Politik Intimidasi pada hakikatnya adalah terorisme politik. Kultur politik kita masih belum beringsut dari pola pemanifestasian kekerasan, ancaman, intimidasi dan terror. Dalam tahap-tahap tertentu kekerasan fisik diganti dengan kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara. Di Indonesia kedua bentuk kekerasan fisik dan simbolis itu masih acap digunakan.
Manifestasi kekerasan simbolis itu tidak hanya marak dilakukan oleh organisasi masyarakat, tetapi partai politik sekalipun condong tidak bias melepaskan diri dari jerat kekerasan simbolis. Intimidasi Partai Golongan Karya (Golkar) yang berencana mencabut dukungan kepada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bentuk dari kekerasan simbolis melaui wicara. Wacana atau diskursus penarikan dukungan itu kian mengkristal setelah dipicu dua masalah. Pertama, kasus Gubernur Lampung yang belum terselesaikan hingga saat ini. Kedua, pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). kedua masalah itu mengilhami sejumlah kader Golkar memproduksi Issue besar penarikan dukungan. Atmosfer politik sedikit memanas, hubungan Presiden dan Wapres juga sedikit terganggu.
Suasana politik yang sempat memanas itu kemudian mendingin setelah Presiden hadir dalam acara halal bihalal keluaraga besar Partai Golkar di kediaman Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Wacana penarikan dukungan mereduksi dan tidak sekuat sebelum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Partai Golkar digelar.
Kita tidak menyoal perihal meredupnya tuntunan penarikan dukungan. Sejak awal kita sudah menduga diskursus penarikan dukungan yang disuarakan Partai Golkar tidak lebih sekedar instrument memperkuat posisi tawar (bargaining posisition). Yang kita permasalahkan adalah, apakah upaya untuk memperkuat kedudukan dan posisi tawar partai harus harus dilakukan dengan Intimidasi terror kekerasan dan wacana? Kita setujudan sependapat dengan pernyataan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh yang mengingatkan partainya agar tidak menggunakan cara-cara tidak elegan dalam membangun konstruksi perpolitikan bangsa. Ancaman, intimidasi, dan terror yang di produksi partai Golkar sejatinya harus dilaksanakan jika tidak ingin dikatakan sekedar geretak sambal. Tetapi, rasionalkah Golkar untuk merealisasikan ancamannya itu sementara sang Ketua Umum Partai Golkar masih bercokol sebagai Wapres. Inilah yang tidak bisa dijawab Golkar tanpa meminta posisi kekuasaan yang lebih dari yang sudah diperoleh sekarang.
Praktik intimidasi politik dan terorisme politik yang di lakukan oleh Golkar adalah sebuah proses politisasi yang kerdil dan hanya mempertebal pengelompokan kepentingan. Control terhadap kekuasaan yang dilakukan Golkar tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat. Tetapi, condong mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilsasi kader. Kekerasan simbolis yang dilakukan Golkar bersifat premature dan setengah hati karena sejumlah alasan politis. Maka, tak heran buat kita semua bagaimana partai ini bersikap double standard terhadap pemerintahan. Di satu sisi menginginkan distribusi kekuasaan yang lebih besar sebagai partai pemenang Pemilu, tetapi satu sisi mengusung diskursus oposisi setengah hati ketika distribusi dibatasi.
Mengapa itu terjadi, karena Partai Golkar (berpura-pura) tidak memahami kekuasaan sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh rakyat. Golkar berpikir tentang diri dan kepentingannya sendiri. Jika setiap partai politik condong mengembangkan pola intimidasi politik untuk menaikan posisi tawarnya, apa jadinya negeri ini kelak. Panggung politik nasional bakal sarat dengan intimidasi dan terror politik. Wallahu’alam
No comments:
Post a Comment