Thursday, April 27, 2006

Pasar Modern VS Pasar Tradisional

Terobosan demi terobosan dalam membenahi kantong-kantong ekonomi terus dilakukan, termasuk merenovasi wadah transaksi ekonomi. Pasar tradisional yang makin tersudut dan terpinggirkan di tengah-tengah konglomerasi ritel mulai menggeliat. Operator pasar DKI Jakarta, PD Pasar Jaya mengambil langkah berani. Dalam agenda kerja institusi ini sebanyak 90 pasar tradisional yang tersebar di seantero Jakarta akan dipercantik secara bertahap. Tahun 2006 ini sebanyak 20 pasar yang mulai dipugar. Bujet yang dialokasikan sebesar Rp240 miliar. Sedangkan sisanya akan dilaksanakan hingga pada 2010 dari seluruh pasar tradisional yanga ada di Jakarta sudah tidak tradisional lagi.

Keputusan untuk mempercantik dan membuat pasar tradisional tidak kumuh lagi, adalah langkah yang tepat. Pasar baru yang dibangun PD Pasar Jaya adalah pasar dalam kategori modern sekaligus mewah mengimbangi pusat-pusat peberlanjaan modern yang sudah lebih awal berdiri. Tujuan strategic ini jelas menguntungkan secara ekonomi, tetapi pada tataran social akan menenggelamkan para pelaku ekonomi tradisional (sector rill). Dapat dipastikan, tidak semua pemain tradisional yang sudah terbiasa berniaga ditempat kumuh, becek, berbau, mampu beradaptasi secara finansial di tempat yang berpendingin, bersih, dan penuh dengan aroma wewangian. Estimasi dan kalkulasi return investment adalah sebuah rasionalitas yang tidak terbantahkan. Artinya, penghuni baru pasar hasil renovasi bukan lagi pemain lama, melainkan pemain baru dan pemain lama yang tidak sangggup secara finansial akan termarginalkan dengan sendirinya.

Logika ini menjadi tidak berarti manakala PD Pasar Jaya tetap berpihak dan memberi empati ekonomi kepada pedagang kecil. Mereka harus tetap diberi prioritas utama unuk mengisi gedung baru bukan pendatang dengan finansial yang kuat.

Perang dagang yang terjadi pada pusat-pusat perbelanjaan saat ini sudah begitu mengkhawatirkan. Pasar tradisional sedikit demi sedikit terhempas bukan semata-mata karena kehadiran hypermarket, melainkan konglomerasi ritel yang kian menjamur di sejumlah pemukiman warga. Sekarang ini hampir di setiap sudut strategis lokasi pemukiman di Jakarta berdiri minmarket. Tak hanya pasar tradisional kehilangan pelanggan setianya, sejumlah warung atau toko tradisional yang menjadi tumpuan hidup pedagang kecil banyak yang gulung tikar.

Mengapa para pedagang kecil ini bangkrut, karena mereka tidak mampu bersaing dengan minimarket. Padahal, sebelum adanya konglomerasi ritel ini menjamah lokasi pemukiman, rata-rata toko dan warung tradisional bisa hidup.

Menghidupkan pasar tradisional berwajah modern tidak cukup dengan menyulap bentuk fisiknya saja, tetapi harus ada regulasi yang jelas dan kuat untuk memberikan pelindungan kepada para pengusaha kecil menengah (UKM). Selama ini, pemerintah masih cenderung obral janji daripada mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh para pengusaha UKM. Soal fasilitas kredit misalnya, bank masih tebangpilih untuk menyalurkan kreditnya kepada UKM. Disisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata, para pengusaha kecil ini kerap tidak mampu menjaga kontinuitas pasokan barang. Kelemahan-kekurangan ini mestinya menjadi perhatian dan bimbingan dari instansi terkait. Memodernkan pasar tradisional jalan tengah menju pemerdayaan baru pengusaha UKM. Asal modernitas pasar tidak menenggelamkan pemain tradisional. Mereka juga harus dimodernkan agar tidak tertinggal. Semoga!!!

By: Buddy

MELAWAN NEO LIBERALISME: PENDEWASAAN KAPITALISME

Ketika peringatan Milad HMI di Yogyakarta beberapa waktu lalu, Ketua Umum PB HMI dalam pidato politiknya mengungkapkan common enemy kita sesungguhnya ialah neoliberalisme. Adapun yang dimaksudkan neo-liberalisme tersebut, tentu adalah gagasan yang berangkat dari logika kapitalisme sebebas-bebasnya. Asumsi dasar yang dibangun oleh kaum neo-liberal, bahwa penciptaan tenaga kerja penuh/ full-employment (dengan kekuasaan negara) adalah merupakan sistem politik otoriter. Bonnie Setiawan mencatat 5 (lima) prinsip dari neo-liberalisme. Selain (1) The rule of the market, prinsip-prinsip lain neo-liberal adalah (2) Memotong pengeluaran publik untuk pelayanan sosial, seperti terhadap sektor pendidikan dan kese­hatan, pengurangan anggaran untuk 'safety-net' bagi orang miskin, dan sering juga pengu­rangan anggaran untuk infra­struktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih; (3) Dere­gulasi, yang berarti mengurangi per­aturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengu­rangi profit; (4) Priva­tisasi, dengan cara men­jual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Ini termasuk juga menjual usaha pemerintah di bidang perbankan, industri stra­tegis, jalan-raya, jalan-tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air; (5) Menghapus konsep "barang-barang publik" (public goods), dan menggantinya dengan "tang­gung­jawab individual", seperti menya­lahkan kaum miskin yang tidak mem­punyai pendi­dikan, jaminan sosial, kesehatan dan lain­nya, sebagai kesalahan mereka sen­diri.

1. Privatisasi dalam Logika Neo-Liberal

Seperti disebutkan di atas, salah satu prinsip dari neo-liberalisme adalah privatisasi dengan menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Privatisasi hampir selalu diasosiasikan dengan denasionalisasi ekonomi sebuah negara. Kedua kebijakan ini adalah alat strategis yang dipakai oleh para adikuasa ekonomi untuk menaklukkan perekonomian negara-negara Dunia Ketiga dan menghegemoni "masyarakat sipil." Menurut James Petras dan Henry Veltmeyer (1998) privatisasi harus dipahami sebagai bagian dari strategi global yang bermaksud menyerang masyarakat sipil dan politik demokratis, melakukan intervensi militer dengan kekerasan dan penggunaan dekrit-dekrit eksekutif yang sewenang-wenang.

Sekarang ini, kata Petras dan Velmeyer, privatisasi disebarkan di bawah perintah bank-bank "internasional" yang dikontrol oleh kekuasaan imperial, oleh para konsultan yang didanai kekuasaan imperial dan agen-agen pemerintah yang merancang program, menentukan harga dan mengidentifikasi pembeli yang potensial. Kerangka waktu dan cakupan privatisasi ini didikte oleh para adikuasa ekonomi, yang memprioritaskan untuk memaksakan transfer kekayaan yang akan mendorong transisi menuju kapitalisme neoliberal yang tidak bisa dipatahkan. Privatisasi pada dasarnya adalah sebuah aksi politik, yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki "nilai intrinsik" sebagai sebuah strategi ekonomi nasional dan tentu tidak menyumbang apapun bagi penciptaan lapangan kerja baru, angka simpanan dan investasi yang lebih tinggi, atau kekuatan-kekuatan produksi baru.

Strategi privatisasi di atas merupakan contoh pertama dari homogenisasi setiap kawasan ekonomi dunia agar tunduk pada penetrasi negara-negara industri maju, sambil membagi-bagi akses secara tidak adil terhadap pasar dunia sesuai dengan kemampuan-kemampuan produksi setiap kawasan. Proses privatisasi ini pada dasarnya bukan alat untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan dan mempenetrasi pasar-pasar, tetapi alat untuk mengeliminasi struktur-struktur produksi alternatif yang dapat bersaing atau mampu meruntuhkan kekuasaan yang oleh Petras dan Veltmeyer disebut dengan kekuasaan kaum imperialis. Ketika ekonomi sebuah negara telah diprivatisasi, buah dari kebijakan ini akan dipanen oleh perusahaan-perusahaan (pesaingnya) yang untung atau ditangkap oleh pasar. Dengan begitu mereka tidak perlu khawatir dengan reaksi kaum "nasionalis" atau "sosialis" yang tidak menyenangkan.

Bila dicermati, proses privatisasi mengasingkan organisasi-organisasi, gerakan-gerakan sosial dan warga negara sehingga perannya menjadi terpinggirkan. Pemecatan massif, penutupan industri-industri dan konversi pabrik-pabrik ke tangan para importir menyebabkan turunnya buruh pabrik tanpa serikat yang bergaji baik, berkembangnya pekerjaan ireguler di sektor informal dan bertambahnya jumlah buruh bergaji rendah. Untuk mencegah dampak-dampak sosialnya menurut Henry Velmeyer dan James Petras, rezim-rezim imperial dan lembaga-lembaga keuangan menumbuhkan organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO atau LSM) untuk menyerap kembali tenaga masyarakat dalam aktivitas-aktivitas lokal di celah-celah perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, bank-bank dan sektor-sektor ekspor. NGO atau LSM tersebut memberi kontribusi dalam melemahkan gerakan-gerakan sipil dan sosial yang menentang model neoliberal yang dipaksakan oleh pusat-pusat imperial. Dan semuanya itu semakin menunjukkan ketidakadilan global.

2. WTO: Mesin Rekayasa Kaum Neo-Liberal

Salah satu manifestasi gagasan kaum neo-liberal direpresentasikan oleh organisasi perdagangan dunia yang kita kenal dengan nama WTO (World Trade Organization). Lahirnya WTO merupakan perjuangan penganut pasar bebas yang ingin lepas dari kontrol negara, dan bahkan ingin menghapus peran negara menjadi seminimal mungkin. Pembentukannya sangat sarat dengan kepentingan negara industri maju untuk menggeser peran UNCTAD sebagai badan PBB di bidang perdagangan yang lebih mementingkan kepentingan mayoritas anggotanya yang berasal dari negara-negara berkembang dan miskin.

Meskipun pengambilan keputusan dalam WTO dila­kukan oleh 134 negara anggotanya, akan tetapi yang sesungguhnya memainkan peran adalah perusahaan-perusahaan transnasional (Trans­national Corporations/TNC). Myriam Vandle Stichele menunjukkan bahwa dua-pertiga per­dagangan dunia melibatkan sekurang-kurang­nya sebuah TNC, dan separuh darinya dilaku­kan di dalam TNC itu sendiri (intra-firm export), melibatkan nilai penjualan sebesar US $ 7 trilyun di tahun 1995, yang dihasilkan oleh 280.000 afiliasi perusahaan dari 44.508 TNC. Nilai investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) TNC tahun 1995 adalah US $ 350 milyar. Oleh karenanya kepentingan utama TNC adalah pada pengubahan da­lam aturan-aturan perdagangan dan inves­tasi di seluruh dunia, agar dapat melindungi kepen­tingan mereka di mana saja di ber­bagai negara.

TNC berkepentingan terhadap aturan trade and investment WTO, karena me­nentukan kebebasan mereka untuk pindah dari satu negara ke lain negara. TNC juga berkepen­tingan terhadap TRIPs, agar dapat mencegah adanya pembajakan produk. 90% dari paten produk dan teknologi adalah milik TNC. Mere­ka juga berke­pentingan terhadap TRIMs, yang dapat men­cegah aturan-aturan investasi dari negara tuan rumah yang biasanya memak­sakan prasyarat local-content dan meng­ham­bat repatriasi profit mereka.

Pengaruh mereka ada pada delegasi peme­rintah, khususnya AS, Jepang dan EU. Depar­temen Perdagangan AS mempunyai komite konsultatif formal dengan TNC, seperti pada Committee for Trade Policy and Negotiations yang memberikan rekomen­dasi tentang kebija­kan perdagangan AS ke WTO. Dari 42 ang­gotanya, 19 adalah dari TNC seperti Monsanto, IBM dan Eastman Kodak. Di Jepang, hubungan pemerintah dengan TNC dilembagakan di Keidanren (The Japan Federation of Economic Orga­nisation). Di dalamnya terdapat banyak komite yang diketuai oleh TNC. Misalnya Committee on Trade and Investment dike­tuai oleh CEO dari Mitsubishi Electric Corporation; Committee on Environtment and Safety diketuai oleh ketua Nissan Motor Co. Ltd; sedangkan Committee on Comprehensive Strategy diketuai oleh ketua Board dari Toyota Motor Corporation. Di EU juga demi­kian, meskipun tidak begitu terlembaga. Think-tank dan badan eksekutif EU adalah European Commission (EC), yang selalu menjaga kontak dengan kalangan bisnis, khu­susnya lewat pertemuan berkala di ERT (European Round Table) dan UNICE (Union of Industrial and Employers Confederation of Europe) yang mempertemu­kan kalangan TNC seperti Bayer, Philips, Unilever dan lainnya dengan para Perdana Menteri negara-negara Eropa. Dengan de­mi­kian kepentingan peme­rintah AS, EU dan Jepang di WTO sangat mencerminkan kepentingan para korporasi besar tersebut. Di lain pihak, TNC juga mem­punyai akses langsung ke WTO melalui "Expert Meetings", yang integral dengan negosiasi di dalam WTO ataupun sebagai delegasi nasi­onal dari pemerintah yang bersangkutan. Para lobbyist dari berbagai asosiasi bisnis dan TNC juga selalu bertemu dengan para negosiator sebelum dan setalah sesi-sesi negosiasi WTO. Di lain pihak, terdapat pula BIAC (Business and Industry Advisory Committee) di dalam OECD yang menen­tukan posisi yang diadopsi oleh negara-negara kaya di dalam WTO. Yang juga berpe­ngaruh adalah ICC (International Chamber of Commerce) yang sering menamakan dirinya sebagai World Business Organi­sation, yang terdiri dari sekitar 7000 ang­gota TNC dan asosiasi bisnis di 130 negara. ICC dengan sekretariatnya di Paris mem­punyai akses lang­sung kepada para pe­ngam­bil keputusan ter­tinggi dan para staff di WTO, OECD dan PBB. Selain itu ter­dapat pula Trans-Atlantic Business Dialogue (TABD) yang merupakan link informal TNC AS-Uni Eropa dalam membentuk kebijakan perdagangan AS-UE di WTO. TABD ikut berpartisipasi dalam AS-EU Summit di Den Haag tahun 1997, yang berperan dalam mengeksplorasi berbagai kebijakan libe­ralisasi perdagangan dan investasi di dalam WTO. Sementara itu World Business Council on Sustainable Development yang meru­pakan koalisi dari 125 TNC, memainkan peran penting dalam mengelola isu-isu ling­kungan di berbagai orga­nisasi inter­nasional.

Dalam isu Intellectual Property / Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), skenario WTO-pun tidak luput dari kepentingan TNC. Menurut Ronald V. Bettig, melalui kekuatan lobi yang didukung pemerintah AS, kepentingan TNC mendesak agar perbincangan HAKI dalam Forum WIPO dan UNCTAD digeser ke forum GATT dan kemudian WTO yang tentu lebih menguntungkan mereka. Perhatian serius terhadap HAKI oleh pemerintah AS merupakan kolaborasi yang sama menguntungkan antara TNC khususnya di AS) dengan pemerintah AS. Hal ini bisa dilihat dari data IIPA (sebuah lembaga swasta yang mewakili kepentingan industri AS).

Berdasar data yang dihimpun IIPA pada tahun 1997 menyebutkan bahwa industri berbasis hak cipta mengumpulkan kasil ekspor bagi AS sebesar $66,85 milyar, lebih besar dari industri kima yang hanya $66,4 milyar. Lima tahun kemudian, IIPA pada bulan pebruari 2002 melaporkan bahwa industri berbasais HAKI di AS pada tahun 1999 bernilai $457,2 miliar atau 4,9% dari total GDP AS. Jumlah pekerja yang terlibat dalam induystri berbasis HAKI adalkah 4,3 Juta orang batu 3,2% dari total pekerja seluruh AS. Maka tak disangsikan lagi, bahwa nyatanya kepentingan pemerintah negeri maju dan TNC-lah yang bermain di a­lam berbagai aturan-aturan dan per­janjian-perjan­jian di dalam WTO.

Bonnie Setiawan dalam bukunya Stop WTO, menunjukkan bagaimana WTO menjadi instrumen negara-negara industri maju untuk meraih keuntungan yang sangat besar dari negara-negara berkembang. Pertarungan perusahaan-perusahaan transnational dengan negara dunia ketiga dan warganya digambarkan oleh Bonnie seperti pertarungan antara Mike Tyson melawan Elyas Pical. Sebuah pertarungan yang tidak adil

Perlawanan Terhadap Neo-liberalisme, Apa Artinya ?

Perjuangan melawan Neo-liberalisme oleh gerakan Mahasiswa dalam kenyataannya bisa dipandang sebagai sebuah tindakan yang utopis. Tidak ada sesuatupun dari mereka yang layak untuk dihitung sebagai sebuah modal, kecuali tekat yang menggebu-gebu. Tidak ada senjata ala Che-Guevara (yang hasilnya bisa kita lihat), tidak ada massa radikal untuk sebuah revolusi, demikian juga dengan dananya. Lalu, apa yang bisa mereka lakukan?

Bahkan, dari sisi lain, perlawanan seperti dia atas dapat di baca sebagai sebuah skenario kapitalisme untuk mendewasakan dirinya. Dugaan ini tentu tidak sembrono, sebab bagaimanapun memiliki bukti juga. Para penggugat neo-liberal di dunia ketiga kebanyakan adalah NGO yang dananya jelas berasal dari aliran dana internasional. Dana itu mau tidak mau akan berhubungan dengan korporasi transnasional. Meski hubungan yang terjadi sedemikian halus, tapi pastilah ada skenario dari pengeluar dana awal tadi. Tanpa menutup kemungkinan pelaksana NGO memiliki skenario sendiri.

Perjuangan dalam rangka pendewasaan kapitalisme sungguhnya bukan suatu yang terlalu buruk bila itu ditargetkan untuk membuat kapitalisme menjadi lebih manusiawi. Ini mengingat selama belum ada sistem alternatif yang lebih baik dan aplikatif dari kapitalisme, baik berangkat dari ideologi Islam maupun Sosialisme. Gerakan Mahasiswa-seperti HMI MPO-harus belajar dari para pendahulu mereka di tahun 80-an yang mengalami kebuntuan saat kental menggagas teori ketergantungan. Pemikiran kritis sangat menarik untuk diwacanakan, namun setelah sampai pada pengajuan alternatif hasil yang didapatkan kenyataannya jauh lebih buruk dari yang mereka kritik.

Pendewasaan kapitalisme adalah merupakan strategi antara menuju sistem alternatif yang muncul jika seluruh komponen rakyat bersama-sama berproses ke arah perekonomian yang adil. Karena itu strategi perlawanan terhadap neo-liberalisame seharusnya berbarengan dengan kerja keras untuk mengajak rakyat bergabung pada sebuah gerakan membangun keadilan di tingkat struktural maupun kultural. Atau dengan kata lain, perlawanan yang ada merupakan sebuah bagian dari gerakan anti-ketidakadilan yang dijalankan massif dan berkesinambungan. Maka jika kesadaran seperti itu yang menjadi dasar para penggagas ide perlawanan di HMI, bisa diharapkan perlawanan itu akan memiliki makna. Wallahua'lam bis shawab.

By : Buddy

MATINYA "SANG DEMONSTRAN"

Dalam diskusi bertajuk "Kesejarahan HMI dalam Azas Tunggal" bang Eggy Sudjana berpledoi bahwa raison de 'etre munculnya Majelis Penyelamat Organisasi (Baca: HMI-MPO) adalah menyelamatkan HMI dari ideologi selain Islam sehingga kita boleh menafsirkan bahwa pada waktu itu ada HMI di luar Islam. Namun ketika realitas berubah, HMI Dipo - sebut saja begitu - walaupun suatu saat kita tidak akan pernah menyebut Dipo lagi, karena markas besarnya sudah tidak akan ada lagi di jalan Diponegoro, ketika HMI Dipo pada kenyataannya kembali kepada asas Islam maka menurut bang Eggi "HMI-MPO harus membubarkan diri dan misi HMI-MPO sudah dianggap selesai". Sungguh suatu ungkapan yang sepintas sangat logis-linier. Bahkan dia menguatkan argumennya bahwa jika ternyata masih ada dualisme HMI itu berarti bahwa "kader HMI (dalam hal ini dia menunjuk kepada HMI yang berkomitmen dan berjuang dari awal untuk tegaknya Islam) belum mendapatkan hidayah". Begitulah pernyataan anomalis dari orang yang disebut-sebut sebagai “sang demonstran" karena bukunya yang berjudul "Jihad sang Demonstran" yang membaiat dirinya sebagai orang yang ajeg memperjuangkan ideologi Islam.

Sepintas, ada kegelisahan yang mendalam dari bang Eggi untuk mempersatukan dua HMI yang dipandang lebih sebagai konflik dari pada sebagai potensi. Sehingga seolah-olah dia mengatakan bahwa "menjadi beban moril bagi saya untuk mempersatukan HMI kembali, karena saya diklaim sebagai orang yang telah memecah belah HMI menjadi Dipo dan MPO, maka kini tugas saya adalah mempersatukannya kembali". Suatu kegelisahan yang patut dipuji secara sepintas lalu.

Dibalik ungkapan yang sepintas arif di atas, dimana kita harus berada di bawah payung tali Allah dan diharamkan bercerai berai, ada beberapa hal yang perlu diberi catatan kecil. Pertama, secara faktual historis Eggi Sudjana mungkin adalah salah satu pendiri, atau bahkan ketua umum pertama PB HMI-MPO, namun satu hal yang perlu dipertegas bahwa sebuah fakta sejarah tidak serta merta bisa menjadi hak sejarah. Karena ada dimensi ruang dan waktu, selalu ada perubahan zaman dimana setiap zaman adalah milik anak zamannya. Siapun pendirinya atau penarik gerbong sebuah komunitas, ia akan mati dimakan usia zamannya, dan di saat yang bersamaan sebuah komunitas tersebut akan berkembang dengan keunikan anak zamannya. Itulah arus sejarah yang tidak bisa ditolak, dan itulah kealpaan “fakta sejarah” otomatis menjadi "hak sejarah".

Kemudian kedua, perasaan bersalah bagi seseorang adalah sah-sah saja, apalagi bagi sang founding father. Namun yang perlu digaris bawahi adalah paradigma modernitas yang kental yang melatarbelakanginya. Dalam wacana modernitas, sang pengarang atau katakanlah sang pendiri adalah figur signifikan dan sentral. Semangat Cartesian - yang mencetuskan tentang otoritas subyek sebagai pemikir, pencetus gagasan, dan pencipta dengan ucapannya yang terkenal, "cogito ergo sum", akhirnya menjadikan subyek sebagai "pusat" dari ide dan gagasan. Demikian juga semangat Hegelian, dimana sebuah teks (baca HMI) selalu diidentifikasi dengan pendirinya, dimana sebuah karya adalah ekspresi diri sang subyek, dan yang menjadi pusat adalah pengarangnya. Inilah wacana dominan yang sangat kental dalam ungkapan bang Eggi Sudjana dalam awal tulisan ini. Sehingga kita meyaksikan sedemikian besar rasa bersalah dan tanggung jawab beliau untuk mempersatukan HMI kembali.

Namun lebih arif apabila kita mencoba meletakkan persoalan ini di atas meja kritisisme postmodernitas, dimana sang pengarang dengan semangat Cartesian dan Hegelian tidak lagi punya tempat dalam wacana (diskursus). Roland Barthes telah meneriakkan "The Death of The author" pengarang sudah mati. Ungkapan ini adalah sebuah metafor bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanya. Wafatnya sang pengarang dalam wacana postmodernitas membawa konsekuensi lahirnya para pembaca (reader) dan berkembangnya model writerly teks, yaitu teks yang menjadikan pembaca maupun teks sebagai pusat penciptaan, ketimbang pengarangnya sendiri. Wafatnya sang pengarang, juga diikuti dengan munculnya kekuatan pembaca "reader’s power" dimana para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang, dan mereka berpeluang untuk berpartsisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dalam diskursus. Kalaulah kita mau menerima analisa di atas, maka para founding father HMI tidak perlu gelisah, kecewa, sakit hati kalau melihat dualisme yang masih dimapankan. Inilah pilihan yang harus dipandang sebagai sebuah potensi dan bukan sebagai sebuah problem 'biang kerok' pemecah belah umat.

Yang ketiga, ungkapan bang Eggi diawal tulisan ini yang bertendensi seolah-olah HMI adalah representasi dirinya harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Mikhail Bakhtin, seorang pemikir berkebangsaan Rusia, memperkenalkan konsep dialogisme yaitu bahwa sebuah teks diproduksi dalam suatu ajang komunikasi - apakah dalam bentuk karnaval atau dialog. Sebuah teks bukanlah refleksi diri pengarang secara utuh dalam suatu 'refresensi diri' (self-reference). Dialogisme atau lebih tepatnya "intertekstualitas" - meminjam istilah Julia Kristeva - seorang pemikir postrukturalis Prancis, bahwa teks tidaklah otonom, ia tidak memiliki landasan dalam dirinya sendiri. Sebuah teks eksis karena sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan dari teks-teks yang lain. Artinya teks (HMI-MPO) tidak lahir dari satu atau beberapa orang, melainkan melalui sebuah dialogisme dari semua kader pada saat itu mencermati realitas zamannya. Maka klaim "MPO ada karena saya" atau segelintir orang adalah hal yang absurd.

Kalau kita lebih dalam menganalisa ungkapan bang Eggi diatas tentu bukanlah argumen yang tidak berdasar. Beliau mengatakan bahwa rekonsiliasi ini harus dilakukan karena saudara serahim (baca: HMI Dipo) sudah kembali mendasarkan asasnya kepada Islam. Namun argumentasi ini terkesan mengalami distorsi historis. Logika tauhid yang dikemukakan bang Eggi; "kita berpecah karena agama dan bersatu karena Islam" adalah tidak memiliki validasi historis. Kalau kita melihat jejak (trace) isu rekonsiliasi, sebenarnya sudah ia usung jauh sebelum HMI Dipo merubah asasnya menjadi Islam (thn: 2000), yaitu dalam pertemuan di Yogya tahun 1998. maka tidak salah kalau kita juga patut curiga terhadap vested interest dari founding father HMI-MPO ini. Ketika seorang kader MPO beranekdot pada kongres di Jogja mengatakan "nama bang Eggi Sudjana dalam bahasa sunda, Sudjana artinya baik tapi jika dia terjatuh dia akan menjadi durjana".

Hot Isue rekonsiliasi HMI seakan seperti headline semakin santer dibicarakan khususnya para Alumni HMI. Pressure - demi - pressure pun dilakukan para alumni kepada para kader HMI khususnya HMI-MPO untuk rekonsiliasi. Ini jelas para alumni tidak mengerti akan sejarah perjuangan HMI-MPO itu sendiri yang selama orde baru selalu dikejar-kejar dan ditindas. Itu pun masih terjadi sampai sekarang dimana terjadinya pen-diskriminasian yang dilakukan oleh para alumni HMI sendiri terhadap kader MPO. Setelah terjadi penurunan kuantitas kader pada HMI Dipo dan mulai berkembangnya HMI-MPO pasca tumbangnya orde baru, HMI-MPO pun mulai dilirik oleh para Alumni.

Walhasil, tulisan ini sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa detik-detik kematian itu kian mendekat, kematian figur "sang Demonstran" boleh jadi merupakan sebuah keharusan sejarah. HaRi GiNi NGoMoNGiN ReKoNSILIaSI??? Boleh saja anda tidak setuju dan berkata: "SIaPa TaKuT???". Atau sebagian lain berkata "RekOnSiLiASi??YuK, MaRi KiTa BuKtiKan SiAPa YaNg BeNaR!!!!" Itu hak bagi siapa saja yang berani menyatakan pendapatnya. Toh tulisan ini tidak bertendensi memonopoli kebenaran. Bravo HMI-MPO!!!


By : Buddy

Tuesday, April 25, 2006

GERAKAN TAMADDUNI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBELAAN KAUM LEMAH DAN TERPINGGIRKAN

Generasi HMI akhir 1980-an hingga awal 1990-an meletakkan dasar-dasar epistemologis dan perspektif peradaban bagi perjuangan organisasi dengan mengusung tema besar: "Epistemologi Islam dan Peradaban". Tema ini relatif berhasil memberikan 'nyawa' bagi organisasi untuk melakukan perlawanan intelektual terhadap wacana dan represi politik yang hegemonik pada waktu itu. Pada paruh 1990-an, tepatnya pada kepengurusan PB HMI Periode 1995-1997, refleksi yang bersifat epistemologis pada periode sebelumnya mendapatkan pijakan aksiologisnya, yakni dalam visi yang terekam dalam tema: "Membangun Jaringan Keumatan menuju Masyarakat Berkeadilan". Upaya-upaya organisatoris dilakukan untuk melakukan konsolidasi keummatan yang pada gilirannya membuat penguasa pada waktu itu, mau tidak mau, mulai mau mengakomodasi dan tidak lagi terlalu fobia dengan label Islam. Contoh kongkretnya adalah terselenggaranya Kongres Nasional Umat Islam yang salah satu inisiatornya adalah HMI.

Namun demikian, watak dasar penguasa yang korup dan otoritarian tak juga berubah; maka, HMI tetap melakukan perlawanan dan menyiapkan konsepsi perubahannya. Atas dasar itu, pada kepengurusan berikutnya (1997-1999) dimana pada kurun itu Soeharto jatuh (21 Mei1998), HMI mempunyai tema: "Meletakkan Dasar-Dasar Perubahan yang Humanis-Transenden Menuju Masyarakat Madani". Pada periode berikutnya, di tengah zaman yang sedang berubah, HMI merasa perlu menyiapkan dan menceetak kader yang matang dan mempunyai kapasitas yang memadai untuk mewujudkan masyarakat madani yang berdaulat itu. Untuk itu, tema "Peran Profetis Kader HMI" menjadi visi periode 1999-2001 ini.

Disadari bahwa reformasi politik pada tahun 1998 terjadi di level permukaan saja (artifisial), tidak menyentuh hal-hal yang substansial dan paradigmatik. Karakter orde baru yang otoriter, korup, kolutif, dan nepotis masih menjadi mental yang mendarah daging di hampir seluruh elemen bangsa, terutama pada masyarakat politik (penyelenggara negara). Bertolak dari hal itu, pada periode 2001-2003 HMI mengemban satu amanah visi perubahan radikal, paradikmatik, dan sistemik di bawah bendera: "Revolusi Sistemik: Suatu Ikhtiar Menegakkan Hak-Hak dan Partisipasi Kaum Mustadh'afien Menuju Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur". Masih dalam bingkai revolusi sistemik, salah satu terjemahan konkretnya adalah keharusan perubahan karakter, paradigma, dan sistem di wilayah (meminjam istilah A. Gramsci) masyarakat politik. Konsekuensinya, pembaharuan di level politik kenegaraan menjadi sebuah keniscayaan. Di satu sisi tema ini hendak mendesakkan agenda perubahan kepada negara agar tidak tunduk pada agenda-agenda neo-liberalisme, dan di sisi yang lain, ia juga memaksa negara untuk meninggalkan secara total wataknya yang otoritarianistik dan korup. Semua kebijakan musti diabdikan untuk kepentingan rakyat yang selama ini lemah dan dipinggirkan oleh negara.

Setelah konsolidasi di tingkat masyarakat politik relatif berhasil, tampak ternyata konsolidasi di tingkat masyarakat sipilnya mengalami kebangkrutan akibat banyaknya elemen masyarakat sipil yang larut dalam konstelasi politik. Gerakan mereka mengalami disorientasi, tercabik-cabik, sehingga agenda-agenda kebudayaan dan pemberdayaan masyarakat menjadi terbengkalai. Untuk itu, konsolidasi masyarakat sipil menjadi sebuah keharusan. Dengan sentuhan pergolakan nilai dan spirit perubahan untuk kaum mustadh'afien, konsolidasi masyarakat sipil itu terangkum dalam tema: "Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk Kaum Lemah dan Terpinggirkan."

Gerakan Tamadduni: Jalan Profetik Bagi Transformasi Masyarakat

Istilah tamaddun sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah Islam maupun perbincangan intelektual di Indonesia. Ia mempunyai akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti "kota" atau "peradaban". Penambahan ta' di awal dan tasydiid pada "dal" memberi penguatan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud adalah peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.

Ibnu Khaldun, pemikir Islam abad pertengahan par excelent, menggunakan tiga istilah untuk merujuk pada sebuah konsep peradaban, yakni umran, hadlarah, dan tamaddun. Para pemikir di dataran Melayu lebih memilih istilah yang berakar dari kata tamaddun daripada dua istilah lainnya; umran atau hadlarah, karena secara etimologis memang lebih mempunyai makna yang dalam dan dinamik. Umran mempunyai konotasi "keramaian dan kemakmuran", "hadlarah" mengandung pengertian "kosmopolit", sedangkan "tamaddun" dalam konteks peradaban mencakup dua pengertian sebelumnya karena karakteristiknya yang mengandung jiwa perkotaan (madaniyah) dimana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif kebudayaan dan pencapaian pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep tamaddun, menurut Naquib al-Attas (1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada "suatu kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan".

"Gerakan Tamadduni" (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep tamaddun di atas. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Itulah salah satu jalan transformasi kemasyarakatan yang jejaknya dapat dilacak dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah). Transformasi profetik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun Peradaban Madinah adalah pertama, pembangunan tauhid di Mekkah, kedua, pembangunan kemasyarakatan di Madinah awal dengan jalan saling mempersaudarakan antara Muhajirin-Anshar dan juga kontrak sosial dengan komunitas selain Islam (Piagam Madinah), dan yang terakhir (ketiga) adalah menjalankan pemerintahan yang berdaulat di Madinah. Dari sinilah peradaban Islam terbangun yang kemudian dapat mengatasi peradaban Persia dan Byzantium-Romawi.

Cita-cita transformasi dari gerakan tamadduni tentu saja adalah terciptanya masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT. Namun demikian, tamadduni lebih berkonsentrasi pada proses perjuangan, kuatnya energi untuk bergerak maju, dan daya kerja yang keras dan profesional untuk mencapai cita-cita transformasi daripada hanya menunggu atau bermimpi tentang bentuk jadi dari masyarakat bertamaddun yang diridhai oleh Allah SWT. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu kekuatan progresif yang mampu mengkonsolidasikan dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini.

Situasi kekinian menunjukkan adanya fenomena tiga kekuatan yang acapkali saling berkonflik meski di saat yang lain juga bisa saling bekerjasama dalam sebuah konsensus. Pertama adalah kekuatan pasar (pemodal). Kedua adalah kekuatan negara (masyarakat politik). Ketiga adalah masyarakat sipil (yang non-penguasa modal dan non-penguasa kenegaraan). Kekuatan yang pertama dan kedua mempunya kecenderungan yang besar untuk mengalahkan dan memperalat kekuatan ketiga untuk memantapkan dan memapankan kekuasaan masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat sipil sangat rawan untuk menjadi pihak yang lemah dan terpinggirkan, dan oleh karena itu susungguhnya, ia menyimpan kekuatan progresif untuk melakukan perubahan dan memaksa pemodal dan negara untuk memenuhi hak-haknya. Dari situlah peradaban yang tinggi akan dapat diwujudkan.

Masyarakat Sipil: Keniscayaan Konsolidasi Untuk Ber-Tamaddun

Masyarakat sipil adalah kekuatan ketiga yang peran dan posisinya sangat strategis bagi proyek tamaddun. Beberapa bentuk konsolidasi yang diharapkan dapat terwujud untuk menopang visi tamaddun itu adalah; konsolidasi untuk kemandirian ekonomi, konsolidasi untuk kemerdekaan politik, dan konsolidasi untuk pencapaian kebudayaan yang tinggi.

Pertama, kecenderungan mutakhir menunjukkan bahwa kekuatan pasar (neo-kapitalisme) begitu kuat sehingga mengatasi negara dan masyarakat. Bahkan, negara dipaksa menjadi boneka yang manis untuk memenuhi selera para neo-kapitalis dan kemudian menindas masyarakat sipil. Maka dari itu, ketika neo-kapitalisme dan negara (sebagai bonekanya) berkongkalikong untuk semakin memperkaya dirinya masing-masing, masyarakat sipil mempunyai keharusan untuk melakukan konsolidasi sosial demi melindungi kepentingan ekonominya. Konsekuensinya, pada satu saat, masyarakat sipil musti melakukan perjuangan untuk mendesak kaum pemodal dan atau negara untuk memenuhi hak-haknya; misalnya kesejahteraan hidup, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat sipil juga niscaya untuk mengkosnsolidasikan kekuatan ekonomisnya melalui semangat kemandirian, keswadayaan, dan ke-swadhesi-an. Namun demikian, pada saat yang lain, masyarakat sipil juga dimungkinkan untuk bekerja sama dengan salah satu atau kedua kekuatan yang lain, hanya saja tujuannya harus jelas dan tegas, yakni; untuk kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi masyarakat sipil.

Kedua, selain kecenderungan menguatnya neo-kapitalisme yang membuat negara dan masyarakat tak berdaya secara ekonomi, negara juga mempunyai potensi yang kuat untuk menjadi korup, otoriter, dan memberangus hak-hak politik rakyat. Pendek kata, masyarakat sipil juga perlu untuk melakukan konsolidasi politik untuk makin meningkatkan bargaining position-nya terhadap negara maupun pemodal untuk menjamin bahwa kebebasan, harkat, dan martabatnya dijamin dan dihormati. Sebab, kedaulatan politik rakyat menjadi prasyarat utama bagi sebuah iklim tamaddun yang demokratik dimana fungsi negara adalah pelayan yang baik dan terpercaya bagi pemenuhan hak-hak politik rakyat.

Ketiga, masyarakat sipil juga tak luput dari krisis yang disebabkan oleh keroposnya bangunan budaya yang ada di dalamnya. Akibatnya, mereka mengalami ketumpulan dan kemunduran sense of advanced humanity (rasa kemanusiaan yang adil), seperti; religiusitas yang makin terkikis, semangat keilmuan yang menurun, gairah intelektualisme yang rendah, tak punya kreatifitas seni, sastra, atau musik yang dapat dibanggakan, tak ada kemajuan teknologi yang dapat dicapai, dan sebagainya. Konsolidasi kebudayaan masyarakat sipil diperlukan untuk mengatasi krisis itu. Dengan konsolidasi, gebrakan budaya untuk kembali menggairahkan energi kreatif masyarakat dapat dilakukan. Tidak hanya itu, cita-cita transformasi masyarakat yang nota bene adalah masyarakat yang diridhai Allah SWT sangat mungkin untuk diwujudkan. Masyarakat itu adalah masyarakat yang ber-tamaddun (civilized socoiety) yang di antara ciri yang disebutkan Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Beg, M.A.J., 1982 adalah: a higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (Mustafa Kamal Ayub, 2004).

Kaum Lemah dan Terpinggirkan: Identifikasi Subyek Dedikasi Perjuangan

Siapa sebenarnya yang bisa diidentifikasi sebagai kaum lemah (dhu'afa') dan terpinggirkan (mustadh'afien) itu? Yang jelas, kedua kategori kaum ini berada di wilayah masyarakat sipil. Mereka itu adalah elemen masyarakat yang paling seringkali 'diatasnamakan', suaranya diperebutkan di saat pemilu, namun hak-haknya seringkali diijak-injak pada saat pembangunan dijalankan. Kaum yang pertama, adalah kaum dhu'afa (kaum lemah). Mereka adalah kaum yang secara 'natural' memang tidak mempunyai kuasa baik ekonomi maupun politik untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang standar. Untuk itu mereka memerlukan perlindungan, pembelaan, dan juga pemberdayaan. "Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil" mendedikasikan seluruh aktivitasnya untuk membela dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Sedangkan yang kedua adalah kaum mustadh'afien (yang dilemahkan, dikalahkan, dan dipinggirkan). Mereka itu adalah kaum yang memang sengaja dibuat tak berdaya oleh struktur baik struktur ekonomi , struktur sosial, maupun struktur politik. Hal ini biasanya disebabkan oleh apa yang disebut Johan Galtung (1971) sebagai kekerasan struktural (structural violence). Kekerasan ini merujuk pada sebuah upaya sistematis (dan struktural) yang membuat pihak lain teraniaya dan tidak berdaya secara politik, ekonomi, budaya, dan bahkan kelangsungan hidupnya terancam (violence as structure). Misalnya, kaum miskin dengan kualitas hidup yang memprihatinkan akibat kebijakan tripple down effect yang hanya membuat kaya segelintir orang. Kaum yang tidak mempunyai daya saing di dunia kerja akibat akses pendidikan mereka dibatasi dengan mahalnya biaya sekolah. Kaum yang tak lagi punya tempat tinggal atau penghasilan yang memadai akibat penggusuran dan kebijakan-kebijakan politik lainnya. Kaum yang keluarganya diculik dan dibunuh secara sistematis oleh aparat negara. Kaum yang secara sistematis dibuat kelaparan oleh sistem dan kebijakan ekonomi yang menguntungkan kaum kaya dan dikorup oleh kaum birokrat. Misi profetik dari "Gerakan Tamadduni" adalah untuk mebebaskan dan mengentaskan kaum lemah dan terpinggirkan ini dari struktur yang menindas mereka.

Strategi Gerakan HMI

Lalu, bagaimana strategi gerakan HMI untuk menopang visi besar "Gerakan Tamadduni" ini? HMI sebagai salah satu elemen penting dalam masyarakat sipil memiliki beberapa strategi gerakan untuk menyemaikan semangat dan gerakan tamaddun ini, baik di tingkat organisatoris maupun di lingkungan sekitar Himpunan Mahasiswa Islam berada. Pada wilayah dimana HMI berada inilah nilai, kekuatan, dan sumberdaya lokal bersemayam dan sangat potensial untuk membangkitkan gairah tamaddun di lokal masing-masing.

Di samping HMI bisa menjadi pioneer dalam mengkonsolidasikan kekuatan tamaddun yang berbasis sektor kemahasiswaan dan kepemudaan, ia juga harus dapat menjadi garda depan pembangunan tamaddun yang berbasis lokal. Hal ini bisa dicapai dengan cara HMI mau mendistribusikan dan membasiskan kekuatannya ke wilayah-wilayah (lokal) dimana cabang-cabang HMI menjadi ujung tombak pergerakan. Untuk itu, hal-hal yang berkenaan dengan "lokal" perlu diperhatikan. Istilah "lokal" ini merujuk pada wilayah demografis dimana di sana juga terdapat elemen pemodal, pemerintahan, dan masayarakat sipilnya. Cabang HMI yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat sipil di masing-masing wilayahnya diharapkan mampu melakukan beberapa strategi gerakan di bawah ini:

1. Penguatan Visi Lokal

Penguatan visi lokal berbanding lurus dengan keinginan untuk menemukan kearifan nilai (local wisdom) dan keistimewaan lokal (local uniqueness) untuk menjadi penopang bagi peradaban yang lebih besar (al-mujtama'al-mutamaddin). Di sinilah HMI musti bisa mencari strategi yang paling tepat bagi gerakannya ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungan masyarakat politik-masyarakat sipil dibangun dalam kerangka yang konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (konsensus), semuanya musti dipertimbangkan secara matang berdasarkan kekuatan lokal masing-masing, tentu tanpa menanggalkan kritisisme dan independensi.

2. Peningkatan Partisipasi Lokal

Peningkatan partisipasi lokal berarti dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, menghamba pada pemodal yang eksploitatif, dan otoriter, sehingga dibutuhkan perlawanan kritis, sistematik, dan bahkan radikal untuk mengubah struktur yang menindas itu. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif. Lebih dari itu, partisipasi kooperatif (dengan pemerintah lokal demokratik atau pemodal yang humanis) juga bisa diberlakukan untuk agenda-agenda pemberdayaan masyarakat.

3.Pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal.

Pengembangan kapasitas dan kompetensi mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal mesti memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat diandalkan melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut. HMI di tingkat cabang dalam hal ini juga dituntut untuk menggembleng dirinya dengan mental kepemimpinan, kompetensi di suatu bidang, dan pengetahuan luas untuk menjadi insan mutamaddin (manusia berperadaban yang arif dan tegas dalam membuat keputusan karena menguasai banyak bidang). Dalam konteks inilah tema "Cabang Berbasis Keilmuan" menemukan relevansinya. Dengan demikian HMI dapat menjadi pioner dalam pembangunan tamaddun di tingkat lokal dengan keunggulan kapasitas dan kompetensinya. Semoga!!!

By : Buddy

Friday, April 14, 2006

PLURALISME VS EKSTREMISME AGAMA

Dalam tulisannya dengan judul "Ekstremisme Agama dan Retorika Kebersamaan" Mansyur Semma mencoba memaparkan argumentasi bagi di-legal-kannya ekstremisme agama. Dengan gamblang Mansyur Semma menuliskan, "ekstremisme agama sebagai satu faham dalam keadaan tertentu dapat saja dibenarkan. Misalnya seseorang atau sekelompok orang penganut agama tertentu mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan bentuk teror lainnya."

Membincang ekstremisme agama memang merupakan sebuah wacana yang sangat menarik, apalagi kalau kita melihat gejala ekstremisme tersebut merebak di tanah air akhir-akhir ini. Sebutlah misalnya aksi penutupan rumah ibadah (gereja) yang terjadi di beberapa tempat, tuntutan untuk menghentikan aktivitas komunitas utan kayu dan dan kejadian serupa lainnya.

Situasi ini memang sangat problematis, disaat tuntutan untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi begitu kuat, pada saat yang sama kita diperhadapkan pada praktek keberagamaan yang kontraproduktif dengan demokrasi. Sebuah pertanyaan yang patut dimunculkan adalah apakah memang nilai–nilai demokrasi merupakan nilai yang secara diametral bertolakbelakang dengan nilai-nilai agama, ataukah praktek keagamaan kita yang bermasalah sehingga problem ekstremisme keberagamaan muncul.

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka yang penting untuk ditelusuri adalah titik persinggungan antara nilai-nilai agama dan demokrasi. Secara jujur tentu kita semua sepakat bahwa tidak ada satupun agama yang ingin dikatakan tidak demokratis, bahkan semua mengklaim bahwa setiap agama selalu berupaya untuk mengedepankan kemanusiaan diatas segala-galanya.

Bila memang demikian, maka tentu persoalan yang kita hadapi adalah persoalan pada praktek keberagamaan kita yang cendrung kontraproduktif dengan demokrasi. Aksi penutupan rumah ibadah dengan alasan melanggar SKB No 01 BER/MDN-MAG/1969 merupakan contoh nyata dari hal ini, sebab apapun alasannya, kebebasan beragama merupakan kebebasan dasar (fundamental freedom) bagi semua manusia. Bahkan kebebasan ini dijamin oleh pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right), bahkan UUD 1945 dalam pasal 28E ayat 1 dan pasal 29 ayat 2 pun menjamin hak ini.

Contoh diatas menunjukkan bahwa kesadaran keberagamaan yang kemudian melahirkan praktek keberagamaan kita betul-betul menunjukkan sesuatu yang tidak demokratis, karena tidak menghargai kebebasan beragama seseorang. Padahal menurut Hendardi, "hak atas kebebasan beragama bukan hanya hak bagi manusia (right for itself), lebih dari itu justru melekat pada dirinya (right in itself)". Ini berarti bahwa merampas kebebasan beragama seorang manusia, sama dengan merampas kemanusiaannya. Lalu dimana tanggungjawab kemanusiaan sebuah agama?

Pada pembahasan inilah terletak keberatan saya terhadap argumen Mansur Semma yang mencoba melegalkan ekstremisme agama apabila "seseorang atau sekelompok orang penganut agama tertentu mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan bentuk teror lainnya". Bukankah yang terjadi malah sebaliknya bahwa ekstremisme beragamalah yang merupakan tekanan, ancaman, intimidasi dan bentuk teror lainnya bagi pemeluk agama tertentu.

Efek dari pernyataan Mansyur ini adalah kita akan menemukan tumbuh suburnya ekstremisme agama dan akan berimplikasi langsung pada sebuah kehidupan sosial antar umat beragama yang saling tekan, saling ancam, saling intimidasi dan saling teror dengan menganggap pihak lain sebagai pemicunya. Nah, bila sudah demikian, maka tentu konflik horisontal antar umat beragama adalah sesuatu yang tidak tertahankan.

Yang paling miris adalah ketika beliau (Mansyur Semma) mengatakan, "Bahkan ekstremisme agama dalam keadaan tertentu dapat dijadikan sumber doktrin untuk meningkatkan pemahaman dan keyakinan agama seseorang atau kelompok orang". Pemahaman dan keyakinan agama macam apakah yang lahir dari sebuah doktrin yang bersumber dari ekstremisme beragama selain bangunan pemahaman dan keyakinan yang sangat eksklusif dan menafikan agama lain. Lalu dimana kita menempatkan kebebasan setiap manusia untuk memeluk agamanya?

Memang, pemahaman dan keyakinan terhadap agama yang kita anut perlu penguatan dan akar iman yang dalam, tapi adalah hal sungguh ironis jika bangunan pemahaman dan keyakinan itu disandarkan pada sebentuk ekstremisme. Bagaimanapun, ekstremisme adalah sebentuk pemahaman dan keyakinan keagamaan yang cendrung untuk mensubordinasi kemanusiaan. Bahkan tidak segan-segan mengartikulasikan pemahaman dan keyakinannya dalam tindak kekerasan yang begitu memalukan dan memilukan.

Untuk membangun sebuah kebersamaan dan tidak sekedar terjebak pada retorika kamuflatif, maka dibutuhkan sebuah bangunan pemahaman dan keyakinan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas dan pluralitas. Dalam konteks Islam, Nurcholish madjid pernah mengungkapkan, "Islam adalah agama kemanusiaan terbuka... maka umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya pada kemanusiaan".

Adalah hal yang cukup kontradiktif sebenarnya, apa yang dikemukakan oleh Mansyur Semma dengan kalimatnya, "realitas perbedaan agama hendaknya diakui secara proporsional dan rasional. Pluralisme sebagai faham harus diharamkan selain sangat sekuler, juga meniadakan realitas perbedaan tersebut". Kalimat mansyur ini sangat kental dengan aroma yang begitu ambigu dan terkesan emosional menolak pluralisme.

Pada satu sisi beliau (Mansyur Semma) menganjurkan pengakuan secara proporsional dan rasional terhadap realitas perbedaan agama, namun disisi yang lain beliau menolak bahkan ikut-ikutan dengan fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, dengan tuduhan bahwa pluralisme merupakan faham sekuler dan meniadakan realitas perbedaan. Pemikiran ini makin diperparah oleh permaklumannya terhadap ekstremisme dengan berbagai alasan.

Ada beberapa hal yang patut dicermati dan dipertanyakan dalam tulisan beliau, apakah pengakuan secara proporsional dan rasional terhadap realitas perbedaan agama mungkin dilakukan dalam sebuah pemahaman keagamaan yang ekstrem? Apakah pluralisme benar-benar merupakan faham yang sekuler dan meniadakan realitas perbedaan?

Pertanyaan ini tentu dengan mudah menjawabnya, pengakuan secara proporsional dan rasional terhadap realitas perbedaan agama hanya akan bisa diwujudkan bila kita semua menganut pemahaman dan keyakinan keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas dan pluralitas dan bukannya pemahaman keagamaan yang ekstrem. Karena pemahaman keagamaan yang ekstrem cendrung menafikan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan tidak segan-segan menumpahkan darah orang yang berbeda faham dengannya.

Bangunan pemahaman dan keyakinan keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas dan pluralitas akan mudah dibangun didalam masyarakat (kalangan umat beragama) kalau terbangun sebuah komunikasi antar iman yang dilandasi oleh rasa saling percaya, tanpa ini maka tentu nilai-nilai tersebut tidak akan berfungsi dengan baik. Disamping itu juga dibutuhkan sebuah perangkat aturan yang wajar, adil dan bijaksana.

Usaha untuk melakukan penyempurnaan terhadap SKB No 01 BER/MDN-MAG/1969 adalah hal yang patut didukung bersama, demi tegaknya kehidupan beragama yang mengedepankan asas keadilan bersama. Harus diakui bahwa kehadiran SKB tidak memadai karena cenderung diskriminatif dan tidak adil dalam penerapannya, bahkan yang lebih berbahaya adalah ketika SKB ini disalahgunakan oleh mayoritas secara ekstrem.

Pemahaman dan keyakinan keagamaan yang esktrem pasti bersifat eksklusif dan menolak pluralitas kebenaran dan keselamatan. Ekstremisme agama bekerja di bawah bayang-bayang klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) yang hanya ada dalam pemahaman dan keyakinan agamanya belaka.

Persoalan mendasar lain yang patut dicermati dari tulisan Mansyur adalah kesimpulannya terhadap pluralisme sebagai faham yang sekuler dan meniadakan pebedaan. Perlu diluruskan bahwa pluralisme bukanlah faham yang identik dan sama dengan sekuler, pluralisme berarti pengakuan terhadap perbedaan dan keanekaragaman, baik itu agama, ideologi, cara pandang maupun bangunan kebudayaan, sementara sekuler berarti bersifat duniawi.

Memang, harus diakui bahwa pluralisme sebagai faham yang mengakui perbedaan dan keanekaragaman tidak menutup pintu, bahkan mengakui orang yang memandang segala sesuatunya secara sekuler, tetapi pluralisme tidak selalu harus sekuler. Seseorang yang begitu mendalami kebenaran agamanya bisa saja pada saat yang sama juga tetap memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya pemahaman dan keyakinan yang berbeda dari apa yang diyakini dan difahaminya.

Dilain sisi, seorang yang sekuler memang memungkinkan mereka untuk menjadi seorang penganut pluralisme, namun tidak menjamin seseorang tersebut tidak menjadi ekstrem sebagaimana kaum fundamentalis. Seorang sekuler yang ekstrem akan memberangus pemahaman dan keyakinan yang berbeda dengannya, sementara itu pluralisme adalah sebuah kepastian akan adanya kebebasan yang memang menjadi hak setiap manusia (the right of freedom) tanpa melihat agama, ideologi, cara pandang maupun bangunan kebudayaannya.

Pengakuan pada inklusivisme kebenaran hanya bisa kita temukan pada bangunan pemahaman dan keyakinan keagamaan yang bersifat inklusif dan plural. Disinilah kerancuan tulisan Mansyur Semma yang mengatakan bahwa pluralisme itu meniadakan perbedaan, karena justru faham pluralisme berarti pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai macam keragaman dan perbedaan dalam kesetaraan dan kesederajatan. Wallahua’lam


By : M. Kazman

PEREMPUAN DAN MEDIA MASSA; Eksplorasi Tubuh dan Kenikmatan Seksual dalam Budaya Media (Kasus Playboy V.Indo)

Di jagad pertarungan dominasi identitas antara perempuan dan laki-laki, perebutan makna dan simbol kultural berdiri di atas tumpukan kebejatan dan kebengisan manusia. Aroma hawa nafsu tercium dari kiri kanan artefak kehidupan manusia modern dibalut gelora nafsu erotis tubuh 'sang perempuan'. Perempuan cukup sempurna menjadi lakon sebagai prisai si laki-laki. Mengapa perempuan tidak tampil apa adanya? Justru menjadi iblis pengoyak peradabah Ilahiyah.

Saya bisa saja dituduh menulis di atas tumpukan ideologi maskulinitas bahkan seorang misoginis, untuk mempertahankan benteng kekuasaan dari serbuan hujatan, sebab perempuan dalam perlawanannya yang sengit, pasti ingin keluar dari belenggu ketertidasan ribuan tahun. Dendam historis perempuan sejak dituduh sebagai penyebab turunnya manusia dari singgasana surga turut menentukan gerak sejarah patriarkal.

Tapi, siapakah sebenarnya yang berkuasa? Telusuri terus tulisan ini sampai menemukan jawaban, bahwa perempuan ......

perempuan dan Seks. Adalah dua kata sarat makna. Seks adalah sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri manusia. Seks bekerja secara naluriah setiap kali syaraf mata menangkap stimulus tertentu yang memiliki kualitas dan kualifikasi erotik. Seluruh tingkah laku dan karakter manusia dipengaruhi oleh identitas seks atau jenis kelamin (gender).

Dan perempuan adalah identitas seksual paling indah dalam konstruksi budaya maskulin/patriarkal. Kepadanya mata tertuju untuk menyalurkan libido sebagai energi atau kekuatan seksual. Perempuan adalah teka-teki yang belum terjawab tuntas, menyangkut kekuatan rangsangan yang dimilikinya.

Kebudayaan Media. Media massa (cetak maupun elektronik) dalam persekongkolan dengan berahi mengumbar tanda-tanda. Bujuk-rayu berahi dan feminitas menurut Baudrillad tidak dapat dihindarkan dari sisi lain seks, makna dan kekuasaan. Perempuan adalah bujuk-rayu pamungkas dari kepekaan seks dalam media yang dibumbui dengan ketelanjangan perempuan. Sebagai kekuatan produksi seksualitas tak lain sebagai strategi bujuk rayu melalui tubuh

Libido adalah istilah, yang semula dipergunakan oleh para psikoanalis, dengan artinya yang biasa, yaitu hasrat keinginan seksual, tetapi kemudian hari dengan arti yang sangat umum, yaitu dorongan (impuls) atau "energi" vital.

Jacques Lacan, seorang psikoanalis menggambarkan libido sebagai "suatu kwantitas yang tidak kita ketahui bagaimana akita mengukurnya, yang sifatnya tidak kita ketahui, namun sekaligus juga kita asumsikan selalu ada di sana. Pandangan kuatitatif ini memungkinkan kita untuk menggabungkan variasi dalam pengaruh-pengaruh kualitatif, dan membeikan sejumlah koherensi terhadap cara di mana pengaruh-pengaruh tersebut saling menggantikan satu sama lain .... pandangan tentang libido merupakan suatu bentuk unifikasi bagi bidang pengaruh psikoanalisis".

perempuan untuk periklanan. Tanda-tanda tersebut menjadi ukuran imajinasi manusia dan makin lama membentuk kekuatan budaya birahi (nalar seksual).

Nalar Seksual. Seperti ide 'episteme' Foucault yang diambil dari Nietzsche, seks adalah ukuran moral baru masyarakat. Nalar seksual seperti klaim Baudrillard mengikuti derap langkah manusia modern yang dibentuk oleh kekuatan media massa. Televisi adalah salah satu dari artefak kebudayaan postmodern yang wajib dituduh menularkan epidemi seks itu. Nalar seksual di puncak ekonomi libido paling tinggi harus tersalurkan, tak peduli berapapun yang harus dibayar. Bahwa keinginan untuk memiliki barang adalah puncak orgasme dan akhir dari serentetan proses pertandaan 'bujuk rayu' berahi.

Ideologi Massa. Budaya massa salah satunya dibentuk oleh nalar seksual dari campuran adonan tubuh dan berahi perempuan yang bisa dinikmati oleh ribuan pasang mata manusia dalam tontonan televisi. Itulah kenikmatan yang dicari oleh penikmat rangsangan dalam tegangan erotis. Massa terhipnotis oleh bujuk rayu berahi dan menunggu pelepasan hasrat seksual. Kekuatan media cukup ampuh menularkan energi tegangan erotik perempuan tepat di jantung setiap manusia. Tampilan erotik media adalah perangsang ampuh energi libido yang menarik siapapun.

Simbolisme Perempuan. Apa yang anda nikmati dari perempuan? Struktur simbolik perempuan dalam budaya media bisa digambarkan seperti kedudukan Piramid dalam masyarakat Mesir. Ia bagai sentrum tata surya peradaban modern. Sangat kuat simbolisme perempuan sebagai penanda sumber imajinasi seksual laki-laki. Apa artinya wajah, buah dada, perut, pinggul, vagina, kulit, tangan dan kaki perempuan. Serangkaian pananda-pananda yang memiliki kekuatan patanda. Simbolisme tubuh dibentuk oleh serangkaian pendalaman permainan citra sosial. Ada kategori dan syarat seorang perempuan sensual yang mampu menjual citra birahinya. Seperti dalam pornografi, perempuan diberi gaya atau kekuatan seksual yang cukup memuaskan nan menggairahkan. Perempuan dibentuk dan membentuk dirinya menuju klimaks kepuasan seksual.

Kekuasaan perempuan. Siapakah yang berkuasa? Mengutip pernyataan Baudrillard "berahi mewakili penguasaan alam raya simbolis, sedangkan kekuasaan hanya mewakili alam raya nyata". Kekuasaan berahi lahir lari kekuatan feminin yang mewakili struktur kehidupan. Kekuatan simbol atau tanda-tanda yang terfeminisasi menyiratkan pengumbaran tubuh perempuan sebagai kekuatan tunggal nan strategik untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Di mana-mana (kiri/kanan, atas/bawah) kekuasaan tubuh perempuan

Masyarakat massa digambarkan sebagai individu-individu atom akibat runtuhnya peran lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat sebagai akibat meledaknya industrialisasi dan urbanisasi. Dalam kondisi ketika tidak ada lagi kepastian psikologis, moral dan sosial.

Dalam teori yang diajukan Freud, kenikmatan lebih bersifat mekanistik, dinamis, hidraulis. Kenikmatan merupakan produk dari sebuah pelepasan tegangan, yang identik dengan rangsangan, stimulasi dan bahkan identik dengan sensasi. Freud dengan jujur mengakui bahwa manusia adalah pencari dan penikmat rangsangan, terutama dalam tegangan erotis. Intensitas kenikmatan sebanding dengan kuantitas tegangan yang dilepaskan. Semua kenikmatan yang kita rasakan dari rangsangan adalah bersifat antisipatif.

adalah kekuatan penunduk mengalahkan kekuatan apapun. Coba lirik iklan, televisi, video klip, tabloid, majalah, koran sampai internet menyuguhkan kekuasaan tubuh perempuan dalam permainan simbolik dari tanda, yang ditujukan terutama kepada laki-laki sebagai konsumen.

Berkuasakah perempuan? Freud percaya bahwa perempuan adalah mahluk rendah yang bersifat pasif, masokistis, iri terhadap laki-laki, kurang rasional, dan mempunyai super ego yang lebih lemah. Lalu datanglah Lacan menunjuk adanya "Tatanan Simbolis" yang mendasari tatanan realitas semesta. Tatanan simbolik itu adalah kekuatan bahasa patriarkal phallus bapak, maka perempuan ter-kebiri secara biologis dan keluar dari pertarungan identitas dunia bahasa dan wacana phallus yang represif.

Sebenarnya perempuan memiliki kesempatan untuk keluar dari penindasan budaya patriarki. Mereka kurang menyadari bahwa kekuatan simbolik tubuh dan berahi perempuan memiliki kekuatan penunduk. Yang perlu dilakukan-seperti yang telah dirintis oleh kebanyakan aktivis feminis-melalui praktek menulis feminin (produksi wacana dan bahasa feminin) untuk menghancurkan kealamiahan mitos perbedaan seksual yang dikonstruksikan Freud dan Lacan. Tetapi perempuan sebenarnya terjebak dalam lingkaran setan pananda-pananda yang dibuatnya sendiri. Perempuan tidak melakukan perlawanan pada dominasi patriarkal, tapi justru melawan tubuhnya sendiri yang selalu kekurangan pananda (narsisisme).

Tubuh Erotis. Serangkaian penanda tubuh perempuan lahir sebagai sosok penggoda. Tak letih menggoda, merayu dan menjual tubuh. Tubuh dipoles, dibentuk, direkayasa atas pesanan yang digoda. Seakan tubuhnya tak menarik tanpa sentuhan teknologi modern. Hidung dimancungkan, alis dicukur, bulu mata dilentikkan, kulit dihaluskan, bau badan dilenyapkan, buah dada ditonjolkan, perut diratakan dan pinggul yang dibuat lebih berisi. Sosok perempuan penggoda adalah subjek sekaligus objek. Tubuh perempuan penggoda sekedar objek seks yang menggairahkan tapi mambius dan menerkan siapapun. Tubuh erotis adalah pengikat hasrat. Perempuan tak memiliki tubuhnya, tak juga hasratnya. Kuasa adalah pemegang kendali tubuh.

Tubuh adalah investasi dalam konstruksi budaya masyarakat kapitalis yang hedonis. Perempuan adalah pemuja tubuh sendiri. Banyak perempuan kurang percaya diri dalam tubuh yang kekurangan tanda-tanda, atau tanda ketinggalan jaman, lalu menemukan tubuhnya semakin erotis, semakin menantang. Hanya tubuh erotis yang bisa dijual oleh perempuan penggoda, tak ada bedanya dengan seorang perempuan pelacur.

Erotisme dan Feminisasi Media. Tak bisa dipungkiri bahwa feminisasi media berhubungan erat dengan merebaknya budaya konsumerisme hedonis. Apa hubungannya? Antara feminisasi media dan budaya konsumerisme. Feminisasi media ditunjang adanya tubuh perempuan penuh tanda-tanda erotis. Berahi selalu hidup dalam deru nafas erotisme tanda-tanda. Barang objek konsumsi sebenarnya tidak erotis, hanya permainan kode atau citra dan kelihaian mempengaruhi emosi konsumen.

Kepercayaan diri ditemukan dari citra diri yang menggairahkan. Sikap narsistik (pemuja tubuh) untuk menjaga citra kecantikan tubuh dalam pekerjaan. Tanpa kecantikan perempuan bertubuh tak layak jual. Ingat bahwa sekarang nilai tukar dan nilai guna dikalahkan oleh nilai tanda dan nilai simbol. Kecabulan tubuh dalam media tak menuntut energi banyak untuk berfantasi seks. Fantasi seks bahkan menghilang, sebab tersedia dengan bebas dalam iklan sabun mandi dan majalah seks murahan.

Perempuan menggerogoti media sebagai proses feminisasi bahkan laki-laki (Metro Seksual) terkena imbas, tak segan masuk salon kecantikan ikut merawat tubuh. Lambat laun maskulinitas atau kejantanan digeser akibat perubahan orientasi produksi tanda yang layak jual. Semua tubuh akan difemininkan. Bahkan tubuh laki-laki.

Kekuatan Wacana. Menurut Foucault bahwa setiap tindakan seksual mengandung unsur kekuasaan atau sebaliknya, sejauh mana setiap ekspresi kekuasaan mengandung unsur seks. Mekanisme kekuasaan dalam masyarakat kapitalis yang menindas muncul dari kekuatan wacana. Hubungan sosial tercipta salah satunya lewat praktik seksual melalui bentuk-bentuk tingkah laku sosial di mana di dalamnya individu mengakui dirinya sebagai subjek seksual sehingga kuasa sosial dapat mengontrol mereka secara seksual.

Kurang relevan menunjuk hidung laki-laki atau maskulitas sebagai kambing hitam. Analisis Freud tentang inferioritas perempuan bisa salah ketika berdiri di atas alasan biologis, jika perbedaan dan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki tidak dimulai dari produksi khayalan yang ditemukan pada masa anak-anak. Tapi dimulai dari produksi wacana yang timpang terus-menerus. Dan kekuatan dasyat itu datang dari perselingkuhan antara wacana dan erotisme.

Perempuan tak cukup pintar mengendalikan ideologi maskulinitas. Sekedar objek pemuas nafsu. Perempuanlah yang ingin dipuja-puja dalam media. Bahwa tanpa perempuan, media menjadi kering, sekering gurun Sahara. Perempuan takkan berkuasa dalam media, kecuali melalui tubuh dan berahinya.

Kekuatan Kekangan. Pengekangan terhadap seksualitas bisa saja menjadi alternatif. Dari pada jatuh ke tangan kekuatan produksi kapitalis. Jika norma budaya menghendaki pengekangan terhadap kecabulan tubuh yang berorientasi non-produktif. Itu merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penindasan yang menguntungkan produksi. Lebih bijak rasanya mengembalikan peran perempuan dalam struktur kekuasaan kenikmatan yang mengekang (pentabuan) dan mencegah pendangkalan makna tubuh dan seksualitas perempuan.

Wallahua`lam bis shawab.


Tuesday, April 11, 2006

Jangankan lelaki biasa, Nabi pun terasa sunyi tanpa wanita. Tanpa mereka, hati, fikiran, perasaan lelaki akan resah. Masih mencari walaupun sudah ada segala- galanya. Apalagi yang tidak ada di syurga, namun Nabi Adam a.s. tetap merindukan siti hawa.Kepada wanitalah lelaki memanggil ibu, istri atau puteri. Dijadikan mereka dari tulang rusuk yang bengkok untuk diluruskan oleh lelaki, tetapi kalaulelaki sendiri yang tidak lurus, tidak mungkin mampu hendak meluruskan mereka.

Tak logis kayu yang bengkok menghasilkan bayang-bayang yang lurus. Luruskanlah wanita dengan cara petunjuk Allah, karena mereka diciptakan begitu rupa oleh mereka. Didiklah mereka dengan panduan dariNya: JANGAN COBA JINAKKAN MEREKA DENGAN HARTA, NANTI MEREKA SEMAKIN LIAR, JANGAN HIBURKAN MEREKA DENGAN KECANTIKAN, NANTI MEREKA SEMAKIN MENDERITA,Yang sementara itu tidak akan menyelesaikan masalah, Kenalkan mereka kepada Allah, zat yang kekal, disitulah kuncinya. AKAL SETIPIS RAMBUTNYA, TEBALKAN DENGAN ILMU, HATI SERAPUH KACA, KUATKAN DENGAN IMAN, PERASAAN SELEMBUT SUTERA, HIASILAH DENGAN AKHLAK .
Suburkanlah karena dari situlah nanti merka akan nampak penilaian dan keadilan Tuhan. Akan terhibur dan berbahagialah mereka, walaupun tidak jadi ratu cantik dunia, presiden ataupun perdana mentri negara atau women gladiator. Bisikkan ke telinga mereka bahwa kelembutan bukan suatu kelemahan. Itu bukan diskriminasi Tuhan. Sebaliknya disitulah kasih sayang Tuhan, karena rahim wanita yang lembut itulah yang mengandungkan lelaki2 wajah: negarawan, karyawan, jutawan dan wan-wan lain. Tidak akan lahir superman tanpa superwoman. Wanita yang lupa hakikat kejadiannya, pasti tidak terhibur dan tidak menghiburkan.Tanpa ilmu, iman dan akhlak, mereka bukan saja tidak bisa diluruskan, bahkan mereka pula membengkokkan.LEBIH BANYAK LELAKI YANG DIRUSAKKAN OLEH PEREMPUAN DARIPADA PEREMPUAN YANG DIRUSAKKAN OLEH LELAKI. SEBODOH-BODOH PEREMPUAN PUN BISA MENUNDUKKAN SEPANDAI-PANDAI LELAKI.Itulah akibatnya apabila wanita tidak kenal Tuhan. Mereka tidak akan kenal diri mereka sendiri, apalagi mengenal lelaki. Kini bukan saja banyak boss telah kehilangan secretary, bahkan anakpun akan kehilangan ibu, suami kehilangan istri dan bapa akan kehilangan puteri. Bila wanita durhaka dunia akan huru-hara. Bila tulang rusuk patah, rusaklah jantung, hati dan limpa. Para lelaki pula jangan hanya mengharap ketaatan tetapi binalah kepemimpinan.
Pastikan sebelum memimpin wanita menuju Allah PIMPINLAH DIRI SENDIRI DAHULU KEPADA-NYA. jinakan diri dengan Allah, niscaya jinaklah segala-galanya dibawah pimpinan kita.JANGAN MENGHARAP ISTRI SEPERTI SITI FATIMAH, KALAU PRIBADI BELUM LAGI SEPERTI SAYIDINA ALI !! Wassallam

By : Buddy

MENGAPA HARUS FEMINISME MUSLIM?

Mukaddimah
Judul di atas dengan tanda tanya besar adalah salah satu tesis penulis di training HMI yang terinspirasi oleh pembacaan penulis terhadap gerakan feminisme yang berkembang sebagai sebuah ideologi politik budaya. Benarkah feminisme muslim sebagai sebuah garakan politik budaya menjanjikan sebuah pembebasan dan memperjuangkan keadilan dan kesamaan martabat kemanusiaan? Atau feminisme muslim hanyalah merupakan konsumen ideologis Barat yang reaksioner dan rapuh dalam aspek filosofis?

Pledoi Kemunculan Feminisme
Apabila merujuk kepada awal awal kemunculannya tahun 1960-an feminisme merupakan gerakan politik budaya melawan dominasi struktur patriarkis. Kegelisahan akan kedudukan wanita yang selalu menjadi subordinat dan terdiskriminasikan secara sosial terutama dalam persoalan peran-peran publik. Semangat perlawanan tersebut menemukan dasar yang kuat setelah melihat bahwa jenis kelamin merupakan faktor utama dalam konstruksi gender. Feminisme menemukan konsep yang cukup bernas dengan memunculkan isu gender sebagai pisau analisisnya. Bahwa menurut mereka antara seksualitas atau jenis kelamin sangat berbeda dengan gender. Seksualitas berkaitan dengan sesuatu yang kodrati dan tidak bisa berubah, namun gender lebih kepada bentukan atau pencitraan masyarakat tentang sifat dan karakter wanita yang punya implikasi serius terhadap pengambilan peran sosial. Dari sinilah ideologi mereka dibangun dalam melakukan aksi perlawanan.

Peta Gerakan Feminisme
Semua teori-teori feminisme, walaupun pendekatannya berbeda namun mainstream dari gerakan ini adalah mengikis segala macam struktur patriarkat dalam masyarakat dan mengkonversinya menjadi struktur matriarkat, yaitu struktur yang egaliter tanpa hirarkis. Setidaknya kalau kita petakan, ada tiga gerakan feminisme di awal kemunculannya dan ada dua gerakan feminisme kontemporer yang dilihat dari perspektif cultural studies yaitu feminisme postmodern dan feminisme postkolonial. Pertama, gerakan politik liberal feminis yang dipelopori oleh Margerets Fuller, Harriet Martineau, Anglina Grimke dan Susan Anthoni. Feminisme liberal yang terinspirasi oleh konsep-konsep pencerahan, menyamakan laki-laki dan perempuan secara ontologis; hak-hak yang dimiliki laki-laki secara otomatis menjadi hak perempuan. Gerakan ini lebih mengusung isu urgensi kesetaraan dan kesempatan dalam hal pekerjaan, akses kependidikan dan perawatan anak. Bahwa tidak ada satupun pekerjaan yang terspesialisasi bagi laki-laki atau tidak ada pekerjaan yang melulu harus dikerjakan wanita, termasuk dalam hal merawat anak. Kedua, politik budaya yang terpusat pada perempuan, dipihak lain, memusatkan perhatian pada perspektif yang mengistimewakan perempuan. Bahwa perempuan harus mendapatkan perhatian lebih karena ia berada dalam posisi inferior. Ia harus mendapatkan hak istimewa dalam hal-hal tertentu, dalam rangka menempuh derajat yang sama dengan laki-laki. Namun perspektif ini kemudian melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tetapi juga menyangkut persamaan 'seks', kekuasaan seksual bisa diperoleh dari sesama perempuan dan menganggap laki-laki sebagai masalah bagi perempuan. Inilah feminisme radikal. Ketiga, feminis Marxis-sosialis yang dipelopori oleh Cxlara Zetkin dan Rosa Luxemburg. Gerakan ini menganggap bahwa gender adalah merupakan fenomena budaya dan menuntut keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dengan cara menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domistik dan sektor publik. Perbedaan dalam politik kebudayaan perempuan tidak dilihat sebagai tanda adanya perbedaan esensial diantara kedua jenis kelamin tersebut.

Feminisme Postmodern
Postmodernisme adalah sebuah gerakan filosofis yang mendelegitimasi proyek modernisme yang dianggap telah gagal. Postmodernisme mengandaikan tiadanya 'grand narrative' dan tidak adanya kebenaran tunggal, sehingga legitimasi menjadi plural dan lokal (bukan universal). Postmodernisme dan feminisme memang berbeda basis epistemologinya, yang pertama adalah gerakan filosofis dan yang kedua adalah gerakan sosial budaya. Lalu bagaimana memformulasikan sintesisis dekonstruksionis postmodernis dengan kritik sosial feminis? Apakah feminisme harus menolak 'grand theory' feminis agar tidak menciptakan 'grand narasi'? Maka yang diperlukan oleh kritik feminis postmodern adalah sebuah teori yang secara eksplisit historis, dengan memperlihatkan tipikal budaya dan zaman yang berbeda-beda. Artinya teori feminisme postmodern bersifat non-universalis dan non-uniformis.Signifikansi teori postmodern bagi teori feminis kontemporer adalah adanya kesadaran 'studi komparatif' yang mengkonfrontir semua usaha pentotalan, uniformitas dan universalitas. 'Studi komparasi' akan menawarkan alternatif-alternatif pengalaman dari kebutuhan perempuan. Dengan diferensiasi ini berarti perempuan berani mempertanyakan paradigma dominan yang harus terus didelegitimasikan.Dari konsepsi di atas, bisa dipahami kalau dalam perspektif feminisme postmodern gender dan ras tidak memiliki makna yang konstan, abadi maupun universal, melainkan hanyalah merupakan konstruksi diskursif. Setiap individu bebas merayakan kebebasan termasuk hal memilih laki-laki atau perempuan. Bahwa tak ada yang secara alami adalah laki-laki atau perempuan. Feminitas dan maskulinitas dikonstruksi secara sosial dan merupakan mozaik perjuangan politik dalam perebutan makna. Sehingga feminisme postmodern tidak lagi mempersoalkan autentisitas perempuan, melainkan dalam rangka menunjukkan bahwa konstruksi sosial atas gender melibatkan relasi. Dan feminisme postmodern menyediakan ruang bagi perbedaan mengenai identitas. Hal ini nampak dalam fenomena lesbian dan gay.

Feminisme Postkolonial
Perbincangan mengenai feminisme dari perspektif postkolonial adalah memandang bahwa selama ini kaum perempuan telah menjadi subaltren yang kehilangan hak-haknya untuk berbicara. Postkolonialisme memandang kaum perempuan, terutama di Dunia Ketiga, telah menanggung beban penindasan ganda: dari bangsa kolonial dan dari kaum laki-laki pribumi. Postkolonialisme mempostulatkan perempuan di Dunia Ketiga sebagai korban par excellence, yaitu korban dari ideologi imperial dan patriarki pribumi yang sering terlupakan. Gayatri Spivak dalam Can the Subaltern Speak?menyatakan bahwa ‘subaltern tidak bisa berbicara’. Yang dimaksudkan di sini adalah kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa konseptual untuk bebicara karena tidak memiliki bahasa konseptual untuk berbicara karena tidak ada telinnga dari kaum laki-laki kolonial maupun pribumi untuk mendengarkannya, sehingga perempuan tidak bisa menjadi subyek yang bisa mengartikulasikan dirinya dalam wacana kolonialisme. Mereka 'ditakdirkan' untuk diam. Dengan demikian feminisme postkolonial berkonsentrasi kepada perlawanan terhadap orientalisme dan patriarkhi pribumi.
Feminisme Muslim?Kalau dilihat lima kategori di atas, gerakan feminisme merupakan gerakan yang anti sentralisme dan melakukan dekodifikasi terhadap grand narrative dan melakukan ex-sentralisme demi co-eksistensi antara laki-laki dan perempuan. Dari sinilah sebenarnya feminisme Muslim bisa dibaca. Dimana mereka merasa dijajah tidak hanya oleh social constucted melainkan juga oleh teks-teks keagamaan. Persoalan poligami, warisan dan sebagainya menjadi gugatan yang serius. Namun adakah persoalan yang lebih mendasar dari gerakan ini,melihat dana yang begitu melimpah dalam proses sosialisasi gender.Saya khawatir jangan-jangan gerakan ini hanya rekayasa Barat terhadap dunia muslim. Bisa saja wanita –yang merupakan aset terbesar kapitalisme-menjadi bebas dalam menentukan sikap, seperti keluar malam dan sebagainya. Sehingga klub-klub malam menjadi ramai dan disitulah kapitalisme hidup. Iklan-iklan, entah itu yang ada dan tidak ada hubungannya dengan kebutuhan wanita selalu diperankan oleh wanita. Kekhawatiran saya hanya kepada persoalan eksploitasi kapitalisme terhadap perempuan, jangan-jangan ini tidak disadari sepenuhnya. Bukan kepada persoalan penggugatan terhadap teks-teks agama yang bias gender.Lalu, feminisme muslim harus mengambil posisi proporsional terhadap gerakan feminisme. Yang sebenarnya harus menjadi prioritas dari gerakan feminis muslim adalah penyadaran akan posisi dan tanggung jawab terhadap peran yang dipilihnya secara sadar. Bahwa merawat anak itu tidak melulu tugas perempuan, memang ia, namun bukan berarti menjadi justifikasi terhadap pembagian beban tanggung jawab dalam keluarga. Sangat bijak kalau kemudian upaya mencapai kesetaraan laki-laki dan perempuan itu dilandasi oleh sifat kemitraan, bahwa masing-masing memiliki beban tanggung jawab (division of labour) yang berbeda. Dan perbedaan itu dipandang dalam logika yang satu memperalat yang lain atau yang satu menguasai dan satunya dikuasai. Karena yang dituntut adalah keseimbangan (keharmonisan) yang dilandasi oleh pembagian tugas yang jelas dan bukan mempertentangkannya. Gerakan ini biasa dikenal dengan teori ekofeminisme yang dalam filsafat Cina dikenal dengan dengan yin dan yang merupakan kunci utama untuk mengharmonikan kehidupan di alam semesta. Sehingga harus ada harmoni dibalik perbedaan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yag sederajat di hadapan Tuhan. Dan disinilah seharusnya penyadaran itu dilakukan dan tidak harus menjadi gerakan feminisme Muslim. Menjadi Muslimah saja sudah cukup!

By : Buddy