Wednesday, April 18, 2007

Perdebatan Ekonomi Politik : Konflik Kepentingan Dalam Penyusuan APBN

Pemahaman akan hubungan yang sangat erat antara ekonomi dengan politik akan sangat berguna sekali dalam memahami akar permasalahan negara yang sebenarnya tidak jauh dari persoalan ekonomi dan politik. Pemahaman tentang hal ini saya kira akan sangat berguna untuk meredam atau paling tidak mengurangi skala perdebatan di antara beberapa elemen negara ketika muncul kebijakan baru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun DPR. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman ketika pemerintah menelurkan kebijakan ekonomi, maka akan selalu terjadi konroversi antara ekonomi satu dengan ekonom lain maupun antara ekonom dengan politisi yang pada akhirnya akan menggiring perdebatan itu sampai pada perdebatan publik. Ketika perdebatan sudah sampai di tingkat publik, apalagi eskalasinya semakin meningkat, tentu ini akan menyebabkan dampak yang buruk bagi iklim sosial politik. Demonstrasi, kekerasan bahkan kerusuhan secara empirik merupakan buntut dari perdebatan ditingkat publik tadi.

Untuk mengeliminir hal demikian, pemahaman tentang hakikat hubungan ilmu politik (political science) dengan ilmu ekonomi (economics) harus tertanam pada benak setiap elemen bangsa khususnya ekonom dan politikus serta masyarakat pada umumnya. Tidak dipungkiri bahwa ekonomi dan politik memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga ilmu politik dan ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan sebagai satu bidang keilmuan. Jika dirunut dari sejarah hal ini dapat dibuktikan bahwa ilmu politik dan ilmu ekonomi pernah masuk dalam satu bidang ilmu tersendiri yaitu ekonomi politik (political economy). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu tersebut kemudian memisahkan diri menjadi dua lapangan yang mengkhususkan perhatian terhadap tingkah laku manusia yang berbeda-beda: ilmu politik (Political science) dan ilmu ekonomi (economics). Akan tetapi, pemisahan itu tidak dapat menutupi hakikat hubungan yang erat antara dua disiplin tersebut. Politik menentukan kerangka kerja aktivitas ekonomi dan menyalurkanya kedalam pengaturan yang ditujukan untuk melayani kepentingan kelompok dominan, disisi lain proses ekonomi dengan sendirinya mengarah pada distribusi kekuasaaan dan kekayaan, dimana kekuasaaan adalah pusat dari kajian ilmu politik.

Dengan memahami hakikat tersebut setidaknya kita sebagai masyarakat di luar pengambil kebijakan (decision maker) mampu berpikir kritis dan tidak emosional dalam menanggapi setiap kebijakan yang ditelurkan oleh elemen yang berwenang seperti pemerintah dan DPR. Disadari atau tidak, dalam setiap pengambilan keputusan tentu diawali sebuah pergulatan intelektual dan dan tidak lepas pula dari perdebatan politis sebagai wujud dari adanya perbedaan kolompok dalam tubuh pengambil kebijakan. Dan perlu disadari bahwa dibelakang setiap variabel ekonomi (jika kebijakan itu adalah kebijakan ekonomi) akan dijumpai sejumlah konstituen politik (political constituents), yang tidak akan mau begitu saja dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mereka nilai tidak menguntungkan kepentingan (interest). Ini adalah gejala yang wajar dalam sistem politik berkerangka demokrasi. Karena memang output dari demokrasi ditentukan aktor yang terlibat dalam memikirkan dan memformulasikan setiap kebijakan (baca: kepentingan). Aktor-aktor tersebut antara lain adalah orang-orang yang berkecimpung di partai politik yang secara teori adalah representasi dari aktor utama dalam demokrasi yaitu rakyat.

Salah satu contoh pergulatan intelektual dan kepentingan yang melibatkan paling tidak dua disiplin ilmu (politik dan ekonomi) adalah dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Biasanya penyusunan APBN akan dimulai bulan Mei dan akan di sahkan pada bulan Agustus pada rapat paripurna DPR setiap tahunnya. Perdebatan ini terjadi hampir setiap tahun dan akar pemasalahan tidak jauh dari permasalahan defisit anggaran yang kian menjadi-jadi. Seberapa besar defisit anggaran yang dapat ditoleransi, berapa besar asumsinya, bagaimana alternatif pembiayaannya, seberapa besar alokasi untuk membiayai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya? Itulah paling tidak derivasi dari akar masalah tersebut. Tentu masalah ini tidak akan selesai jika masing-masing pihak yang berkepentingan mencari solusi hanya dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Ekonom bersikeras dengan analisis ekonomi murninya dan politisi tetap teguh pada posisi politisnya. Hal ini harus dicari solusi yang sifatnya win-win solution bukannya win-loose solution. Dan memadukan kesepahaman dua disiplin ilmu tadi adalah alternatif terbaik. Hal ini terpaksa dilakukan karena masalah sudah bergeser menjadi masalah yang sifatnya normatif.

Seperti kita ketahui bahwa dalam penyususan anggaran salah satu asas yang perlu diperhatikan adalah asas keadilan (Justice). Ketika berbicara keadilan maka tentu ini tidak bisa dipandang murni dari sudut ilmu ekonomi saja. Keadilan dalam hal ini tidak mungkin diperlakukan sebagai masalah-masalah yang , yang dapat diselesaikan secara teknokratis. Ketika bebicara tentang keadilan politically neutral maka kita berbicara dengan berbagai macam kepentingan dan itu artinya secara langsung, kita mau-tidak mau masuk ke dalam wilayah politik. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa dibelakang setiap variabel ekonomi akan dijumpai sejumlah konstituen politik. Dan setiap konstituen politik akan akan menterjemahkan keadilan sesuai dengan aspirasinya yaitu ketika kepentingan dari masing-masing konstituen terpenuhi.

Dalam permasalahahan APBN ini, konstituen politik dapat di jabarkan berdasarkan pos-pos dalam anggaran, misalnya pos pengeluaran. Contoh mudahnya, untuk pos Pengeluaran rutin: ada kepentingan pemeritah, pegawai negari sispil. Pengeluaran pertahanan dan keamanan ada kepentingan pemerintah, militer, polisi dan sebagainya. Pengeluaran subsidi pupuk ada kepentingan petani, HKTI, industri pupuk, konsumen hasil pertanian dan sebagainya. Setiap kepentingan tadi masuk ke dalam sistem politik melalui kendaraan politik (partai politik) yang dirasa mampu memperjuangkan kepentingannya. Sehingga perdebatan dalam penyusunan anggaran mengerucut hingga ke perdebatan di tingkat elit partai yang duduk di pemerintahan atau parlemen.

Salah satu contoh perdebatan nyata akhir-akhir ini adalah masalah realisasi 20 % anggaran pendidikan. Jika dipikirkan secara mendalam kita akan mengetahui alasan kenapa pemerintah terkesan setengah hati dalam merealisasikan 20 % anggaran tadi, yang sudah menjadi amanah konstitusi. Bagi pemerintah, secara ekonomi realisasi anggaran pendidikan tersebut tidak masuk akal, mengingat ini sangat memberatkan APBN dan mengancam kesinambungan fiskal. Saat ini sekitar 30 % anggaran setiap tahun tersedot untuk membayar utang beserta bunganya. Jika anggaran pendidikan 20% direalisasikan untuk menjaga eksistensi negara apakah mungkin hanya mengandalkan 50 % anggaran? Mungkin ini pertanyaan sederhananya. Hal ini ditambah fakta lagi bahwa institusi pendidikan belum menujukkan kesipapan untuk memangku amanah tersebut. Institusi pendidikan kita masih terlalu lemah. Korupsi di institusi pendidikan masih belum bisa ditanggulangi. Jika anggaran 20% terealisasi dengan segera ini akan menjadi bumerang bagi pembangunan Indonesia khususnya sektor pendidikan. Lalu pertanyaannya kenapa orang-orang atau elemen yang memperjuangkan realiasi anggaran tersebut masih tetap bersikeras? Tentu jawaban ini, jika dikupas tidak jauh dari masalah politik.

Jadi, pemahaman tentang permasalahan ini tidak lepas dari pemahaman antara ekonomi dan politik. Dan setiap permasalahan baik ekonomi, politik, sosial dan sebagainya tidak terlepas dari masalah di sektor lain. Sehingga analisis pemecahan masalah sangat diperlukan pengetahuan interdisiplener. Wallahu'alam

Daftar Pustaka
• Budiharjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 1998.
• Gilpin, Robert. The Nature of Political Ekonomy.
• Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. Tentang Pengaruh Konstituen Politik terhdadap Penyelesaian Permasalahan-Permasalahan Ekonomi, Bahan Kuliah Ekonomi Politik, FEUI, 2006.
• Sadli M, Bila Kapal Punya Dua Nahkoda (Essay Politik Masa Transisi), Freedom Institute, jakarta , 2002

Demokrasi Kertas!

AGENDA penertiban kota kembali menunjukan taringnya. Dibayang-bayangi penertiban oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Yusuf si pedagang bubur mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kompas, 27/3). Satu nyawa pun hilang sia-sia di bawah tatapan mata ketertiban umum. Sebuah frasa magis yang senantiasa menyihir para pengambil kebijakan di lingkup pemerintah daerah.

Mereka lupa bahwa di balik frasa itu bersembunyi sebuah kalkulasi moral yang pada tataran kebijakan berpotensi menggerus hak dasar. Si pedagang bubur memiliki hak atas pekerjaan yang mesti dijamin oleh sebuah rezim demokratis. Hak yang sayangnya dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan yang gila angka.

Siapakah si pedagang bubur di mata pengambil kebijakan? Dia adalah bagian dari kaum urban yang mencari nafkah di sektor informal. Sosok yang harus senantiasa ditertibkan. Alasannya sederhana saja. Mereka bukan subyek pajak yang berkontribusi bagi pendapatan daerah. Alih-alih berkontribusi, mereka malah menambah banyak persoalan bagi administrasi kota besar seperti Jakarta. Angka menunjukkan kebesarannya di hadapan hak. Absennya kontribusi revenue diterjemahkan sebagai hilangnya hak. Oleh sebab itu, mulai dari pedagang kaki lima sampai penjual bubur, semuanya mesti ditertibkan demi terciptanya a good society.

ARGUMEN pengambil kebijakan senantiasa berbunyi, "Mereka sebenarnya bisa bekerja di sektor formal atau kewirausahaan." "Kami sudah menyediakan balai latihan kerja untuk mengasah keterampilan mereka guna memasuki dunia kerja baru." Persoalannya, argumen itu tak bersuara di benak si pedagang bubur. Baginya, satu-satunya yang dia ketahui adalah berdagang bubur. Di tengah kondisi yang semakin sulit dewasa ini, dia tak bisa berpikir untuk beralih kerja. Beralih kerja adalah pertaruhan yang tak berani diambil si pedagang bubur. Kebutuhan hidup memaksa dirinya untuk bekerja apa saja demi periuk nasi rumah tangganya.

Pekerjaan adalah pertama-tama sebuah pilihan. Pilihan dimungkinkan karena ada kemampuan. Ini yang tidak dimiliki kaum urban di perkotaan. Kaum urban adalah mereka yang tergusur dari kehidupan agraris akibat industrialisasi yang makin masif. Dengan kemampuan seadanya, mereka datang ke kota untuk mengadu nasib. Tingkat pendidikan mereka yang rendah berkorelasi dengan minimnya kemampuan. Itu menyebabkan mereka tak mampu berkompetisi memasuki sektor formal. Kaki lima dan pedagang keliling adalah satu-satunya pilihan pekerjaan yang mungkin.

Bukan hanya itu. Bagi mereka sektor formal pun tak menjanjikan kesejahteraan. Dengan upah di bawah UMR dan kondisi kerja yang memprihatinkan, mereka masih lebih memilih bekerja di sektor informal. Bagaimana dengan kewirausahaan? Itu menuntut modal. Modal mengandaikan kredibilitas peminjam. Bank konvensional akan berpikir dua kali guna meminjamkan uang pada kaum urban tak terdidik. Kepercayaan bank konvensional sangat bertumpu pada kredibilitas peminjam yang didasarkan pada tingkat pendidikan. Eksperimen Gramen Bank yang digagas ekonom Muhammad Yunus belum diadopsi praktisi perbankan di Indonesia.

Amartya Sen benar saat berhipotesis bahwa kemiskinan bukan karena ketakpemilikan barang (resource), tetapi ketiadaan akses pada barang. Kaum urban sektor informal bergulat dengan kemiskinan karena tiadanya akses pada pekerjaan yang layak. Ini artinya, pemerintah belum menjamin kesetaraan akses atas pekerjaan bagi warga negaranya. Warga negara hanya dipersepsi sebagai revenue raiser, bukan subyek yang memiliki sederet hak dasar.

Sekali lagi, angka mengalahkan hak. Kalkulasi moral pengambil kebijakan acuh terhadap kepedihan Yusuf si pedagang bubur saat gerobaknya disita. Gerobak seharga Rp 1 juta sebagai satu-satunya penyambung hidup keluarga di tengah hidup yang semakin sulit.

Persoalan si pedagang bubur dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan di pemerintah daerah. Logika ketertiban umum semata memandang si pedagang sebagai pengganggu yang tiada harganya. Mau apa lagi? Akses atas pekerjaan (diklaim) sudah terbuka lebar. Tidak ada alasan lagi bagi kaum urban sektor informal. Namun, pada kenyataannya, terjemahan praktis keterbukaan akses adalah program padat karya berupah minimal dan aksidental. Konstrain struktural, seperti kemampuan, pendidikan, dan pendapatan, adalah variabel yang luput dari kalkulasi pengambil kebijakan.

Ini adalah potret kekuasaan yang buta perbedaan. Kekuasaan yang mengejar segala sesuatu yang general (umum). Manusia diratakan di hadapan singgasana kebijakannya. Dilucuti variabel sosial, ekonomi dan budayanya kemudian dipasung dalam kategori manusia individu dengan segala hak dan kewajibannya. Persoalannya, manusia tidak pernah lepas total dari segala variabel tersebut. Si pedagang bubur bukan manusia umum. la adalah manusia konkret dengan segala kebutuhan yang jugakonkret. Variabel sosio-ekonomi sangat berpengaruh pada keterjaminan hak-hak dasar bagi dirinya. Ini semua bermuara pada sebuah pertanyaan reflektif. Apa artinya demokrasi bagi si pedagang bubur? Perkenankan saya menjawabnya dengan gemas, "Demokrasi adalah sederet liak dasaryang tergurat di atas kertas!" Sederet hakyang sepertinya mengambang di atas pergulatan hidup konkret yang sarat masalah. Hak tidak memiliki arti apa-apa jika tak bisa dinikmati. Hak adalah kebutuhan konkret, bukan sesuatu yang bersembunyi dalam pasal-pasal. Hak atas pekerjaan baru bermakna bagi si pedagang bubur saat dia benar-benar dapat menikmatinya.

Nasib si pedagang bubur membuat saya curiga akan kekosongan substansi yang diderita demokrasi republik ini. Sebuah demokrasi di atas kertas yang semata bersibuk dengan debat legalitas tanpa menengok dunia konkret. Kita berhadapan dengan pemerintahan demokratis yang gemar menertibkan dan bersembunyi di balik payung "demokrasi kertas!". Alih-alih menjamin kesetaraan akses atas pekerjaan, pemerintah (baca: pemerintah daerah) mengabaikan bahkan melanggarnya berulang kali.

APA yang harus dilakukan? Ini menuntut jawaban konkret. Sebelum dijawab, ada satu yang mesti diingat. Kebijakan penertiban tidak memecahkan masalah. Masalah kemiskinan kota justeru semakin menjadi dan pada akhirnya berujung pada instabilitas sosial.

Persoalan struktural yang mengepung kaum urban sektor informallah yang mesti dibenahi. Ini menuntut kebijakan menyeluruh yang menyapu dimensi pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya. Kebijakan bukan bertujuan saja mengasah kemampuan, tetapi juga memperluas lingkup kebebasan kaum urban.

Pemerintah bisa mulai dengan program pendidikan gratis bersertifikat setingkat SMA. Itu bisa membuka peluang kaum urban untuk memilih pekerjaan di sektor formal. Namun, ini mesti dibarengi dengan regulasi soal upah dan kondisi kerja yang layak di sektor formal. Pemerintah juga bisa menstimulasi mereka untuk mendirikan koperasi. Modal awal bisa dipinjamkan pemerintah dan akan dicicil dari potongan sisa hasil usaha tiap tahunnya.

Itu adalah sebagian opsi dari sekian banyak opsi yang bisa dijalankan guna menjamin akses atas pekerjaan bagi kaum urban. Keterjaminan akses yang menjamin bahwa demokrasi bagi kaum urban bukanlah demokrasi kertas. Ketertiban umum bukan satu-satunya pemecahan masalah. Itulah pelajaran berharga dari Yusuf si pedagang bubur..!!

By: Donny Gharal

Monday, April 09, 2007

Kritik Terhadap Rasionalitas Kaum Utilitaris

Disatu sisi, yang dimaksud dengan kritik rasionalitas utilitaris adalah sebuah gerakan anti-utilitaris dalam ilmu pengetahuan sosial (MAUSS) yang memulai kritik terhadap ekonomisme dan konsep-konsep instrumentalis terhadap dunia dan tindakan manusia. Di sisi lain, ada semacam penghormatan kepada Marcel Mauss, kemenakan dan ahli waris spiritual Emile Durkheim, juga penulis teks yang dianggap paling penting oleh para Maussianis yaitu "Essay tentang pemberian" (Essai sur le Don) yang telah menciptakan ke-universalis-an, paling tidak dalam aturan-aturan pemberian, dalam tritunggal memberi, menerima dan mengembalikan, dalam masyarakat kuno atau primitif.

Menurut Mauss, untuk menghentikan kritik efektif dari pandangan ekonomis dalam dunia sosial dan sejarahnya, kita harus bersandar pada antropologi yang menunjukan bahwa manusia tidak selalu menjadi hewan ekonomi dan bahwa bentuk pertama konstitusi dalam hubungan sosial tidak ditemukan dalam sebuah kontrak maupun jual beli, melainkan kewajiban memberi, dan lebih jauh lagi dalam kewajiban untuk memperlihatkan kedermawanan. Apakah kedermawanan yang diperlihatkan tersebut diakhiri dengan suatu nyata, dan sampai tahap mana? Itulah hal yang perlu diperdebatkan. Debat yang hanya berguna dan diakui bila kita menyetujui fakta antropolgis mengenai kewajiban memberi.

Sejarah utilitarisme itu sendiri sering dikaitkan dengan modernitas dunia barat dan hanya berkutat pada karya Jeremy Bentham. Setelah dikupas sedikit demi sedikit, kita menemukan bahwa utilitarisme sesungguhnya telah ada sejak awal lahirnya filosofis moral dan politik Barat, dengan Socrates dan Plato, di Cina, dan juga secara terbatas di India.

Disisi yang lain, pemberian, atau lebih tepatnya tritunggal kewajiban memberi, menerima dan mengembalikan yang dimutakhirkan oleh M. Mauss justeru jauh lebih aktual daripada yang kami pikirkan. Hingga kira-kira tahun 1990, apa yang tertulis dalam majalah MAUSS mengenai pertanyaan tersebut hanya mengangkat kekhasan etnologis. Pemeberian, dalam esensinya adalah apa yang ada di luar dan pada orang lain. Menarik untuk dipikirkan, namun nyaris tidak aktual. Banyak hipotesa tentang pemberian mulai tahun 1990 dan terus menerus muncul, dalam bentuk modifikasi dan dalam situasi relatif, tetap ada dalam bagian-bagian keberadaan sosial masyarakat modern misalnya saja melalui sirkulasi barang dagang dan jasa, atau lewat perantara yang disebut sebagai redistribusi oleh Karl Polanyi, namun tetap dalam lingkaran sirkulasi pemberian.

Penemuan MAUSS dalam tujuh tahun pertamanya adalah bahwa utilitarisme tidak mewakili sebuah sistem filosofis tertentu atau sebuah unsur diantara imajiner-imajiner dominan lainnya dalam masyarakat modern. Utilitarisme justeru cenderung menjadi imajiner itu sendiri. Sedemikian hingga, bagi para modernis, segala sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan dalam bentuk kegunaan dan efektifitas yang instrumental tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterima. Lebih jauh, semua yang dihasilkan oleh pihak non-utilitaris, yang cukup besar jumlahnya, dianggap sebagai sesuatu yang mewah, yang tidak berguna, atau sebuah idealisme yang tidak terjangkau, karena berada di luar dunia utilitaris.

Dalam perjalanannya, MAUSS semakin melihat dengan jelas bahwa imajiner utilitaris sekarang ini menjadi tanpa guna. Bukan saja tidak memberi sumbangan apapun pengayaaan penemuan-penemuan demokratis dan juga pada kemajuan ilmu pengetahuan, ia justeru membuatnya menjadi kering dan mandul. Walaupun pada awalnya rasional dan demokratis, kini utilitarisme menurunkan pemikiran pada rasionalisme, ilmu pengetahuan pada scientisme, dan demokarsi pada teknokartisme. Dengan kata lain, ia menjadi korban dari penyederhanaannya sendiri. Tidak pelak lagi, hal itu terjadi karena sifatnya yang landai, sehingga ia tidak dapat menyederhanakan, baik secara teoris maupun praktis, masyarakat-masyarakat dan manusia hanya dalam satu aspek, yaitu aspek ekonomi. Ia tidak dapat pula menyerap pertanyaan mengenai demokrasi dalam efektifitas produktif dan tidak menggubris pengidentifikasian pemeriksaan etis. Sehingga sangat penting kiranya untuk membalikkan arah arus, memisahkan diri dari paradigma yang sempat berjaya dan merenungkan kembali dengan pandangan yang baru benua raksasa yang masih gelap yang berisi hal-hal yang perlu dipikirkan dan disusun.

Bagian pertama, dalam buku tentang utilitarisme ada beberapa tahap, dimulai dari kebangkitan utilitarisme, utilitarisme yang masih terpisah-pisah, utilitarisme dominan, hingga utilitarisme generik dalam teori praktik. Bagian kedua, membahas kritik rasionalitas utilitaris dalam beberapa bagian.


Kebangkitan Utilitarisme

Dalam bukunya dijelaskan bahwa pemikiran modern adalah pemikiran utilitaris. Utilitarisme ada di Eropa sekitar abad 13 dalam tradisi Yunani dan Roma yang masih hidup. Yang dimaksud dengan utilitaris disini adalah tindakan manusia digerakan oleh logika egois dan perhitungan atas kesenangan dan penderitaan. Kritik rasionalitas utilitaris mengatakan tidak ada lagi yang menjadi dasar bagi norma-norma selain kepentingan individual atau kolektif.

Salah satu pemikir yang mengembangkan utilitarisme adalah Jeremy Bentham yang mengatakan " kesenangan yang semakin besar bagi semakin banyak individu. " apa yang dikatakan oleh Bentham sebetulnya bukan hal yang baru dan sudah pernah dikatakan oleh penulis Italia bernama Beccaria (1764). Apa yang dikatakan oleh Bentham adalah radikalisme dari utilitarisme. Pada akhirnya, utilitarisme lebih diradikalkan lagi oleh ekonomi melalui perhitungan kesenangan dan penderitaan (nilai utilitas).

Utilitarisme Terbatas

Pada perkembangan awalnya, utilitarisme masih terbatas dan tersembunyi serta bersifat normatif. Periode ini berlangsung sekitar abad 13-18. dalam masa tersebut, ada keinginan untuk melepaskan masyarakat dari tradisi agama yang kuat, sebagaimana dalam sejarah pemikiran modern, melalui pencarian aturan-aturan alam untuk meninggalkan aturan-aturan agama/Tuhan.

Melalui penemuan aturan-aturan alam, rasionalitas mulai tampak, disamping prinsip dari utilitarisme tersebut. Kombinasi keduanya seakan-akan mampu menandingi legitimasi agama. Meskipun demikian, utilitarisme masih terbatas karena keadaan masyarakat yang masih didominasi oleh Negara/kekuatan yang abadi. Beberapa pemikir yang muncul antara lain, Saint Thomas, Dubs Scot (1270-1307), Lessius (1554-1623), Luis Molina (1535-1600) dan Juan de Lugo (1583-1660). Joseph Schumpeter menyebut mereka sebagai pemikir pertama tentang ekonomi publik.