Saturday, October 06, 2007

Mengenang Kritisisme Mahasiswa

Manusia telah diajari bahwa kebajikan tertinggi bukanlah untuk mencapai sesuatu, melainkan untuk memberikan sesuatu (Ayn Rand).

Mahasiswa selalu identik dengan kritisisme terutama ketika sejarah telah mencatatnya dalam membongkar kebobrokan rezim Seokarno dan Seoharto hingga menjatuhkannya. Di kandangnya sendiri (kampus) mahasiswa pun selalu tampak mengkritisi segala kebijakan dari pihak rektorat yang dianggap tak adil dan berbau KKN dan biasanya kritisisme mahasiswa mewujud dalam aksi protes dan demo.

Di manapun sebenarnya gerakan mahasiswa dengan kritisismenya merupakan bagian dari gerakan Kiri Baru. Gerakan Kiri Baru diprakarsai oleh para mahasiswa dan kelompok terpelajar dalam masyarakat modern di Barat awal 1960-an. Aspirasi dasar dari gerakan ini adalah counter modernization. Gerakan kiri baru lahir karena ketegangan antara kapitalisme Amerika dan Marxisme Rusia pasca perang dunia II. Dalam pandangan Kiri Baru, kedua kekuatan tersebut sama-sama memliki kepentingan terhadap masyarakat dunia untuk mewujudkan sistem masyarakat sesuai dengan misi ideologis masing-masing, egoisme keduanya tersebutlah yang ditolak oleh Kiri Baru.

Istilah Kiri Baru atau The New Left diperkenalkan kali pertama dalam majalah The New Left Review (1959) yang dikelola kelompok Marxis-Liberal. Nama tersebut diberikan oleh sosiolog Amerika, C. Wright Mills tahun 1958. Kiri Baru berlawanan dengan Kiri Lama, yaitu partai-partai komunis (Marxisme-Leninis) dan partai sosial demokrat di Barat. Kiri juga dipertentangkan dengan Kanan, yaitu mereka yang mempertahankan sistem dengan cara konservatif; dan ternyata orang-orang Kanan terdapat dalam kubu kapitalis maupun komunis. Sedangkan Kiri, menurut Mills adalah kritik terhadap struktur aktual masyarakat. Dalam pandangannya, menjadi Kiri berarti melibatkan diri dalam kritik politis, baik dalam hal tuntutan-tuntutan politis maupun program-program.

Dari sisi kritiknya, Kiri Baru sangat antibirokrasi dan teknologi. Gerak kritik mereka pun beragam, mulai kritik terhadap konsumerisme, pola hidup borjuis modern, demokrasi semu, sampai gerak balik proses demokrasi itu sendiri (gerakan kembali ke alam). Gerakan ini sebagaimana awalnya terdiri dari kalangan terpelajar di kampus-kampus.

M. Theodori membagi Kiri Baru menjadi tiga tahapan pergerakan, (1) ditandai dengan komitmen moral, keprihatinan individu, kesaksian pribadi akan perdamaian, kebebasan mimbar dan hak-hak sipil, (2) tahap gerakan sporadis tersebut menjadi gerakan kolektif berdasarkan cita-cita demokrasi partisipatoris dan diolah dalam program aksi massa, dan (3) tahap perjuangan mencari kekuasaan politis. Di samping itu James O'Brien menambahkan tahap keempat, yaitu tahap revolusioner sebagaimana gerakan antimilisi dan gerakan hitam bergerilya menentang pemeritah pada tahun 1968 s.d 1970-an di Amerika Serikat.

Merujuk tahapan tersebut, maka gerakan Kiri Baru mahasiswa Indonesia pada setiap tahapnya sudah menunjukkan ketidaksinkronan. Pada tahap awal saja belum terlihat komitmen moral aktivis mahasiswa dalam memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, mereka masih takut ancaman DO dari universitas. Terlebih pada mahasiswa awam, keprihatinan individu terhadap problem dan realitas sosial belum muncul, sebaliknya mereka justru terlena dengan borjuisme dan konsumerisme -suatu yang harus dilawan sebenarnya. Di kampus, perjuangan mereka juga belum sampai pada perwujudan mimbar bebas dan minim advokasi hak-hak mahasiswa. Melihat hal tersebut, bagaimana mungkin gerakan mahasiswa di Indonesia bisa diharapkan berperan lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat dan kontrol pemerintah.

Pada tahap penyatuan menjadi gerakan kolektif jelas hal tersebut bagaikan utopia belaka, karena bagaimanapun juga landasan, paradigma, orientasi, dan tujuan masing-masing individu berbeda -karena belum selesai pada tahap pertama- demikian juga pada level institusi. Contoh nyata adalah, antara PMII dan KAMMI apalagi Gema Pembebasan jelas berbeda -ini jika mengandaikan bahwa semua gerakan mahasiswa adalah gerakan Kiri Baru, karena beberapa persamaan di antara mereka. Perbedaan tersebutlah yang menjadikan mereka saling sikut dan mendahului terkadang dengan cara tidak fair (kotor) terutama pada level ketiga yaitu dalam perjuangan mencari kekuasaan politis. Inilah dilema gerakan mahasiswa pasca reformasi di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, Kiri Baru pada dasarnya merupakan perkembangan pemikiran Marxis di Barat, oleh karenanya mereka di dukung oleh teori-teori revolusioner dan gagasan mereka erat dengan pandangan-pandangan kiri Mazhab Frakfurt, terutama Herbert Marcuse dan Erich Fromm. Mereka menaruh harapan pada kelompok cendekiawan sebagai the agent of historical transformation. Itulah sebabnya mengapa mahasiswa sering dikatakan sebagai agent of social control dan social change serta oposisi permanen pemerintah.

Di Barat radikalitas Kiri Baru mahasiswa dicirikan dengan, (1) ingin mengubah sistem universitas yang dalam pandangan mereka terkait sistem kaptalis modern yang manipulatif, mereka memprotes dosen liberal dan berbagai kegiatan kampus yang membawa style borjuis (party, festival, dan lainnya), (2) berhubungan dengan masyarakat sekitar yang diperjuangkan adalah pembebasan rakyat kecil yang menjadi korban struktur sosial yang tidak adil, dan (3) gerakan universal bagi kaum miskin tanpa memandang asal suku, agama, dan ras. Hal yang sama menjadi ciri gerakan mahasiswa di Indonesia, gerakan yang sampai ke masyarakat langsung lebih banyak didominasi oleh gerakan Kiri Baru dari NGO-NGO (Non Government Organization-Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM]), lembaga independen lainnya, dan masyarakat kecil lainnya berbasis pada problem lokal. Di Indonesia hanya sedikit dari gerakan mahasiswa yang sudah menyentuh wilayah pembebasan rakyat kecil, paling banter mereka hanya sebatas memberikan sumbangan dan demo di jalan. Sedikit yang sudah terjun ke masyarakat, tetapi sayangnya merupakan organisasi underbow partai tertentu yang jelas mempunyai tujuan politis lebih besar. Rata-rata gerakan mahasiswa masih pada tahap menata kandangnya sendiri di kampus-kampus, ironisnya itu pun dengan setengah hati.

Walaupun begitu sifat gerakan Kiri Baru tak hanya politis praktis, melainkan juga sosio-ekonomis. Pada tahun 1966 di Amerika gejala tersebut mewabah dalam bentuk the youth culture, counter culture, dan counter institution. Mereka menganggap bahwa kebudayaan modern telah membusukkan kemanusiaan melalui teknologisasi dan birokratisasi. Mereka cenderung setuju apa yang dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau dengan semboyannya retournons a la nature (kembali ke alam/back to nature). Menuju keberhasilan perjuangannya, Nigel Young (1977) mensyaratkan lima kriteria, (1) melaksanakan aktivitas revolusioner terselubung dengan bersikap kritis terhadap norma dan definisi yang diberikan penguasa dan kelasnya. Mereka harus terus mencari kontra norma dan kontra definisi dari kenyataan sosial yang ada, (2) menempatkan perjuangan revolusioner ini pada kelompok masyarakat yang dilawan, (3) harus berkonfrontasi atas sistem nilai yang berlaku dengan mencari kontradiksinya dalam praktek hingga dapat membuka selubung kepentigan di baliknya, (4) harus menawarkan pengalaman hidup alternatif baik secara sosial maupun individual, dan (5) harus mengkonkretkan pandangan teoritis dan pengalaman hidup alternatif mereka dalam pranata dan proyek baru.

Berdasar pada prasyarat tersebut, gerakan mahasiswa di Indonesia ternyata lebih bercirikan gerakan politis daripada ekonomi dan kultural. Beberapa aktivis yang mencoba merambah wilayah terakhir tersebut pun menemui kendala yang tidak sedikit, mulai dari lemahnya syahwat intelektual sampai minimnya pendanaan. Hal inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai bagian gerakan Kiri Baru serasa tidak membumi dan belum mengena wilayah praksis masyarakat. Gerakan kultural Kiri Baru masih banyak yang sekadar wacana belaka.

Sementara itu, Sargent (1981) mencoba mengidentifikasi gerakan Kiri Baru ini dalam tujuh nilai dasar, yaitu: (1) Praksis. Gerakan Kiri Baru lebih mementingkan praksis daripada teori. Pandangan ini dipengaruhi oleh Neo-Marxisme yang mengatakan bahwa praksis mendahului refleksi teoritis, dan praksis revolusioner harus diterangi teori. (2) Jati diri (authentic self), penakanan penemuan jati diri dalam gerakan ini dipengaruhi filsafat eksistensialisme yang dirintis Jean-Paul Sartre. Filsafat ini kritis terhadap norma dan mencanangkan kebebasan individu yang mendekati taraf absolut dengan mengutamakan kehendak individu. (3) Komunitas. mereka mengidamkan komunitas yang menjadi wahana interaksi secara efektif. Pemikiran tentang komunitas ini banyak diberikan oleh Erich Fromm setelah kritiknya terhadap modernitas sebagai masyarakat yang tak sehat. (4) Persamaan. Gagasan ini dipengaruhi pemikiran sosialis Marxis di Barat yang mengidealkan persamaan dalam pelbagai bidang, mulai dari ekonomi sampai penghapusan kelas sosial. (5) Kebebasan. Dalam lingkup pendidikan mereka memperjuangkan universitas bebas, sekolah bebas, perkumpulan mahasiswa bebas; dalam masyarakat mencita-citakan klinik bebas, toko bebas, dan lainnya. Pandangan ini dekat dengan gagasan anarkisme yang diusung Ivan Illich dalam pendidikan. (6) Demokrasi partisipatoris. Mereka mengarah pada demokrasi langsung ala Rousseau. (7) Revolusi. Dalam hal ini, Nigel Young mengatakan bahwa Kiri Baru merupakan perpaduan model revolusi Marxisme klasik, Leninisme, dan Maoisme yang diolah dengan gagasan Che Guevara, Fidel Castro, dan Debrai. Akhirnya revolusi menurut mereka identik dengan kekerasan semacam kudeta berdarah. Di lain tempat, gagasan Mazhab Frakfurt adalah anti kekerasan sebagaimana diusung Herbert Macuse. Dalam perjalanannya, gerakan revolusi kekerasan telah menjadi salah satu sebab memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat.

Memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat pada awal 1970-an menurut D. Schon adalah karena tidak jelasnya bentuk gerakan. Aksi protes dan demonstrasi mereka sering tidak mendapat tanggapan penguasa, di samping itu mereka juga tidak mampu menggalang kekuatan karena struktur organisasi yang tidak jelas. Akibatnya Kiri Baru dikatakan lebih sebagai mood daripada movement, Nigel Young menyebutnya sebagai suatu revolusi kekanak-kanakan dari mahasiswa marah yang kekiri-kirian. Di Barat, gerakan ini semakin dikuasai emosi-emosi mereka; menjadi militan dan diresapi oleh kebutuhan akan utopia-utopia religius. Kecenderungan ini semakin memperkuat sayap kanan yang koservatif dan melemahkan Kiri Baru. Kini Kiri Baru di Amerika terpecah menjadi sekte berbau keagamaan yang menjadikannya tidak relevan dari arus Kiri Baru semula. Dengan sejarah yang berbeda, gerakan Kiri Baru pada mahasiswa Indonesia juga mengalami militansi dan mengarah pada gerakan utopia religius.

Young mengidentifikasi bahwa krisis identitas dalam gerakan Kiri Baru di Barat terjadi faktor internal berupa keterbatasan ideologi, strategi, analisis, leadership; sedangkan faktor eksternal adalah karena belum dapat menempatkan diri dalam gerakan di dunia ketiga dan pengaruh pemikiran Marxisme-Leninisme. Di Indonesia masalah yang sama juga terjadi. Kiri Baru sekarang masih ada yang dapat mengembangkan dirinya dalam bentuk gerakan feminisme, gerakan antinuklir, gerakan ekologi, keadilan gender, yang caranya lebih disesuaikan dengan keadaan.

Memudarnya gerakan Kiri Baru seolah meneguhkan tesis Francis Fukuyama dalam The End of History-nya bahwa sejarah telah berakhir dan pemenangnya adalah Kapitalis-Liberalis. Namun jika ditinjau lebih mendalam sebenarnya yang memudarkan gerakan ini adalah adanya problematika yang besar pada prinsip nilai mereka. Misal revolusi yang mengandaikan jebolnya tatanan lama dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru adalah hal yang tak mungin. Pun dalam demokrasi partisipatoris hanya dapat diterapkan dalam masyarakat kecil, bukan masyarakat besar seperti sekarang.

Problematika pada gerakan mahasiswa yang belum tuntas pada level filosofis tersebut berimbas pada gagapnya praksis gerakan di lapangan. Sekarang hanya ada satu dua letupan demonstrasi mahasiswa, itu pun tidak didengarkan pemerintah. Dan agaknya masyarakat sekarang mulai berani melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Inikah buah keberhasilan gerakan Kiri Baru yang di Indonesia dibawa oleh mahasiswa? Jika sudah berhasil buat apa gerakan mahasiswa? Ibarat lahan garapan mahasiswa dalam menyadarkan dan memberdayakan sudah selesai karena masyarakat sebagian besar sudah sadar, lalu hal apa lagi yang harus digarap mahasiswa? Jangan terlena dengan pernyataan ini, masih banyak hal yang belum selesai diperjuangkan. Apa yang disuarakan oleh masyarakat yang berani demonstrasi hanyalah pucuk dari gunung es problematika yang belum terlihat. Berpijak pada paradigma kritis, maka banyak hal yang harus disingkap selubung ideologis dan kepentingannya dalam masyarakat yang menindas.

Berkaca pada problematika gerakan mahasiswa yang diletakkan sebagai varian gerakan Kiri Baru di atas, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tidak usah muluk-muluk, mungkin kita perlu diskusi santai dulu, sambil ngopi dan menikmati gorengan agar otak bisa cair dan mencari alternatif solusi pemecahan masalah. Kelemahan mahasiswa pada pemahaman istilah semisal Kanan, Kiri, Liberal, Pluralisme, Sekularisme, Demokrasi, Kritisisme, dan lainnya tampaknya harus digugat; biar semuanya mau berkaca dan membaca serta berdiskusi, agar tak saling hujat dan lebih bijak. Karena pada level mahasiswa bukankah tugas utamanya dalam konstruksi transformasi sosial adalah pada pembentukan paradigma berpikir dan character building (?)

By : Edi Subkhan

Wednesday, October 03, 2007

PANDANGAN ESENSIALISTIK, A-HISTORIS DAN INKONTEKSTUAL TENTANG KEBUDAYAAN

Bagi saya, tidak ada kata terlambat untuk mengkaji sejarah pemikiran. Apalagi, "polemik kebudayaan" yang terjadi pada 1930-1938 merupakan refleksi atas sejarah kita sendiri, sejarah bangsa Indonesia. Perbincangan kita tentang "polemik kebudayaan" tak ubahnya seperti kita mengkaji Heidegger, Hegel, Kant atau bahkan Aristoteles dan Plato yang proses produksi pemikirannya sangat jauh dari kita dari segi jarak waktu.

Selain itu, perbincangan tentang "polemik kebudayaan" yang kita lakukan tentu saja harus dilandasi oleh motivasi untuk melakukan pembacaan produktif sehingga kita bisa menariknya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita sendiri di masa kini dan masa depan. Terlebih, menurut hemat saya, perbincangan ihwal masalah kebudayaan Indonesia hingga saat ini masih perlu dilakukan,karena proses integrasi kebudayaan yang ada ruang yang (demikian, kata Ben Anderson) dinamakan atau dikhayalkan sebagai Indonesia belum sepenuhnya tercapai. Apa yang selama ini terjadi bukan integrasi kebudayaan sebagai titik-tolak untuk menjalani kehidupan bersama, melainkan (meminjam istilah Geertz) involusi kebudayaan di mana satu unsur kebudayaan melindas kebudayaan lainnya. Bagaimana, misalnya, kita meletakkan berbagai warisan-warisan kebudayaan dari tradisi lokal, tradisi India, Arab, Cina dan Eropa yang hingga kini masih berbentuk gugusan (seperti dikatakan Lombard) "nebula mental" yang dalam kadar tertentu saling mengekslusi satu sama lain?

Kalau kita mencermati kembali watak dasar dari artikulasi gagasan dalam "polemik kebudayaan" itu, maka akan tampak cara pandang yang sangat esensialistik, a-historis dan tidak kontekstual dalam melihat kebudayaan; disebut esensialisik karena satu kebudayaan dipandang memiliki hakikat yang monolitik, tidak ada variasi-vasriasi di dalamnya; pandangan esensialistik ini juga terkait erat dengan cara pandang a-historis dan tidak kontekstual, karena melihat kebudayaan sebagai being, bukan becoming. Padahal, kebudayaan sejatinya dipandang sebagai satu hal yang senantiasa berproses, diproduksi dan direproduksi dalam lintasan ruang dan waktu. Cara pandang esensialistik, a-histois dan tidak kontekstual tampak dalam pandangan kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) ataupun lawan-lawan polemiknya semisal Sanusi Pane.

STA, misalnya, berpandangan bahwa:
"Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya, hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas. Maka, telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropa, Amerika, Jepang. Demikian saya berkeyakinan bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat."

Bagi STA, kebudayaan Timur bersifat statis makanya mati, sementara kebudayaan Barat bersifat dinamis makanya terus eksis dan menguasai dunia. Karenanya, di mata STA, Indonesia sebagai bagian dari Timur harus mengganti kiblatnya ke Barat ahar bisa bangkit dan mensejajarkan diri dengan masyarakat Barat. Demikian, "Timur" dan "Barat" dipandang sebagai hakikat yang monolitik.

Sementara itu, Sanusi Pane juga takalah esensialistiknya dalam melihat kebudayaan. Ia misalnya mengatakan:

"Barat… mengutamakan jasmani sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani. Timur mementingkan rohani sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila."

Demikian, Sanusi Pane memang memandang bahwa sesuatu yang ideal adalah "menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan kolektivisme." Sungguhpun begitu, sangat tampak kecenderungan Sanusi Pane untuk mempercayai bahwa "Timur lebih baik" karena "materialisme, intelektualisme dan individualisme"-yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan ("ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan". Karenanya, Sanusi Pane jelas lebih memilih Timur ketimbang Barat sebagai acuan kebudayan Indonesia di masa depan.

Kalau kita membaca karya-karya tentang sejarah Nusantara yang ditulis, misalnya, oleh Denys Lombard, Anthony Reid, MC Ricleft, Sartono Kartodirdjo atau Kuntowidjoyo, maka akan tampak bahwa warisan kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa serta tradisi lokal yang sebelumnya telah ada di Nusantara, satu sama lain saling berkelindan sebagai respon atas situasi aktual, baik itu bersifat politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Respon-respon yang diartikulasikan oleh orang-orang yang terlibat di dalam terlibat dalam berbagai proses kehidupan kongkrit tersebut tampak sangat beragam dan kontekstual. Pada gilirannya, respon-respon tersebut memproduksi beragam konstruksi kebudayaan baru yang saling berlainan, satu dengan lainnya. Kajian-kajian sejarah tersebut jelas bertolak belakang dengan pandangan STA dan Sanusi Pane tentang apa yang disebut sebagai kebudayaan Timur dan Barat.

Kita bisa ambil contoh kehadiran agama atau budaya Islam dalam proses-proses sosial yang terjadi di hampir seluruh wilayah Nusantara, khususnya kehadiran Islam pada abad ke-15 hingga ke-17. Dalam kurun dua abad ini, terjadi transformasi berskala luas dan besar dalam berbagai bidang kehidupan di kepulauan Nusantara. Pada masa-masa ini, Nusantara terlibat dalam suatu era baru yang oleh Anthony Reid disebut sebagai era perniagaan global. Volume dan nilai perdagangan semakin meningkat pesat, terutama komoditas cengkeh, pala, lada, kayu cendana, batu bezoar, teripang, kapur barus dan kemenyan. Di wilayah pesisir, mulai bermunculan kota-kota pelabuhan baru, terutama di wilayah Sumatera bagian utara dan pesisir utara Pulau Jawa. Selain itu, era perniagaan global ini juga telah mengubah bagian timur Nusantara menjadi wilayah yang sangat penting dengan pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan sebagai katalisatornya. Dalam bidang politik, terutama di wilayah pesisir tersebut, kaum bangsawan yang sekaligus berprofesi sebagai saudagar semakin memiliki pengaruh yang sangat besar. Terakhir, era perniagaan global ini telah membawa Nusantara ke dalam arus besar proses Islamisasi yang luar biasa.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari proses perubahan secara besar-besaran dalam apa yang oleh Denys Lombard disebut dengan jaringan Asia beberapa abad sebelumnya. Pada abad ke-13, para elite Mongol yang telah masuk agama Islam disinyalir berperan besar dalam upaya mendorong Kubilai Khan yang baru saja menduduki singgasana Kekaisaran Cina untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi laut ke wilayah Jepang, Campa, Vietnam, dan Jawa. Di dalam berbagai ekspedisi tersebut, tidak sedikit orang-orang Cina Selatan yang ikut serta sebagai pelaut, serdadu dan pedagang. Banyak di antara mereka yang sudah beragama Islam. Peran orang-orang Cina Muslim ini tidak berkurang hingga beberapa periode berikutnya. Bahkan, dari 1405 sampai 1453, ketujuh pelayaran besar armada Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke arah pelabuhan-pelabuhan Nusantara dan Samudera Hindia, sampai ke Srilangka, Quilon, Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Mogadisco dan Malindi, menunjukan betapa besar kiprah orang-orang Cina Muslim dalam perniagaan laut tersebut. Laksamana Zheng He sendiri adalah Muslim, anak seorang haji dari Yunan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, India, terutama di bagian pesisir, juga telah mengalami proses Islamisasi. Suku Turki Ibari dan suku Afghanistan Khiliji berhasil memperkuat Kesultanan Delhi di utara. Berikutnya, Muhammad bin Tughluk (1325-1351) memindahkan perbatasan kesultanan ke selatan sampai daerah aliran sungai Kaveri dan mendirikan ibu kota Daulatabad di mana hampir seluruh wilayah India berada di bawah kekuasaannya. Setelah penyerangan Timur Leng yang menghancurkan Delhi (1398-1399), kekaisaran Tughluk terpecah-belah ke dalam beberapa kesultanan. Di antaranya adalah Bengali dan Gujarat yang kemudian mengalami kemajuan pesat di bawah pemerintahan Ahmad Shah (1411-1441) dan Mahmud Baikara (1458-1511). Sementara itu, bangsa Bahmanid Syiah juga berhasil mendesak Kerajaan Vijayanagar Hindu di daerah Dekan. Pada masa-masa ini, orang-orang India Muslim dikenal sebagai pengendali kegiatan perdagangan dengan negeri-negeri Arab, Ormuz dan Maladewa.

Dengan demikian, selama dua abad, Samudera Hindia menjadi arena perniagaan besar yang hampir sepenuhnya bernuansakan Islam. Di dalamnya, orang-orang dari Cina, India dan Arab secara bersama-sama menghidupkan jaringan Asia yang, tidak saja bergerak dalam kegiatan jual-beli, tapi juga proses Islamisasi yang sangat bersemangat. Lagi-lagi, keberadaan jaringan Asia yang merentang dari wilayah Maghribi sampai Timur Jauh ini seolah-olah memberikan pembenaran atas tesis Weberian yang menyatakan bahwa perubahan di bidang keagamaan memiliki hubungan ellective affinity (konsistensi logis, bukan sebab-akibat) dengan perubahan di bidang sosial, ekonomi dan politik.

Sebagai bagian tak terpisahkan dari jalur perdagangan dalam jaringan Asia ini, Nusantara—dan juga Asia Tenggara secara umum—seperti tidak mau ketinggalan untuk mendapatkan berkah di era perniagaan global tersebut. Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok sosial baru bermunculan dengan modal bergerak sebagai harta kekayaannya. Semangat kosmopolitanisme dunia perdagangan juga telah membentuk mentalitas elite-elite di sekitar pelabuhan ini sangat berbeda mentalitas para bangsawan dalam kerajaan-kerajaan lama di pedalaman. Selain itu, sektor-sektor ekonomi berbasis perdagangan tersebut dengan sendirinya memisahkan atau bahkan menciptakan otonomi kota-kota pesisir dari kekuasaan ibu kota-ibu kota lama yang basis perekonomiannya lebih disandarkan pada sawah dan sistem pertanian. Pada akhirnya, di bandar-bandar pelabuhan laut ini terbentuklah suatu tatanan politik baru berbentuk kesultanan. Pada abad ke-13, Samudera Pasai telah menjadi kesultanan Islam pertama di ujung utara pulau Sumatera yang kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lainnya di seluruh Nusantara beberapa periode setelahnya.

Merujuk kepada Anthony Reid, ahli sejarah asal Australia, terdapat empat faktor penting yang menandai munculnya era perniagaan global di Nusantara secara khusus dan Asia Tenggara secara umum.

Pertama, kemajuan perniagaan. Pada sekitar 1390-an, tidak kurang dari enam metrik ton cengkeh dan satu setengah metrik ton pala asal Maluku telah berhasil membanjiri pasar Eropa dalam setiap tahunnya. Satu abad kemudian volume perdagangan meningkat menjadi 52 ton cengkeh dan 26 ton pala. Sementara rempah-rempah dari Nusantara di bawa melintasi Samudera Hindia oleh para saudagar Muslim dari berbagai negeri ke pasar-pasar Mesir dan Beirut untuk kemudian dibeli oleh para pedagang Italia, terutama saudagar dari Venesia. Hal ini terus berlangsung hingga abad ke-17 di mana Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Spanyol, Portugal dan India berlomba-lomba untuk membeli produk-produk dari kawasan Nusantara berupa lada, cengkeh, pala, kayu manis, kayu cendana, pernis, sutera dan kulit rusa. Selain sebagai konsumen, mereka datang ke Nusantara juga disertai dengan penjualan barang-barang seperti kain, perak dan sebagainya.

Kedua, teknik-teknik baru militer. Kedatangan bangsa-bangsa asing menawarkan teknologi kemiliteran yang dibutuhkan oleh para pemimpin politik di wilayah Nusantara untuk memperkuat dan mengakumulasikan kekuasaannya. Orang-orang asal Portugis, Turki, Gujarat, Jepang dan Spanyol adalah pihak-pihak yang berhasil menjajakan teknologi kemiliteran di Nusantara berupa senjata api, meriam, kapal perang dengan daya kecepatan tinggi dan pembuatan benteng sebagai teknik pertahanan. Teknologi baru dalam bidang kemiliteran ini telah membantu Demak menjadi kerajaan terkuat di Jawa pada masa Sultan Trenggana (1520-1551) serta mendorong Aceh dan Makassar untuk memperkokoh kekuatannya sehingga berhasil memunculkan kekuasaan terpusat pada awal abad ke-17.

Ketiga, negara baru. Pada masa-masa sebelumnya, Nusantara dikenal sebagai wilayah yang ditandai dengan pluralisme kekuatan politik di mana negara-negara bangkit dan runtuh dalam jangka waktu yang realtif singkat. Namun, munculnya era perniagaan global dan teknik-teknik baru di bidang kemiliteran telah membawa perubahan signifikan bagi lahirnya negara-negara baru yang relatif kokoh dan terpusat. Demikian, Melaka, Gresik, Ternate, Makassar, Banten dan Aceh muncul sebagai negara yang memusat di mana pusatnya terletak di pusat perniagaan di wilayah pesisir laut. Pada gilirannya, keuntungan-keuntungan di bidang perniagaan ini memberikan timbal-balik bagi terakumulasinya kekayaan negara sehingga mampu menciptakan pasukan militer yang kuat dan berteknologi tinggi yang mampu menopang stabilitas negara-negara pesisir tersebut.

Keempat, ortodoksi agama kitabiah. Kemunculan era perniagaan global jelas-jelas membutuhkan kerangka nilai yang sesuai di mana animisme dan dinamisme (dalam kadar tertentu juga Budhisme dan Hinduisme) tidak lagi dianggap memadai. Sebab, ajaran-ajaran yang berorientasi kepada stagnasi dan kejumudan tersebut tidak bisa memberikan dukungan acuan-acuan normatif yang melegitimasi dinamika cepat pada era perniagaan global. Karenanya, Islam muncul sebagai alternatif untuk memberikan kerangka nilai bagi perubahan-perubahan yang terjadi seriing dengan kemunculan era perniagaan global. Proses Islamisasi kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatra, Melaka dan Sulawesi merupakan bukti nyata yang menandai proses perubahan besar-besaran di wilayah ini.

Menurut hemat saya, terdapat beberapa hal yang bisa kita dapat dari kajian-kajian sejarah tersebut.

Pertama, agama dan budaya Islam yang dihadirkan di Nusantara tidak bersifat monolitik. Sebab, para pembawa Islam tersebut ada yang datang dari Yaman, Parsi, Turki, India dan Cina. Tentu saja, corak keislaman yang dibawa oleh masing-masing kelompok pedagang ini berbeda-beda karena sebelumnya telah direformulasi berdasarakan situasi dan kondisi yang ada di negerinya masing-masing.

Kedua, pandangan esesnialistik tentang Timur yang statis dan mistis, baik dari STA maupun Sanusi Pane, jelas sangat keliru. Nyatanya, jauh sebelum munculnya perniagaan secara besar-besaran di wilayah Eropa yang kemudian menjadi cikal-bakal kapitalisme modern, Nusantara (juga Asia Tenggara dan Asia pada umumnya) telah mengalami dinamika kehidupan, baik dalam bidang, ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Ketiga, ketika agama atau budaya Islam hadir di Nusantara, maka Islam tersebut diformulasikan atau ditransformasikan secara berbeda-beda oleh setiap masyarakat yang ada di Nusantara. Misalnya, kita tidak akan bisa menampik bahwa bentuk Islam di Demak dengan Mataram sangatlah berlainan. Begitu pula dengan Islam di Aceh. Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi di mana Gowa, Tallo, Luwuk, Sopeng, Wajo dan Bone memiliki formulasi keislaman yang berbeda-beda.

Selain itu, STA dan Sanusi Pane juga alpa bahwa dinamisme Islam di Nusantara mulai meredup karena kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang memaksakan dirinya sebagai the other bagi kebudayaan Islam di Nusantara melalui upaya monopoli perdagangan dengan menggunakan kekuatan politik dan militer. Secara militer, kekuatan Eropa (yang di dalamnya juga memiliki unsur-unsur yang berlainan: Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol) sebenarnya tidak memiliki kelebihan yang signifikan di banding kekuatan yang dimiliki oleh kesultanan-kesultanan di Nusantara. Namun, justeru pertikaian antara sesama kesultanan itulah yang dimanfaatkan oleh Belanda khususnya untuk mengambil dominasi dengan menjalankan politik belah-bambu (Mataram vs. wilayah pesisir utara pulau Jawa; Gowa-Tallo vs Bone; dsb).

Ketika Belanda berhasil membentuk Pax-Nederlandica di Nusantara, maka muncul dominasi kebudayaan oleh Belanda atas kebudayaan-kebudayaan lokal yang telah ada sebelumnya. Kita bisa lihat, misalnya, dalam proses formasi nalar atau budaya politik Nusantara, Belanda cenderung mewariskan cara-cara berpolitik yang otoriter dan absolutis (tidak ada pembagian kekuasaan, tidak ada pengakuan hak-hak sipil, tidak ada otonomi daerah, dsb). Pada gilirannya, budaya politik semacam inilah yang diwarisi oleh Indonesia paska-kolonial sehingga kemudian muncul rezim politik yang otoriter dan absolutis sebagaimana terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Dalam konteks inilah, kita perlu mempertanyakan kembali asumsi-asumsi atau cara pandangan tentang kebudayaan dengan cara yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh STA dan Sanusi Pane. Bagaimana kita seharusnya memahami gugusan kebudayaan yang ada hingga saat ini di Indonesia? Bagaimanakah kita mengatasi involusi kebudayaan yang masih terjadi hingga saat ini?


By :
Iqbal Hasanuddin