Ekspansi HMI;
Pada masa lalu, HMI dilingkupi oleh sebuah rezim kekuasaan yang demikian otoriter dan despotik serta kondisi eksternal masyarakat yang apatis. Saat ini, sejak reformasi digulirkan, kondisi rezim perlahan mengarah ke wajah yang lebih demokratis dan terbuka serta kondisi masyarakat yang lebih kritis dan partisipatif. Terkait dengan perubahan rezim kekuasaan dan kondisi eksternal yang melingkupinya, HMI dituntut untuk melakukan pergeseran paradigma organisasi secara mendasar dan elementer.
Beberapa perubahan yang dimaksud adalah Pertama, Paradigma Oposisi Total yang selama ini menjadi ciri khas HMI harus digeser menjadi Kritis-Konstruktif. Ini berarti bahwa dalam mengartikulasikan kepentingan eksternalnya, HMI menggunakan jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga politik resmi seperti birokrasi, legislatif dan lain sebagainya. Maknanya bahwa aksi massa hanya akan dilakukan untuk isu-isu yang betul-betul sangat penting dan mendesak. Untuk itu, HMI dituntut untuk mencetak kader yang lebih memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa. kader-kader yang memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan.
Kedua, Gerakan Intelektual HMI yang selama ini berkutat pada wilayah Epistemologis, sudah saatnya digeser ke wilayah Gerakan Intelektual yang lebih Akademis sehingga HMI mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis. Dengan ini, maka ide dan gagasan intelektual HMI bersentuhan langsung dengan masyarakat akademis (kampus). Ini tidak berarti bahwa kader HMI harus menjadi seorang akademisi, melainkan bahwa setiap ide dan gagasan yang dilontarkan HMI harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan secara praktis dapat di-break down pada masyarakat. Model Intelektual ini menuntut HMI tidak hanya melahirkan kader yang mengetahui segalanya namun lemah secara metodologis. Intelektual-Akademisi adalah intelektual yang bervisi sosial profetis. Disamping memiliki pemahaman ideologi yang memadai, mereka juga cerdas secara akademik, bervisi profetis dan bernafaskan Islam serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis untuk melakukan pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan
Ketiga, untuk menjaga independensi gerakan HMI, maka ketergantungan finansial (terutama pada Alumni) digeser menjadi kemandirian dan independen. Kemandirian yang harus dibangun HMI terdiri dari kemandirian dalam hal perumusan ide dan gagasan (atau independen secara sosial politik) dan kemandirian keuangan (atau independen secara sosial ekonomi). Ini berarti HMI harus bisa membangun kerjasama dengan lembaga donasi yang tidak mengikat (dengan mengeluarkan kebijakan fund-raising). Kemandirian ini akan muncul kalau dalam kader HMI tertanam jiwa enterpreneurship. HMI dituntut untuk bisa membekali kadernya dengan kemampuan 'kewirausahaan' tidak dalam arti sempit dunia bisnis semata, melainkan dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya.
Dengan terjadinya pergeseran ini gerakan HMI harunya lebih ekspansi kewilayah-wilayah sosial-politik-budaya yang selama ini tidak disentuhnya. HMI yang selama ini hanya melakukan gerakan fight from harus menjadi fight for, atau menggeser sentrum gerakan dari nahyi al munkar menjadi amar ma'ruf. Ini berarti bahwa tidak ada lagi wilayah yang terkategori ‘haram’ untuk dirambah oleh perjuangan HMI, termasuk wilayah politik. Tentu selama independensi gerakan bisa tetap terjaga.
.....ikhtiar politik.....
Pergeseran paradigma serta pilihan strategi gerakan HMI telah membuka pintu bagi aktivitas perjuangan HMI untuk tidak hanya berjuang melalui jalur politik sempit dengan menjadi politisi serta tergabung dalam partai politik tertentu yang sudah ada. Secara spesifik, ekspansi HMI ke wilayah perjuangan politik, memiliki dua sifat dasar. Sifat dasar tersebut adalah gerakan politik yang bersifat lokal dan gerakan politik yang mengelaborasi potensi sektoral. Inilah yang dimaksud dengan diaspora politik HMI.
Artikulasi perjuangan HMI pada tataran politik lokal mengedepankan beberapa strategi gerakan, Pertama, Penguatan Visi Lokal, di sini HMI musti bisa mencari strategi yang paling tepat bagi gerakannya ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungan masyarakat politik-masyarakat sipil dibangun dalam kerangka yang konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (konsensus), semuanya dipertimbangkan secara matang berdasarkan kekuatan lokal masing-masing, tentu tanpa menanggalkan kritisisme dan independensi.
Kedua, Peningkatan Partisipasi Lokal, Peningkatan partisipasi lokal memiliki dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, menghamba pada pemodal yang eksploitatif, dan otoriter, sehingga dibutuhkan perlawanan kritis, sistematik, dan bahkan radikal untuk mengubah struktur yang menindas itu. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif. Lebih dari itu, partisipasi kooperatif (dengan pemerintah lokal demokratik atau pemodal yang humanis) juga bisa diberlakukan untuk agenda-agenda pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, Pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal, hal ini mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal harus memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat diandalkan melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut. HMI di tingkat cabang dalam hal ini juga dituntut untuk menggembleng dirinya dengan mental kepemimpinan, kompetensi di suatu bidang, dan pengetahuan luas untuk menjadi insan mutamaddin (manusia berperadaban yang arif dan tegas dalam membuat keputusan karena menguasai banyak bidang).
Artikulasi perjuangan HMI pada tataran politik sektoral dapat dilakukan oleh HMI dengan cara melakukan penyusupan pada berbagai instrumen politik diluar partai politik yang telah ada. Ini bisa dilakukan HMI dengan cara memasukkan kadernya ke Lembaga-lembaga negara yang independen (baik ditingkat lokal maupun nasional). Disamping itu, sudah saatnya HMI kembali melirik lembaga profesi yang berbasis kapasitas dan kompentensi serta profesionalitas, menjadi sebuah kekuatan penekan yang efektif bagi perubahan sosial. Tentu ini menuntut penguasaan kader-kader terhadap wacana-wacana akademik.
Untuk meningkatkan daya ekspansi dari gerakan politik yang berbasis pada kekuatan lokal dan kekuatan sektoral tersebut, maka HMI dapat mendorong terbentuk dan atau diakomodasinya partai politik lokal dalam sistem perpolitikan nasional untuk menjadi sarana mendesakkan kepentingan politik HMI. Tentu hal ini keberadaan partai politik lokal harus berbeda dari partai politik yang dikenal selama ini hanya mengeksploitasi masyarakat.
Inilah diaspora politik HMI, sebuah gerakan politik yang akan mendesakkan perubahan mendasar pada masyarakat dengan tetap memperhatikan lokalitas masing-masing daerah dan menawarkan solusi yang berbasis pada kapasitas dan kompentensi serta profesionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Secara riil politik, gerakan ini menjadikan Lembaga-lembaga negara yang independen (baik ditingkat lokal maupun nasional) dan partai politik lokal sebagai wadah yang paling strategis.
.....menuju Masyarakat Tamaddun
Tamaddun berasal dari akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti "kota" atau "peradaban". Kata madany kemudian mengalami penambahan ta’ di awal dan tasydiid pada ”dal” untuk menguatkan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud dengan masyarakat tamadduni merupakan peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.
Mayarakat Tamaddun sebagai cita masyarakat ideal HMI diasumsikan bekerja pada tiga level, Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.
Wonosobo, 15-18 Februari 2007
Pada masa lalu, HMI dilingkupi oleh sebuah rezim kekuasaan yang demikian otoriter dan despotik serta kondisi eksternal masyarakat yang apatis. Saat ini, sejak reformasi digulirkan, kondisi rezim perlahan mengarah ke wajah yang lebih demokratis dan terbuka serta kondisi masyarakat yang lebih kritis dan partisipatif. Terkait dengan perubahan rezim kekuasaan dan kondisi eksternal yang melingkupinya, HMI dituntut untuk melakukan pergeseran paradigma organisasi secara mendasar dan elementer.
Beberapa perubahan yang dimaksud adalah Pertama, Paradigma Oposisi Total yang selama ini menjadi ciri khas HMI harus digeser menjadi Kritis-Konstruktif. Ini berarti bahwa dalam mengartikulasikan kepentingan eksternalnya, HMI menggunakan jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga politik resmi seperti birokrasi, legislatif dan lain sebagainya. Maknanya bahwa aksi massa hanya akan dilakukan untuk isu-isu yang betul-betul sangat penting dan mendesak. Untuk itu, HMI dituntut untuk mencetak kader yang lebih memiliki kemampuan untuk menjadi creative minority dari pada menjadi pemimpin massa. kader-kader yang memiliki kemampuan untuk memproduksi ide dan gagasan.
Kedua, Gerakan Intelektual HMI yang selama ini berkutat pada wilayah Epistemologis, sudah saatnya digeser ke wilayah Gerakan Intelektual yang lebih Akademis sehingga HMI mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis. Dengan ini, maka ide dan gagasan intelektual HMI bersentuhan langsung dengan masyarakat akademis (kampus). Ini tidak berarti bahwa kader HMI harus menjadi seorang akademisi, melainkan bahwa setiap ide dan gagasan yang dilontarkan HMI harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan secara praktis dapat di-break down pada masyarakat. Model Intelektual ini menuntut HMI tidak hanya melahirkan kader yang mengetahui segalanya namun lemah secara metodologis. Intelektual-Akademisi adalah intelektual yang bervisi sosial profetis. Disamping memiliki pemahaman ideologi yang memadai, mereka juga cerdas secara akademik, bervisi profetis dan bernafaskan Islam serta memiliki visi kepedulian sosial yang tinggi dan kemampuan praksis untuk melakukan pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan
Ketiga, untuk menjaga independensi gerakan HMI, maka ketergantungan finansial (terutama pada Alumni) digeser menjadi kemandirian dan independen. Kemandirian yang harus dibangun HMI terdiri dari kemandirian dalam hal perumusan ide dan gagasan (atau independen secara sosial politik) dan kemandirian keuangan (atau independen secara sosial ekonomi). Ini berarti HMI harus bisa membangun kerjasama dengan lembaga donasi yang tidak mengikat (dengan mengeluarkan kebijakan fund-raising). Kemandirian ini akan muncul kalau dalam kader HMI tertanam jiwa enterpreneurship. HMI dituntut untuk bisa membekali kadernya dengan kemampuan 'kewirausahaan' tidak dalam arti sempit dunia bisnis semata, melainkan dalam bentuk keahlian praktis seperti kreativitas, kemandirian, teknik komunikasi seperti loby, membangun networking, negosiasi dan lain sebagainya.
Dengan terjadinya pergeseran ini gerakan HMI harunya lebih ekspansi kewilayah-wilayah sosial-politik-budaya yang selama ini tidak disentuhnya. HMI yang selama ini hanya melakukan gerakan fight from harus menjadi fight for, atau menggeser sentrum gerakan dari nahyi al munkar menjadi amar ma'ruf. Ini berarti bahwa tidak ada lagi wilayah yang terkategori ‘haram’ untuk dirambah oleh perjuangan HMI, termasuk wilayah politik. Tentu selama independensi gerakan bisa tetap terjaga.
.....ikhtiar politik.....
Pergeseran paradigma serta pilihan strategi gerakan HMI telah membuka pintu bagi aktivitas perjuangan HMI untuk tidak hanya berjuang melalui jalur politik sempit dengan menjadi politisi serta tergabung dalam partai politik tertentu yang sudah ada. Secara spesifik, ekspansi HMI ke wilayah perjuangan politik, memiliki dua sifat dasar. Sifat dasar tersebut adalah gerakan politik yang bersifat lokal dan gerakan politik yang mengelaborasi potensi sektoral. Inilah yang dimaksud dengan diaspora politik HMI.
Artikulasi perjuangan HMI pada tataran politik lokal mengedepankan beberapa strategi gerakan, Pertama, Penguatan Visi Lokal, di sini HMI musti bisa mencari strategi yang paling tepat bagi gerakannya ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungan masyarakat politik-masyarakat sipil dibangun dalam kerangka yang konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (konsensus), semuanya dipertimbangkan secara matang berdasarkan kekuatan lokal masing-masing, tentu tanpa menanggalkan kritisisme dan independensi.
Kedua, Peningkatan Partisipasi Lokal, Peningkatan partisipasi lokal memiliki dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, menghamba pada pemodal yang eksploitatif, dan otoriter, sehingga dibutuhkan perlawanan kritis, sistematik, dan bahkan radikal untuk mengubah struktur yang menindas itu. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif. Lebih dari itu, partisipasi kooperatif (dengan pemerintah lokal demokratik atau pemodal yang humanis) juga bisa diberlakukan untuk agenda-agenda pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, Pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal, hal ini mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal harus memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat diandalkan melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut. HMI di tingkat cabang dalam hal ini juga dituntut untuk menggembleng dirinya dengan mental kepemimpinan, kompetensi di suatu bidang, dan pengetahuan luas untuk menjadi insan mutamaddin (manusia berperadaban yang arif dan tegas dalam membuat keputusan karena menguasai banyak bidang).
Artikulasi perjuangan HMI pada tataran politik sektoral dapat dilakukan oleh HMI dengan cara melakukan penyusupan pada berbagai instrumen politik diluar partai politik yang telah ada. Ini bisa dilakukan HMI dengan cara memasukkan kadernya ke Lembaga-lembaga negara yang independen (baik ditingkat lokal maupun nasional). Disamping itu, sudah saatnya HMI kembali melirik lembaga profesi yang berbasis kapasitas dan kompentensi serta profesionalitas, menjadi sebuah kekuatan penekan yang efektif bagi perubahan sosial. Tentu ini menuntut penguasaan kader-kader terhadap wacana-wacana akademik.
Untuk meningkatkan daya ekspansi dari gerakan politik yang berbasis pada kekuatan lokal dan kekuatan sektoral tersebut, maka HMI dapat mendorong terbentuk dan atau diakomodasinya partai politik lokal dalam sistem perpolitikan nasional untuk menjadi sarana mendesakkan kepentingan politik HMI. Tentu hal ini keberadaan partai politik lokal harus berbeda dari partai politik yang dikenal selama ini hanya mengeksploitasi masyarakat.
Inilah diaspora politik HMI, sebuah gerakan politik yang akan mendesakkan perubahan mendasar pada masyarakat dengan tetap memperhatikan lokalitas masing-masing daerah dan menawarkan solusi yang berbasis pada kapasitas dan kompentensi serta profesionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Secara riil politik, gerakan ini menjadikan Lembaga-lembaga negara yang independen (baik ditingkat lokal maupun nasional) dan partai politik lokal sebagai wadah yang paling strategis.
.....menuju Masyarakat Tamaddun
Tamaddun berasal dari akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti "kota" atau "peradaban". Kata madany kemudian mengalami penambahan ta’ di awal dan tasydiid pada ”dal” untuk menguatkan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud dengan masyarakat tamadduni merupakan peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.
Mayarakat Tamaddun sebagai cita masyarakat ideal HMI diasumsikan bekerja pada tiga level, Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.
Wonosobo, 15-18 Februari 2007
No comments:
Post a Comment