Thursday, December 07, 2006

Temasek dan Ancaman Iklim Persaingan di Industri Telekomunikasi

Wacana pembelian kembali ( buy back ) saham Indosat yang saat ini dikuasai oleh Temasek, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan. Berbagai elemen masyarakat, baik dari dunia usaha, masyarakat awam ( konsumen ) dan politisi sekalipun tentu mulai bertanya-tanya, ada apa ( lagi ) dengan Indosat? Jauh-jauh hari sebelum saham Indosat jatuh ke tangan perusahaan pelat merah asal Singapore ini, pertanyaan semacam ini sudah diramalkan akan muncul dikemudian hari mengingat proses privatisasi perusahaan ini dilalui dengan jalan yang boleh dikatakan tidak mulus atau penuh dengan kontroversi ( baca: masalah ).

Awal sekaligus akar dari masalah ini bermula pada saat pemerintah Megawati “diburu” target untuk melakukan privatisasi guna menutup deficit anggaran. APBN sudah sangat berat menanggung beban pembayaran hutang beserta bunganya yang mencapai kurang lebih 30% dari total dana APBN. Praktis, tujuan privatisasi untuk memperbaiki kinerja perusahaan sekaligus kinerja pasar industri telekomunikasi secara keseluruhan tidak menjadi pertimbangan utama. Kondisi seperti ini mempercerminkan posisi tawar ( bargaining power ) yang lemah disatu sisi dan memperkuat bargaining power calon investor disisi lain. Dampaknya dalam proses pelepasan saham Indosat, pemerintah terkesan under pressure dan kondisi ini menimbulkan masalah besar di kemudian hari.

Paling tidak ada dua masalah derivatif yang sebabkan posisi pemerintah tersebut, yaitu masalah yang terjadi sebelum dan pada saat proses privatisasi ( pra privatisasi ) dan masalah yang terjadi sesudah privatisasi ( pasca privatisasi ).


Masalah pra privatisasi

Seperti telah dipaparkan dimuka bahwa dalam melakukan privatisasi ini pemerintah terkesan memaksakan sehingga banyak sekali masalah-masalah yang terjadi baik masalah yang menyakut kode etik dunia usaha maupun masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran konstitusi. Beberapa masalah tersebut antara lain pelanggaran UUD pasal 33 ayat 2 dimana disebutkan dalam pasal tersebut bahwa cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dan selanjutnya dikuatkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf (c) UU No 1 Tahun 1967 tentang PM sebagaimana diubah dengan UU No.11 Tahun 1970. Berdasarkan pasal ini, salah satu bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah telekomunikasi, karena itu a) harus dikuasai Negara dan b) tertutup bagi PMA secara penuh. Tampak begitu gamblangnya pelanggaran konsitusi ini, akan tetapi tidak sedikitpun digubris oleh pemerintah,

Masalah lain yang muncul adalah sehubungan dengan pembeli Indosat. Divestasi Indosat jelas sarat dengan sejumlah kebohongan publik. Sebut misalnya mengenai siapa yang benar-benar bertindak selaku pembeli Indosat. Menurut keterangan resmi pemerintah, yang terdaftar sebagai salah satu calon pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan Singapore yang bernama Singapore Technologies Telemedia (STT). Tetapi, sebagaimana terungkap kemudian, pada saat penandatanganan kontrak jual-beli ( Sales and Purchasing Agreement ), yang membubuhkan tanda tangan selaku pembeli Indosat adalah sebuah perusahaan asal Mauritius, yang bernama Indonesian Communication Limited (ICL).

Bagaimana halnya dengan persoalan harga jual 41,9 persen saham Indosat sebesar Rp 12.950 per lembar saham itu? Benarkah nilai jual Indosat sebesar itu? Bukankah Indosat memiliki enam anak perusahaan, diantaranya PT. Lintasarta dan PT. satelindo, belum lagi lebih dari 30 perusahaan yang beraviliasi dengan Indosat?. Sehingga dapat dikatakan bahwa penetapan nilai jual yang didasarkan pada nilai saham yang tercatat di bursa jauh dari nilai jual yang sebenarnya. Dugaan permainan orang dalam pun ( insider trading ) tidak bias terelakkan.


Masalah pasca privatisasi

Masalah selajutnya adalah terkait dengan status kepemilikan Indosat setelah diprivatisasi. Pertanyaan yang muncul adalah siapa pemilik Indosat sebenarnya? Benarkah “privatisasi” Indosat murni privatisasi. Privatisasi yang sejatinya adalah pengalihan kepemilikan dan kendali perusahaan dari pemerintah ke sektor swasta ( private sector ) sebenarnya tidak terjadi pada kasus Indosat, yang ada adalah pengalihan kepemilikan dan kendali dari pemerintah Indonesia ke pemerintah Singapore. Mengapa demikian? Singapore Technoligies Telemedia yang membeli saham Indosat melalui sebuah Special Purpose Vihicle yang bernama Indonesia Comunication Limited ( ICL ) merupakan anak perusahaan Temasek Holdings yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Singapore.

Kepemilikan Indosat oleh pemerintah Singapore sudah jelas bertentangan, bukan hanya dari sisi konstitusi, akan tetapi juga dari sisi prinsip privatisasi itu sendiri. Tentu saja masalah tidak hanya berakhir sampai disini. Kepemilikan Indosat oleh Temasek holdings, berdampak pada struktur industri telekomunikasi di Indonesia. Pasalnya dalam industri telekomunikasi, Temasek bukan hanya memiliki Indosat dengan jumlah saham 41%, akan tetapi melalui Singapore Telekomunikation Limited ( Singtel ) dan anak perusahaanya ( Singapore Telecom Mobile Pte Ltd ) Temasek Holdings juga menguasai PT. Telkomsel dengan penyertaan saham sebesar 35%. Telkomsel sebagai perusahaan seluler terbesar di Indonesia memiliki pangsar pasar sebesar lebih dari 50% sedangkan Indosat menguasai sekitar 28 % dan jika digabungkan, maka praktis Temasek memegang posisi dominan dalam pasar industri telekomunikasi khususnya seluler.

Dalam analisa ekonomi industri, struktur pasar ( Structure ) akan memperngaruhi perilaku ( conduct ) perusahaan dalam menjalankan usahanya dan pada akhirnya akan berdampak pada kinerja ( performance ) ekonomi dalam pasar tersebut secara keseluruhan. Sejatinya privatisasi diharapkan dapat menciptakan iklim persaingan sehingga tercapai kinerja ekonomi yang efisien dan transparan. Akan tetapi yang terjadi pada industri telekomunikasi kita tampaknya tidak demikian. Struktur pasar telekomunikasi di Indonesia secara nyata hanya didominasi oleh dua perusahaan yang notabene berada dalam satu payung perusahaan induk yaitu Temaseks Holdings.

Kondisi ini secara ekonomi sangat menghambat iklim persaingan dan pada akhirnya akan berdampak terhambatnya usaha mencapai efiensi ekonomi atau pencapaian harga pasar, dan pada akhirnya masyarakat khususnya sebagai konsumen akan menggung kerugian ini semua. Karena dalam struktur pasar yang monopolistik atau oligopolistik harga yang diterima konsumen bukanlah hasil mekanisme pasar melainkan hasil perilaku dari produsen yang memiliki kekuatan menetapkan harga (monopoly power). Perusahaan yang memiliki monopoly power secara otomatis akan memiliki perilaku ( conduct ) yang mengarah pada pelanggaran prinsip-prinsip persaingan karena perusahaan dihadapkan pada rasionalitas untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya ( maximum profit )

Beberapa pelanggaran itu secara factual telah dilakukan oleh Temasek seperti yang diungkap oleh Federasi Serikat Pekerja- BUMN BERSATU akhir-akhir ini. Pelanggaran itu antara lain, dugaan adanya kesepakatan penetapan harga tarif telephone seluler, dugaan persekongkolan tender yang memenangkan hampir semua tender proyek di wilayah Jawa-Bali, adanya rangkap jabatan dimana sejumlah posisi kunci di Telkomsel dan Indosat telah diduduki “orang-orang” Temasek, dan masih banyak berbagai pelanggaran prinsip persaingan lain sebagai akibat dari posisi dominant yang dimiliki Temasek dalam Industri telekomunikasi di Indonesia.

Komite Pemantau Persaingan Usaha ( KPPU ) yang bertanggung sebagai regulator sekaligus hakim dalam dunia usaha di Indonesia harus membuktikan kesungguhannya dalam menjamin adanya persaingan yang sehat dalam industri telekomunikasi. Adanya indikasi pelanggaran prinsip-prinsip persaingan ini, yang dalam konteks Indonesia tercermin dalam UU No.5 tahun 1999, akan mengancam memburukkan performa dunia usaha dan pada akhirnya dalam jangka panjang akan merugikan perekonomian secara keseluruhan. Dari sisi masyarakat ( konsumen ) akan mengalami kerugian karena surplus konsumen secara perlahan-lahan akan diserap oleh produsen monopolistic. Dari sisi produsen maka akan mengurangi insentif produden baru untuk terjun di industri telekomunikasi yang pada akhirnya industri telekomunikasi kehilangan daya saingnya.



NB : Diskursus ini ditulis oleh Sahabat saya Gianto Mahasiswa FE UI 02 yg di muat oleh Bisnis Indonesia

1 comment:

alumni STAN said...

icl itu perusahaan fiktif. yang punya ya orang2 bppn dan konco2nya.... temasek dapat fee dan share juga...