Wednesday, April 18, 2007

Perdebatan Ekonomi Politik : Konflik Kepentingan Dalam Penyusuan APBN

Pemahaman akan hubungan yang sangat erat antara ekonomi dengan politik akan sangat berguna sekali dalam memahami akar permasalahan negara yang sebenarnya tidak jauh dari persoalan ekonomi dan politik. Pemahaman tentang hal ini saya kira akan sangat berguna untuk meredam atau paling tidak mengurangi skala perdebatan di antara beberapa elemen negara ketika muncul kebijakan baru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun DPR. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman ketika pemerintah menelurkan kebijakan ekonomi, maka akan selalu terjadi konroversi antara ekonomi satu dengan ekonom lain maupun antara ekonom dengan politisi yang pada akhirnya akan menggiring perdebatan itu sampai pada perdebatan publik. Ketika perdebatan sudah sampai di tingkat publik, apalagi eskalasinya semakin meningkat, tentu ini akan menyebabkan dampak yang buruk bagi iklim sosial politik. Demonstrasi, kekerasan bahkan kerusuhan secara empirik merupakan buntut dari perdebatan ditingkat publik tadi.

Untuk mengeliminir hal demikian, pemahaman tentang hakikat hubungan ilmu politik (political science) dengan ilmu ekonomi (economics) harus tertanam pada benak setiap elemen bangsa khususnya ekonom dan politikus serta masyarakat pada umumnya. Tidak dipungkiri bahwa ekonomi dan politik memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga ilmu politik dan ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan sebagai satu bidang keilmuan. Jika dirunut dari sejarah hal ini dapat dibuktikan bahwa ilmu politik dan ilmu ekonomi pernah masuk dalam satu bidang ilmu tersendiri yaitu ekonomi politik (political economy). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu tersebut kemudian memisahkan diri menjadi dua lapangan yang mengkhususkan perhatian terhadap tingkah laku manusia yang berbeda-beda: ilmu politik (Political science) dan ilmu ekonomi (economics). Akan tetapi, pemisahan itu tidak dapat menutupi hakikat hubungan yang erat antara dua disiplin tersebut. Politik menentukan kerangka kerja aktivitas ekonomi dan menyalurkanya kedalam pengaturan yang ditujukan untuk melayani kepentingan kelompok dominan, disisi lain proses ekonomi dengan sendirinya mengarah pada distribusi kekuasaaan dan kekayaan, dimana kekuasaaan adalah pusat dari kajian ilmu politik.

Dengan memahami hakikat tersebut setidaknya kita sebagai masyarakat di luar pengambil kebijakan (decision maker) mampu berpikir kritis dan tidak emosional dalam menanggapi setiap kebijakan yang ditelurkan oleh elemen yang berwenang seperti pemerintah dan DPR. Disadari atau tidak, dalam setiap pengambilan keputusan tentu diawali sebuah pergulatan intelektual dan dan tidak lepas pula dari perdebatan politis sebagai wujud dari adanya perbedaan kolompok dalam tubuh pengambil kebijakan. Dan perlu disadari bahwa dibelakang setiap variabel ekonomi (jika kebijakan itu adalah kebijakan ekonomi) akan dijumpai sejumlah konstituen politik (political constituents), yang tidak akan mau begitu saja dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mereka nilai tidak menguntungkan kepentingan (interest). Ini adalah gejala yang wajar dalam sistem politik berkerangka demokrasi. Karena memang output dari demokrasi ditentukan aktor yang terlibat dalam memikirkan dan memformulasikan setiap kebijakan (baca: kepentingan). Aktor-aktor tersebut antara lain adalah orang-orang yang berkecimpung di partai politik yang secara teori adalah representasi dari aktor utama dalam demokrasi yaitu rakyat.

Salah satu contoh pergulatan intelektual dan kepentingan yang melibatkan paling tidak dua disiplin ilmu (politik dan ekonomi) adalah dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Biasanya penyusunan APBN akan dimulai bulan Mei dan akan di sahkan pada bulan Agustus pada rapat paripurna DPR setiap tahunnya. Perdebatan ini terjadi hampir setiap tahun dan akar pemasalahan tidak jauh dari permasalahan defisit anggaran yang kian menjadi-jadi. Seberapa besar defisit anggaran yang dapat ditoleransi, berapa besar asumsinya, bagaimana alternatif pembiayaannya, seberapa besar alokasi untuk membiayai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya? Itulah paling tidak derivasi dari akar masalah tersebut. Tentu masalah ini tidak akan selesai jika masing-masing pihak yang berkepentingan mencari solusi hanya dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Ekonom bersikeras dengan analisis ekonomi murninya dan politisi tetap teguh pada posisi politisnya. Hal ini harus dicari solusi yang sifatnya win-win solution bukannya win-loose solution. Dan memadukan kesepahaman dua disiplin ilmu tadi adalah alternatif terbaik. Hal ini terpaksa dilakukan karena masalah sudah bergeser menjadi masalah yang sifatnya normatif.

Seperti kita ketahui bahwa dalam penyususan anggaran salah satu asas yang perlu diperhatikan adalah asas keadilan (Justice). Ketika berbicara keadilan maka tentu ini tidak bisa dipandang murni dari sudut ilmu ekonomi saja. Keadilan dalam hal ini tidak mungkin diperlakukan sebagai masalah-masalah yang , yang dapat diselesaikan secara teknokratis. Ketika bebicara tentang keadilan politically neutral maka kita berbicara dengan berbagai macam kepentingan dan itu artinya secara langsung, kita mau-tidak mau masuk ke dalam wilayah politik. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa dibelakang setiap variabel ekonomi akan dijumpai sejumlah konstituen politik. Dan setiap konstituen politik akan akan menterjemahkan keadilan sesuai dengan aspirasinya yaitu ketika kepentingan dari masing-masing konstituen terpenuhi.

Dalam permasalahahan APBN ini, konstituen politik dapat di jabarkan berdasarkan pos-pos dalam anggaran, misalnya pos pengeluaran. Contoh mudahnya, untuk pos Pengeluaran rutin: ada kepentingan pemeritah, pegawai negari sispil. Pengeluaran pertahanan dan keamanan ada kepentingan pemerintah, militer, polisi dan sebagainya. Pengeluaran subsidi pupuk ada kepentingan petani, HKTI, industri pupuk, konsumen hasil pertanian dan sebagainya. Setiap kepentingan tadi masuk ke dalam sistem politik melalui kendaraan politik (partai politik) yang dirasa mampu memperjuangkan kepentingannya. Sehingga perdebatan dalam penyusunan anggaran mengerucut hingga ke perdebatan di tingkat elit partai yang duduk di pemerintahan atau parlemen.

Salah satu contoh perdebatan nyata akhir-akhir ini adalah masalah realisasi 20 % anggaran pendidikan. Jika dipikirkan secara mendalam kita akan mengetahui alasan kenapa pemerintah terkesan setengah hati dalam merealisasikan 20 % anggaran tadi, yang sudah menjadi amanah konstitusi. Bagi pemerintah, secara ekonomi realisasi anggaran pendidikan tersebut tidak masuk akal, mengingat ini sangat memberatkan APBN dan mengancam kesinambungan fiskal. Saat ini sekitar 30 % anggaran setiap tahun tersedot untuk membayar utang beserta bunganya. Jika anggaran pendidikan 20% direalisasikan untuk menjaga eksistensi negara apakah mungkin hanya mengandalkan 50 % anggaran? Mungkin ini pertanyaan sederhananya. Hal ini ditambah fakta lagi bahwa institusi pendidikan belum menujukkan kesipapan untuk memangku amanah tersebut. Institusi pendidikan kita masih terlalu lemah. Korupsi di institusi pendidikan masih belum bisa ditanggulangi. Jika anggaran 20% terealisasi dengan segera ini akan menjadi bumerang bagi pembangunan Indonesia khususnya sektor pendidikan. Lalu pertanyaannya kenapa orang-orang atau elemen yang memperjuangkan realiasi anggaran tersebut masih tetap bersikeras? Tentu jawaban ini, jika dikupas tidak jauh dari masalah politik.

Jadi, pemahaman tentang permasalahan ini tidak lepas dari pemahaman antara ekonomi dan politik. Dan setiap permasalahan baik ekonomi, politik, sosial dan sebagainya tidak terlepas dari masalah di sektor lain. Sehingga analisis pemecahan masalah sangat diperlukan pengetahuan interdisiplener. Wallahu'alam

Daftar Pustaka
• Budiharjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 1998.
• Gilpin, Robert. The Nature of Political Ekonomy.
• Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. Tentang Pengaruh Konstituen Politik terhdadap Penyelesaian Permasalahan-Permasalahan Ekonomi, Bahan Kuliah Ekonomi Politik, FEUI, 2006.
• Sadli M, Bila Kapal Punya Dua Nahkoda (Essay Politik Masa Transisi), Freedom Institute, jakarta , 2002

No comments: