Tuesday, June 12, 2007

Revolusi Kesadaran; Menjawab tantangan dan probelmatika Modernitas

"Hai Orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan dan bersaksilah demi Allah –walaupun kesaksianmu akan merugikan dirimu, oang tuamu, atau sanak keluargamu, dan tidak peduli apakah yang tertuduh itu kaya atau miskin, betapapun juga, Allah lebih memiliki Prioritas"

(QS. 4:135)



Persoalan modernitas telah menjadi satu fenomena baru bagi manusia yang hidup dizaman ini. Disaat mayoritas kita (Umat Islam) masih larut dalam perdebatan-perdebatan teologi klasik, tuntutan akan solusi komprehensif untuk menjawab problematika modernitas-pun kian terasa.

Modernitas yang dalam konsep waktu dipahami sebagai "era baru" ternyata mengandung polemik yang kompleks ketika ia dipahami sebagai suatu konsep epistemis (kesadaran baru). modernisme sebagai idea yang banyak diwarnai pandangan dunia barat, secara historis berjalan sejajar dengan pandangan filosofi khas barat. Pandangan filosofi ini melahirkan satu sikap yang universal terhadap dunia material. Istilah Van Pearsen, sikap ini merupakan peralihan dari alam pikir ontologis ke alam pikir fungsional, atau dalam kriteria Comte, terjadi peralihan dari tahap metafisik ke tahap positif.

Aspek universalisme dalam muatan modernitas menggiring manusia pada subjektivitas yang relatif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu harus diuji dengan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik dan kesahihan tradiasi dipertanyakan atas alasan-alasan kebaikan futuristik.

Modernisme sesungguhnya tidak hanya mengacu pada proses pembebasan kesadaran, tetapi juga pada proses perubahan dan pembangunan pranata-pranata ilmu, teknologi, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Perubahan tersebut diarahkan (dibebaskan) dari sistem legitimasi supra-empirik yang transendental kepada sikap fungsional yang terarah ke dunia empirik, yaitu demi penegakan hidup manusia didalam dunia benda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peradaban modern adalah berciri kebendaan dan keinderawian (materialistik). Pada sisi lain, pandangan materialistik yang dilandasi instrumen universalisme ini telah melahirkan satu jargon baru di era ini yang disebut globalisasi.

Globalisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai "segala sesuatu yang terjadi dimana pun yang dapat mempengaruhi kejadian-kejadian lain di belahan dunia lainnya". Globalisasi telah menciptakan ruang dan waktu tidak lagi menjadi permasalahan berarti bagi aktivitas manusia. Apa yang digambarkan oleh Willy Brant sebagai "dunia yang satu", sekarang semakin mendekati kenyataan. Seluruh dunia tumbuh secara bersama-sama, namun pada saat yang sama dunia juga berada dalam bahaya kehancuran karena peluang dan resiko yang ditimbulkan oleh globalisasi tumbuh secara tidak seimbang, seperti dampak dari pemanasan global (global warming). Selain akan memarjinalkan otoritas kekuasaan dan kebijakan negara, globalisasi juga memiliki potensi perkembangan yang negatif seperti dampak-dampak independensi transnasional (ketergantungan antar bangsa), hegemoni kekuasaan, monopoli pasar, kriminalitas dan arus gelombang liberalisasi yang luar biasa.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, muncul satu fenomena "tidak kritis" dalam merespon isu-isu diatas. Istilah modernitas telah menjadi sangat dekat dengan seluruh lapisan masyarakat, namun kemudian tidak diiringi dengan pemahaman yang memadai terhadap muatan ide dan nilai yang dikandungnya. Apresiasi yang bersifat reaksioner dan cenderung latah dalam menyikapi dinamika modernitas telah membawa kita pada satu tatanan sosial hegemonik dan eksploitatif yang berkiblat pada barat. Bukankah ini tidak ada bedanya dengan kolonialisme atau penjajahan dengan "gaya baru" (Neo-Imperialisme)?

Hassan Hanafi melukiskan bahwa “orang-orang yang dijajah, merasa tidak punya tanggung jawab, mereka selalu merasa serba salah dan skeptik. Secara psikologis, semangat mereka telah habis. Massa islam telah menjadi kolonisasi ekonomi dan monopoli, dan mereka telah dilumpuhkan. Hasilnya, adalah keterbelakangan, penindasan, kediktatoran, tersumbatnya kebebasan dan demokrasi dan meluasnya kemiskinan.

Dalam ajaran Islam, seluruh kenyataan sosial harus terangkum dalam totalitas kesadaran bahwa tidak ada Tuhan atau karak­teristik pengikat apapun selain Allah. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan akhir dari keseluruhan proses sosial adalah keridhaan Allah SWT. Inilah revolusi yang akan membangun sebuah peradaban sejati yang berlandaskan prinsip tauhid.

Mahasiswa sebagai agent of Change memiliki peranan penting serta tanggung jawab moral untuk melakukan penyadaran ini. Kemajuan serta nilai peradaban ini sangat ditentukan oleh kualitas ijtihad dari setiap generasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kondisional. Wallahu'alam


No comments: