Saturday, November 18, 2006

REPUBLIK ARTIS!!

Langkah para selebriti menuju panggung politik nasional menuju posisi pemegang kekuasaan di Republik ini semakin mantap dan meyakinkan. Itulah yang sedang dilakoni, antara lain, oleh Marisa Haque, Dede Yusuf, dan Adjie Massaid. Setelah sukses meraih kursi legislatif, mereka berbekalkan kepopulerannya mencoba memulung suara untuk posisi eksekutif, seperti jabatan gubernur atau wakil gubernur. Marisa digandeng PKS melangkah mantap di Banten. Bahkan tak hanya di Banten saja, PKS -konon- juga berminat menggandeng Rano Karno untuk diduetkan dengan callon kuat Gubernur DKI Jakarta. Di propinsi tetangganya, Dede Yusuf didukung penuh oleh PAN sedang mengincar Jawa Barat, sementara Adjie Massaid berduet dengan Gus Ipul –calon dari PKB- sedang melirik Jawa Timur. Tak dapat dipungkiri -sewaktu pemilihan anggota DPR pada waktu lalu-mereka pada kenyataannya telah menunjukkan prestasi mendulang suara yang sangat mengagumkan. Betapa tidak, bahkan suara yang didulang oleh mereka didaerah pemilihan masing-masing menunjukkan hasil yang jauh mengungguli para politisi kawakan.

Tak heran pula jika fenomena keselebritisan ini kemudian juga merasuki para politisi, para eksekutif, para ulama, bahkan para jenderal, pun mulai melakoni kiat berlagak bak selebritis diatas panggung pentas politik nasional dengan memanfaatkan politik pencitraan oleh media.
Apakah Republik kita ini sedang menuju ke zaman Republik Artis ?
***

Sekalian rakyat itu hanya audiens. Mereka mudah terpukau, tergoda, menyumpah, jengkel, menangis, dan tertawa hanya oleh sebuah realitas yang disaksikannya di televisi. Sekalian rakyat pun berubah jadi kerumunan massa yang mudah terombang-ambing dalam arus informasi yang mengalir deras. Realitas yang mereka pahami juga praktis sebatas realitas media --yang kehadirannya tak bisa lepas dari kepentingan dan keterbatasan. Apa pun, begitulah peradaban kita kini.

Seorang pemikir, ia biasa disebut filsuf, Noam Chomsky, mengingatkan kita betapa gawatnya kecenderungan ini. Sampai-sampai ia mengatakan bahwa politik itu hanya permainan media. Pria Yahudi-Amerika itu menyebut industri pers di negerinya telah tumbuh menjadi kekuasaan besar. Ia seperti punya otoritas untuk memutuskan mana baik, mana buruk, mana benar, dan mana salah.

Chomsky pun berteriak. Ia tidak rela melihat pers di negerinya berkolaborasi dengan pemerintahan Gedung Putih dan perusahaan-perusahaan raksasa, lalu bersekongkol mengamankan kepentingan bersama. Utamanya dalam kebijakan luar negeri. Tema-tema kolaborasi itu bisa tentang demokrasi, advokasi HAM, atau perang melawan narkoba. Prakteknya, semua dilakukan dengan standar ganda. "Media pers Amerika telah merekayasa kesepakatan publik," ujarnya. Kesepakatan yang ada cuma fakta media, bukan realitas publik yang sebenarnya. Kesepakatan semu. Media pers telah menjadi antek Gedung Putih dan sekalian raksasa industri di negeri adikuasa tersebut.

Namun media Amerika pula yang membuat buku Chomsky, Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance, menjadi best-seller dalam pekan-pekan ini di Amazon.com. Gara-garanya, Presiden Venezuela Hugo Chaves, ketika berpidato di depan Sidang Umum PBB, 20 September lalu, memuji-muji Noam Chomsky dan mengutip isi bukunya. Promosi gratis itu semakin menggema, karena Chaves lagi-lagi menunjukkan sikap penentangannya yang terbuka kepada si "iblis" George W. Bush. Aksi Chaves mendapat liputan luas.

Media pers sebagai institusi tentunya netral. Ia bisa menjadi sarana penyesatan publik, sebagaimana kritikan Chomsky, atau bisa menjadi fasilitas komunikasi yang berguna. Syaratnya adalah komunikasi yang jujur. Apa yang disampaikan media secara jernih dipahami publik. Di sini pers juga bisa menjadi agen demokrasi yang efektif. Ia bisa ikut memandu menuju pencapaian kesepakatan umum.

Kuncinya adalah tindak komunikasi aktif, kata Jurgen Habermas. Pemikir Jerman itu mengingatkan pentingnya media pers menjaga komunikasi dua arah secara seimbang. Komunikasi satu arah bisa membuat salah kaprah. Itulah yang biasa dilakukan koalisi birokrasi dan pemain bisnis di negara berkembang. Maka, kesepakatan yang muncul cenderung semu, distortif, dan cuma melahirkan tatanan rapuh. Maka, bagi Habermas, media perlu ikut memainkan tindak komunikasi aktif agar terjalin kesepahaman yang tanpa rekayasa.

Sebagai bagian dari dunia yang terbuka, pers Indonesia sedikit banyak terbawa oleh tren dunia. Ia juga mulai berkembang menjadi kekuatan besar yang sangat potensial untuk memegang hegemoni. Sejauh ini, sepertinya persekutuan tiga pilar --negara, dunia usaha, dan media pers, seperti gambaran Chomsky di Amerika-- tidak (belum) menjangkiti Indonesia. Pentas media bisa menjadi milik siapa saja.

Maka, dari pentas media, lahir selebriti-selebriti kondang. Mereka umumnya manusia pilihan --setidaknya berparas menawan dan berpostur menarik. Mereka pun menjadi pujaan publik dan, diakui atau tidak, punya pengaruh. Ibarat model busana, mereka juga menjadi acuan, ikut menentukan tren.

Dalam konteks ini, barangkali pendapat Roland Barthes, pemikir Prancis, jadi relevan. Fashion bisa menjadi hegemoni, dan tren busana pun seolah satu hal yang kudu diikuti. Begitu halnya pentas keartisan. Boleh jadi, ia dapat melahirkan hegemoni pula atas audiens. Fenomena ini lalu masuk ke jurusan politik ketika audiens menjelma jadi sekalian rakyat alias massa pemilih.

Di sini hegemoni keartisan akan menjadi modal politik. Bisa besar, bisa kecil. Jangan heran bila hegemoni keartisan kemudian muncul dalam pilkada atau pemilu legislatif. Bahkan ada fenomena terbalik, politikus berlaku bagai artis untuk menguatkan hegemoninya. Lepas dari soal adakah ini sistem rekrutmen yang baik atau tidak, itu barangkali kehendak zaman.

Jangan mengecam artis. Tak usah pula mempersalahkan media. Keputusan pemilih memang selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni itu. Namun, kembali pada pendapat Habermas bahwa tindak komunikasi aktif adalah cara menggugah (juga kampanye) yang rasional karena sangat kalkulatif. Wallahu'alam

No comments: