Thursday, July 26, 2007

Realisasi 20% Anggaran Pendidikan: Menguji Komitmen SBY-JK!

Belakangan ini pemerintah tampaknya menghadapi masalah-masalah yang super sulit dan dapat terlihat bahwa semakin hari posisinya makin terjepit. Belum lagi bencana-bencana yang melanda Nasional akhir-akhir ini, yang pastinya akan membutuhkan dana yang tidak sedikit, kali ini pemerintah harus dihadapkan dengan kenyataan harus merealisasikan 20% anggaran pendidikan. Masalah ini berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materil atas UU APBN 2006. Alhasil, uji materil tersebut dimenangkan oleh pemohon yang sebagian besar adalah praktisi pendidikan, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), dan Yayasan Nurani Bangsa. Dengan keputusan MK tersebut, pemerintah harus menyediakan anggaran sektor pendidikan sebesar 20% APBN/APBD.

Menurut MK UU APBN 2006 menyalahi amanah konstitusi UUD 1945 pada amendemen ke empat (18/8/2002), Pasal 31 ayat (4) menyatakan, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.". Dan yang membuat pemerintah semakin kebakaran jenggot adalah keputusan tersebut dikuatkan oleh keputusan MK sebelumnya yaitu: putusan perkara No.011/PUU-III/2005, yang berbunyi bahwa, "Pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda". Artinya jika pemerintah tidak merealisasikan 20% anggaran dalam waktu cepat maka pemerintah telah melakukan tindakan inskonstitusional. Secara politis ini sangat tidak menguntungkan bagi pemerintah.

Saya kira ini adalah ujian bagi segenap elemen bangsa (bukan hanya pemerintah) dalam rangka memajukan pendidikan nasional. Dengan berkembangnya masalah ini kita dapat mengetahui sampai dimana komitmen segenap elemen bangsa khususnya pemerintah terhadap dunia pendidikan. Kerena untuk merealisasikan 20% anggaran pendidikan adalah bukanlah perkara mudah. Selain dibutuhkan kemampuan teknis dari pemerintah, yang terpenting adalah komitmen. Dan jika berbicara tentang komitmen terhadap pendidikan nasional maka timbul sebuah pertanyaan kritis, apakah ada politisi di negeri ini yang masih memiliki komitmen terhadap pendidikan?. Pertanyaan ini berawal dari sebuah realitas bahwa ketika memikirkan masalah pendidikan berarti kita berpikir tentang investasi bangsa yang hasilnya baru bisa dipetik sekitar dua puluh tahunan lamanya. Sedangkan masa bakti dari para politisi pengemban amanah ini relative lebih singkat atau kira-kira hanya lima tahun. Singkat kata, untuk menemukan peminpin yang memiliki komitmen kuat terhadap pendidikan bukan perkara mudah.

Salah satu janji pemerintahan SBY pada waktu kampanye juga tidak lepas dari komitmen untuk memajukan pendidikan Nasional. Dan kali ini komitmen tersebut harus diuji kekuatannya. Dan saya kira ini adalah ujian yang super berat mengingat realisasi 20% anggaran pendidikan akan berhadapan dengan beberapa masalah krusial pemerintah saat. Paling tidak ada dua masalah penting terkait dengan realisasi 20 % anggaran ini. Pertama adalah masalah fiskal. Apabila 20% anggaran pendidikan direalisasikan sepernuhnya, secara ekonomi ini akan mempengaruhi kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan pada akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas makroekonomi.

Secara konseptual, kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika bbpemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Dan secara riil dilapangan hampir setiap tahun pemerintah kelabakan mencari alternatif pembiayaan fiskal mengingat negara kita menganut sistem defisit anggaran (Budget Deficit). Hal ini bisa terjadi salah satu masalahnya karena pengeluaran dalam APBN kita masih didominasi oleh pos-pos yang kurang dapat menstimulus perekonomian seperti pembayaran utang. Dalam APBN 2006, pemerintah SBY-JK ternyata tetap mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang. Pelunasan angsuran pokok utang dalam dan luar negeri masing-masing dianggarkan sebesar Rp 30,4 triliun dan Rp 60,4 triliun. Pembayaran bunga utang dalam dan luar negeri masing-masing dianggarkan sebesar Rp 30,7 triliun dan Rp 27,3 triliun. Jika dilakukan penjumlahan terhadap keempat pos tersebut, maka praktis sekitar sepertiga atau kira-kira 30 % belanja negara habis tersedot hanya untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang.

Jika anggaran pendidikan terealisasi maka separuh dari APBN kita hanya terkonsentrasi ke dua pos pengeluaran saja, padahal masih banyak pos-pos pengeluaran yang masih membutuhkan perhatian lebih misalnya adalah pos pengeluaran pembangunan dimana melalui pos ini diharapkan fungsi APBN sebagai stimulus perekonomian masih tetap relevan, karena pengeluaran pembangunan ini akan memiliki multiplier effect yang besar dalam kegiatan ekonomi. Jika masalah ini diabaikan maka masalah pengangguran sebagai derivasinya sulit juga terpecahkan. Dan masih banyak pos-pos yang harus diperhatikan pemerintah ke depan, seperti pengeluaran yang tidak terduga (Continget liability), dalam hal ini untuk menanggulangi bencana. Pendek kata konsentrasi pemerintah bukan hanya untuk menjaga kesinambungan fiskal semata, akan tetapi juga untuk menjaga eksistensi negara secara keseluruhan.

Perhatian pemerintah akan sangat terkuras untuk mencari alternatif untuk menjaga kesinambungan fiskal ini atau dengan kata lain sikap konservatif dalam mengelola anggaran masih tetap menjadi karakter pemerintah yang sulit dirubah. Tentu, pemerintah sebenarnya tidak menginginkan posisi seperti ini atau jika pemerintah berargumentasi pasti situasi dan kondisi yang akan menjadi kambing hitam. Dan itulah mengapa pemerintah saat ini masih berat hati untuk merealisasikan amanah konstutusi ini.

Masalah kedua yang harus dihadapi terkait dengan realisasi 20% anggaran ini adalah masalah institusional. Masalah ini menyangkut kesiapan instistusi pemerintah dalam mengelola anggaran yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang saat ini dikelola. Institusi di sini tentunya mengacu pada Departemen Pendidikan Nasional. Ketika anggaran benar-benar terealisasi maka muncul pertanyaan apakah dana tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat dan optimal? Pertanyaan ini muncul mengingat Departemen Pendidikan Nasional merupakan salah satu departemen yang tergolong paling korup. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan BPK beberapa tahun ini yang menempatkan Departemen Pendidikan Nasional pada jajaran departemen terkorup. Atau dengan melihat fenomena dilapangan saja, tentu kita akan setuju bahwa fakta itu benar adanya.

Kita bisa menyaksikan bangunan-banguan sekolah terbengkalai, kesejahteraan guru yang stagnan bahkan mengalami degradasi, beasiswa yang salah sasaran, praktek pengadaan buku pelajaran yang penuh kontroversi dan lain-lain. Kelemahan lain hasil temuan BPK akhir-akhir ini adalah masih lemahnya sitem pengendalian intern. Indikatornya antara lain laporan keuangan yang belum mengacu pada standar Sistem Akuntasi Instansi, sistem informasi yang tidak memadai, dan kelemahan lain yang masih berkaitan dengan laporan keuangan. Artinya, transparansi dan akuntabilitas Depdiknas dalam mengelola anggaran pendidikan masih dipertanyakan. Dengan kondisi seperti ini tentu kemampuan Depdiknas untuk menjawab tantangan realisasi 20% anggaran pendidikan masih diragukan. Atau dengan kata lain jika anggaran ini benar-benar terealisasi maka korupsi dalam sekala besar akan merambah dunia pendidikan sehingga ini menjadi bumerang bagi upaya memajukan pendidikan Indonesia.

Dua faktor di atas paling tidak menjadi faktor penguji komitmen pemerintah SBY-JK dalam memajukan pendidikan nasional. Demikian adanya karena dua faktor sekaligus tantangan tersebut secara rasio memang sangat berat dihadapi dan untuk menghadapinya dibutuhkan sebuah terobosan yang esensial dan berani di kedua kutub permasalahan di atas yaitu sektor fiskal dan instutusi. Terobosan ini membutuhkan komitmen yang kuat, sehingga untuk melihat kekuatan komitmen SBY-JK tentu kita akan melihat terobosan-terobosan apa yang akan dilakukan pemerintah SBY-JK kedepan. Selamat menunggu!

No comments: