kemiskinan. Sistem pembiayaan pendidikan semacam ini adalah sarana pelestarian kelas, sekaligus mengubur impian mobilitas vertikal kelas bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Analisis ini kedengarannya radikal, tetapi kita tidak bisa menghindari karena pembacaan realitasnya memang demikian. Bahwa dapat dipastikan hanya strata sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau universitas yang bermutu. Sedangkan anak-anak orang miskin tetap dalam posisi tertinggal dan masuk dalam lingkaran calon pengangguran, atau kalaupun bekerja melanjutkan profesi orang tuanya sebagai penjual bakso, tukang becak, buruh, petani gurem, dan sebagainya.
Untuk kalangan masyarakat kaya, Pierre Bourdieu dalam The State Nobility dan Homo Academicus, memberi analisis hasil penelitiannya yang berkesimpulan sama yaitu pelestarian kelas. Kecenderungan masyarakat kaya saat ini bukan hanya menginvestasikan modalnya dalam bentuk saham melainkan pendidikan bagi anaknya atau yang dikenal dengan symbolic capital. Mereka akan mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya demi mendapat sekolah atau universitas favorit. Hal ini dilakukan demi melestarikan kelasnya.
Lantas mau dibawa kemana wajah pendidikan kita? Dikembalikan pada hakikat pendidikan sebagai sarana pembebasan dari segala keterbelengguan atau kita biarkan dihegemoni sekaligus disubordinasi oleh kepentingan pasar? Untuk menjawabnya, Negara ini bukan hanya butuh politisi atau pengambil kebijakan jenius, lebih dari itu yang dibutuhkan adalah seorang negarawan sejati yang masih peduli terhadap masa depan Negara.
By: Giyanto