Tuesday, December 26, 2006

PUISI POLIGAMI

Istriku,
Jika engkau bumi, akulah matahari
Aku menyinari kamu
Kamu mengharapkan aku
Ingatlah bahtera yg kita kayuh, begitu penuh riak gelombang
Aku tetap menyinari bumi, hingga kadang bumi pun silau
Lantas aku ingat satu hal
Bahwa Tuhan mencipta bukan hanya bumi, ada planet lain yg
juga mengharap aku sinari Jadi..
Relakanlah aku menyinari planet lain, menebar sinarku
Menyampaikan faedah adanya aku, karna sudah kodrati
dan Tuhan pun tak marah...


Balasan Puisi sang istri ...

Suamiku,
Bila kau memang mentari, sang surya penebar cahaya
Aku rela kau berikan sinarmu kepada segala planet yg pernah
TUHAN
ciptakan karna mereka juga seperti aku butuh penyinaran dan
akupun juga
Tak akan merasa kurang dengan pencahayaanmu
AKAN TETAPIIIIIIII. .......
Bila kau hanya sejengkal lilin yg berkekuatan 5 watt, jangan
bermimpi menyinari planet lain!!!
Karena kamar kita yg kecil pun belum sanggup kau terangi
Bercerminlah pada kaca di sudut kamar kita, di tengah remang-
remang
Pencahayaanmu yg telah aku mengerti utk tetap menguak mata
Coba liat siapa dirimu... MENTARI atau lilin???!!

"AKU"

Aku Pria Jalang
Dari Kumpulannya Yang Terbuang
Aku Kecantol Wanita Jalang
Demi Tubuhnya Kuhambur Uang
Gejolak Hasrat Nafsu Berpetualang
Membuat Masakan Di Rumah Terasa Kurang
Aku Anak Manusia, Aku Anak Malang
Affairku Akhirnya Tercium Orang
Karir Suksesku di DPR Akhirnya Hilang
Karena Ada Kelemahanku Yang Bisa Diserang
Semuanya Hancur Gara-gara Selembar Kutang
Kepada Siapa Aku Pantas Berang?
Semua Kesalahan Kulimpahkan Kepada Si Jalang
Tetapi Sebenarnya Godaan Si Wanita Jalang
Takkan Mempan Kalau Akunya Sendiri Tidak Jalang!
Kesadaran Selalu Datang Menjelang Petang
Kini Yang Ku-punya Tinggal Tulang
Tapi Sebelum Aku Berpulang
Aku Ingin Berpesan Kepada Sesama Hidung Belang !
Kiamat segera datang...... .!!!!
Tobatlah mulai sekarang.... ..rang..rang. rang..


By : (YZ)
Nb: YZ membuat puisi yang menggambarkan keresahan hatinya....he. ..he...he..please enjoy....(^_ ^)v

HAPUSKAN KOMISARIAT DAN KEMBANGKAN LEMBAGA KEKARYAAN

Siapakah yang akan direkrut menjadi calon kader HMI ? Jawabannya pasti mahasiswa, tepatnya mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang mana ? Jawabannya yang berkualitas. Sebelum menjadi mahasiswa, dari manakah mereka berasal ? Jawabannya dari pelajar SMA. Apa saja yang mereka lakukan sewaktu jadi pelajar SMA ? Jawabannya adalah belajar, belajar dan belajar. Sebagian kecil dari mereka menjadi aktifis OSIS tapi kegiatannya hanya sebatas Pramuka, UKS, PKS, Pecinta Alam dan beberapa aktifitas lainnya. Dari mereka mereka inilah para calon kader HMI itu berasal. Tanpa basic organisasi sama sekali. Dulu, sebelum zamannya OSIS, zamannya para organisasi pelajar, masih banyak para palajar yang menjadi aktifis organisasi pelajar, seperti PII dan lain sebagainya. Sehingga ketika ketika mereka menjadi mahasiswa, mereka cenderung memilih organisasi mahasiswa yang menjadi kakak dari organisasi pelajar yang digelutinya dulu. Seperti HMI yang kakaknya PII sering mendapat suplai kader dari para mantan aktifis PII. Sekarang tidak lagi, suplai calon kader HMI berasal dari yang nol pengalaman organisasinya, tak terkecuali penulis sendiri dulunya begitu. Secara singkat saya mengambil kesimpulan bahwa para calon kader adalah buta organisasi. Mereka menjadi mahasiswa adalah ingin menuntut ilmu dan menjadi sarjana. Seorang mahasiswa teknik ingin jadi Sarjana Teknik. Seorang mahasiswa ekonomi ingin menjadi Sarjana Ekonomi. Seorang sarjana kedokteran ingin jadi Dokter. TAK SATUPUN INGIN JADI AKTIFIS MAHASISWA, apalagi ingin Drop Out kuliahnya.

Ketika mereka memasuki kehidupan sebagai mahasiswa, mereka langsung bergabung dalam wadah Himpunan Mahasiswa Jurusan, sebuah wadah yang penuh dengan semangat profesi. Di saat itu pula mereka mengenal yang namanya BEM Fakultas dan BEM Universitas. Pikiran dan paradigma mereka langsung diisi oleh wajah intra kampus. Setelah itu baru kita datang memperkenalkan HMI sebagai sebuah wadah organisasi Muslim Intelektual Profesional calon Pemimpin Bangsa

Para mahasiswa baru tentu akan membanding- bandingkan, mana yang akan digeluti atau sama sekali tidak bergabung dengan keduanya, cukup kuliah saja, dan yang terakhir ini jumlahnya mayoritas.

Ada apa dengan mereka semua ? Benarkah mereka semua sudah tidak peduli dengan bangsa dan negara ini ? Saya tidak percaya, malah ketika berdiskusi dengan beberapa di antara mereka, ternyata kepedulian mereka melebihi kepedulian kita dan saya pribadi berkesimpulan : Mereka inilah yang kita cari, The Real (Calon) HMI.

Kalau kita masih ingin mendapatkan calon kader dari kelompok The Real (Calon) HMI ini, sebenarnya kita bisa bertitik tolak dari semua kondisi di atas, maka pintu awal untuk memperoleh The Real (Calon) HMI tersebut haruslah berbentuk PINTU PROFESI. Dan kita memiliki itu. dialah yang namanya Lembaga Kekaryaan.

Selama ini pintu masuk bagi calon kader HMI adalah Komisariat dan penampilan Komisariat sendiri untuk kondisi sekarang tidak kompetitif lagi, baik ditinjau dari Student Need dan Student Interest serta kemampuan bersaing dengan BEM fakultas dan BEM Universitas yang umumnya jauh lebih senior dan berpengalaman. Apalagi dengan adanya berita skandal YZ dan ME akan menambah suram wajah kita.. Bagi saya, HAPUSKAN SAJA KOMISARIAT. (Walaupun saya pasti sangat kehilangan Komisariat Teknikku yang sangat kucintai sepenuh hati). Serahkan saja urusan rekrutmen kader kepada pengurus Cabang dan Lembaga Kekaryaan. Lembaga Kekaryaan diperkuat karena akan menjadi Wajah Terdepan HMI bersinggungan dengan kehidupan kemahasiswaan di tingkat massa.

Pada tahap awal kita akan mendapatkan kader yang memiliki orientasi akademis yang sangat tinggi serta orientasi profesi yang dominan. Tapi yang penting adalah kita bisa mendapatkan The Real (Calon) HMI tersebut, mereka mereka yang berinteligensi tinggi dan kategori unggulan. Dan nantinya pada perjalanan dan melewati proses perkaderan akan bisa dibentuk melalui internalisasi nilai-nilai non akademik dan yang terpenting internalisasi nilai-nilai WIRAUSAHA yang akan menjadi ISU UNGGULAN HMI ke depan. Internalisasi ini selain lewat pelatihan formal juga akan lebih tertanam lewat pergaulan keseharian dengan para senior dan alumni. Dan tentunya materi Latihan Kader I akan berobah. Latihan Kader I akan didominasi materi profesi dan wirausaha sementara materi non profesi / wirausaha untuk sementara jadi tidak dominan lagi tapi tetap menjadi materi wajib dan menentukan. Bila perlu namanya diganti saja, jangan Latihan Kader I lagi, tapi Latihan Kader Wirausaha Profesional. Hanya sekedar wacana hehehe..... semoga HMI kedepan dapat menjawab semua tantangan-tantangan ummat serta dapat selalu menciptakan calon-calon ruling ellite bangsa kedepan. Wallhu'alam.

Pro HMI Sparatis

AKU AKAN MENANGGAPI DENGAN HURUP KAPITAL

> Tanggapan :
> Ass. wr.wb.
WSS. WR. WB.

> Saya bisa memahami keresahan dari sdr Ibnu Sina tentang
>HMI yang
> sekarang sudah kehilangan identitas & idealisme
>organisasinya.
> Khususnya di tingkatan Badko & PB HMI. Hingga di antara
>kawan-kawan
> ada joke :
> " Jika kalian ingin mencari idealis maka carilah di
>Komisariat. Karena
> HMI merupakan organisasi yang paradox. Semakin tinggi
>strukturalnya,
> semakin merosot pula idealismenya.
> Jika diambil presentase maka idealisme :
> Pengurus komisariat adalah 80 - 100%
> Pengurus korkom adalah 70 - 85%
> Pengurus Cabang adalah 55 - 80%
> Pengurusbadko adalah 30 - 50%
> Pengurus PB masih syukur jika bisa sampai 25%
> selebihnya adalah birahi politik & kekuasaan"
SEPERTINYA GEJALA INI HANYA MENJAMUR DI TEMAN-TEMAN DIPO
DEH. AFWAN YA....

> Tapi apakah kita akan mendiamkan saja keadaan ini?
>Sebagai kader yang
> masih memiliki kepedulian akan HMI tercinta, tentu kita
>tak bisa
> berdiam diri. Seperti kata Rasulullah :
> "Jika kamu melihat kemungkaran maka cegahlah dia dengan
>tanganmu
> (kekuasaan)
> Jika kamu tak mampu cegahlah dengan lidahmu (kritik)
> Jika tak mampu juga maka cegahlah dengan hatimu
> maka itulah selemah-lemah iman {tapi apakah kita mau
>disebut sebagai
> orang yang memiliki iman paling lemah?}"
> Mari kita perbaiki himpunan tercinta ini dengan
>kemampuan yang kita
> miliki.
> Tapi dalam ushul fiqh juga dinyatakan:
> "Menghindari mudharat lebih diutamakan dari mencari
>manfaat"
> Karena itu perlu dipertanyakan apakah pembentukan pro
>hmi baru hmi
> sparatis tidak malah menimbulkan mudharat bahu, dengan
>semakin
> terkotak-kotaknya umat wabil khusus kader2 HMI?
SEPAKAT!!!

> Kita selama ini sudah merasa terluka dengan adanya
>perpecahan antara
> HMI Dipo & HMI MPO yang sampai masih belum bisa
>terselesaikan, walau
> permasalahan dasarnya sudah tak ada lagi (permasalahan
>azas).
MASALAH AZAS SUDAH SELESAI...TAPI TIDAK MASALAH KULTURAL
BOS...LIAT AJA SAUDARA KITA YANG DI DIPO GIMANA GAYANYA?

Apakah
> ketika kita kita berbeda kita harus membentuk kelompok
>sempalan baru?
> Kalau seperti ini terus bukan problem solving yg
>terjadi, namun malah
> menghadirkan permasalahan baru.
> Menurut pendapat saya, kita harus melihat permasalahan
>secara
> menyeluruh. Permasalahan utama HMI bukan permasalahan
>struktral (namun
> bukan berarti permasalahan ini tidak penting). Tapi
>permasalahan
> mendasar ada pada proses kaderisasi di HMI.
SEPAKAT SAMPAI DISINI KANDA

Ada beberapa
>pertanyaan
> mendasar yang harus kita jawab dengan jujur:
> 1. Sudahkah kita melaksanakan proses kaderisasi secara
>maksimal sesuai
> dengan tujuan kaderisasi HMI?
SEPERTINYA BELUM TUH

> 2. Sudah berhasilkah kaderisasi di HMI?
SEBAGIAN AKU BERANI MENJAWAB IYA!

> 3. Sudahkah perkaderan terlepas dari kepentingan2 non
>perkaderan
> (seperti kepentingan politik misalnya)?
INI HAL YANG NONSENSE, PERKADERAN JUSTRU HARUS PEKA DENGAN
INI MESKIPUN TIDAK BOLEH LARUT, KARENA KITA MENGKADER BUAT
UMMAT, TERMASUK MASALAH POLITIK UMMAT TENTUNYA. BUKAN
BEGITU?

> Sekian lama saya berkecimpung di HMI ada beberapa titik
>lemah
> kaderisasi HMI:
> 1. Kaderisasi hanya berorientasi rasionalisme dan
>politic oriented.
> Lemah dalam membentuk ruhiyah dan pembinaan nafsiyah
>(pribadi).
> Sedang, dalam tujuan HMI disebutkan bahwa HMI
>bernafaskan Islam. Namun
> hal ini belum sepenuhnya tercermin pada diri kader2 HMI.
KALAU KADER DI DIPO IYALAH...INI KARENA KONSTRUKSI NDP
YANG MODERNIS BANGET SECARA FILOSOFIS...

> 2. Kaderisasi di HMI kurang menyesuaikan dengan
>kebutuhan zaman.
> Kaderisasi lebih banyak mengacu pada penilaian IQ, namun
>kurang
> pengembangan EQ & SQ (adalagi yang terbaru AQ&OQ).
INI AKIBAT KARAKTER INSAN AKADEMIS + BERNAFASKAN ISLAM
INI NYATA NYATA SEKULAR, ADA DUA BANGUNAN YANG DIBANGUN
BERSAMA TAPI TIDAK UTUH --> IPTEK DISATU SISI, IMTAQ
DISATU SISI

BERBEDA DENGAN INSAN ULUL ALBAB (KADER CITA HMI MPO) YANG
MENYATUKAN FIKIR DAN DZIKIR SECARA INTEGRAL DAN HOLISTIK
LIHAT QS. 3 : 190-191 DISANA ULUL ALBAB ADALAH MEREKA YANG
PADA SAAT BERFIKIR MAKA PADA SAAT ITU JUGA BISA DISEBUT
BERDZIKIR.

> Ini dulu sebagai bahan renungan bagi kita semua &
>sebagai langkah awal
> guna menyongsing HMI baru yang lebih berorientasi pada
>kepentingan
> umat & kepentingan rakyat serta pantas bergabung dalam
>kelompok
> syahidullah.
KEANGKUHAN NDP MEMBUAT KADER DIPO MENGALAMI KEPERIBADIAN
TERBELAH YANG AKUT.
INILAH PERSOALAN MENDASAR PERBEDAAN DIPO DAN MPO
BUKAN LAGI HANYA PADA KATA "ISLAM DI MPO" DAN "PANCASILA
DI DIPO"
PERBEDAAN SEKARANG TERLETAK PADA:
"ISLAM = NDP, DI DIPO"
"ISLAM = KHITTAH PERJUANGAN, DI MPO"
TAFSIR ISLAM INILAH YANG MEWARNAI PERBEDAAN YANG ADA KANDA
TIDAK SESEDERHANA KATA ISLAM DAN PANCASILA SEMATA.

> Af1 jika ada kata2 yang menyinggung tapi ini hanyalah
>sebagai bentuk
> ukhuwah & kecintaan pada HMI & seluruh kader
>hijau-hitam.
AKU JUGA MELAKUKANNYA DEMI UKHUWAH, DAN SEMANGAT SALING
BERTABAYYUN.
KALAU MAU SERIUS MENGURUSI PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DIPO
DAN MPO, JANGAN CUMA LIHAT BAHWA DIPO SUDAH ISLAM LAGI....
MOHON MENILAI SECARA SERIUS
JANGAN MENYEDERHANAKAN MASALAH
MESKIPUN INI TIDAK BERARTI BAHWA PERSOALAN HARUS DIPERUMIT
LHO.

> Billahi taufiq wal Hidayah
> Wassalamu'alaikum wr.wb
ASSALAMU ALAIKUM.

Thursday, December 07, 2006

Temasek dan Ancaman Iklim Persaingan di Industri Telekomunikasi

Wacana pembelian kembali ( buy back ) saham Indosat yang saat ini dikuasai oleh Temasek, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan. Berbagai elemen masyarakat, baik dari dunia usaha, masyarakat awam ( konsumen ) dan politisi sekalipun tentu mulai bertanya-tanya, ada apa ( lagi ) dengan Indosat? Jauh-jauh hari sebelum saham Indosat jatuh ke tangan perusahaan pelat merah asal Singapore ini, pertanyaan semacam ini sudah diramalkan akan muncul dikemudian hari mengingat proses privatisasi perusahaan ini dilalui dengan jalan yang boleh dikatakan tidak mulus atau penuh dengan kontroversi ( baca: masalah ).

Awal sekaligus akar dari masalah ini bermula pada saat pemerintah Megawati “diburu” target untuk melakukan privatisasi guna menutup deficit anggaran. APBN sudah sangat berat menanggung beban pembayaran hutang beserta bunganya yang mencapai kurang lebih 30% dari total dana APBN. Praktis, tujuan privatisasi untuk memperbaiki kinerja perusahaan sekaligus kinerja pasar industri telekomunikasi secara keseluruhan tidak menjadi pertimbangan utama. Kondisi seperti ini mempercerminkan posisi tawar ( bargaining power ) yang lemah disatu sisi dan memperkuat bargaining power calon investor disisi lain. Dampaknya dalam proses pelepasan saham Indosat, pemerintah terkesan under pressure dan kondisi ini menimbulkan masalah besar di kemudian hari.

Paling tidak ada dua masalah derivatif yang sebabkan posisi pemerintah tersebut, yaitu masalah yang terjadi sebelum dan pada saat proses privatisasi ( pra privatisasi ) dan masalah yang terjadi sesudah privatisasi ( pasca privatisasi ).


Masalah pra privatisasi

Seperti telah dipaparkan dimuka bahwa dalam melakukan privatisasi ini pemerintah terkesan memaksakan sehingga banyak sekali masalah-masalah yang terjadi baik masalah yang menyakut kode etik dunia usaha maupun masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran konstitusi. Beberapa masalah tersebut antara lain pelanggaran UUD pasal 33 ayat 2 dimana disebutkan dalam pasal tersebut bahwa cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dan selanjutnya dikuatkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf (c) UU No 1 Tahun 1967 tentang PM sebagaimana diubah dengan UU No.11 Tahun 1970. Berdasarkan pasal ini, salah satu bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah telekomunikasi, karena itu a) harus dikuasai Negara dan b) tertutup bagi PMA secara penuh. Tampak begitu gamblangnya pelanggaran konsitusi ini, akan tetapi tidak sedikitpun digubris oleh pemerintah,

Masalah lain yang muncul adalah sehubungan dengan pembeli Indosat. Divestasi Indosat jelas sarat dengan sejumlah kebohongan publik. Sebut misalnya mengenai siapa yang benar-benar bertindak selaku pembeli Indosat. Menurut keterangan resmi pemerintah, yang terdaftar sebagai salah satu calon pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan Singapore yang bernama Singapore Technologies Telemedia (STT). Tetapi, sebagaimana terungkap kemudian, pada saat penandatanganan kontrak jual-beli ( Sales and Purchasing Agreement ), yang membubuhkan tanda tangan selaku pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan asal Mauritius, yang bernama Indonesian Communication Limited (ICL).

Bagaimana halnya dengan persoalan harga jual 41,9 persen saham Indosat sebesar Rp 12.950 per lembar saham itu? Benarkah nilai jual Indosat sebesar itu? Bukankah Indosat memiliki enam anak perusahaan, diantaranya PT. Lintasarta dan PT. satelindo, belum lagi lebih dari 30 perusahaan yang beraviliasi dengan Indosat?. Sehingga dapat dikatakan bahwa penetapan nilai jual yang didasarkan pada nilai saham yang tercatat di bursa jauh dari nilai jual yang sebenarnya. Dugaan permainan orang dalam pun ( insider trading ) tidak bias terelakkan.


Masalah pasca privatisasi

Masalah selajutnya adalah terkait dengan status kepemilikan Indosat setelah diprivatisasi. Pertanyaan yang muncul adalah siapa pemilik Indosat sebenarnya? Benarkah “privatisasi” Indosat murni privatisasi. Privatisasi yang sejatinya adalah pengalihan kepemilikan dan kendali perusahaan dari pemerintah ke sektor swasta ( private sector ) sebenarnya tidak terjadi pada kasus Indosat, yang ada adalah pengalihan kepemilikan dan kendali dari pemerintah Indonesia ke pemerintah Singapore. Mengapa demikian? Singapore Technoligies Telemedia yang membeli saham Indosat melalui sebuah Special Purpose Vihicle yang bernama Indonesia Comunication Limited ( ICL ) merupakan anak perusahaan Temasek Holdings yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Singapore.

Kepemilikan Indosat oleh pemerintah Singapore sudah jelas bertentangan, bukan hanya dari sisi konstitusi, akan tetapi juga dari sisi prinsip privatisasi itu sendiri. Tentu saja masalah tidak hanya berakhir sampai disini. Kepemilikan Indosat oleh Temasek holdings, berdampak pada struktur industri telekomunikasi di Indonesia. Pasalnya dalam industri telekomunikasi, Temasek bukan hanya memiliki Indosat dengan jumlah saham 41%, akan tetapi melalui Singapore Telekomunikation Limited ( Singtel ) dan anak perusahaanya ( Singapore Telecom Mobile Pte Ltd ) Temasek Holdings juga menguasai PT. Telkomsel dengan penyertaan saham sebesar 35%. Telkomsel sebagai perusahaan seluler terbesar di Indonesia memiliki pangsar pasar sebesar lebih dari 50% sedangkan Indosat menguasai sekitar 28 % dan jika digabungkan, maka praktis Temasek memegang posisi dominan dalam pasar industri telekomunikasi khususnya seluler.

Dalam analisa ekonomi industri, struktur pasar ( Structure ) akan memperngaruhi perilaku ( conduct ) perusahaan dalam menjalankan usahanya dan pada akhirnya akan berdampak pada kinerja ( performance ) ekonomi dalam pasar tersebut secara keseluruhan. Sejatinya privatisasi diharapkan dapat menciptakan iklim persaingan sehingga tercapai kinerja ekonomi yang efisien dan transparan. Akan tetapi yang terjadi pada industri telekomunikasi kita tampaknya tidak demikian. Struktur pasar telekomunikasi di Indonesia secara nyata hanya didominasi oleh dua perusahaan yang notabene berada dalam satu payung perusahaan induk yaitu Temaseks Holdings.

Kondisi ini secara ekonomi sangat menghambat iklim persaingan dan pada akhirnya akan berdampak terhambatnya usaha mencapai efiensi ekonomi atau pencapaian harga pasar, dan pada akhirnya masyarakat khususnya sebagai konsumen akan menggung kerugian ini semua. Karena dalam struktur pasar yang monopolistik atau oligopolistik harga yang diterima konsumen bukanlah hasil mekanisme pasar melainkan hasil perilaku dari produsen yang memiliki kekuatan menetapkan harga (monopoly power). Perusahaan yang memiliki monopoly power secara otomatis akan memiliki perilaku ( conduct ) yang mengarah pada pelanggaran prinsip-prinsip persaingan karena perusahaan dihadapkan pada rasionalitas untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya ( maximum profit )

Beberapa pelanggaran itu secara factual telah dilakukan oleh Temasek seperti yang diungkap oleh Federasi Serikat Pekerja- BUMN BERSATU akhir-akhir ini. Pelanggaran itu antara lain, dugaan adanya kesepakatan penetapan harga tarif telephone seluler, dugaan persekongkolan tender yang memenangkan hampir semua tender proyek di wilayah Jawa-Bali, adanya rangkap jabatan dimana sejumlah posisi kunci di Telkomsel dan Indosat telah diduduki “orang-orang” Temasek, dan masih banyak berbagai pelanggaran prinsip persaingan lain sebagai akibat dari posisi dominant yang dimiliki Temasek dalam Industri telekomunikasi di Indonesia.

Komite Pemantau Persaingan Usaha ( KPPU ) yang bertanggung sebagai regulator sekaligus hakim dalam dunia usaha di Indonesia harus membuktikan kesungguhannya dalam menjamin adanya persaingan yang sehat dalam industri telekomunikasi. Adanya indikasi pelanggaran prinsip-prinsip persaingan ini, yang dalam konteks Indonesia tercermin dalam UU No.5 tahun 1999, akan mengancam memburukkan performa dunia usaha dan pada akhirnya dalam jangka panjang akan merugikan perekonomian secara keseluruhan. Dari sisi masyarakat ( konsumen ) akan mengalami kerugian karena surplus konsumen secara perlahan-lahan akan diserap oleh produsen monopolistic. Dari sisi produsen maka akan mengurangi insentif produden baru untuk terjun di industri telekomunikasi yang pada akhirnya industri telekomunikasi kehilangan daya saingnya.



NB : Diskursus ini ditulis oleh Sahabat saya Gianto Mahasiswa FE UI 02 yg di muat oleh Bisnis Indonesia

INTIMIDASI POLITIK

Politik Intimidasi pada hakikatnya adalah terorisme politik. Kultur politik kita masih belum beringsut dari pola pemanifestasian kekerasan, ancaman, intimidasi dan terror. Dalam tahap-tahap tertentu kekerasan fisik diganti dengan kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara. Di Indonesia kedua bentuk kekerasan fisik dan simbolis itu masih acap digunakan.

Manifestasi kekerasan simbolis itu tidak hanya marak dilakukan oleh organisasi masyarakat, tetapi partai politik sekalipun condong tidak bias melepaskan diri dari jerat kekerasan simbolis. Intimidasi Partai Golongan Karya (Golkar) yang berencana mencabut dukungan kepada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bentuk dari kekerasan simbolis melaui wicara. Wacana atau diskursus penarikan dukungan itu kian mengkristal setelah dipicu dua masalah. Pertama, kasus Gubernur Lampung yang belum terselesaikan hingga saat ini. Kedua, pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). kedua masalah itu mengilhami sejumlah kader Golkar memproduksi Issue besar penarikan dukungan. Atmosfer politik sedikit memanas, hubungan Presiden dan Wapres juga sedikit terganggu.

Suasana politik yang sempat memanas itu kemudian mendingin setelah Presiden hadir dalam acara halal bihalal keluaraga besar Partai Golkar di kediaman Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Wacana penarikan dukungan mereduksi dan tidak sekuat sebelum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Partai Golkar digelar.

Kita tidak menyoal perihal meredupnya tuntunan penarikan dukungan. Sejak awal kita sudah menduga diskursus penarikan dukungan yang disuarakan Partai Golkar tidak lebih sekedar instrument memperkuat posisi tawar (bargaining posisition). Yang kita permasalahkan adalah, apakah upaya untuk memperkuat kedudukan dan posisi tawar partai harus harus dilakukan dengan Intimidasi terror kekerasan dan wacana? Kita setujudan sependapat dengan pernyataan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh yang mengingatkan partainya agar tidak menggunakan cara-cara tidak elegan dalam membangun konstruksi perpolitikan bangsa. Ancaman, intimidasi, dan terror yang di produksi partai Golkar sejatinya harus dilaksanakan jika tidak ingin dikatakan sekedar geretak sambal. Tetapi, rasionalkah Golkar untuk merealisasikan ancamannya itu sementara sang Ketua Umum Partai Golkar masih bercokol sebagai Wapres. Inilah yang tidak bisa dijawab Golkar tanpa meminta posisi kekuasaan yang lebih dari yang sudah diperoleh sekarang.

Praktik intimidasi politik dan terorisme politik yang di lakukan oleh Golkar adalah sebuah proses politisasi yang kerdil dan hanya mempertebal pengelompokan kepentingan. Control terhadap kekuasaan yang dilakukan Golkar tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat. Tetapi, condong mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilsasi kader. Kekerasan simbolis yang dilakukan Golkar bersifat premature dan setengah hati karena sejumlah alasan politis. Maka, tak heran buat kita semua bagaimana partai ini bersikap double standard terhadap pemerintahan. Di satu sisi menginginkan distribusi kekuasaan yang lebih besar sebagai partai pemenang Pemilu, tetapi satu sisi mengusung diskursus oposisi setengah hati ketika distribusi dibatasi.

Mengapa itu terjadi, karena Partai Golkar (berpura-pura) tidak memahami kekuasaan sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh rakyat. Golkar berpikir tentang diri dan kepentingannya sendiri. Jika setiap partai politik condong mengembangkan pola intimidasi politik untuk menaikan posisi tawarnya, apa jadinya negeri ini kelak. Panggung politik nasional bakal sarat dengan intimidasi dan terror politik. Wallahu’alam

Saturday, November 18, 2006

APAKAH AMERIKA TELAH "KEHILANGAN" TIMUR TENGAH?

Paris - Richard Haass, salah seorang ahli kebijakan luar negeri Amerika, menyatakan, "Era Amerika di Timur Tengah… telah berakhir." Penilaiannya yang kontroversial - yang sudah pasti ditolak oleh Presiden George W. Bush - dapat ditemukan dalam paragraf pertama artikelnya di edisi November-Desember Foreign Affairs, jurnal bergengsi Dewan Hubungan Luar Negeri yang bermarkas di New York, dengan Haass sebagai Presidennya.

Haass berpendapat bahwa dalam sejarah terakhir Timur Tengah, supremasi Amerika dapat dilihat sebagai periode keempat dominasi oleh pihak asing. Periode pertama adalah kendali Ottoman hingga Perang Dunia Pertama, kemudian kekuasaan penjajahan Inggris dan Perancis di antara dua Perang Dunia, kemudian diikuti oleh Perang Dingin, yang di dalamnya Moskow dan Washington bersaing mencari pengaruh dan membagi wilayah tersebut di antara mereka. Kejatuhan Uni Soviet sekitar 16 tahun lalu membawa ke dalam sebuah periode ketika Amerika berkuasa sepenuhnya, menikmati apa yang Haass sebut sebagai "pengaruh dan kesewenang-wenangan yang tak pernah dikecap sebelumnya".

Tetapi sekarang, katanya, era ini juga sedang menuju akhirnya, dan mungkin memang telah berakhir. Ia meramalkan bahwa wilayah tersebut akan memasuki sebuah fase di mana "para aktor luar tidak memiliki dampak berarti dan kekuatan lokal berada di atas angin."

Benarkah Haass? Ataukah ia agak terburu-buru? Apakah kesimpulannya yang muram secara tidak langsung dipengaruhi oleh kesalahan dalam penilaian, kekeliruan, dan kekacauan kebijakan luar negeri kepresidenan Bush? Dapatkah Amerika mengembalikan wewenangnya di bawah sebuah pemerintahan baru? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang cukup menarik bagi wilayah tersebut.

Mungkin hal pertama yang harus dikatakan adalah bahwa, terlepas dari kegagalan-kegagalan yang terjadi belakangan ini, Amerika Serikat (AS) masih belum benar-benar memperoleh tantangan berarti di Timur Tengah dari sebuah kekuatan atau kelompok kekuatan asing lainnya. Perang Irak mungkin memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah bencana besar, tetapi kekuatan lain mana yang mampu membelanjakan $500 miliar dolar dan menerjunkan pasukan tentara sebanyak 140.000 orang, selama waktu yang tak ditentukan, ke tempat yang jauhnya separuh dunia?

Uni Eropa (UE), yang oleh banyak kalangan diharapkan berperan sebagai penyeimbang bagi AS, jelas telah gagal memaksakan sebuah kebijakan luar negeri dan pertahanan bersama. Para anggotanya berjalan sendiri-sendiri. Mereka terpencar dalam isu-isu utama seperti perang di Irak, konflik Arab-Israel, dan tentang bagaimana cara terbaik melawan ancaman militansi Islam. Dalam kasus Irak, Inggris memilih untuk memihak AS daripada mitra-mitra Eropa utamanya, sehingga UE pun terbelah dua.

Karena pertumbuhan ekonominya yang mengagumkan, Cina muncul sebagai penantang strategis bagi Amerika Serikat, khususnya di Asia Timur. Ia jelas merupakan pesaing yang hebat dalam pencarian bahan-bahan mentah di seluruh dunia. Ia telah membangun jalan-jalan hingga pedalaman Afrika-sekitar 500.000 warga Cina bekerja di sana, kebanyakan berada di lokasi-lokasi konstruksi.

Tetapi kemitraan dan persekutuan ekonomi Cina masih belum diterjemahkan ke dalam bentuk kekuasaan kasat mata yang dapat ditampilkan AS lewat sarana armada samudera dalam yang besar jumlahnya, jaringan global pangkalan-pangkalan militer, dan supremasi teknologinya.

Perekonomian Rusia, sebaliknya, telah membaik dengan mengandalkan pendapatan dari minyak dan gas, tetapi masih sangat jauh untuk dapat memulihkan kembali pengaruhnya yang cukup besar di Timur Tengah sebagai pemasok persenjataan dan kekuatan pelindung utama beberapa negara Arab.

Mengenai para aktor lokal, yang Haass ramalkan akan "berada di atas angin", sulit untuk melihat siapa saja yang ia maksud. Semua pihak terlalu sering berseberangan satu sama lain, bangsa Arab bahkan lebih terpecah-belah dibanding Eropa. Kekayaan minyak mereka - sebagai aset utama- masih belum dimanfaatkan secara konsisten untuk tujuan politik apapun.

Iran memberikan tantangan yang lebih serius terhadap kekuasaan Amerika, tetapi ambisinya tampak murni bersifat lokal dan defensif. Ia berusaha untuk memecahkan isolasi buatan AS. Ia ingin diakui sebagai sebuah kekuatan utama di Teluk, dan sebagai pelindung masyarakat Syi’ah di mana pun. Secara militer, ia berusaha mencari sarana untuk melawan atau menghalangi serangan atas dirinya-agar tak luluh lantak sebagaimana Irak - daripada menyerang pihak-pihak lain.

Sedangkan aktor-aktor non negara, seperti Hisbullah dan Hamas, mereka tidak memberikan tantangan yang memadai dalam bentuk apapun terhadap AS. Perselisihan mereka adalah dengan Israel, dengan sepak terjang Israel di Lebanon dan Palestina yang dibiarkan saja AS. Ambisi mereka hanya terbatas pada masyarakat mereka sendiri. Jika keluhan-keluhan mereka yang absah diatasi, mereka akan berhenti menjadi sebuah ancaman.

Sementara AS tidak menemui penantang serius dalam waktu dekat, baik dari dalam maupun luar, dapatkah ia mengembalikan kekuasaannya? Tak diragukan lagi bahwa Amerika Serikat saat ini sangat tidak populer di dunia Arab dan Muslim, bahkan menjadi bahan celaan di berbagai tempat. Kelompok-kelompok militan berniat untuk menyerangnya, tentu jika mereka sanggup.

Kebanyakan rakyat Arab memandang ke belakang penuh nostalgia ke masa kepemimpinan Presiden Eisenhower, yang mengakhiri agresi Inggris-Perancis-Israel di Suez pada 1956 dan kepemimpinan Jimmy Carter yang, telah berusaha menyelesaikan konflik Arab-Israel, walaupun hanya separuh jalan, dengan mendorong perdamaian Mesir-Israel .

Lalu apa yang harus dilakukan AS untuk memperoleh kembali kepercayaan dan kredibilitasnya? Mungkin harus diawali dengan mengakui segala kesalahannya.

Kesalahan terbesar AS selama 25 tahun terakhir adalah pemberian izin pada Israel untuk memperluas permukimannya di wilayah pendudukan Palestina. Tak ada hambatan lebih besar bagi penyelesaian damai konflik Arab-Israel dan integrasi Israel ke dalam wilayah tersebut, daripada yang ditimbulkan hampir setengah juta pemukim Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Tekanan terus menerus atas bangsa Arab Palestina yang tersisa telah menciptakan gerakan militan Hamas dan membangkitkan rasa permusuhan terhadap AS di seluruh dunia Arab dan Muslim.

Kesalahan lain, yang dibuat pada masa kepresidenan Ronald Reagan, adalah membiarkan Israel menyerbu Lebanon pada 1982, dengan membunuh lebih dari 17.000 rakyat Lebanon dan Palestina. AS bahkan mencoba memberi penghargaan kepada Israel atas serbuannya dengan memaksa Lebanon menyelesaikan suatu upaya perdamaian terpisah yang menempatkannya di orbit Israel. Ketika upaya itu gagal, AS membiarkan Israel tetap menduduki Lebanon selatan selama 18 tahun, hingga tahun 2000, yang akhrinya memunculkan gerakan militan Hisbullah.

Kesalahan ketiga adalah kegagalan memperbaiki hubungan baik dengan Iran selama kurun waktu 27 tahun, sejak revolusi Islam Ayatollah Khomeini, dan tentu saja dukungan terhadap Irak dalam perang Irak-Iran (1980-88) Sebaliknya, karena marah akibat penangkapan dan penahanan para diplomatnya selama 444 hari sejak awal revolusi Iran, AS mebiarkan dirinya sendiri terjebak dalam sikap permusuhan yang tak kunjung kendur terhadap kekuatan regional utama– dan sekarang kesalahan itu dibayar dengan perlawanan Iran dalam isu nuklir.

Kesalahan keempat, yang paling besar, adalah reaksi Amerika yang tergesa-gesa dan berat sebelah akibat serangan teroris pada 11 September 2001. Perang melawan Irak, dilancarkan atas alasan-alasan palsu dan penuh kebohongan, telah terbukti merupakan kesalahan yang menghancurkan. Ia didorong oleh sebuah keinginan, tanpa berpikir panjang, untuk memberi pelajaran kepada bangsa Arab tentang kekuatan militer Amerika; dengan ambisi untuk mengendalikan sumber-sumber minyak Irak yang luas; dan juga -terutama dalam pemikiran para pejabat pro-Israel di pemerintah AS - dengan sebuah taruhan untuk memperbaiki lingkungan strategis Israel dengan mengancurkan sebuah negara Arab utama.

Perang- termasuk "Perang Global Melawan Teror", yang merupakan bagiannya - tak hanyan menyia-nyiakan sumber daya manusia dan material Amerika, ia juga telah menyebabkan kerusakan besar, yang mungkin tidak dapat diperbaiki kembali, bagi kedudukan moral Amerika.

Apa yang seharusnya dilakukan AS sekarang? Ia harus merebut kembali kemerdekaan kebijakan luar negerinya dengan membebaskan diri dari tekanan lobi dan kelompok kepentingan tertentu. Ia harus menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang begitu menyolok mata, seperti penyiksaan. Ia seharusnya mengumumkan sebuah tanggal tertentu bagi penarikan mundur pasukannya dari Irak. Dan ia seharusnya melakukan segala usaha, tenagam, dan sumber daya, bagi pemecahan konflik Arab-Israel berdasarkan kesetaraan dan keadilan.

George W Bush memiliki masa jabatan dua tahun lagi. Dapatkah ia, atau maukah ia bertindak? Akankah ramalan Haass menjadi kenyataan?

###

PATRICK SEALE, seorang penulis yang berasal dari Inggris tentang Timur tengah dan pengarang Perjuangan bagi Syria. Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama HMINEWS dengan Kantor Berita Common Ground News Service (CGNews), Washington, DC.

REPUBLIK ARTIS!!

Langkah para selebriti menuju panggung politik nasional menuju posisi pemegang kekuasaan di Republik ini semakin mantap dan meyakinkan. Itulah yang sedang dilakoni, antara lain, oleh Marisa Haque, Dede Yusuf, dan Adjie Massaid. Setelah sukses meraih kursi legislatif, mereka berbekalkan kepopulerannya mencoba memulung suara untuk posisi eksekutif, seperti jabatan gubernur atau wakil gubernur. Marisa digandeng PKS melangkah mantap di Banten. Bahkan tak hanya di Banten saja, PKS -konon- juga berminat menggandeng Rano Karno untuk diduetkan dengan callon kuat Gubernur DKI Jakarta. Di propinsi tetangganya, Dede Yusuf didukung penuh oleh PAN sedang mengincar Jawa Barat, sementara Adjie Massaid berduet dengan Gus Ipul –calon dari PKB- sedang melirik Jawa Timur. Tak dapat dipungkiri -sewaktu pemilihan anggota DPR pada waktu lalu-mereka pada kenyataannya telah menunjukkan prestasi mendulang suara yang sangat mengagumkan. Betapa tidak, bahkan suara yang didulang oleh mereka didaerah pemilihan masing-masing menunjukkan hasil yang jauh mengungguli para politisi kawakan.

Tak heran pula jika fenomena keselebritisan ini kemudian juga merasuki para politisi, para eksekutif, para ulama, bahkan para jenderal, pun mulai melakoni kiat berlagak bak selebritis diatas panggung pentas politik nasional dengan memanfaatkan politik pencitraan oleh media.
Apakah Republik kita ini sedang menuju ke zaman Republik Artis ?
***

Sekalian rakyat itu hanya audiens. Mereka mudah terpukau, tergoda, menyumpah, jengkel, menangis, dan tertawa hanya oleh sebuah realitas yang disaksikannya di televisi. Sekalian rakyat pun berubah jadi kerumunan massa yang mudah terombang-ambing dalam arus informasi yang mengalir deras. Realitas yang mereka pahami juga praktis sebatas realitas media --yang kehadirannya tak bisa lepas dari kepentingan dan keterbatasan. Apa pun, begitulah peradaban kita kini.

Seorang pemikir, ia biasa disebut filsuf, Noam Chomsky, mengingatkan kita betapa gawatnya kecenderungan ini. Sampai-sampai ia mengatakan bahwa politik itu hanya permainan media. Pria Yahudi-Amerika itu menyebut industri pers di negerinya telah tumbuh menjadi kekuasaan besar. Ia seperti punya otoritas untuk memutuskan mana baik, mana buruk, mana benar, dan mana salah.

Chomsky pun berteriak. Ia tidak rela melihat pers di negerinya berkolaborasi dengan pemerintahan Gedung Putih dan perusahaan-perusahaan raksasa, lalu bersekongkol mengamankan kepentingan bersama. Utamanya dalam kebijakan luar negeri. Tema-tema kolaborasi itu bisa tentang demokrasi, advokasi HAM, atau perang melawan narkoba. Prakteknya, semua dilakukan dengan standar ganda. "Media pers Amerika telah merekayasa kesepakatan publik," ujarnya. Kesepakatan yang ada cuma fakta media, bukan realitas publik yang sebenarnya. Kesepakatan semu. Media pers telah menjadi antek Gedung Putih dan sekalian raksasa industri di negeri adikuasa tersebut.

Namun media Amerika pula yang membuat buku Chomsky, Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance, menjadi best-seller dalam pekan-pekan ini di Amazon.com. Gara-garanya, Presiden Venezuela Hugo Chaves, ketika berpidato di depan Sidang Umum PBB, 20 September lalu, memuji-muji Noam Chomsky dan mengutip isi bukunya. Promosi gratis itu semakin menggema, karena Chaves lagi-lagi menunjukkan sikap penentangannya yang terbuka kepada si "iblis" George W. Bush. Aksi Chaves mendapat liputan luas.

Media pers sebagai institusi tentunya netral. Ia bisa menjadi sarana penyesatan publik, sebagaimana kritikan Chomsky, atau bisa menjadi fasilitas komunikasi yang berguna. Syaratnya adalah komunikasi yang jujur. Apa yang disampaikan media secara jernih dipahami publik. Di sini pers juga bisa menjadi agen demokrasi yang efektif. Ia bisa ikut memandu menuju pencapaian kesepakatan umum.

Kuncinya adalah tindak komunikasi aktif, kata Jurgen Habermas. Pemikir Jerman itu mengingatkan pentingnya media pers menjaga komunikasi dua arah secara seimbang. Komunikasi satu arah bisa membuat salah kaprah. Itulah yang biasa dilakukan koalisi birokrasi dan pemain bisnis di negara berkembang. Maka, kesepakatan yang muncul cenderung semu, distortif, dan cuma melahirkan tatanan rapuh. Maka, bagi Habermas, media perlu ikut memainkan tindak komunikasi aktif agar terjalin kesepahaman yang tanpa rekayasa.

Sebagai bagian dari dunia yang terbuka, pers Indonesia sedikit banyak terbawa oleh tren dunia. Ia juga mulai berkembang menjadi kekuatan besar yang sangat potensial untuk memegang hegemoni. Sejauh ini, sepertinya persekutuan tiga pilar --negara, dunia usaha, dan media pers, seperti gambaran Chomsky di Amerika-- tidak (belum) menjangkiti Indonesia. Pentas media bisa menjadi milik siapa saja.

Maka, dari pentas media, lahir selebriti-selebriti kondang. Mereka umumnya manusia pilihan --setidaknya berparas menawan dan berpostur menarik. Mereka pun menjadi pujaan publik dan, diakui atau tidak, punya pengaruh. Ibarat model busana, mereka juga menjadi acuan, ikut menentukan tren.

Dalam konteks ini, barangkali pendapat Roland Barthes, pemikir Prancis, jadi relevan. Fashion bisa menjadi hegemoni, dan tren busana pun seolah satu hal yang kudu diikuti. Begitu halnya pentas keartisan. Boleh jadi, ia dapat melahirkan hegemoni pula atas audiens. Fenomena ini lalu masuk ke jurusan politik ketika audiens menjelma jadi sekalian rakyat alias massa pemilih.

Di sini hegemoni keartisan akan menjadi modal politik. Bisa besar, bisa kecil. Jangan heran bila hegemoni keartisan kemudian muncul dalam pilkada atau pemilu legislatif. Bahkan ada fenomena terbalik, politikus berlaku bagai artis untuk menguatkan hegemoninya. Lepas dari soal adakah ini sistem rekrutmen yang baik atau tidak, itu barangkali kehendak zaman.

Jangan mengecam artis. Tak usah pula mempersalahkan media. Keputusan pemilih memang selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni itu. Namun, kembali pada pendapat Habermas bahwa tindak komunikasi aktif adalah cara menggugah (juga kampanye) yang rasional karena sangat kalkulatif. Wallahu'alam

Friday, October 20, 2006

Muhammad Yunus Sang Peraih Nobel

Akhirnya lengkap sudah siapa saja yang meraih
gelar bergengsi Nobel untuk tahun 2006. Bertempat
di Stockholm, Swedia Jumat kemarin, orang
Bangladesh yang bernama Muhammad Yunus melengkapi
sang pemenang dengan meraih Nobel Perdamaian tahun
2006.

Khusus bagi Muhammad Yunus ini adalah sebuah
sejarah tidak hanya bagi dirinya pribadi tetapi
seluruh negeri Bangladesh. Muhammad Yunus menjadi
orang Bangladesh pertama sepanjang sejarah yang mendapatkan hadiah nobel.

Siapakah Yunus, sang peraih nobel perdamaian tahun
ini ? Dia lahir di Chittagong, salah satu kota di
Bangladesh tahun 1940. Menyelesaikan kuliah
ekonomi di di kotanya, tahun 1965 Yunus
melanjutkan kuliahnya di Vanderbilt University
Amerika Serikat. Di tahun 1976, saat resesi
ekonomi melanda dunia akibat perang Vietnam yang
digagas AS, Yunus kembali ke negerinya dan
mendirikan Grameen Bank. Institusi keuangan yang
berfungsi memberikan kredit murah kepada
masyarakat miskin dan tidak mampu di Bangladesh.
Maklum sampai saat ini Bangladesh masih tergolong
sebagai salah satu negara paling miskin di dunia
dengan pendapatan per kapita yang cukup rendah.
Perannya dalam mengentaskan kemiskinan di
negerinya inilah yang kemudian membuat akademi
nobel Swedia mengganjar hadiah nobel perdamaian
untuknya. Jalan-jalan di ibukota Dakka penuh sesak
dengan orang yang ingin memberikan selamat saat
pengumuman nobel disampaikan langsung dari Swedia.

Dengan demikian, Muhammad Yunus mungkin adalah
satu-satunya ekonom muslim yang pernah mendapatkan
Nobel sampai saat ini. Sebenarnya sudah lama
beliau juga dinominasikan untuk mendapatkan nobel
ekonomi. Namun siapa sangka, justru kategori nobel
perdamaianlah yang dia dapatkan.

Akhirnya Yunus menjadi muslim ke-7 yang
mendapatkan gelar nobel dari kurang lebih 500
orang di dunia yang pernah mendapatkan hadiah
serupa. Dan dia menjadi muslim ke-3 yang
mendapatkan Nobel perdamian setelah mendiang
Presiden Mesir Anwar Sadat dan mendiang Presiden
Palestina Yasser Arafat.

Namun, prestasi Muhammad Yunus lebih patut
diacungi jempol karena dia menunjukkan prestasi
profesionalnya. Beda dengan Sadat dan Arafat yang
diberi nobel lebih karena nuansa politisnya. Sadat
bersama PM Israel Menachem Begin diganjar nobel
1978 karena perjanjian camp David, hal yang justru
membuat Sadat dibunuh 3 tahun kemudian oleh
seorang bawahannya yang tidak sepakat dengan
keputusan berdamai dengan Israel. Sedangkan Yasser
Arafat mendapatkan nobel perdamaian tahun 1994
bersama 2 orang Israel, Yitzhak Rabin dan Shimon
Peres berkat peta jalan damai di timur tengah.

Adalah suatu kebanggaan bahwa tahun ini, 2 gelar
nobel disabet oleh muslim. Selain Yunus, penulis
Turki Orhan Pamuk meraih Nobel sastra tahun ini
lewat karya-karya satir-nya yang mengkritik sistem
sekuler Turki. Sudah saatnya memang para
cendekiawan muslim dunia menunjukkan prestasi
keilmuan ini untuk menampilkan sosok Islam yang
juga mencintai sisi-sisi keilmuan.

Ini jauh lebih baik dari revivalisme politik yang
didengungkan saat ini namun justru banyak juga
mendiskriminasi sesama muslim lainnya. Seperti
konflik Fatah-Hamas di Palestina.

Jika revivalisme ilmu ini bisa muncul, siapa tahu
kita bisa menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim
kelas dunia yang bisa bersaing dengan ilmuwan
barat yang selama ini cukup mapan dengan risetnya,
walaupun kebanyakan mereka menggunakan
literatur-literatur ilmuwan Arab Tempo dulu.

Dan dunia akan mengingat kembali bahwa dulu di
sebuah kota Spanyol bernama Cordova, pernah Islam
tampil sebagai suatu peradaban yang mengedepankan
ilmu pengetahuan dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Selamat untuk dua muslim yang turut mengharumkan
nama agamanya di kancah Nobel, Orhan Pamuk dari
Turki untuk Nobel Sastra 2006 dan Muhammad Yunus
untuk Nobel Perdamaian 2006.

By: Sorong

Wednesday, October 18, 2006

Bagaimana Menjadi Jurnalis?

Belajar meliput dan menulis berita sama dengan belajar berenang; Anda hanya bisa jika punya keberanian masuk ke air dan mulai berenang.
Menjadi jurnalis pun begitu.
Kemahiran Anda meliput dan seberapa cemerlang tulisan Anda tergantung pada pengalaman dan kesungguhan Anda belajar.
Selama Anda menghargai proses belajar menjadi jurnalis, selama itu pula pintu kesuksesan terbuka untuk Anda.
Prinsip-prinsip berikut bakal membantu Anda mengawali karir di dunia jurnalistik - jika Anda setuju, cetaklah dan tempelkan di dinding kamar Anda.

MENJADI JURNALIS
Tak ada yang menodongkan pistol ke kepala dan memaksa Anda menjadi jurnalis.
Anda datang atas kemauan sendiri, karena Anda mencintai dunia tulis-menulis, mampu mengendus berita dan punya ikatan pada orang kebanyakan.
Asah lah kerajinan menulis Anda, ketajaman akan berita dan kepekaan terhadap orang-orang di jalanan.
Asah lah selalu dan terus-menerus.Menggerutu boleh, asal jangan terlampau banyak.
Pikirkan selalu pembaca, pirsawan dan pendengar Anda.
Katakan pada mereka sesuatu yang baru, setiap hari. Itulah yang membuat mereka rela mengeluarkan Rp 1.000 atau Rp 2.000 dari kocek untuk selembar koran.
Cari tahu siapa mereka dan menulislah untuk bisa mereka baca.
Jika Anda bisa bilang "go to hell" ke mereka, Anda sendiri lah yang pertama-tama akan masuk ke neraka.
Lalu, koran atau majalah, televisi atau radio Anda.
Membacalah setiap hari - tiga atau empat buku setiap kali dan semua jenis majalah.
Bacalah sebanyak mungkin untuk menjadi penulis terbaik.
Bacalah Shakespeare dan karya-karya sastra lain seperti Anda membaca Al-Quran atau Bible sepanjang hayat.
Bacalah karya sastra klasik-untuk mengetahui bagaimana pikiran-pikiran besar masa silam mengekspresikan dirinya sendiri.
Suapi otak setiap hari, seperti Anda menyuapi perut. Petinju hebat tak bisa mengandalkan daging yang dimakannya 10 tahun lewat.
Jurnalis tak bisa menulis baik dengan pikiran 10 tahun silam.
Jagalah agar otak tetap terbuka terhadap gagasan dan pikiran baru.
Jangan arogan dan bersikap menghakimi orang lain. Mereka yang tak setuju dengan Anda tidak selalu berarti tolol atau gila.
Jauhkan diri dari memuja stereotipe. Sebab, hidup di desa belum tentu damai; birokrat belum tentu korup; haji dan pendeta belum tentu alim;
dan anak yang membunuh ibunya belum tentu durhaka.
Gali lah fakta hingga ke dasar-dasarnya.
Jangan terpukau pada omongan pejabat, para pakar, tentara, dan polisi. Kutip mereka sedikit mungkin. Gali cerita dari lapangan.
Berbicaralah dengan orang-orang di jalanan, di tempat peristiwa.

By: Pena Indonesia 

Wednesday, September 13, 2006

Sebuah Catatan Perjalanan Sejarah: "INDONESIA TANAH AIR BETA"

(dari berbagai saduran)


Pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari seluruh suku yang mendiami kepulauan yang terbentang antara benua Asia dan Australia berkumpul membicarakan identitas dan nasib mereka, dan ketika pada tahun 1945 Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan sebuah negara yang bernama Indonesia, para aktifis kepemudaan pada era itu menjatuhkan pilihan kepada nama "Indonesia" untuk nama negara republik yang akan didirikan, pilihan itu dilakukan tanpa ragu-ragu, dan boleh dikatakan tanpa mendapat tantangan.

Pilihan tersebut tidak terjadi begitu saja dalam sehari di dalam sebuah forum atau rapat raksasa, melainkan hasil proses pencarian identitas sebuah kumpulan suku bangsa yang berada di lautan Pasifik di bagian selatan benua Asia di pertengahan abad XIX, sampai pada nama "Indonesia" yang dipakai untuk sebuah nama perkumpulan pada dasawarsa kedua abad XX. Dan seperempat abad kemudian nama Indonesia benar-benar berarti sebagai sebuah republik yang merdeka.

Nama "Indonesia" bukanlah satu-satunya nama yang pernah diusulkan. Ada beberapa yang pernah dipopulerkan antara lain nama "Nusantara" (artinya kira-kira kepulauan antara dua benua) yang pernah diancang-ancang dan nama ini terdapat dalam cerita negara kertagama, walaupun nama tersebut terasa asing bagi orang di luar pulau Jawa. Dan nama ini kurang mencakup wilayah Indonesia seperti sekarang yang terdiri dari daerah jajahan Belanda.

Pilihan nama "Nusantara" tidak diterima oleh para penulis asing sebagai wilayah yang terbentang antara Sabang sampai Merauke dan tidak menggunakannya di berbagai tulisannya yang menyangkut wilayah tersebut, bahkan menyebutnya sebagai kawasan kepulauan yang luas dan terbentang antara Australia dan Asia yang tidak gampang untuk dibuat suatu batasan.

George Samuel Windsor Earl dalam tulisan-tulisannya menggunakan istilah India Belanda (Dutch India) untuk wilayah yang terbentang antara Sabang sampai Merauke. Ia berkali-kali ia mengulang nama kepulauan India, atau hanya Kepulauan, Kepulauan India Timur pada kesempatan lain, penggunaan nama India yang kita kenal sekarang ini saat itu sering disebut sebagai India British atau India Daratan (Continental India) atau India Barat, tetapi India Belanda memang lebih persis-setidaknya sama-sama dengan nama yang digunakan Belanda sendiri. Hanya George Samuel Windsor Earl sering menghindarinya, karena beberapa bagian wilayah berada diluar klaim Belanda.

Sir Josep Bank misalnya menggunakan dan mencamtukan nama India pada nama-nama dipakainya, dua abad lalu pulau-pulau India Timur (East India Island), kepulauan Timur (estern Islands), India Timur (East Indies), Pulau-Pulau Timur Eastrn Isles dan India. Itu semua dipakainya. Bahkan orang yang mendiami pulau-pulau tersebut disebut orang-orang India (The Indians).

Pada 1783 William Marsden menyebut Kepulauan India (India Archipelago) tetapi pada tahun 1812, setelah memakai East Indies dan Kepulauan Malaya (Malaya Archipelago) ia mengusulkan "wilayah kepulauan ini tidak boleh tidak lebih persis disebut dengan mirip-mirip Polenesia". Bahkan Apa yang dipakai Rafles, juga masih menggunakan The Eastern Islands, East Indies, The Indian Islands, Asiatik Isles, Malayan Archipelago, Archipelago saja dan Malay Island.

Pada awal abad XX muncul nama Indonesia dalam judul-judul karangan yang berbahasa Inggris dan Belanda. Dan pada tahun 1906 diterbitkan sebuah buku yang berjudul Het Animisme Der Indinesiers oleh A.C.Krijt dan pada tahun 1909 terbit buku yang berjudul "Het Indonesish Heigendom", oleh C. Spat dan pada tahun 1918 diterbitkan pula di Manchester, Inggris, buku "The Megalithic Culture of Indonesia", oleh WJ Perry, dengan karangan ini bertambah nama baru yaitu "Indonesia".

Seorang ahli Jerman yang sangat terkenal yang bernama Adolf Bastian. Dan ia hidup sebagai professor etnologi dan kurator museum di Berlin dan menulis buku, "Indonesia Oder Die Inseln Des Malayischen Arshipel". Diterbitkan pertama kali di berlin 1884, buku itu ditandai dengan banyaknya istilah Indonesia. Walaupun banyak memakai kata "Indonesia", tapi dalam entry beberapa ensiklopendia, asal kata Indonesia tidak dikaitkan dengan nama Adolf Bastian. Edisi 11 Enclopedia Britannica, vol. XIV, 1911, umpamanya menyebut: Indonesia, nama yang diberikan James Richardson Logan untuk menggambarkan penduduk non Malaya yang kulitnya terang yang menduduki kepulauan Timur..." lalu Grote Winkler Prin Encholpedia, 1970, menulis "nama Indonesia pertama kali dipergunakan oleh etnolog Inggris GR Logan pada 1850.." seorang akhli adat-istiadat Cina dan seorang pengacara asal Skotlandia yang tinggal di Penang pada tahun 1884. Yang menarik adalah catatannya yang berjudul "The Journal of the Indian Archipel and Eastern India", dikerjakan sejak 1847, dan muncul sampai 1863.

Dalam Volume IV Jurnal tersebut 1850 disebutkan bahwa Georger Samuel Windsor Earl sebagai pengarang artikel tentang karasteristik pokok bangsa bangsa Papua, Australia dan Melayu Polinesia, ternyata George Samuel Windsor Earl pernah berkunjung ke Australia pada tahun 1846, kemudian bergabung dengan Logan dan membuka kantor pengacara di Singapura.

Sampai tahun 1850, George Samuel Windsor Earl masih belum mengemukakan akan suatu nama untuk menyebut yang kepulauan yang terbentang antara benua Asia dan Autralia itu. Pada hal pada serial tulisannya ia sudah menyatakan sebuah istilah untuk menggambarkan cabang bangsa Polenesia yang mendiami kepulauan India. Dalam gambarannya tersebut India muncul lagi. Lalu ia mengajukan istilah Melayunesia. Dari istilah Melayunesia kemudian berperoses untuk sampai pada kata Indu nesian kemudian Indonesia.

Dalam volume yang sama dari jurnal itu, dimuat pula tulisan JR Logan "Etnologi Kepuluan India: mencakup hubungan Kontinental dengan penduduk Kepulauan Indo-pasifik". Disini ditemukan sebuah kalimat : diantara penyelidik tuan William cakap berhubungan dengan penduduk asli Indonesia.... dan seterusnya. Nah lihat disini untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul dalam literatur Inggris. Dan sikap logam sendiri, dalam catatan kaki sebuah karangannya ia menulis untuk nama "Indian Archipelago" sebuah ajektif atau bentuk etnografis, tuan George Samuel Windsor Earl menganjurkan pemakaian istilah Indonesians.... saya sendiri lebih suka semata-mata sebagai istilah geografi. Indonesia merupakan sinonim terdekat dengan Indian Islands atau Indian Archipelago dan Archipelagic serta Indonesians untuk Indian Archipelagians dan Indian Islander .....

Istilah "Indonesia" yang beredar pada tahun 1850, muncul untuk menggambarkan daerah kebudayaan dan geografisnya. Ketika nasionalisme Indonesia muncul ke permukaan nama Indonesia menyatu dengan cita-cita nasional dari dari sebuah negeri yang ingin merdeka. Lumrah jika kaum nasionalis tidak suka dengan nama resmi Nederlandsch Indie untuk sebuah negara merdeka yang kita idam-idamkan. Untuk alasan yang mirip pula mereka dulu menolak istilah India. "Indonesia sudah siap dipakai sebagai pilihan yang alamaiah- tidak mendua arti-an tidak berbau kolonial", johannes berkomentar.

November 1917 sebuah faderasi didirikan di negeri Belanda, dari mana mahasiswa-mahasiswa Indologie, nama-namanya: Indonesch Verbond van Studeerenden. Seperti yang ditujukkan Dahm, inilah pertama kali kata Indoensia muncul dalam sebuah nama organisasi, dan secara berlahan-lahan tapi pasti melekatkan diri pada arti geografis dan politis.

Pengertian politis itu setelah dipakai para nasionalis di tahun 1920. Muhammad Hatta, memulai sebuah artikel tentang subyek itu pada 1929 dengan kalimat: Dengan tidak bosan-bosannya sejak 1918 kita telah mempropagandakan Indonesia sebagai tanah air kita. Seorang penulis mengomentari nama itu memperoleh komoditas politik terutama dalam 10 tahun terakhir. Dihitung saat tulisan itu disiarkan 1929 berarti sejak 1919 atau sejak faderasi mahasiswa tersebut terbentuk.

Lalu tahun 1922 terdapat langkah yang menentukan, Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang didirikan sejak 1908 mengubah namanya menjadi Indonesische verenengin organisasi yang bahasa melayu berarti "Perhimpoenan Indonesia" dengan tujuan menjalankan politik nasional yang jelas dan sejak itu secara konsisten memakai istilah Indonesia.

Sebelum dasa warsa ke ketiga abad itu berlalu cita-cita nasionalisme semakin berakar dimasyarakat. Bulan Agustus 1926 Muhammad Hatta menyerukan agar nama Indonesia dipakai dalam kancah gerakan perdamaian dunia yang berkongres di Paris. Hatta sendiri hadir disana dan menjadi jurubicara delegasi Indonesia. Tak pelak atas inisiatif dan desakannyalah nama Indonesia diterima kongres. Dalam kongres perdamaian pemuda sedunia di Oerijssel, negeri Belanda, 2 tahun kemudian, utusan Indonesia terdaftar sebagai peserta dan tercantum nama Indonesia. "Perhimpunan Indonesia". Dan secara kebetulan kongres dibuka 17 Agustus.

Seiring dengan itu, ratu Wilhelmina mengucapkan pidato melalui radio oranje London, di suatu hari sabtu di bulan Desember 1942. dari sana di ketahui bahwa Belanda nampaknya sudah oke dengan penggantian nama Nederlandsche Inde menjadi Indonesia akan tetapi mereka, masih terkesan tidak ikhlas. Dalam berbagai kesempatan hanya satu kali menyebut Indonesiers dan satu kali Indonesie, maka tak heran jika refisi konstitusi Belanda baru terjadi 3 tahun kemudian setelah Indonesia merdeka yakni 1948 hingga menjadi Indonesia akan tetapi rakyat Indonesia tidak peduli, mereka enjoy dengan negara barunya yang bernama Republik Indonesia. Wallahu'alam.



By : Budhi Harto Munir

"GERAKAN TAMADDUNI UNTUK TRANSFORMASI MASYARAKAT"

Ibnu Khaldun, pemikir Islam abad pertengahan par excelent, menggunakan tiga istilah untuk merujuk pada sebuah konsep peradaban, yakni úmran, hadlarah, dan tamaddun. Para pemikir di dataran Melayu lebih memilih istilah yang berakar dari kata tamaddun daripada dua istilah lainnya; 'umran atau hadlarah, karena secara etimologis memang lebih mempunyai makna yang dalam dan dinamik. 'Umran mempunyai konotasi "keramaian dan kemakmuran", "hadlarah" mengandung pengertian "kosmopolit", sedangkan "tamaddun" dalam konteks peradaban mencakup dua pengertian sebelumnya karena karakteristiknya yang mengandung jiwa perkotaan (madaniyah) dimana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif kebudayaan dan pencapaian pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep tamaddun, menurut Naquib al-Attas ( 1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada " suatu kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan."

Gerakan Tamadduni: Jalan Profetik Bagi Transformasi Masyarakat

"Gerakan Tamadduni" (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep tamaddun di atas. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Itulah salah satu jalan transformasi kemasyarakatan yang jejaknya dapat dilacak dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah). Transformasi profetik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun Peradaban Madinah adalah pertama, pembangunan tauhid di Mekkah, kedua, pembangunan kemasyarakatan di Madinah awal dengan jalan saling mempersaudarakan antara Muhajirin-Anshar dan juga kontrak sosial dengan komunitas selain Islam (Piagam Madinah), dan yang terakhir (ketiga) adalah menjalankan pemerintahan yang berdaulat di Madinah. Dari sinilah peradaban Islam terbangun yang kemudian dapat mengatasi peradaban Persia dan Byzantium-Romawi.

Cita-cita transformasi dari gerakan tamadduni tentu saja adalah terciptanya masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT. Namun demikian, tamadduni lebih berkonsentrasi pada proses perjuangan, kuatnya energi untuk bergerak maju, dan daya kerja yang keras dan profesional untuk mencapai cita-cita transformasi daripada hanya menunggu atau bermimpi tentang bentuk jadi dari masyarakat bertamaddun yang diridhai oleh Allah SWT itu. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu kekuatan progresif yang mampu mengkonsolidasikan dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini.

Situasi kekinian menunjukkan adanya fenomena tiga kekuatan yang acapkali saling berkonflik meski di saat yang lain juga bisa saling bekerjasama dalam sebuah konsensus. Pertama adalah kekuatan pasar (pemodal). Kedua adalah kekuatan negara (masyarakat politik). Ketiga adalah masyarakat sipil (yang non-penguasa modal dan non-penguasa kenegaraan). Kekuatan yang pertama dan kedua mempunya kecenderungan yang besar untuk mengalahkan dan memperalat kekuatan ketiga untuk memantapkan dan memapankan kekuasaan masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat sipil sangat rawan untuk menjadi pihak yang lemah dan terpinggirkan, dan oleh karena itu susungguhnya, ia menyimpan kekuatan progresif untuk melakukan perubahan dan memaksa pemodal dan negara untuk memenuhi hak-haknya. Dari situlah peradaban yang tinggi akan dapat diwujudkan.

Masyarakat Sipil: Keniscayaan Konsolidasi Untuk Ber-Tamaddun

Masyarakat sipil adalah kekuatan ketiga yang peran dan posisinya sangat strategis bagi proyek tamaddun. Beberapa bentuk konsolidasi yang diharapkan dapat terwujud untuk menopang visi tamaddun itu adalah; konsolidasi untuk kemandirian ekonomi, konsolidasi untuk kemerdekaan politik, dan konsolidasi untuk pencapaian kebudayaan yang tinggi.

Pertama, kecenderungan mutakhir menunjukkan bahwa kekuatan pasar (neo-kapitalime) begitu kuat sehingga mengatasi negara dan masyarakat. Bahkan, negara dipaksa menjadi boneka yang manis untuk memenuhi selera para neo-kapitalis dan kemudian menindas masyarakat sipil. Maka dari itu, ketika neo-kapitalisme dan negara (sebagai bonekanya) berkongkalikong untuk semakin memperkaya dirinya masing-masing, masyarakat sipil mempunyai keharusan untuk melakukan konsolidasi sosial demi melindungi kepentingan ekonominya. Konsekuensinya, pada satu saat, masyarakat sipil musti melakukan perjuangan untuk mendesak kaum pemodal dan atau negara untuk memenuhi hak-haknya; misalnya kesejahteraan hidup, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat sipil juga niscaya untuk mengkosnsolidasikan kekuatan ekonomisnya melalui semangat kemandirian, keswadayaan, dan ke-swadhesi-an. Namun demikian, pada saat yang lain, masyarakat sipil juga dimungkinkan untuk bekerja sama dengan salah satu atau kedua kekuatan yang lain, hanya saja tujuannya harus jelas dan tegas, yakni; untuk kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi masyarakat sipil.

Kedua, selain kecenderungan menguatnya neo-kapitalisme yang membuat negara dan masyarakat tak berdaya secara ekonomi, negara juga mempunyai potensi yang kuat untuk menjadi korup, otoriter, dan memberangus hak-hak politik rakyat. Pendek kata, masyarakat sipil juga perlu untuk melakukan konsolidasi politik untuk makin meningkatkan bargaining position-nya terhadap negara maupun pemodal untuk menjamin bahwa kebebasan, harkat, dan martabatnya dijamin dan dihormati. Sebab, kedaulatan politik rakyat menjadi prasyarat utama bagi sebuah iklim tamaddun yang demokratik dimana fungsi negara adalah pelayan yang baik dan terpercaya bagi pemenuhan hak-hak politik rakyat.

Ketiga, masyarakat sipil juga tak luput dari krisis yang disebabkan oleh keroposnya bangunan budaya yang ada di dalamnya. Akibatnya, mereka mengalami ketumpulan dan kemunduran sense of advanced humanity (rasa kemanusiaan yang adiluhung), seperti ; religiusitas yang makin terkikis, semangat keilmuan yang menurun, gairah intelektualisme yang rendah, tak punya kreatifitas seni, sastra, atau musik yang dapat dibanggakan, tak ada kemajuan teknologi yang dapat dicapai, dan sebagainya. Konsolidasi kebudayaan masyarakat sipil diperlukan untuk mengatasi krisis itu. Dengan konsolidasi, gebrakan budaya untuk kembali menggairahkan energi kreatif masyarakat dapat dilakukan. Tidak hanya itu, cita-cita transformasi masyarakat yang nota bene adalah masyarakat yang diridhai Allah SWT sangat mungkin untuk diwujudkan. Masyarakat itu adalah masyarakat yang ber-tamaddun (civilized socoiety) yang di antara ciri yang disebutkan Ibnu Khaldun (sebagaimana dikutip Beg, M.A.J., 1982) adalah: a higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (Mustafa Kamal Ayub, 2004). Wallahu'alam




By : Syifa A.W

Saturday, September 09, 2006

PROSPEK GLOBALISASI USAHA KEHUTANAN DI ABAD 21 SEBUAH TINJAUAN DARI PERSPEKTIF BISNIS

I. PENDAHULUAN

Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang selama lebih dari tiga dasawarsa memiliki peran signifikan terhadap proses pembangunan nasional. Pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan yang berorientasi ekspor telah mampu menyumbangkan devisa terbesar kedua dari sektor non migas setelah industri tekstil dan produk turunannya, menurut catatan MPI pada tahun 2000 telah menghasilkan devisa USD 8 milyar, diantaranya dan produk kayu lapis USD 3 milyar, produk pulp dan kertas USD 3,5 milyar dan dan produk lainnya USD 1,5 milyar. Jumlah tersebut merupakan 17% dari nilai ekspor non migas atau 13% dari nasional earning. Industrialisasi kehutanan juga telah memberikan nilai tambah yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, antara lain melalui penyerapan tenaga Kerja dan terbukanya peluang berusaha, SDM yang terlibat langsung dalam sektor usaha kehutanan + 2,5 juta orang dan tidak langsung + 1,5 juta orang

Krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997 telah memporakporandakan struktur dan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia. Berbagai sektor dan usaha ambruk seiring dengan makin membumbungnya nilai mata uang dollar pada saat itu terhadap rupiah.

Dampaknya, tingkat kesejahteraan masyarakat menurun drastis sementara angka pengangguran membengkak. Kondisi ini menyebabkan terjadinya instabilitas sosial politik di berbagai tingkatan yang sampai saat ini masih dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dinamika sosial, ekonomi dan politik makro dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya telah menempatkan kehutanan pada posisi yang bersifat paradoks. Di satu sisi, usaha kehutanan yang berbasis pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam diharapkan akan dapat menjelma menjadi salah satu sektor andalan bagi proses pemulihan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, belum ada kejelasan dan kepastian mengenai sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berkembang di berbagai tingkatan dalam bentuk konflik sosial, perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), serta penyelundupan kayu yang didukung oleh tiadanya upaya penegakan hukum (law enforcement) dan stabilitas keamanan justru sangat kontraproduktif terhadap iklim bisnis di sektor kehutanan, sehingga dapat merugikan negara bermilyar USD, terakhir angin segar yang memberi harapan berkurangnya perambahan dan penebangan liar dengan diterbitkannya SKB dua Menteri, Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian, tertanggal 03 Oktober 2001, masing-masing No. 1132/KPTS-l 1/2001 dan No. 2S2/MPP/Kep/10/2001 yang intinya melarang ekspor kayu bulat/bahan baku serpih.

I. DINAMIKA SOSIAL POLITIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BISNIS KEHUTANAN

Dewasa ini iklim investasi dan berusaha di sektor kehutanan berada di posisi titik nadir. Dinamika sosial. ekonomi dan politik makro sebagai dampak krisis ekonomi 1997 dan disusul gejolak politik berkepanjangan telah menyebabkan keberadaan dan masa- depan para pengusaha hutan berada dalam ketidakpastian.

Salah satu faktor penyebab kondisional tersebut diatas adalah mulai diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda) pada tahun 2001, termasuk otonomi pengelolaan sumber daya hutan. Dalam perspektif politik, melalui otonomi daerah akan terdapat kewenangan daerah beserta masyarakatnya dalam menerapkan kebijakan pengelolaan dan pernanfaatan sumber daya hutan. Sementara dalam perspektif ekonomi, otonomi daerah diharapkan akan melahirkan keadilan ekonomi, khususnya dalam hal redistribusi manfaat hasil hutan. Kondisi tersebut akan berdampak pada aspek sosial budaya, dimana sistem dan pola pengelolaan hutan Masyarakat setempat yang bersifat khas setempat (local specific) akan terakomodir dalam setiap kebijakan dan praktek pembangunan kehutanan. Persoalannya, hingga saat ini sebagian besar pemerintah daerah dan masyarakatnya ternyata belum memiliki kejelasan konsep dan rancang bangun otonomi pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan pemberian ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) kepada masyarakat setempat seluas 100 hektar serta penetapan Peraturan Daerah (Perda) tentang iuran/pungutan hasil hutan adalah beberapa realitas kebijakan kehutanan yang bersifat tumpang tindih (overlapping) dan berulang (redundant) yang kini terjadi dan merebak di berbagai daerah Propinsi dan Kabupaten di seluruh Indonesia. Kondisi tersebut jelas menunjukkan kompleksitas interaksi sosial, ekonomi dan politik sumber daya hutan yang mencerminkan pertentangan antara kebijakan-kebijakan bernuansa populis egaliter dengan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan prinsip kelestarian sumber daya hutan.

Terdapat beberapa implikasi sosial ekonomi dan sosial politik sebagai akibat berbagai kondisional diatas. Pertama, Intensitas dan kuantitas konflik sosial di kawasan hutan meningkat pesat. Ketidakjelasan domain (kewenangan) pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan telah menimbulkan ketidakpastian status kawasan hutan. Sampai saat ini, konflik sosial di kawasan hutan telah menyebabkan terhentinya kegiatan operasional berbagai perusahaan pemegang HPH/HPHTI dengan kerugian yang sangat signifikan. Kedua, merebaknya praktek penebangan liar dan pencurian kayu (illegal logging) yang telah menjadi keprihatinan masyarakat luas bahkan dunia Internasional.

Bagaimanapun, dampak dan ketidakjelasan selalu menimbulkan instabilitas. Sementara instabilitas selalu melahirkan kondisi ketidakpastian hukum. Maka, para pemodal (baik lokal, nasional bahkan internasional) yang hanya mengedepankan sikap aji mumpung (moral hazard) kini dapat leluasa melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara eksploitatif dan masif tanpa rasa takut dan khawatir akan ditindak oleh aparat karena ketidakjelasan, instabilitas dan ketidakpastian hukum. Ketiga, implikasi berikutnya adalah meningkatnya praktek penyelundupan kayu bulat (logs), SKB dua Menteri yang melarang ekspor kayu bulat, merupakan uji coba yang harus disadari oleh semua pihak, betapa pentingnya kelestarian sumber daya hutan. Kini, tidak saja secara ekonomi negara dirugikan dengan praktek penebangan liar dan penyelundupan kayu, lebih jauh, kelestarian sumber daya hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan terancam hancur dan punah. Akhirnya, dalam perspektif makro telah terjadi kehancuran sistem dan tata niaga kayu. Industri hasil hutan yang mendukung praktek-praktek ilegal kini justru dapat bertahan bahkan menangguk untung yang tidak kecil. Sementara industri pengolahan kayu yang mentaati prosedur dan aturan perundangan terancam gulung tikar karena tidak dapat bersaing dalam hal biaya produksi maupun harga jual bahan baku.

Departemen Kehutanan sebagai institusi publik yang secara politik diharapkan mampu membuat kebijakan dan instrumen implementasi bagi upaya penyelesaian berbagai persoalan diatas diharapkan bersikap proaktif. Dasar hukum bagi landasan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang telah diterbitkan, yaitu UU No. 41. tahun 1999 tentang Kehutanan justru belum ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pelaksanaan, walaupun konon masih dalam penggodogan.

III. DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP USAHA KEHUTANAN INDONESIA

Komunitas dunia Internasional sejak awal memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan ekonomi kehutanan Indonesia. Kemampuan pasar kayu dunia dalam menyerap produk-produk hasil hutan Indonesia terbukti telah menempatkan kehutanan sebagai salah satu sektor penting dalam proses pembangunan nasional. Era kesejagatan (globalisasi) yang kini melanda dunia Internasional telah merubah perilaku dan tata hubungan produsen konsumen berkaitan dengan keberadaan hutan tropis Indonesia. Terdapat dua issue penting yang kini berkembang disektor kehutanan sebagai wujud perubahan perilaku komunitas dunia Internasional, termasuk para konsumen produk-produk hasil hutan Indonesia. Pertama, issue tentang kelestarian fungsi lingkungan dan keanekaragaman hayati sumber daya hutan yang semakin menurun sebagai dampak kegiatan pembalakan hutan. Kedua, issue penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang dalam terminologi masyarakat Internasional dikenal sebagai indigenious people (masyarakat asli). Terakhir, dalam perspektif ekonomi globalisasi menuntut diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas konsekuensinya, seperti yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir tidak ada monopoli sehingga akses dari dan kepasar dibuka secara bebas.

Implikasi berbagai tuntutan diatas menyebabkan setiap pengelola hutan dewasa ini harus dapat mengelola sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan. Baik kelestarian fungsi ekonomi, lingkungan maupun sosial budayanya. Mekanisme dan instrumen yang telah disepakati oleh para pihak dalam mengukur tingkat kelestarian sumber daya hutan adalah melalui sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) atau umum disebut dengan istilah ekolabel. Di Indonesia, dewasa ini berkembang sistem sertifikasi yang dibangun oleh Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia (YLEI) disamping sistem-sistem sertifikasi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga lain ditingkat Internasional. Bahkan, mulai tahun 2002, beberapa importir produk-produk kayu besar dibenua Eropa dan Amerika, telah menegaskan untuk hanya akan menyerap produk-produk hasil hutan tropis yang berasal dari produsen bersertifikat ekolabel.

IV. PROSPEK MASA DEPAN BISNIS KEHUTANAN INDONESIA

Dengan berbagai kondisional yang kini berkembang disektor kehutanan, baik dalam perspektif dimensional (ekonomi, ekologi dan sosial) maupun dalam perspektif kawasan (lokal, regional, Nasional dan Internasional) maka tidak mudah untuk membuat sebuah rancang bangun tentang konsep ideal bisnis kehutanan dimasa depan. Paling tidak terdapat beberapa faktor signifikan yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bisnis kehutanan yang layak secara ekonomis (profitable), ramah lingkungan (environmental friendly) dan diterima serta tidak menimbulkan resistensi masyarakat diberbagai tingkatan serta (community acceptable).

Karenanya, konsep usaha kehutanan dimasa depan harus mempertimbangkan tiga dimensi penting. Pertama, ditingkat lokal harus mempertimbangkan dimensi hak-hak masyarakat setempat sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem sumberdaya hutan. Usaha kehutanan dimasa depan, baik dalam bentuk perusahaan pemegang HPH maupun HPHTL harus berbasis pada peran serta dan keterlibatan masyarakat lokal. Kedua, dalam tatanan regional-nasional usaha kehutanan harus mempertimbangkan dinamika sosial politik sebagai dampak penerapan kebijakan otonomi daerah serta kebijakan pertimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kedua instrumen kebijakan tersebut harus mampu mewujudkan keseimbangan aktualisasi hak politik daerah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan hutan, memberi keadilan ekonomi dalam redistribusi manfaat hasil hutan serta mengakomodir sistem sosial budaya masyarakat lokal dalam praktek pengelolaan sumber daya hutan. Ketiga, dalam perspektif global setiap pengusaha hutan harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan. melalui mekanisme sertifikasi ekolabel.

Dalam perspektif teknis, metode pengelolaan hutan yang dapat diterima adalah metode yang ekfektif dan ramah lingkungan. Salah satu metode pengelolaan hutan yang ramah lingkungan di masa depan karena memiliki dampak minimal terhadap kerusakan lingkungan adalah metode Reduced Impact Logging (RIL). Metode ini juga telah diakomodir kedalam sistem kriteria dan indikator (C & I) pengelolaan hutan produksi lestari bidang produksi dan lingkungan. Artinya, menerapkan secara benar dan tepat tahapan-tahapan kegiatan dalam sistem silvikultur TPTI yang disertai dengan metode RIL akan meningkatkan produktivitas, meminimalkan limbah tebangan disamping akan memperkecil dampak kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

V. PENUTUP

Apabila masih berlangsung ketidakjelasan dan ketidakpastian sosial, ekonomi dan politik sulit bagi bisnis kehutanan untuk bisa menjadi salah satu sektor andalan. Pun dalam perspektif masa depan, tidak mudah untuk membuat suatu konsep tentang bisnis kehutanan yang prospektif. Dengan demikian, setiap prediksi atas prospek bisnis kehutanan dimasa depan hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat normatif. Secara konseptual, bisnis kehutanan yang memiliki prospek dimasa yang akan datang adalah bisnis kehutanan yang dapat melakukan proses adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi dan politik masyarakat diberbagai tingkatan. Hal ini sesuai dengan teori seleksi alam, bahwa yang akan mampu bertahan adalah yang mampu beradaptasi (survival of the fitest). Konsep ini merupakan sebuah landasan termudah bagi setiap pengusaha hutan dalam mempertahankan ataupun meningkatkan peluang dan kesempatan usahanya.

Diluar faktor-faktor yang telah disampaikan diatas, sesungguhnya syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi terselenggaranya iklim bisnis dan berusaha yang kondusif dan produktif adalah stabilitas sosial politik yang memungkinkan adanya suatu dukungan berupa kepastian dan konsistensi kebijakan, supremasi hukum sebagai mekanisme solusi berbagai persoalan secara terbuka, sejajar dan anti kekerasan serta ketersediaan jaminan keamanan sebagai landasan terciptanya suatu tertib sosial. Tanpa ketiga faktor tersebut, tampaknya yang akan terjadi adalah anomali anomali ekonomi politik yang berujung pada penyimpangan sistem bisnis kehutanan. Seperti yang terjadi saat ini. Wallahu'alam