Friday, July 27, 2007

Lee, PDIP-Golkar, dan DCA

Adakah hubungannya antara kedatangan Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, isu koalisi Golkar-PDIP, dan DCA? Bisa jadi berhubungan, bisa jadi tidak.
Kedatangan Lee ke negeri ini pasti bukan tanpa tujuan. Kasat mata jelas diketahui, hubungan Indonesia dengan Singapura kini terganjal persoalan perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA) dan Extradition Treaty (ET). Bisa dipastikan Lee datang untuk tujuan itu.
Lee juga datang ke Indonesia dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting di negeri ini. Sebut saja, Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua BPK Anwar Nasution, anggota Wantimpres Ali Alatas dan Sjahrir. Pertemuan itu digelar dalam makan siang pada Senin lalu.
Sedangkan pertemuan terpisah dilakukan dengan Wakil Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Nah, kenapa Megawati dan Jusuf Kalla? Masuk akal jika persoalan DCA ini dikaitkan dengan semakin harmonisnya hubungan PDIP dan Golkar. Dengan adanya dua kali silaturahmi dua partai ini, eksistensi PDIP sebagai partai oposisi dipastikan melemah. Ewuh pekewuh dalam politik Indonesia masih ada.
Selama ini PDIP termasuk partai terdepan yang mendesak dibatalkannya DCA ini. Alasannya, merusak kedaulatan negara.
Kedatangan Lee bisa jadi memanfaatkan semakin dekatnya hubungan PDIP dan Golkar. Keharmonisan dua partai di luar parlemen dipastikan akan diikuti tokoh-tokoh mereka di Senayan. Lee berkepentingan untuk itu. Mantan Perdana Menteri Singapura ini menginginkan sikap parlemen Indonesia melunak.
Seperti ditegaskan Lee saat acara makan siang dengan tokoh-tokoh itu, bahwa DPR dan pers di Indonesia terlalu membesar-besarkan masalah DCA dan ekstradisi. Menurut Lee, DCA itu sudah lama terjadi sejak zaman Presiden Soeharto, dan mengapa baru sekarang dipersoalkan. Lee juga menyatakan bahwa ekstradisi sebenarnya lebih dibutuhkan Indonesia. Sebab, Indonesia telah membiarkan orang-orang yang diduga melakukan kejahatan untuk lari ke luar negeri.Jusuf Kalla kemarin sudah membantah bahwa pertemuannya dengan Lee tidak membahas persoalan DCA. Lontaran Kalla ini tidak cukup meyakinkan. Sedangkan tidak diketahui hasil pertemuan dengan Megawati tadi siang.
Lee boleh mengatakan kita membutuhkan perjanjian ekstradisi. Memang iya kita butuh itu untuk membekuk pencuri uang negara. Tapi, ingat, Singapura juga butuh lahan Indonesia untuk latihan tentara negeri yang besarnya hanya seujung kelingking itu. Terlebih, Singapura patut dicurigai membawa kepentingan negeri adikuasa di belakangnya.
By : Nurfajri Budi Nugroho

Thursday, July 26, 2007

Realisasi 20% Anggaran Pendidikan: Menguji Komitmen SBY-JK!

Belakangan ini pemerintah tampaknya menghadapi masalah-masalah yang super sulit dan dapat terlihat bahwa semakin hari posisinya makin terjepit. Belum lagi bencana-bencana yang melanda Nasional akhir-akhir ini, yang pastinya akan membutuhkan dana yang tidak sedikit, kali ini pemerintah harus dihadapkan dengan kenyataan harus merealisasikan 20% anggaran pendidikan. Masalah ini berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materil atas UU APBN 2006. Alhasil, uji materil tersebut dimenangkan oleh pemohon yang sebagian besar adalah praktisi pendidikan, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), dan Yayasan Nurani Bangsa. Dengan keputusan MK tersebut, pemerintah harus menyediakan anggaran sektor pendidikan sebesar 20% APBN/APBD.

Menurut MK UU APBN 2006 menyalahi amanah konstitusi UUD 1945 pada amendemen ke empat (18/8/2002), Pasal 31 ayat (4) menyatakan, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.". Dan yang membuat pemerintah semakin kebakaran jenggot adalah keputusan tersebut dikuatkan oleh keputusan MK sebelumnya yaitu: putusan perkara No.011/PUU-III/2005, yang berbunyi bahwa, "Pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda". Artinya jika pemerintah tidak merealisasikan 20% anggaran dalam waktu cepat maka pemerintah telah melakukan tindakan inskonstitusional. Secara politis ini sangat tidak menguntungkan bagi pemerintah.

Saya kira ini adalah ujian bagi segenap elemen bangsa (bukan hanya pemerintah) dalam rangka memajukan pendidikan nasional. Dengan berkembangnya masalah ini kita dapat mengetahui sampai dimana komitmen segenap elemen bangsa khususnya pemerintah terhadap dunia pendidikan. Kerena untuk merealisasikan 20% anggaran pendidikan adalah bukanlah perkara mudah. Selain dibutuhkan kemampuan teknis dari pemerintah, yang terpenting adalah komitmen. Dan jika berbicara tentang komitmen terhadap pendidikan nasional maka timbul sebuah pertanyaan kritis, apakah ada politisi di negeri ini yang masih memiliki komitmen terhadap pendidikan?. Pertanyaan ini berawal dari sebuah realitas bahwa ketika memikirkan masalah pendidikan berarti kita berpikir tentang investasi bangsa yang hasilnya baru bisa dipetik sekitar dua puluh tahunan lamanya. Sedangkan masa bakti dari para politisi pengemban amanah ini relative lebih singkat atau kira-kira hanya lima tahun. Singkat kata, untuk menemukan peminpin yang memiliki komitmen kuat terhadap pendidikan bukan perkara mudah.

Salah satu janji pemerintahan SBY pada waktu kampanye juga tidak lepas dari komitmen untuk memajukan pendidikan Nasional. Dan kali ini komitmen tersebut harus diuji kekuatannya. Dan saya kira ini adalah ujian yang super berat mengingat realisasi 20% anggaran pendidikan akan berhadapan dengan beberapa masalah krusial pemerintah saat. Paling tidak ada dua masalah penting terkait dengan realisasi 20 % anggaran ini. Pertama adalah masalah fiskal. Apabila 20% anggaran pendidikan direalisasikan sepernuhnya, secara ekonomi ini akan mempengaruhi kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan pada akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas makroekonomi.

Secara konseptual, kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika bbpemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Dan secara riil dilapangan hampir setiap tahun pemerintah kelabakan mencari alternatif pembiayaan fiskal mengingat negara kita menganut sistem defisit anggaran (Budget Deficit). Hal ini bisa terjadi salah satu masalahnya karena pengeluaran dalam APBN kita masih didominasi oleh pos-pos yang kurang dapat menstimulus perekonomian seperti pembayaran utang. Dalam APBN 2006, pemerintah SBY-JK ternyata tetap mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang. Pelunasan angsuran pokok utang dalam dan luar negeri masing-masing dianggarkan sebesar Rp 30,4 triliun dan Rp 60,4 triliun. Pembayaran bunga utang dalam dan luar negeri masing-masing dianggarkan sebesar Rp 30,7 triliun dan Rp 27,3 triliun. Jika dilakukan penjumlahan terhadap keempat pos tersebut, maka praktis sekitar sepertiga atau kira-kira 30 % belanja negara habis tersedot hanya untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang.

Jika anggaran pendidikan terealisasi maka separuh dari APBN kita hanya terkonsentrasi ke dua pos pengeluaran saja, padahal masih banyak pos-pos pengeluaran yang masih membutuhkan perhatian lebih misalnya adalah pos pengeluaran pembangunan dimana melalui pos ini diharapkan fungsi APBN sebagai stimulus perekonomian masih tetap relevan, karena pengeluaran pembangunan ini akan memiliki multiplier effect yang besar dalam kegiatan ekonomi. Jika masalah ini diabaikan maka masalah pengangguran sebagai derivasinya sulit juga terpecahkan. Dan masih banyak pos-pos yang harus diperhatikan pemerintah ke depan, seperti pengeluaran yang tidak terduga (Continget liability), dalam hal ini untuk menanggulangi bencana. Pendek kata konsentrasi pemerintah bukan hanya untuk menjaga kesinambungan fiskal semata, akan tetapi juga untuk menjaga eksistensi negara secara keseluruhan.

Perhatian pemerintah akan sangat terkuras untuk mencari alternatif untuk menjaga kesinambungan fiskal ini atau dengan kata lain sikap konservatif dalam mengelola anggaran masih tetap menjadi karakter pemerintah yang sulit dirubah. Tentu, pemerintah sebenarnya tidak menginginkan posisi seperti ini atau jika pemerintah berargumentasi pasti situasi dan kondisi yang akan menjadi kambing hitam. Dan itulah mengapa pemerintah saat ini masih berat hati untuk merealisasikan amanah konstutusi ini.

Masalah kedua yang harus dihadapi terkait dengan realisasi 20% anggaran ini adalah masalah institusional. Masalah ini menyangkut kesiapan instistusi pemerintah dalam mengelola anggaran yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang saat ini dikelola. Institusi di sini tentunya mengacu pada Departemen Pendidikan Nasional. Ketika anggaran benar-benar terealisasi maka muncul pertanyaan apakah dana tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat dan optimal? Pertanyaan ini muncul mengingat Departemen Pendidikan Nasional merupakan salah satu departemen yang tergolong paling korup. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan BPK beberapa tahun ini yang menempatkan Departemen Pendidikan Nasional pada jajaran departemen terkorup. Atau dengan melihat fenomena dilapangan saja, tentu kita akan setuju bahwa fakta itu benar adanya.

Kita bisa menyaksikan bangunan-banguan sekolah terbengkalai, kesejahteraan guru yang stagnan bahkan mengalami degradasi, beasiswa yang salah sasaran, praktek pengadaan buku pelajaran yang penuh kontroversi dan lain-lain. Kelemahan lain hasil temuan BPK akhir-akhir ini adalah masih lemahnya sitem pengendalian intern. Indikatornya antara lain laporan keuangan yang belum mengacu pada standar Sistem Akuntasi Instansi, sistem informasi yang tidak memadai, dan kelemahan lain yang masih berkaitan dengan laporan keuangan. Artinya, transparansi dan akuntabilitas Depdiknas dalam mengelola anggaran pendidikan masih dipertanyakan. Dengan kondisi seperti ini tentu kemampuan Depdiknas untuk menjawab tantangan realisasi 20% anggaran pendidikan masih diragukan. Atau dengan kata lain jika anggaran ini benar-benar terealisasi maka korupsi dalam sekala besar akan merambah dunia pendidikan sehingga ini menjadi bumerang bagi upaya memajukan pendidikan Indonesia.

Dua faktor di atas paling tidak menjadi faktor penguji komitmen pemerintah SBY-JK dalam memajukan pendidikan nasional. Demikian adanya karena dua faktor sekaligus tantangan tersebut secara rasio memang sangat berat dihadapi dan untuk menghadapinya dibutuhkan sebuah terobosan yang esensial dan berani di kedua kutub permasalahan di atas yaitu sektor fiskal dan instutusi. Terobosan ini membutuhkan komitmen yang kuat, sehingga untuk melihat kekuatan komitmen SBY-JK tentu kita akan melihat terobosan-terobosan apa yang akan dilakukan pemerintah SBY-JK kedepan. Selamat menunggu!

Pembiayaan Pendidikan Di Bawah Naungan Logika Pasar

Tahun ajaran baru bagi siswa sekolah dasar dan menengah sudah dimulai. Bagi siswa baru tersebut ini merupakan awal atau pun kelanjutan dari sebuah upaya meretas mimpi masa depan mereka.. Akan tetapi, mungkin lain bagi sebagian orang tua mereka. Orang tua harus menghadapi realitas pahit yaitu semakin mahalnya biaya pendidikan. Padahal, mereka sering mendengar janji-janji elite politik baik lokal maupun nasional tentang pendididan gratis, pembebasan SPP, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sebagainya. Namun, fakta dilapangan mereka masih harus mengeluarkan biaya atas nama uang gedung, uang seragam, uang buku dan sebagainya yang jumlahnya bisa mencapai jutaan lebih. Bahkan untuk mendapatkan kursi di sekolah favorit, wali murid harus melakukan tawar-menawar "harga" dengan pihak sekolah, seperti yang ditemukan DPRD kabupaten madiun akhir-akhir ini.(Koran Tempo, Kamis, 19 Juli 2007, hal A8). Seiring dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, tentu ini bukanlah fenomenal lokal yang kasuistik, melainkan fenomena yang dapat terjadi secara nasional..

Di tingkat perguruan tinggi (Universitas) pun demikian. Mahasiswa yang sudah berhasil masuk lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) harus menghadapi "seleksi " berikutnya yang tak kalah menegangkan, yaitu "seleksi finansial". Mahasiswa baru harus menyediakan uang pangkal (admission fee) yang besarnya bervariasi tergantung pada jenis dan kualitas pilihan Universitas tersebut. Untuk Universitas favorit jumlah bisa mencapai puluhan juta. Bagi mahasiswa kaya "seleksi" ini dapat dilalui dengan mulus. Akan tetapi, bagi mahasiswa yang tidak memiliki uang sebanyak itu harus berjibaku dengan ruwetnya birokrasi demi mendapatkan keringanan biaya. Bahkan tidak sedikit dari mahasiwa yang terpaksa melepaskan status (mahasiswa) yang baru saja didapat lewat kerja intelektual mereka. Hal ini karena mereka kecewa atau pun putus asa, baik oleh besarnya dana yang harus mereka tanggung maupun ruwetnya birokrasi yang harus mereka lalui.

Fenomena umum tentang realitas pendidikan di atas adalah untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak biaya. Lalu pertanyaanya, bagaimana dengan dengan mereka yang tidak memiliki uang alias miskin? Adakah hak mereka untuk menikmati pendidikan berkualitas? Bukan fakta di atas menunjukkan telah adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan?

Paling tidak ada dua argumentasi yang selalu didengungkan oleh birokrat pendidikan selama ini. Pertama, Para birokrat pendidikan selalu berdalih bahwa tidak adil jika siswa atau mahasiswa kaya membayar biaya pendidikan yang besarnya sama dengan si miskin. Padahal biaya pendidikan yang selama ini mereka bayar jauh lebih murah dari biaya per unit yang seharusnya dibayar per siswa, sisanya ditutupi subsidi negara. Dengan kata lain, mereka berpandangan subsidi dalam hal ini tidak tepat sasaran. Kedua, si miskin yang berprestasi tetap bisa mendapatkan pendidikan berkualitas karena ada mekanisme keringanan. Walaupun dalam prakteknya sulit terealisasi karena kendala asymmetric information. Dengan konsep ini mereka yakini semua akan mengenyam pendidikan berkualitas atau dengan kata pemerataan pendidikan akan tercapai.

Konsep pembiayaan pendidikan

Jadi, benarkah konsep pembiayaan pendidikan dengan penyamarataan antara si kaya dan si miskin, yang sudah diimplementasikan negara ini selama puluhan tahun lalu tidak adil? Atau lebih adil jika seorang harus membayar sesuai dengan biaya yang seharusnya dia bayar (harga pasar)?.

Untuk menjawab masalah keadilan ini tergantung dari mana kita memandang masalah pemerataan. Robert S. Pindyck dalam teori mikroekonominya yang membahas masalah pemerataan (social welfare function) memaparkan beberapa pandangan tentang konsep pemerataan. Pertama, Egalitarian, yaitu seluruh anggota masyarakat menerima jumlah barang (dalam hal ini subsidi pendidikan) yang sama. Kedua, Rawlsian, yaitu pandangan ini menitikberatkan kepuasan maksimum bagi kelompok masyarakat yang paling menderita. Ketiga, Orientasi Pasar, menyatakan alokasi pasar adalah alokasi paling adil dan merata.

Dari ketiga pandangan tersebut kita bisa menilai perkembangan konsep pembiayaan pendidikan yang kita anut di negara kita sampai saat ini. Pandangan egalitarian tampaknya menjadi justifikasi konsep pembiayaan pendidikan dimana semua siswa baik miskin maupun kaya membayar dengan nilai yang sama, yang telah dipraktekkan pemerintah selama tiga dasawarsa ini. Sedangkan pandangan Rawlsian merupakan justifikasi adanya beasiswa bagi anak. Dan pandangan terakhir tampaknya yang melatarbelakangi kebijakan pembiayaan pendidikan akhir-akhir ini. Atas nama Badan Hukum Pendidikan (BHP) untuk Sekolah Dasar dan Menengah dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk Universitas Pemerintah telah melepaskan tanggung jawab, khususnya dalam hal pembiayaan pendidikan.

Logika pasar

Logika pasar yang semakin menghegemoni dalam setiap pengambilan kebijakan ekonomi belakangan ini sudah merambah dunia pendidikan. Salahkah dengan gejala ini? Dalam teori ekonomi, logika (mekanisme) pasar tidak selamanya berjalan baik, sehingga ada istilah kegagalan pasar (market Failure). Salah satu bentuk kegagalan pasar adalah adanya gejala eksternalitas, yaitu efek yang diterima satu pihak akibat aktivitas pihak lain. Pendidikan bukan hanya bermanfaat terhadap individu yang bersangkutan, tetapi berdampak positif yang dinikmati masyarakat secara keseluruhan, misalnya tercipta keteraturan sosial, peningkatan kualitas budaya, perilaku masyarakat dan sebagainya. Banyak studi yang membuktikan keterkaitan erat antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara secara keseluruhan. Memang manfaat ini tidak dapat dinominalisasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat secara umum mendapatkan manfaat tersebut dan masyarakat (yang direprensetasikan oleh negara) berkewajiban menanggung biaya pendidikan ini. kegagalan (pasar) ini juga berarti pasar gagal menjalankan mekanisme efisiensi dan pemerataan.

Selain gagal menjamin pemerataan, logika pasar dalam pembiayaan pendidikan ini juga berarti berkontribusi melestarikan kemiskinan. Sistem pembiayaan pendidikan semacam ini adalah sarana pelestarian kelas, sekaligus mengubur impian mobilitas vertikal kelas bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Analisis ini kedengarannya radikal, tetapi kita tidak bisa menghindari karena pembacaan realitasnya memang demikian. Bahwa dapat dipastikan hanya strata sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau universitas yang bermutu. Sedangkan anak-anak orang miskin tetap dalam posisi tertinggal dan masuk dalam lingkaran calon pengangguran, atau kalaupun bekerja melanjutkan profesi orang tuanya sebagai penjual bakso, tukang becak, buruh, petani gurem, dan sebagainya.

Untuk kalangan masyarakat kaya, Pierre Bourdieu dalam The State Nobility dan Homo Academicus, memberi analisis hasil penelitiannya yang berkesimpulan sama yaitu pelestarian kelas. Kecenderungan masyarakat kaya saat ini bukan hanya menginvestasikan modalnya dalam bentuk saham melainkan pendidikan bagi anaknya atau yang dikenal dengan symbolic capital. Mereka akan mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya demi mendapat sekolah atau universitas favorit. Hal ini dilakukan demi melestarikan kelasnya.

Lantas mau dibawa kemana wajah pendidikan kita? Dikembalikan pada hakikat pendidikan sebagai sarana pembebasan dari segala keterbelengguan atau kita biarkan dihegemoni sekaligus disubordinasi oleh kepentingan pasar? Untuk menjawabnya, Negara ini bukan hanya butuh politisi atau pengambil kebijakan jenius, lebih dari itu yang dibutuhkan adalah seorang negarawan sejati yang masih peduli terhadap masa depan Negara.


By: Giyanto