Friday, January 04, 2008

Neoliberalisme – Kolonisasi Homo Ekonomikus dan Homo Finansialis

Saya akan memulai dengan pertanyaan what is neoliberalism? Apa itu neoliberalisme? Ini bisa membuat saya balik ke tahun 1920-an ketika istilah itu muncul. Tapi istilah waktu itu berbeda dengan yang dipahami sekarang. Dari sejarah yang sangat panjang itu, apa itu neoliberalisme, maka jawaban saya kurang lebih, neoliberalisme adalah kolonisasi atas dua bidang.

Pertama, neoliberalisme merupakan kolonisasi homo ekonomikus atas dimensi-dimensi lain hidup manusia. Jadi, instink kita untuk kalkulasi untung-rugi menurut seorang kapitalis itu sedang mengkolonisasi politik, pendidikan, cara kita berpikir, bahkan berelasi dengan orang. Sekarang aspek ekonomikus itu yang sedang mengkolonisasi aspek lain dalam diri manusia. Jadi, dimensi ekonomi dalam diri kita itu mengusai, baik aspek biologis, aspek sosial, aspek kultural, aspek politik, aspek hukum dan sebagainya. Dengan demikian, neoliberalisme itu sesungguhnya merupakan faham tentang gambaran manusia—siapa itu manusia. Siapa itu manusia? Manusia itu (senyatanya-ed) adalah makhluk spiritual, makhluk biologis, makhluk politis, makhluk kultural dan sebagainya. Namun, menurut neoliberalisme, jawabannya bukan! Manusia itu pada intinya adalah makhluk ekonomi. Implikasinya besar sekali. Itulah mengapa banyak aspek-aspek kultural yang kemudian mengalami marketisasi. Aspek-aspek sosial, aspek-aspek politik, pendidikan dan sebagainya mengalami “ekonomisasi”. Mengapa? Kalau dibelakangnya tidak ada sebuah pengandaian bahwa ekonomi itu lebih tinggi dari yang lain, tentu tidak akan menjadi seperti itu.

Kedua, kolonisasi homo finansialis—menyangkut masalah keuangan—atas homo realis (nyata). Homo ekonomikus itu berhadapan dengan kalkulasi untung rugi, uang, makanan, perumahan—bagaimana mencukupi kebutuhan hidup. Nah, apa yang terjadi pada lapis kedua: neoliberalisme adalah kolonisasi homo finansialis—menyangkut masalah keuangan—atas homo realis (nyata)—makanan, minuman. Jadi, logika uang mengkolonisasi apa saja yang real, konkret. Di Cibaduyut, pabrik sepatu itu adalah real, produksi real; sedangkan yang finansialis adalah Bursa Efek Jakarta. Jadi hal yang menyangkut soal keuangan mengkolonisasi ekonomi yang konkret. Ekonomi keuangan mengkolonisasi ekonomi real. Itulah mengapa sekarang di koran-koran kita membaca ratapan bahwa di Indonesia sektor real-nya tidak maju. Itu terjadi karena yang berkembang adalah homo finansialisnya.

Karena istilah neoliberalisme itu seringkali disalahpahami dengan istilah tahun 1930, maka seringkali juga bisa disebut neoliberalisme itu adalah fundamentalisme pasar. Fundamentalisme pasar artinya logika pasar diterapkan pada semua hal; cara berpikir pasar itu tidak lagi menjadi salah satu prinsip untuk mengorganisasi hidup, melainkan dipakai untuk mengorganisasi seluruh hidup. Bagaimana itu terjadi? Itu terjadi karena akumulasi laba dari para kapitalis itu mandek. Cara untuk melakukan akumulasi yang lebih besar adalah mengkolonisasi semua aspek kehidupan dengan logika pasar. Itulah mengapa timbul gelombang privatisasi.

Sebenarnya ekspansi homo ekonomikus ke homo-homo lain itu sesuatu yang biasa dalam sejarah—karena kalau orang memiliki agenda, itu ekspansif. Tetapi masalahnya begini: ini—kolonisasi homo ekonomikus-ed—hanya akan menjadi masalah sangat serius ketika akses pada kebutuhan dasar—pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perumahan, pakaian—masuk ke dalam logika pasar. Dasar itu artinya, tanpa makan kita tidak bisa hidup. Itu dasar. Mobil, itu bukan dasar, karena kalaupun toh kita tidak punya mobil, kita tetap bisa hidup. Tetapi kalau tidak punya air dan tidak punya makanan, itu dasar, karena tanpa minum dan makan pasti kita tidak bisa hidup. Itu pasti.

Jadi, ini semua akan menjadi masalah serius hanya jika akses pada hal-hal dasar dan kebutuhan dasar itu tadi masuk ke dalam logika pasar. Perumahan, makanan, air itu bukan lagi hak asasi, tetapi tergantung kepada kemampuan daya beli—punya uang atau tidak. Makanan dan air itu adalah kebutuhan dasar. Artinya, tanpa makanan dan tanpa minum kita akan mati, titik. Karena dasar itulah maka dinamakan hak asasi. Hak asasi itu artinya anda punya duit atau tidak, anda berhak memperoleh makanan dan minuman. Kalau akses terhadap minuman dan makanan itu ditentukan oleh daya beli—punya atau tidak punya duit—maka menjadi masalah. Jadi, sekali lagi, itu menjadi masalah serius ketika akses orang terhadap minuman, kesehatan dan makanan—basic need—tergantung bukan lagi pada hak asasi, melainkan pada daya beli—kemampuan untuk membeli. Kalau saya bisa membeli, saya bisa mendapatkan lingkungan hidup yang paling sehat, tetapi kalau tidak bisa maka akan mendapatkan lingkungan hidup yang paling buruk. Jika saya memiliki daya beli saya bisa memperoleh seluruh makanan yang ada di bawah langit, tetapi jika tidak saya tidak akan bisa makan apapun juga.

Sekali lagi masalahnya adalah, ini menjadi masalah serius, karena akses ke bidang-bidang lain, seperti politik, hukum dan sebagainya sangat tergantung pada daya beli. Dengan demikian, “tiket” untuk bisa makan dan mimum itu bukan lagi hak asasi manusia, melainkan daya beli. Orang disebut miskin karena dia tidak memiliki daya beli, titik! Jadi tidak usah meromantisasi bahwa orang miskin itu miskin jiwanya, miskin sukmanya. Ya, fine.. but the first of all... orang itu disebut miskin karena tidak punya daya beli untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Jadi gagasan neolibiberalisme itu memiliki kaitan yang sangat problematis dengan persoalan poverty (kemiskinan). Intinya adalah: karena akses pada kebutuhan dasar hidup bukan lagi masalah hak asasi, melainkan karena masalah daya beli. Hubungannya dengan masalah kemiskinan ada di situ.

Ada suatu masalah yang lebih besar lagi—kolonisasi homo finansialis atas homo realis tadi itu kurang lebih ini datanya:

Tahun 1971 sekatar 90% dari transaksi finansial global per hari 1,4 milyar dolar. Itu terkait dengan kinerja sektor real. Hanya 10% untuk bermain-main dengan saham atau valas dan sebagainya. Tahun 1990 sudah mulai terbalik. Tahun 2000 sekitar 95% dari transaksi finansial global per hari 1,5 triliun dolar, itu berupa transaksi spekulatif yang 40% darinya spekulasi kecepatan mondar-mandir 1—7 hari. 40% darinya memiliki kecepatan kurang dari 2 hari.

Implikasi dari neoliberalisme itu begini: segala bentuk proyek bersama—seperti kita ingin membangun sebuah bangsa—membentuk Indonesia—atau kita ingin membentuk sebuah komunitas, atau kepentingan publik—lingkungan sehat, memecahkan kemiskinan. Apa yang tragis adalah: segala macam proyek bersama itu tidak lagi mungkin dikejar secara sengaja. Usaha membangun Indonesia tidak bisa lagi dikejar secara sengaja. Segala macam proyek bersama tidak bisa lagi dikejar secara sengaja, termasuk lingkungan hidup yang sehat, tidak bisa lagi dikejar secara sengaja.

Itu agak subtil, kenapa? Lingkungan hidup yang baik, anak-anak sekolah 9 tahun hanya akan terjadi jika (program tersebut-ed) menguntungkan. Jika tidak menguntungkan, kita tidak tahu apakah akan terjadi atau tidak. Jadi, bahasanya: seperti Indonesia, atau lingkungan hidup yang sehat atau anak-anak sekolah 9 tahun itu can no longer be persuade intentionally—tidak mungkin dituju secara langsung, melainkan harus melingkar-lingkar dulu, apakah menguntungkan atau tidak. Apa yang mengerikan dalam neoliberalisme adalah: lingkungan hidup yang sehat, pembentukkan bangsa Indonesia dan sebagainya tidak bisa lagi dikejar secara sengaja.

Oleh sebab itu, lingkungan hidup yang sehat, wajib belajar 9 tahun, itu tidak mungkin bisa lagi dikejar secara sengaja sebagai proyek kolektif. Mengapa? Kira-kira begini: kalau lingkungan yang sehat itu menguntungkan homo ekonomikus, ya bagus, tapi kalau tidak terjadi, itu memang bukan tujuan homo ekonomikus. Tujuan homo ekonomikus itu adalah mencari laba, bukan menciptakan lingkungan yang sehat. Sama juga dengan pembantukan bangsa Indonesia. Kalau bangsa Indonesia terbentuk, itu bagus, tetapi kalau tidak terbentuk, itu juga bukan tujuan kami datang ke sini sebagai investor. Itu argumen saya tentang hubungan Indonesia dengan globalisasi.

Bagi para pemain global, mereka tidak perduli apakah Indonesia akan terbentuk sebagai bangsa atau tidak. They don’t care. Orang seperti Bill Gates atau George Soros dan lainnya itu they don’t care, they don’t care apakah Indonesia akan terbentuk atau tidak. Apakah bangsa Indonesia itu terbentuk atau tidak, they don’t care. Kalau terbentuk ya syukur, tetapi kalau tidak terbentuk, itu bukan tujuan kami sebagai para pemain global. Begitu kira-kira. Itulah mengapa, menurut para neolib nasionalisme, patriotisme dan lainnya itu rubbish. Proyek bersama untuk mengentaskan ini dan itu adalah rubbish. Sekarang mulai masuk akal. Atau seandainya pun pembentukkan bangsa Indonesia dianggap berguna, tujuannya tidak lain adalah supaya ada pangsa pasar.

Kalau situasi pendidikan, kondisi pendidikan, kesehatan, sanitasi, perumahan, politik, hukum, museum, kebudayaan dan sebagainya tidak lagi dan bukan lagi masalah human rights, tetapi masalah daya beli, tentu saja bebas dari kemiskinan juga bukan masalah human right, tetapi masalah daya beli. Bisa saja kita mengumumkan dengan jargon yang sangat tinggi tentang kebebasan, kebebasan, tetapi in the end, untuk gagasan neoliberalisme tiket untuk mendapatkan kebebasan itu adalah ada tidak adanya daya beli. Itulah mengapa untuk negara-negara yang sungguh-sungguh kaya gagasan neoliberalisme tidak menjadi masalah. Tetapi untuk sebuah negara—yang menurut World Bank November 2006 itu 108,78 juta penduduk itu dibawah 2 dolar—this is a big, big problem. Karena tiket untuk sanitasi, tiket untuk pendidikan, tiket untuk akses hukum dan lainnya itu tidak dianggap sebagai masalah human rights, tapi daya beli. Maka untuk negara yang sebagian penduduknya punya daya beli no problem, tetapi untuk sebuah negara yang sepauh penduduknya itu sangat miskin, tentu saja menjadi masalah sangat besar. Dan itulah mengapa anda perlu hati-hati berbicara soal hak asasi. Hak asasi sipil dan politik itu sungguh lain dengan hak asasi ekonomi dan sosial. Apa yang berkembang di Indonesia itu adalah sipil dan politik, belum menyentuh masalah akses ekonomi dan hak ekonomi dan sosial lainnya.

Gagasan neolib itu kurang lebih seperti ini:

Agenda Pengentasan Kemiskinan → Logika Pasar Bebas Orang Miskin

Ada agenda menghapus kemiskinan, lalu akan lewat apa yang disebut sebagai logika pasar bebas, baru setelah itu sampai pada orang miskin. Jadi bukan langsung, melainkan akan lewat jalan melingkar, yaitu lewat logika pasar bebas dulu. Menurut argumen para neoliberal, orang miskin itu hanya terentaskan kalau melalui logika pasar bebas. Jalan melingkar inilah yang nanti akan kita lihat, bahwa ini akan membuat pengentasan kemiskinan itu hanya sebagai hasil sampingan. Side effect saja, dan tidak bisa dikejar secara sengaja. Skema di atas adalah skema yang sangat khas dari pendekatan neoliberalisme terhadap so many problem, terhadap banyak masalah: entah tentang poverty reduction, entah tentang pembentukan bangsa Indonesia, entah pendidikan anak-anak, entah tentang lingkungan hidup yang sehat. Agenda neoliberalisme yang khas tidak akan langsung, melainkan akan selalu melalui logika pasar.

Sekarang saya akan contohkan langsung. Di Indonesia ada agenda penghapuskan kemiskinan, dan itu menjadi flat form Yudhoyono (SBY), bukan?! Kalau anda baca koran, ada pembicaraan global competitiveness, lalu soal capital market, lalu ada SBI, ada SUN, ORI, ect. Sertifikat Bank Indonesia, surat utang negara, kemudian ORI, lalu ada business confidence (kepercayaan bisnis), ect. Hal-hal Itulah yang dibicarakan tentang ekonomi Indonesia setiap hari di koran-koran. Jadi, ketika membicarakan ekonomi, itulah yang dibahas.

Jadi yang diotak-atik sebagai masalah ekonomi adalah itu. Kalau misalnya saja kemiskinan terentaskan, itu hanya sebagai efek sampingan dari kinerja yang dibahas tadi. Itu poin yang sangat sentral. Penjelasannya begini: daripada langsung menyelesaikan orang miskin, maka energi ekonomi, energi politik, energi hukum itu dikonsentrasikan untuk hal-hal itu tadi. Dengan begitu, masalah kemiskinan sesungguhnya tidak akan tersentuh. Itulah logika yang lugas tentang neoliberalisme. Itu adalah masalah akumulasi finansial. Itu bukan soal pabrik atau apa, itu soal indeks harga saham. Bukan soal petani, tetapi soal indeks harga saham naik berapa poin. Maka yang terjadi in state of orang miskin itu solved, seluruh energi akan terpenjara pada masalah-masalah seperti yang dibahas di koran tadi. Dan yang terjadi adalah akumulasi finansial, yang tidak ada kaitannya dengan masalah kemiskinan. Itulah makanya seluruh ratapan kita sama sekali tidak ada kaitannya dengan sektor pertanian, manufaktur dan lain-lain. Ekonomi finansial growth­-nya luar biasa tinggi, sementara pertanian growth-nya minus 0,5 (kwartal pertama 2007).

Itulah yang saya sebut dua lapis neoliberalisme: kolonisasi homo ekonomikus atas homo-homo lain, dan yang kedua kolonisasi homo finansialis atas homo realis. Apa yang tragis? Walaupun tidak ada kaitannya—tetapi jika terjadi kolaps dalam ekonomi finansial, seperti yang terjadi pada tahun 1997—semua terkena dampaknya. Bukti retorik saja, bukti wacana saja, bahwa itu (ekonomi finansial) yang menjadi konsentrasi sunggug-sungguh. Baca saja koran, rubrik bisnis finansial, ketika bicara soal ekonomi semuanya hanya membahas kepercayaan bisnis yang tidak ada. Sekarang saya tanya, apa sih kaitannya antara kepercayaan bisnis atau capital market dengan orang yang hidup di bawah 8.000? Nothing! Meminjam istilah Karl Polanyi, itulah kondisi, baik ekonomi, politik, hukum dan sebagainya yang disebut sebagai disembeded (tercerabut). Artinya, ekonomi finansial tidak ada kaitannya dengan masalah kemiskinan dan seterusnya. Seluruh energi politik, hukum, uang tidak ada kaitnnya dengan concern dan suka duka orang-orang biasa. Kalau jumlahnya kecil sekali, perhaps there is no problem, urgently. Tetapi kalau jumlahnya 108,78 juta, maka itu mengerikan. Karena itu, dalam cuaca neoliberal sebaiknya kita tidak berharap terlalu banyak kepada pemerintah maupun investor besar, karena rutenya pasti akan melewati proses antara—yaitu logika pasar. Pada akhirnya energi kita hanya akan habis dalam proses antara terebut.

Implikasinya apa untuk agenda-agenda riset? Cukup pasti, bahkan riset tentang kemiskinan pun tidak bisa lagi hanya teoretis, juga tidak bisa hanya praktis. Karena, seperti sudah ditunjukan tadi, “the devil” itu bukan hanya di aksi, bahkan di dalam premis yang teoretis sekali. Gagasannya tentang manusia sendiri merupakan gagasan mistaken. Saya punya kesimpulan sementara bahwa homo ekonomikus itu tidak ada! Homo ekonomikus itu adalah pengandaian metodologis yang dianggap sebagai kodrat manusia. Jadi manusia ekonomi itu tidak ada dalam kenyataan. Manusia ekonomi itu hanya perangkat metodologis untuk berpikir. Jika itu diperlakukan sebagai kodrat manusia—sebagaimana halnya neoliberalisme—itu salah total! Tetapi untuk menemukan itu anda harus tahu filsafat, tahu epistemologi dan melacak lagi ke abad XV, XVI, XVII, bagaimana Plato, Aristoteles, Adam Smith, Karl Polanyi dan sebagainya. Tentu saja kita harus bersinergi pada berbagai sayap, sebab masalahnya tidak akan selesai pada tingkat teoretis, dan sebagaimana masalahnya tidak akan selesai hanya pada tingkat praktis saja.

Pembongkaran terhadap persoalan itu besar sekali. Implikasinya untuk riset itu paling tidak tiga level: level teoretis, policy dan aksi. Misalnya: saya kasih contoh bagaimana riset teoretis yang memiliki kaitan langsung dengan masalah-masalah tersebut. Pertama, riset teoretis dikonsentrasikan pada tipe ekonomi politik yang sedemikian terobsesi dengan disembeded economy? Pertanyaannya, mengapa sampai begitu? Itu adalah kawasan yang sama sekali belum tersentuh di Indonesia. Kedua, dalam cuaca neoliberal berbagai proyek bersama itu tidak mungkin lagi dikejar secara sengaja. Misalnya pembentukan bangsa Indonesia, itu tidak lagi bisa dikerjar secara sengaja. Lingkungan hidup yang baik, pendidikan anak, itu hanya diperlakukan sebagai hasil sampingan dari logika pasar. Artinya, the collapse of the public! Apa yang disebut sebagai publik itu collapse. Untuk itu, kita memerlukan strategi berpikir, strategi riset untuk reviving, menghidupkan kembali publik. Karena, sekarang yang publik itu dianggap najis—“ah, itu sosialis”.

Tetapi saya berani bertaruh. Jika agenda para neolib adalah minimalisasi peran negara, pemerintah, coba sekarang kita hapuskan pemerintah, pada akhirnya mereka juga akan membutuhkan suatu badan publik entah namanya apa. Maka apa yang disebut sebagai republik is impossible to be delete. Tetapi sekarang bagaimana caranya reviving dan cara menghidupkan kembali. Itu saya sudah berpikir enam tahun ini dan tidak mudah, bahkan pada taraf discourse pun—pada taraf logika dan strategi berpikirnya—karena para neoliberal akan mengatakan bahwa nasionalisme itu rubbish. Tentu saja kemudian hilang semua yang publik. Bahkan istilah-istilah yang menggunakan publik pun sudah dianggap rubbish. Itu yang kedua. Ketiga, ini adalah lewat jalan langsung, intentional. Intension itu bahasa Latin untuk memasukkan. Jadi kalau saya bangun pagi dan naik travel ke suatu tempat, itu saya memasukkan diri datang ke tempat tersebut. Itu adalah logika ketidaksengajaan, unintentionality. Pertarungan antara intentionality dan unintentionality itu masalah tersembunyi yang luar biasa. Itu tidak mudah juga. Tetapi harus ada orang yang masuk ke situ.

Saya akan masuk pada hal yang praktis saja. Yang terakhir contohnya pada aras teoretis, siapa sih itu manusia ekonomi? Kalau mereka memitoskan si homo ekonomikus, siapa sih itu sebenarnya? Coba dibongkar, karena itu mitos. Masa mitos mau dijadikan panduan ke depan? Kesimpulan sementara saya, itu tidak ada! Anda itu adalah homo ekonomikus, homo politicus, homo socialis, homo culturalis dan sebagainya. Tetapi, para neoliberal memutlakan homo oeconomikus sebagai kodrat paling dalam dari manusia. Tetapi, setelah saya lacak ke sana-sini, ternyata itu tidak lebih dari perangkat berpikir. Misalnya: kalau ada hidup setelah kematian, itu mengandaikan adanya Tuhan. Jadi, Tuhan itu diandaikan, padahal ada atau tidaknya kita tidak tahu. Sama juga dengan homo ekonomikus. Homo ekonomikus itu adalah sebuah pengandaian cara berpikir, apakah ada atau tidak, memang tidak ada! Tetapi kemudian itu dianggap sebagai kodrat manusia yang konkret. Itu kan kesalahan cara berpikir yang istilah gagahnya itu epistemicology fallacy—kekeliruan cara berpikir. Hal yang sangat menakutkan adalah seluruh praktik-praktik itu, dan jenis ilmu ekonomi yang dipelajari di universitas itu akan menciptakan homo ekonomikus, meskipun homo ekonomikus tidak ada. Itu yang sangat menakutkan. Kalau sebuah benda saya jatuhkan tanpa penahan apapun akan jatuh, apapun rumusnya. Itu grafitasi. Tetapi, meskipun homo ekonomikus itu tidak ada, jika praktik-praktik ilmu ekonomi di universitas menyatakan homo ekonomikus itu ada dan dikemukakan terus- menerus, pada akhirnya terbentuk juga.

Sekarang pada tingkat policy. Pertarungan riset dan advokasinya misalnya adalah bagaimana hak asasi sosial-ekonomi itu punya kesejajaran dengan sipil dan politik. Itu riset pada tingkat policy yang tidak mudah, karena mengandaikan level teoretis juga. Itu membutuhkan sebuah pembongkaran dari gagasan kita tentang kekuasaan, dan itu harus sampai pada tataran mendesakkan pada level policy.

Bagian terakhir tentang aksi. Riset-riset dalam hal aksi itu dalam iklim neoliberalisme sebaiknya diarahkan ke arah mana saja? Tadi saya sudah berargumen bahwa dengan atau tanpa restu pemerintah dan para investor, pada akhirnya ini (masyarakat) harus bergerak sendiri. Bahkan seringkali mengandalkan restu ini (pemerintah dan bisnis) tidak akan terjadi apa-apa. Kalau mereka membantu ya syukur, kalau tidak membantu, ya mereka memang tidak memiliki maksud untuk itu. Saya kasih contoh saja. Beberapa hari yang lalu Suara Ibu Peduli di Jakarta punya banyak sekali jaringan. Mereka memperbaiki sanitasi, pendidikan anak, pendidikan gizi dan sebagainya. Mereka datang pada saya. Mereka belajar kredit union. Nah, lalu diterapkan dengan tanggung renteng. Sekarang membengkak, kemudian mereka mendapat undangan untuk mendirikan di Bekasi. Tetapi itu tidak bisa dilakukan karena tidak punya modal. Karena itu mereka mendatangi saya untuk dihubungkan dengan beberapa jaringan yang mungkin bisa membantu menyediakan uang antara 50—100 juta yang akan kembali dalam waktu satu tahun. Orang-orang itu akan menjadi korban dari sebuah sistem modern. Kalaupun orang-orang itu akan berusaha, kemudian pergi ke lembaga keungan dia harus memberi jaminan. Maka bagaimana menciptakan formasi modal di masyarakat sendiri tanpa tergantung pada bank-bank konvensional yang memang menuntut kemelekhurupan sertifikat-sertifikat yang jelas sekali. Nah, itu tidak akan dilakukan oleh masyarakat kecil, yang bahkan melihat kertas pun seringkali sudah takut. Karena itu, harus dilakukan formasi modal di masyarakat sendiri. Tetapi, cukup pasti dari pengalaman-pengalaman itu, formasi modal saja tidak akan menyelesaikan masalah apapun juga jika tidak disertai trainning kewirausahaan. Maka kuncinya adalah, salah satunya pada tingkat aksi adalah formasi modal yang mungkin katakanlah kredit union ditambah enterpreneurship atau kewirasusahaan. With or withaut the blessing of the government dan the investor—dengan atau tanpa restu dari pemerintah dan penanam modal—pada akhirnya firmasi modal dan kewirausahaan harus dilakukan sendiri oleh mereka. Maka sampailah pada argumen yang terakhir itu begini kira-kira begini:

Kalau masalahnya adalah kredit union dan kewirasusahaan pada tingkat itu, bukankah itu juga menggunakan logika ekonomikus? Jawabannya, ya. Tetapi, ada perbedaan yang luar biasa besar antara jenis ekonomikus itu dengan ekonomikus dalam makna neoliberalisme. (Karena pandangan itu mungkin saya akan dituduh oleh beberapa kawan Marxis ortodoks: wah, kompromi). Kurang lebih argumen saya begini: masalahnya bukan pro-pasar atau anti-pasar, tetapi masalahnya adalah memilih antara pasar yang tertanam atau pasar yang tercerabut. Perhaps the choice is not between for or againts market economy, but rather between embaded market economy and disembaded market economy.




By : B. Herry-Priyono