Tuesday, August 28, 2007

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?: Sebuah Refleksi Perjalanan Pendidikan Anak Indonesia

Momen hari anak nasional baru saja lewat dan banyak hal harus kita cermati sebagai refleksi perkembangan dunia anak khususnya di Indonesia. Seperti kita ketahui, format peringatan ini tidak jauh dari acara-acara simbolis yang menunjukkan realitas kehidupan anak dengan segala kelebihan dan kreativitas yang mereka miliki. Di balik rutinitas acara simbolik yang begitu banyak, adakah spirit elemen bangsa ini, untuk menggali substansi peringatan tersebut? Sangat disayangkan sekaligus menyedihkan jika peringatan tersebut hanya bernilai seremonial belaka.

Saya kira sangat penting bagi segenap elemen baik di tingkat keluarga dan negara sekalipun untuk memaknai hari anak ini dengan merumuskan rencana masa depan mereka. Hal ini layak dilakukan paling tidak karena dua alasan penting. Pertama, bagi sebuah keluarga, anak merupakan "aset" yang dapat mendorong sebuah keluarga melakukan perubahan hidupnya menjadi kehidupan yang lebih baik. Dalam hal ini, anak merupakan pihak yang mempunyai peran penting dalam upaya transformasi sosial, ekonomi dan budaya dalam lingkup keluarga. Dengan kata lain, anak berperan penting dalam mobilitas vertikal masyarakat. Keluarga miskin tentu tidak ingin meneruskan tradisi miskin kepada anak-anak mereka, begitu juga keluarga yang status sosialnya rendah tentu mereka tidak akan ingin hal yang sama terjadi pada anak-anaknya kelak. Atau contoh gamblangnya, seorang penarik becak tentu tidak ingin anaknya menjadi penarik becak kelak.

Kedua, bagi sebuah negara, anak-anak merupakan generasi penerus yang kelak akan menjadi palang pintu eksistensi negara. Dengan potensi dan kreativitas yang mereka miliki saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kelak mereka yang akan menggantikan rulling ellite bangsa ini. Merekalah para calon nahkoda yang akan meneruskan tongkat estafet perjuangan bangsa. Mereka bukan lagi penentu keberhasilan transformasi dalam lingkup keluarga (sebagai strktur negara terkecil) saja, lebih dari itu, transformasi segala bidang dan dalam lingkup negara kelak akan mereka emban.

Dari sini tentu kita menyadari betapa vitalnya merumuskan masa depan anak. Dan untuk merumuskan masa depan anak tidak lepas dari bagaimana kita merencanakan pendidikan bagi anak-anak. Negara dan masyarakat (orang tua) selayaknya sudah memiliki rumusan rencana. Bagi orang tua, merencanakan pendidikan anak tampaknya sudah merupakan hal yang final (tanpa perdebatan) dalam rangka memperbaiki kondisi keluarganya. Bagi orang tua yang kurang mampu, demi untuk mesekolahkan anaknya terkadang mereka berupaya mengorbankan pengeluran lain dan bahkan sampai menggadaikan harta yang tersisa. Tak pelak, setiap awal tahun ajaran baru, nasabah pegadaian melonjak drastis. Spirit yang sama tentu terjadi pada orang tua yang beruntung secara ekonomi. Hal ini dilakukan paling tidak untuk mempertahankan status ekonomi dan sosialnya.

Lalu pertanyaanya, bagaimana dengan negara? Sudahkan negara merencanakan pendidikan generasi penerus bangsa ini? bagaimana caranya? Isu paling penting dalam hal perencanaan pendidikan adalah sejauh mana pemerintah terlibat dalam pembiayaan pendidikan. Seberapa besar alokasi anggaran yang dikeluarkan pemerintah merupakan cermin dari seberapa besar peran negara dalam dunia pendidikan. Semakin besar anggaran yang dikeluarkan mempengaruhi seberapa besar peran negara dalam kebijakan pendidikan lain seperti penentuan sistem, kurikulum dan sebagainya. Sehingga untuk melihat masalah privatisasi sebuah negara, indikatornya adalah seberapa besar negara mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dan bagaimana trend-nya.

Secara konstitusional alokasi anggaran pendidikan kita sebesar 20% persen. Karena perumusan besaran ini lebih bernuansa politis dibanding idealisme memajukan dunia pendidikan, maka tidak heran jika sampai saat ini pun belum juga terealisasi. Bahkan, untuk APBN tahun depan, anggaran pendidikan diperkirakan akan turun manjadi 9,8% dari 11,8% tahun ini ( Seputar Indonesia, 23/7/2007).

Walaupun secara nominal porsi anggaran pendidikan meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya pada kisaran 3%-4%, bukan berarti peran pemerintah, dalam hal pendanaan pendidikan semakin besar atau dalam hal ini pemerintah tidak melakukan privatisasi pendidikan. Kenaikan anggaran secara nominal harus dikomparasikan dengan kondisi makro ekonomi, seperti standar hidup (standar of living) dan daya beli masyarakat (purchasing power). Jika kedua hal ini saja sebagai penimbang, maka secara riil anggaran pendidikan kita belum bisa dikatakan meningkat, bahkan bisa jadi telah menurun. Fakta yang terjadi dilapangan adalah semakin mahalnya biaya pendidikan dan munculnya regulasi-regulasi yang mengandung spirit privatisasi pendidikan seperti UU BHP untuk Pendidikan Dasar dan Menengah serta UU BHMN untuk Universitas.

Dampak kebijakan privatisasi diperparah dengan kebijakan desentralisasi pendidikan masih prematur. Masih minimnya tanggung jawab pemerintah masing-masing daerah, baik karena memang pendapatan daerah yang rendah maupun karena faktor lainnnya, menciptakan kondisi dimana sekolah atau perguruan tinggi membuat kebijakan secara sepihak. Sehingga biaya pendidikan semakin tidak terkontrol dan melambung tinggi. Seperti yang terjadi pada saat Penerimaan Siswa Baru (PSB) baru-baru ini. Walaupun slogan-nya sekolah tersebut bebas biaya, namun pihak sekolah baik sebelum maupun setelah proses seleksi melakukan beberapa pungutan atas nama uang gedung, seragam, buku, administrasi dan lain-lain. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika sekolah yang dikategorikan sekolah favorit memasang tarif hingga jutaan rupiah bagi siswa baru.

Pertanyaanya bagaimana nasib anak-anak yang datang dari keluarga miskin? Masih adakah hak bagi mereka untuk mengenyam pendidikan berkualitas? Jawaban normatif yang sering muncul dari birokrat pendidikan relatif sama; bagi yang tidak mampu tetapi berprestasi akan ada keringan!. Pernyataan absurd seperti ini di lapangan menemui berbagai macam masalah. Pertama, gaung mahalnya biaya pendidikan lebih membahana dibandingkan dengan pernyataan adanya keringanan tersebut, sehingga pernyataan ini tidaklah mengurangi beban psikologis terkait mahalnya biaya pendidikan yang telah ter-stigma dalam benak orang tua atau calon siswa baru.

Kedua, informasi yang tidak simetris (asymetric information) antara pihak sekolah dengan orang tua memungkinkan terjadinya perilaku tidak fair, tawar menawar "harga" dan sebagainya. Ini terjadi di beberapa perguruan tinggi favorit, dimana orang tua siswa yang "menyumbang" lebih banyak lebih berpeluang mendapatkan kursi dibanding dengan yang tidak punya uang. Praktis dalam hal ini lembaga pendidikan sudah menjadi pasar dalam arti sebenarnya. Dan tak terbantahkan lagi jika pendidikan telah dikomersilkan.

Ketiga, jika dikatakan bahwa anak yang berprestasi tetapi tidak mampu tetap bisa bersekolah atau mendapatkan pendidikan berkualitas. Bagaimana dengan anak yang bodoh yang tidak berprestasi dan miskin? Masih ada tempatkah bagi mereka? Tampaknya anak miskin sudah distigmatisasikan terbuang dari struktur masyarakat. Padahal apakah mutlak kesalahan anak-anak tersebut jika mereka bodoh?

Setiap manusia dilahirkan memiliki potensi yang sama, jika pada akhirnya memiki perbedaan (pintar dan bodoh) sangat dipengaruhi oleh struktur lingkungan yang melingkupinya. Bagaimana anak bisa pintar jika ia tidak mendapat akses untuk sekolah karena kemiskinannya. Bagaimana anak bisa pintar jika waktu terbesarnya disita sekedar untuk membantu kedua orang tuanya mencari nafkah hidup. Bagaimana anak bisa pintar jika terkadang sehari hanya bisa makan sekali. Jika pada akhirnya mereka bodoh atau kurang berprestasi apakah itu salahnya dan pantas mendapat diskriminasi dalam mengenyam pendidikan berkualitas? Lalu kapan anak miskin ini bisa memperbaiki hidupnya lewat pendidikan. Dimana hakikat dan tujuan pendidikan untuk mendorong mobiltas vertikal itu?

Di sisi lain siapa yang disebut sebagai anak yang pintar? Tak lain adalah anak-anak yang secara struktural lebih beruntung dibandingkan anak-anak bodoh dan tidak berprestasi tadi. Untuk menjadi pintar mereka cukup fokus belajar tanpa ada tuntutan untuk membantu orang tua. Untuk bisa pintar mereka juga dengan mudah mengakses pelajaran tambahan, les privat, bimbingan belajar dan kemudahan lainya. Tak heran jika pada akhirnya mereka mampu melanjutkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi favorit. Pembandingan yang sangat kontras dan radikal ini bukan berarti ingin menimbulkan pandangan negatif terhadap sekelompok anak, akan tetapi saya hanya ingin menekankan bahwa anak-anak harus mendapat perlakukan sama demi masa depan mereka.

Melihat realitas ini, dan masa depan bangsa tampaknya cukup beralasan jika pemerintah (negara) segera mengambil alih dan merumuskan tanggung jawab pendidikan secara kongkrit, yaitu menyediakan pendidikan yang terjangkau bagi semua anak bangsa tanpa diskriminasi. Jangan biarkan pendidikan menjadi ajang komersialisasi atau lebih berbahaya lagi jika pendidikan sepenuhnya deserahkan ke tangan swasta dan pada akhirnya disubordinasi oleh kepentingan pasar (pemilik modal). Jika ini terus dibiarkan maka pendidikan hanya sebagai sarana pelestarian kelas (kaum kaya) agar tetap kaya dan kaum miskin tetap miskin. Tidak ada harapan anak-anak miskin untuk merubah hidupnya dan berkontribusi penuh bagi bangsa ke depan. Wallahu'alam