Friday, January 12, 2007

Menyoal Dekonstruksi; perlu atau tidak?

Luar biasa! Kata itulah yang pantas, pas dan bisa mewakili ketajaman dekonstruksi[1] sebagai pisau analisis. Sungguh tajam, seperti tak berperasaan. Dekonstruksi bak menjelma hantu yang siap menerkam apa saja. Membongkar sana-sini tanpa kejelasan bentuk dan makna. Bahkan, fenomena dekonstruksi menimbulkan keresahan, oleh sifatnya yang membabi-buta. Oleh siapa? Mereka yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang apa itu dekonstruksi.

Dalam literatur filsafat barat kontemporer, gagasan dekonstruksi dianggap sebagai terobosan baru untuk membongkar klaim universalitas pengetahuan dan kebudayaan barat. Dekonstruksi membuka jalan relativisasi makna dari setiap kebudayaan manapun. Tak ada bahasa yang melampaui zamannya, juga nalar yang universal. Maka, peminggiran terhadap makna manapun tidak memiliki dasar kecuali dikonstruksi oleh semangat untuk menguasai. Itu saja.

Yang aneh dari ketajaman dekonstruksi ini adalah munculnya gagasan atau ide dari hasil murni ekpolarasi intelek, tanpa perhitungan 'kapan dan dimana' ia dibutuhkan. Ini banyak menggerogoti kalangan intelektual yang terlalu euforia dengan kedatangan arus postmodernisme.

Salah satu contoh yang bisa dirujuk dari ketepatan pengunaan dekonstruksi adalah ketika Nietzsche menghotbahkan kematian Tuhan. Yang terjadi sebenarnya bukan kamatian Tuhan (karena Tuhan tidak mungkin mati). Di mata Nietzsche-ketika membaca zamannya-Tuhan telah kehilangan pesona untuk dijadikan tujuan dan dasar bagi hidup manusia. Manusia modern telah menemukan Tuhan-tuhan baru yang dapat memberikan jaminan kepastian hidup. Jadi Nietzsche sebenarnya melakukan interpretasi futuristik yang radikal pada zaman yang dihadapinya.

Di atas terlihat jelas, bahwa Nietzsche-sebagai seorang tokoh dekonstruksionis-cukup jeli, melihat, memahami semangat zamannya. Nah! Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana (1) pahaman kita terhadap dekonstruksi sebagai sebuah metode, dan (2) seberapa besar kepekaan kita terhadap kondisi sosio historis. Dan kedua syarat itupun harus berdasar atas butuh tidaknya dekonstruksi untuk diterapkan.

Dekonstruksi; tunggu dulu!

Dipahami bahwa dekonstruksi sebenarnya hanyalah modus baru dalam memahami realitas. Ia menjadi radikal dan meresahkan jika menyentuh wilayah fundamen keagamaan yang sarat dengan pola struktur oposisi biner. Jika pun dipaksakan diterapkan pada wilayah religius, dekonstruksi perlu dimodifikasi khusus sebagai metode dan terbatas pada ruang pemaknaan tertentu. Ini yang tidak banyak dipahami., apalagi oleh intelektual-intelektual karbitan yang lebih banyak disemangati oleh interes pribadi untuk mendekonstruksi.

Strategi pemakaian yang diperhitungkan matang, tentu akan menghapus jejak negatif yang pernah ditinggalkan pisau dekonstruksi. Karena tidak selamanya pisau akan tajam dan bisa digunakan untuk memotong apa saja, titik

[1] Dekonstruksi adalah satu metode analisis yang dikembangkan oleh Jacques Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir (Glosarium pada buku 'Dekonstruksi Spiritual' karya J. Derrida. Jalasutra, 2002).

By : Arief Gunawan

No comments: