Friday, June 22, 2007

Menanam Pohon Tanpa Akar

Belum lama ini beberapa pejabat dan pengamat menyampaikan kekhawatiran tentang kemungkinan terulangnya kembali krisis ekonomi di Indonesia, dengan melihat indikasi-indikasi ekonomi dan finansial yang mirip dengan yang terlihat menjelang Krisis Asia 1997-1998.

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah diskusi akademis di Tokyo sewindu silam, ketika seorang peserta diskusi menyatakan, Krisis Asia sampai batas tertentu merupakan pembuktian dari nubuat teori dependensi (dependency theory), yang intinya menyatakan bahwa posisi negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral countries) sangat lemah dan rentan (fragile) sehingga sewaktu-waktu dapat diruntuhkan oleh dinamika dan fluktuasi dalam sistem kapitalisme global.

Kerentanan itu terutama disebabkan oleh ketergantungan finansial ekstrem negara-negara tersebut terhadap para pemilik modal di negara-negara maju. Dalam ungkapan Robert Packingham, "The more a nation’s economy is penetrated by loans, investment, aid, and reliance on external trade, the more dependent the nation is" (Packingham, 1998:137).

Teori yang menjadi arus utama dalam ilmu sosial dekade 1970-an ini jelas bukan tanpa kelemahan. Solusi radikal yang ditawarkannya, revolusi dan pemutusan mata rantai ekonomi domestik terhadap sistem kapitalisme global, misalnya, jelas lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Negara-negara Asia Timur, seperti Korsel, China dan Taiwan mampu melakukan percepatan kemajuan ekonomi bukan dengan menutup diri, namun justru dengan strategi industrialisasi berorientasi keluar (outward oriented industry), dengan penguatan ekonomi domestik yang disertai pemanfaatan peluang-peluang yang ada di pasar global.

Dependensi dan otonomi

Sebaliknya, negara-negara komunis di Eropa Timur justru ambruk di pengujung 1980-an karena pemerintahnya yang terlalu ideologis, tertutup dan secara ekstrem mengabaikan mekanisme pasar. Persoalannya bukan terletak pada ideologi liberalisme atau sosialisme, tetapi pada ketahanan ekonomi sebuah bangsa, yang dapat memastikan bahwa fluktuasi ekonomi global tidak dengan semena-mena dapat menggoyahkannya. Ibarat pohon, pembangunan di sebuah negara harus dapat menancapkan akar yang kuat secara ekonomi dan sosial. Tanpa penguatan ke dalam, mustahil sebuah bangsa bisa eksis dalam kompetisi global.

Di Korsel, keterlambatan memulai industrialisasi tidak menghalangi pemerintahnya untuk mengembangkan daya saing industri di sektor manufaktur. Hasilnya, produk otomobil dan elektronik Korsel seperti Samsung, Hyundai, dan LG jelas bukan hanya jago kandang, tetapi pemain tangguh di Asia dan bahkan di level antarbenua.

Seperti negara-negara Asia lainnya, awalnya Korsel memiliki ketergantungan yang tinggi pada modal Jepang dan bantuan ekonomi AS. Yang patut dicermati adalah bagaimana negeri ginseng itu secara sistematis mengurangi ketergan- tungan pada modal dan teknologi asing melalui kebijakan industri (industrial policy) yang runtut dan determinatif.

Meminjam ungkapan Dudley Seers (1981), ketergantungan ekonomi tidak dengan sendirinya menutup ruang bagi suatu negara untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Yang harus dipastikan adalah terjaganya otonomi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan guna meletakkan fondasi ekonomi nasional yang tahan uji. Dependensi atau ketergantungan pada utang dan modal asing harus diimbangi dengan kemampuan memperkokoh, memperdalam dan mengintegrasikan struktur ekonomi dan industri bangsa ini.

Dalam waktu yang sama, sebuah negara kapitalis "pinggiran", seperti Indonesia harus dapat mengubah tantangan dalam sistem kapitalisme global menjadi peluang yang dimanfaatkan secara realistis dan kreatif sehingga negara itu tidak terus- menerus menjadi "bonsai" di kancah antarbangsa. Dalam tata pembagian kerja internasional (international division of labour) harus diupayakan suatu strategi pembangunan yang secara sistematis dapat menggeser keunggulan komparatif Indonesia dari tenaga kerja murah, bahan mentah, dan kekayaan alam kepada sebuah ekonomi yang didominasi oleh SDM yang terampil, produksi manufaktur dan pemilikan sektor ekonomi berdaya saing tinggi.

Akar yang rapuh

Negara-negara seperti Korsel, Jepang dan Malaysia melakukan liberalisasi ekonomi pada saat struktur ekonomi dan industri mereka sudah cukup tangguh. Di sisi sosial telah tercipta pula kelas menengah yang terdiri dari industriawan nasional dan golongan profesional yang mampu menjadi tulang punggung ekono- mi bangsa. Dalam situasi krisis, saat negara-negara tersebut berhadapan dengan tekanan-tekanan fluktuasi ekonomi global, kelas menengah tersebut menjadi semacam "pakubumi" (mainstay) yang secara faktual menopang daya tahan ekonomi.

Adalah naif untuk memandang investor asing sebagai sejenis "sinterklas agung" bagi ekonomi bangsa yang sedang terpuruk ini. Pada masa krisis, "kesetiaan" investor asing pantas diragukan, seperti tecermin dari hengkangnya beberapa perusahaan raksasa (MNC) asing dari bumi pertiwi semasa Krisis Asia. Wajar saja, logika modal asing memang logika pencarian profit, ia mengalir ke arah mana keuntungan lebih besar dapat diraih.

Alih-alih terus berjibaku mengambil hati para investor asing, perlu pula dipikirkan bagaimana strategi untuk mewujudkan struktur ekonomi domestik yang lebih "dalam" dan kokoh, dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal yang ada, termasuk SDM di sektor informal, UKM dan sumber daya kelautan yang tetap potensial. Harus ada masanya kelak negara-negara lain menunggu investasi kita, dan bukan kita yang terus gelisah menunggu investasi mereka.

Betapapun kita telah terikat dengan banyak perjanjian perdagangan bebas di level regional dan global, tentulah masih tersedia rooms for maneuver untuk melindungi rakyat lemah dan memperkuat basis ekonomi domestik. Adalah penting untuk memelihara ruang otonomi dalam menentukan arah kebijakan pembangunan agar nasib negeri ini tidak lagi lebih banyak ditentukan oleh sesuatu atau seseorang "di luar sana".

Memang, tak perlu hantaman badai untuk menumbangkan pohon dengan akar yang rapuh. Cukup angin semilir. Cukup jujurkah kita untuk menyadarinya?



By : Syamsul Hadi

No comments: