Wednesday, June 14, 2006

Mari Menjemput Matahari

Januari 2006 Jemaah haji dari Indonesia mulai berdatangan ke tanah air. Mereka telah menunaikan mahkota ibadah, rukun Islam yang kelima untuk memenuhi panggilan Allah ke Baitullah selama kurang lebih satu bulan. Ini sekaligus menandai bahwa bulan Dzulhijjah akan segera berlalu. Dzulhijjah, adalah bulan penghujung dalam kalender Hijriyah. Sebagai penghujung, ia merupakan muara perenungan dan perhitungan (muhasabah) atas apa yang telah kita perbuat selama satu tahun berlalu.

Banyak hal yang telah kita lewati, waktu pun terus bergulir dan tak akan pernah kembali. Namun sudahkah kita memaknai dan mewarnainya dengan ragam aktivitas yang berarti? Allah mengingatkan kita dalam al-Qur'an: "Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur" (Q.S. al-Furqon 25:62).

Perputaran waktu adalah silih bergantinya kesempatan, kesempatan bagi mereka yang mau mengambil pelajaran dan kesempatan bagi mereka yang mau berkreativitas sebagai rasa syukur dari segenap nikmat yang dikecapnya. Dengan bercermin pada segenap peristiwa akan menuntun kita pada perbaikan dan peningkatan di waktu-waktu mendatang. Ada ungkapan manis "menyelam ke masa silam untuk terbang ke masa yang akan datang" adalah motivasi untuk menimbang dan memperhatikan apa yang telah dipersiapkan untuk hari esok, untuk terus menata kehidupan ke arah yang lebih baik. "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari sekarang, karena hari kemarin adalah sejarah, hari ini adalah perjuangan dan hari esok adalah pengharapan."

Di sisi yang lain, waktu juga adalah peluang bagi orang yang mau bersyukur. Syukur dengan segala maknanya adalah mengarah kepada pemanfaatan segala potensi yang dianugerahkan sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Tiadalah waktu tersia untuk hal-hal yang tidak berguna. Itulah makna syukur atas segala karunia-Nya, sehingga syukur adalah nafas perjuangan dan kerja keras. Mungkin saja kesalahan kita yang terbesar adalah karena mengabaikan terhadap rasa syukur ini. Bukankah janji-Nya: "jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih." (Q.S. Ibrahim 14:7).

Cobaan silih berganti terus mengahadang negeri ini seakan Tuhan terus mengingatkan kita. Memang, bencana Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara adalah bencana Nasional. Namun kita tidak boleh larut dalam tangisan tsunami. Belum larut kesedihan dan tangisan kita di Nagroe Aceh Darussalam dan Nias, badai bencana kembali mengguncang negeri ini. Gempa dengan 5,9 Skala Ritcher kembali mengguncang negeri ini di sabtu pagi kelabu. DI Yogyakarta dan Jawa Tengah-lah yang menjadi korbannya kali ini. Kejadian inipun mengakibatkan ribuan orang harus kehilangan sanak saudara serta rumah mereka, semua ini adalah ujian bagi keimanan kita. Ini hanya musibah dan semua ini hanyalah titipan, kita tidak boleh larut dengan kesedihan. Sudah saatnya kita berhijrah dari Indonesia menangis kepada Indonesia tersenyum.

Sinar Matahari di depan mata mari kita singsingkan lengan baju untuk terus maju dengan harapan baru. Saatnya kita berbenah menata cita dan asa. Cobaan berat yang sudah kita alami akan segera berlalu. Ya, semakin pekat malam menghadang maka semakin dekat pagi menjelang. Mari kita jemput matahari dengan penuh sinar harapan. Insyaallah.

By : Buddy

1 comment:

Anonymous said...

Subhanaallah