Wednesday, April 18, 2007

Demokrasi Kertas!

AGENDA penertiban kota kembali menunjukan taringnya. Dibayang-bayangi penertiban oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Yusuf si pedagang bubur mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kompas, 27/3). Satu nyawa pun hilang sia-sia di bawah tatapan mata ketertiban umum. Sebuah frasa magis yang senantiasa menyihir para pengambil kebijakan di lingkup pemerintah daerah.

Mereka lupa bahwa di balik frasa itu bersembunyi sebuah kalkulasi moral yang pada tataran kebijakan berpotensi menggerus hak dasar. Si pedagang bubur memiliki hak atas pekerjaan yang mesti dijamin oleh sebuah rezim demokratis. Hak yang sayangnya dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan yang gila angka.

Siapakah si pedagang bubur di mata pengambil kebijakan? Dia adalah bagian dari kaum urban yang mencari nafkah di sektor informal. Sosok yang harus senantiasa ditertibkan. Alasannya sederhana saja. Mereka bukan subyek pajak yang berkontribusi bagi pendapatan daerah. Alih-alih berkontribusi, mereka malah menambah banyak persoalan bagi administrasi kota besar seperti Jakarta. Angka menunjukkan kebesarannya di hadapan hak. Absennya kontribusi revenue diterjemahkan sebagai hilangnya hak. Oleh sebab itu, mulai dari pedagang kaki lima sampai penjual bubur, semuanya mesti ditertibkan demi terciptanya a good society.

ARGUMEN pengambil kebijakan senantiasa berbunyi, "Mereka sebenarnya bisa bekerja di sektor formal atau kewirausahaan." "Kami sudah menyediakan balai latihan kerja untuk mengasah keterampilan mereka guna memasuki dunia kerja baru." Persoalannya, argumen itu tak bersuara di benak si pedagang bubur. Baginya, satu-satunya yang dia ketahui adalah berdagang bubur. Di tengah kondisi yang semakin sulit dewasa ini, dia tak bisa berpikir untuk beralih kerja. Beralih kerja adalah pertaruhan yang tak berani diambil si pedagang bubur. Kebutuhan hidup memaksa dirinya untuk bekerja apa saja demi periuk nasi rumah tangganya.

Pekerjaan adalah pertama-tama sebuah pilihan. Pilihan dimungkinkan karena ada kemampuan. Ini yang tidak dimiliki kaum urban di perkotaan. Kaum urban adalah mereka yang tergusur dari kehidupan agraris akibat industrialisasi yang makin masif. Dengan kemampuan seadanya, mereka datang ke kota untuk mengadu nasib. Tingkat pendidikan mereka yang rendah berkorelasi dengan minimnya kemampuan. Itu menyebabkan mereka tak mampu berkompetisi memasuki sektor formal. Kaki lima dan pedagang keliling adalah satu-satunya pilihan pekerjaan yang mungkin.

Bukan hanya itu. Bagi mereka sektor formal pun tak menjanjikan kesejahteraan. Dengan upah di bawah UMR dan kondisi kerja yang memprihatinkan, mereka masih lebih memilih bekerja di sektor informal. Bagaimana dengan kewirausahaan? Itu menuntut modal. Modal mengandaikan kredibilitas peminjam. Bank konvensional akan berpikir dua kali guna meminjamkan uang pada kaum urban tak terdidik. Kepercayaan bank konvensional sangat bertumpu pada kredibilitas peminjam yang didasarkan pada tingkat pendidikan. Eksperimen Gramen Bank yang digagas ekonom Muhammad Yunus belum diadopsi praktisi perbankan di Indonesia.

Amartya Sen benar saat berhipotesis bahwa kemiskinan bukan karena ketakpemilikan barang (resource), tetapi ketiadaan akses pada barang. Kaum urban sektor informal bergulat dengan kemiskinan karena tiadanya akses pada pekerjaan yang layak. Ini artinya, pemerintah belum menjamin kesetaraan akses atas pekerjaan bagi warga negaranya. Warga negara hanya dipersepsi sebagai revenue raiser, bukan subyek yang memiliki sederet hak dasar.

Sekali lagi, angka mengalahkan hak. Kalkulasi moral pengambil kebijakan acuh terhadap kepedihan Yusuf si pedagang bubur saat gerobaknya disita. Gerobak seharga Rp 1 juta sebagai satu-satunya penyambung hidup keluarga di tengah hidup yang semakin sulit.

Persoalan si pedagang bubur dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan di pemerintah daerah. Logika ketertiban umum semata memandang si pedagang sebagai pengganggu yang tiada harganya. Mau apa lagi? Akses atas pekerjaan (diklaim) sudah terbuka lebar. Tidak ada alasan lagi bagi kaum urban sektor informal. Namun, pada kenyataannya, terjemahan praktis keterbukaan akses adalah program padat karya berupah minimal dan aksidental. Konstrain struktural, seperti kemampuan, pendidikan, dan pendapatan, adalah variabel yang luput dari kalkulasi pengambil kebijakan.

Ini adalah potret kekuasaan yang buta perbedaan. Kekuasaan yang mengejar segala sesuatu yang general (umum). Manusia diratakan di hadapan singgasana kebijakannya. Dilucuti variabel sosial, ekonomi dan budayanya kemudian dipasung dalam kategori manusia individu dengan segala hak dan kewajibannya. Persoalannya, manusia tidak pernah lepas total dari segala variabel tersebut. Si pedagang bubur bukan manusia umum. la adalah manusia konkret dengan segala kebutuhan yang jugakonkret. Variabel sosio-ekonomi sangat berpengaruh pada keterjaminan hak-hak dasar bagi dirinya. Ini semua bermuara pada sebuah pertanyaan reflektif. Apa artinya demokrasi bagi si pedagang bubur? Perkenankan saya menjawabnya dengan gemas, "Demokrasi adalah sederet liak dasaryang tergurat di atas kertas!" Sederet hakyang sepertinya mengambang di atas pergulatan hidup konkret yang sarat masalah. Hak tidak memiliki arti apa-apa jika tak bisa dinikmati. Hak adalah kebutuhan konkret, bukan sesuatu yang bersembunyi dalam pasal-pasal. Hak atas pekerjaan baru bermakna bagi si pedagang bubur saat dia benar-benar dapat menikmatinya.

Nasib si pedagang bubur membuat saya curiga akan kekosongan substansi yang diderita demokrasi republik ini. Sebuah demokrasi di atas kertas yang semata bersibuk dengan debat legalitas tanpa menengok dunia konkret. Kita berhadapan dengan pemerintahan demokratis yang gemar menertibkan dan bersembunyi di balik payung "demokrasi kertas!". Alih-alih menjamin kesetaraan akses atas pekerjaan, pemerintah (baca: pemerintah daerah) mengabaikan bahkan melanggarnya berulang kali.

APA yang harus dilakukan? Ini menuntut jawaban konkret. Sebelum dijawab, ada satu yang mesti diingat. Kebijakan penertiban tidak memecahkan masalah. Masalah kemiskinan kota justeru semakin menjadi dan pada akhirnya berujung pada instabilitas sosial.

Persoalan struktural yang mengepung kaum urban sektor informallah yang mesti dibenahi. Ini menuntut kebijakan menyeluruh yang menyapu dimensi pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya. Kebijakan bukan bertujuan saja mengasah kemampuan, tetapi juga memperluas lingkup kebebasan kaum urban.

Pemerintah bisa mulai dengan program pendidikan gratis bersertifikat setingkat SMA. Itu bisa membuka peluang kaum urban untuk memilih pekerjaan di sektor formal. Namun, ini mesti dibarengi dengan regulasi soal upah dan kondisi kerja yang layak di sektor formal. Pemerintah juga bisa menstimulasi mereka untuk mendirikan koperasi. Modal awal bisa dipinjamkan pemerintah dan akan dicicil dari potongan sisa hasil usaha tiap tahunnya.

Itu adalah sebagian opsi dari sekian banyak opsi yang bisa dijalankan guna menjamin akses atas pekerjaan bagi kaum urban. Keterjaminan akses yang menjamin bahwa demokrasi bagi kaum urban bukanlah demokrasi kertas. Ketertiban umum bukan satu-satunya pemecahan masalah. Itulah pelajaran berharga dari Yusuf si pedagang bubur..!!

By: Donny Gharal

No comments: