Wednesday, December 26, 2007

KEBEBASAN BERAGAMA DILANGGAR

Di pagi buta itu, Kulman telah terjaga। Kulman dan penduduk Desa Manis Lor lainnya bergegas keluar rumah untuk menunaikan ibadah idul adha. Tetapi mereka tidak ke masjid. Idul Adha tahun ini adalah idul adha yang tidak biasa bagi penduduk Desa Manis Lor. Idul adha yang dirayakan dengan duka. Masjid-masjid mereka telah porak-poranda dan disegel oleh segerombolan penyerang. Jemaat Ahmadiyah dilarang beribadah di masjid yang mereka bangun sendiri.

Belum hilang betul trauma penghancuran pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampus al-Mubarak, Parung, Bogor, pada tahun 2005, kelompok terbesar Jemaat Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, kembali diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam। 8 rumah jemaat dihancurkan, 7 masjid dilempari dan coba dibakar (tiga di antaranya disegel oleh aparat), dan tiga orang harus dilarikan ke rumah sakit (satu di antaranya terkapar dengan luka tusukan).

Wapres Mengecam

Di tengah minimnya ketegasan pemerintah dalam menghadapi aksi-aksi anarkis ini, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengeluarkan kecaman keras। “Harus segera dibuka segel-segel di tempat ibadah itu,” tegasnya di sela-sela penyerahan secara simbolis hewan kurban di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, 20 Desember 2007. Polisi, kata Kalla, harus berani mengambil sikap tegas terhadap mereka yang menghalang-halangi orang lain untuk beribadah.

Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Sepanjang tahun 2007, jemaat Ahmadiyah seluruh Indonesia juga memperoleh ancaman dan teror yang sama. Secara umum, menurut Hendardi, ketua Setara Institute for Democracy and Peace, tahun 2007 adalah tahun dimana kebebasan beragama banyak dilanggar. Sepanjang tahun ini, pelanggaran terhadap kebebasan beragama tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah, aparat keamanan, dan juga aparat peradilan. Setara mencatat bahwa sepanjang tahun 2007 terdapat 185 bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. 92 di antaranya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh negara (crime by commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis terhadap siapa saja yang dianggap sesat atau menyimpang. Sementara ada 93 pelanggaran yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pembiaran (crime by omission) terhadap tindakan kekerasan dan teror yang dilakukan pelbagai kelompok masyarakat (Koran Tempo, 19/12/2007).

Sejak Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok al-Qiyadah al-Islamiyyah, 4 Oktober 2007, kelompok ini menjadi sasaran amuk massa dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat aparat negara. Al-Qiyadah kemudian menjadi kelompok keagamaan yang paling banyak menerima kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebanyak 48 kasus pelanggaran, kekerasan, penangkapan, dan penahanan yang menimpa anggota kelompok ini (Koran Tempo, 19/12/2007)। Kelompok lain yang banyak menerima pelbagai bentuk pelanggaran adalah Katolik dan Ahmadiyah.

Setiap menjelang perayaan Natal, jemaat Katolik harus terus waspada, karena teror silih berganti mereka terima. Sepanjang tahun 2007, jemaat Katolik mengalami pelanggaran sebanyak 19 kali, yang terbanyak adalah dalam bentuk penutupan tempat ibadah. Sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, 19 Desember 2007, mengeluarkan pernyataan bersama mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan yang akan merayakan hari Natal.

Meski jemaat Ahmadiyah hanya mengalami 15 kali bentuk pelanggaran, namun dampak kerugian yang mereka terima sangat besar। Pelanggaran yang diterima oleh kelompok ini tidak hanya berupa fatwa dan penyegelan tempat ibadah, melainkan juga penghancuran rumah ibadah, tempat tinggal, fasilitas sekolah, perkantoran, dan juga pengusiran dari lingkungan tempat tinggal. Sepanjang tahun kelompok ini mengalami pengusiran di Lombok, rumah dan masjid mereka dihancurkan dan dibakar. Hal yang sama terjadi di Tasikmalaya dan Kuningan, Jawa Barat. Jemaat Ahmadiyah di Lampung, Padang, dan Sulawesi Selatan juga bernasib sama. Pusat-pusat kegiatan Ahmadiyah di Jakarta dan Bogor juga tidak pernah luput dari ancaman.

Koordinator Kontras, Usman Hamid, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Manis Lor dan tempat-tempat lain itu adalah sebentuk pelanggaran HAM berat. “Ini tidak bisa dibiarkan, karena akan merusak tatanan berbangsa, “ujarnya pada konferensi pers yang digelar di Jakarta, 19 Desember 2007.

Dengan nada yang lebih keras, intelektual senior, M. Dawam Rahardjo, menghimbau agar kelompok-kelompok minoritas dan pro-demokrasi lainnya mengupayakan segala bentuk pertahanan diri. “Ahmadiyah, Katolik, dan siapapun yang diserang harus melakukan perlawanan. Organisasi semacam Garda Kemerdekaan harus diperkuat, karena negara toh belum memberikan perlindungan maksimal terhadap kelompok minoritas,” tegasnya.

10 Pedoman MUI

Tokoh-tokoh seperti M। Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Usman Hamid, Ahmad Suaedi, dan Musdah Mulia menyebut bahwa fatwa sesat yang kerapkali dikeluarkan oleh MUI menjadi pemicu utama aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh masyarakat dan aparat keamanan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Penyerangan-penyerangan terhadap kelompok al-Qiyadah dan jemaat Ahmadiyah dimulai setelah MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok itu. Direktur The Wahid Institute, Ahmad Suaedi, mengatakan, “masyarakat seolah menunggu fatwa sesat MUI untuk melegitimasi aksi kekerasan mereka.”

Di akhir tahun 2007, MUI kembali mengeluarkan fatwa tentang 10 kriteria aliran sesat. 10 kriteria aliran sesat ini sontak mendapat reaksi dari banyak pihak. Monthly Report The Wahid Institute menyebut bahwa dengan mudah sekelompok orang akan dinyatakan sesat karena fatwa ini (Monthly Report on Religious Issues, edisi 4, November 2007).

Meski banyak menuai kecaman, MUI berkilah bahwa kriteria aliran sesat itu adalah kebutuhan masyarakat. Dengan alasan kebutuhan itulah, pihak MUI merasa perlu menambah ruang gerak yang dengan demikian mengusulkan penambahan budget yang awalnya 16 trilyun menjadi 18 trilyun pertahun kepada pemerintah (Detik.com, 3/11/2007). Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengamini dan mengikuti langkah MUI tersebut। Menanggapi besarnya dana negara yang dikelola oleh MUI, seorang anggota Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika mengecam dan menyatakan tidak terima pajak yang ia bayarkan kepada negara harus dipergunakan oleh MUI untuk melakukan pemberangusan kelompok-kelompok minoritas.

Abdurrahman Wahid pernah mengusulkan agar pemerintah mencabut bantuan dana ke MUI sebesar 16 trilyun pertahun. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul penghancuran pusat kegiatan Ahmadiyah di Parung, Bogor tahun 2005. Koordinator lapangan aksi kekerasan waktu itu, Abdul Haris Umarella (yang biasa mengaku sebagai Habib Abdurrahman Assegaf) menyebut-nyebut fatwa MUI sebagai landasan moral mereka melakukan aksi kekerasan. Pada sebuah kesempatan, Kapolri, Jenderal Sutanto, bahkan menegaskan akan menindak tegas penganut dan aktor intelektual aliran yang dianggap sesat (Antara, 01/11/2007).

Tahun ini Kulman dan warga jemaat Ahmadiyah Manis Lor memang tidak bisa menggunakan masjidnya untuk beribadah. Mereka berharap tahun depan akan lebih baik dan ada upaya yang serius untuk menjamin kebebasan mereka untuk menganut keyakinannya masing-masing. Jika keadaan tidak kunjung berubah atau malah semakin memburuk, Kulman dan kebanyakan warga Ahmadiyah lainnya tampaknya harus mempertimbangkan usulan untuk meminta suaka ke negeri lain. Karena Indonesia tidak lagi sudi menerima kehadiran mereka sebagai warga negara.


By : Saidiman

No comments: