Menarik memang untuk diperhatikan pembelaan Jalaluddin Rumi terhadap Mansur al-Hallaj, seorang sufi yang dikenal dengan paham hulul dan ungkapan "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan). Rumi melukiskan istighraq (terserap ke dalam Tuhan) sebagai pengalaman spiritual yang sering disalahpahami orang banyak, padahal pengalaman adalah penegasan wujud hakiki Tuhan sekaligus pengakuan kerendahan hati yang terdalam sang hamba. Apabila seekor lalat tercelup kedalam madu, demikian kata Rumi, seluruh anggota tubuhnya terserap oleh keadaan yang sama, dan ia tak dapat bergerak. Demikian pula istilah istighraq (terserap ke dalam Tuhan) digunakan untuk orang yang tidak mempunyai wujud yang sadar atau gerak inisiatif. Setiap tindakannya bukan miliknya. Apabila ia masih meronta-ronta dalam air, atau apabila ia berseru, "Oh, aku tenggelam," ia tidak bisa dikatakan berada dalam keadaan terserap. Inilah yang dimaksudkan dengan kata-kata "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan). Orang menganggap itu adalah pengakuan yang sangat sombong. Padahal pengakuan yang benar-benar sombong adalah pengakuan yang mengatakan "Ana al-'abd" (Aku adalah hamba), sedangkan "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan) adalah sebuah ungkapan sebuah kerendahan hati yang dalam. Orang yang mengatakan "Ana al-'abd" (Aku adalah hamba) menegaskan dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan; tetapi orang yang mengatakan "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan) membuat dirinya bukan-wujud dan menyerahkan dirinya dan seraya berkata "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan), yakni "Aku tiada, Dia-lah segalanya: tidak ada wujud selain wujud Tuhan." Inilah lubuk yang paling dalam kerendahan hati dan kehinaan diri.
Apabila ia (seorang Sufi) jatuh ke dalam tong pencelup warna-Nya (Tuhan Yang Maha Mutlak), dan dengan demikian ia terserap ke dalam shibghat al-Lah (QS 2:138), "warna celupan Allah," yang di dalamnya semua warna lenyap dan yang ada hanyalah putih bercahaya, dan karena itu ia berkidung, "Akulah tong." Apabila engkau berseru kepadanya, "Munculah," ia akan mengerang dengan terpesona, "Akulah tong: jangan salahkan Aku." Ungkapan "Akulah tong" serupa dengan ungkapan "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan). Rumi melukiskan pula bahwa sang Sufi bagaikan sebatang besi yang, karena dipanaskan dalam api, menjadi merah menyala, sehingga besi itu akhirnya berkata, "Akulah api." Besi itu mempunyai warna api, meskipun ia adalah besi.
Warna besi hilang dalam warna api: besi membanggakan kehebatannya, meskipun
sebenarnya ia diam.
Ia menjadi mulia karena warna dan sifat dasar api: ia berseru, "Aku adalah Api, aku adalah api."
Rumi menjelaskan-pula perbedaan antara "Ana al-Haqq" (Aku adalah Tuhan) yang diucapkan oleh al-Hallaj dan "Ana Rabbukum al-A'la" (Aku adalah Tuhanmu yang Tertinggi) yang diucapkan oleh Fir'aun (Ramses raja Mesir). Al-Hallaj sendiri telah membandingkan situasinya dengan situasi Fir'aun dan iblis, yang keduanya berani menggunakan kata "Ana" (Aku). Di hadapan Adam yang baru diciptakan, iblis berkata, "Aku lebih baik daripada dia" (QS 38:76). Dengan menuturkan kisah ini, Rumi mengatakan bahwa ucapan al-Hallaj itu adalah cahaya sedangkan ucapan Fir'aun itu adalah tirani.
"Aku" Mansur al-Hallaj tentu saja rahmat;
"Aku" Fir'aun tentu saja terkutuk!
No comments:
Post a Comment