Pertama meskipun terlambat saya ingin mengucapkan selamat Valentine’s day kepada semuanya. Mungkin budaya hari kasih sayang ini baru beberapa tahun yang lalu booming negeri ini. Budaya kasih sayang (Valitine) yang di adopsi dari budaya barat masih banyak menjadi kontoversi bagi sebagian kalangan yang berpendapat bahwa budaya valentine tidak cocok dengan budaya ketimuran. Dalam hal ini saya mencoba mengambil dari perspektif yang berbeda.
Seorang teman perempuan saya memberikan sebuah tulisan tepat pada Valentine’s Day tanggal 14 Februari. Tulisan itu berjudul “Jangan Tertipu Gemerlap Valentine’s Day”. Di lihat dari judulnya, tulisan ini merupakan pendapat dia (yang kontra) terhadap hari Valentine. Saya memandang positif tulisan tersebut, karena yang dia lakukan merupakan bentuk progresif dalam memperingati atau memanfaatkan suatu moment (hari Valentine), dimana dalam waktu yang sama sebagian dari kita ada yang terhanyut oleh budaya konsumtif dan hedonis.
Singkatnya, tulisan itu menjelaskan bahwa hari Valentine asal muasalnya dari kisah St. Valentine yang dihukum pancung oleh penguasa Roma karena memasukan sebuah keluarga Romawi kedalam agama Kristen.
Ada juga versi yang lain dari asal muasal lahirnya hari Valentine adalah dari kisah seorang pendeta Khatolik yang bernama Santo Valentino yang menikahkan seorang prajurit. Ternyata tindakan Santo Valentino merupakan bentuk pelanggaran dan membuat berang Caesar Claudius II. Karena pemerintahan Caesar Caludius II melarang prajuritnya menikah dengan tujuan menciptakan prajurit yang tangguh. Santo Valentino pun di hokum mati.
Bila memang benar asal muasal hari Valentine seperti itu, tampaknya kita perlu mengadopsi semangat pembebasan dan perlawanan yang dimiliki oleh St. Valentine dan Santo Valentino. Keduanya telah melakukan pembebasan terhadap hak (asasi) manusia dengan melakukan perlawanan dalam bentuk aksi nyata terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Yang telah di lakukan oleh St. Valentine merupakan perjuangan pemenuhan hak manusia untuk memeluk suatu agama yang diyakini, sedangkan yang dilakukan oleh Santo Valentino merupakan perwujudan pembelaan fitrah yang dimiliki sebagai pria (prajurit), fitrah mencintai (dengan menikahi) lawan jenis.
Tampaknya teman permpuan saya tidak setuju dengan hari Valentine dikarenakan hari Valentine merupakan bentuk memperingati kematian St. Valentine yang memasukan keluarga Romawi kedalam agama Kristen dan Santo Valentino yang merupakan seorang pendeta dari agama Khatolik. Sedangkan teman perempuan saya bukan berasal dari agama kedua tersebut.
Sepertinya, kita perlu belajar untuk bisa menerima dan mengakui nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dari siapapun. Kadang kita hanya mau mendengarkan, menerima dan mengakui suatu hal atas dasar siapa yang berkata atau siapa yang menyampaikannya. Kita tidak terbiasa untuk bisa menerima dan mengakui satu hal atas dasar apa yang dikatakan atau yang disampaikan. Kebaikan dan kebenaran yang kita terima, akui serta yakini terkadang terlalu yang bersifat subyektif, formalistik dan simbolik.
Untuk mengikis dan menghilangkan sifat tersebut, saya menganggap hari Valentine merupakan waktu yang tepat untuk digunakan sebagai (waktu) pembelajaran. Saya yakin kita semua sepakat bahwa cinta dan kasih sayang harus ter/dicurahkan setiap hari atau setiap waktu. Tetapi saya juga yakin bahwa kita semua perlu hari atau waktu khusus untuk dijadikan moment perbaikan, peningkatan cinta dan kasih sayang kita. Sebagaimana kita menjadikan hari kelahiran atau pergantian tahun sebagai moment perbaikan, peningkatan dan penjagaan diri.
At least, atas nama cinta dan kasih sayang (berdasarkan semangat pembebasan dan perlawanan), sekali lagi saya ucapkan : “Selamat hari Valentine!”
Seorang teman perempuan saya memberikan sebuah tulisan tepat pada Valentine’s Day tanggal 14 Februari. Tulisan itu berjudul “Jangan Tertipu Gemerlap Valentine’s Day”. Di lihat dari judulnya, tulisan ini merupakan pendapat dia (yang kontra) terhadap hari Valentine. Saya memandang positif tulisan tersebut, karena yang dia lakukan merupakan bentuk progresif dalam memperingati atau memanfaatkan suatu moment (hari Valentine), dimana dalam waktu yang sama sebagian dari kita ada yang terhanyut oleh budaya konsumtif dan hedonis.
Singkatnya, tulisan itu menjelaskan bahwa hari Valentine asal muasalnya dari kisah St. Valentine yang dihukum pancung oleh penguasa Roma karena memasukan sebuah keluarga Romawi kedalam agama Kristen.
Ada juga versi yang lain dari asal muasal lahirnya hari Valentine adalah dari kisah seorang pendeta Khatolik yang bernama Santo Valentino yang menikahkan seorang prajurit. Ternyata tindakan Santo Valentino merupakan bentuk pelanggaran dan membuat berang Caesar Claudius II. Karena pemerintahan Caesar Caludius II melarang prajuritnya menikah dengan tujuan menciptakan prajurit yang tangguh. Santo Valentino pun di hokum mati.
Bila memang benar asal muasal hari Valentine seperti itu, tampaknya kita perlu mengadopsi semangat pembebasan dan perlawanan yang dimiliki oleh St. Valentine dan Santo Valentino. Keduanya telah melakukan pembebasan terhadap hak (asasi) manusia dengan melakukan perlawanan dalam bentuk aksi nyata terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Yang telah di lakukan oleh St. Valentine merupakan perjuangan pemenuhan hak manusia untuk memeluk suatu agama yang diyakini, sedangkan yang dilakukan oleh Santo Valentino merupakan perwujudan pembelaan fitrah yang dimiliki sebagai pria (prajurit), fitrah mencintai (dengan menikahi) lawan jenis.
Tampaknya teman permpuan saya tidak setuju dengan hari Valentine dikarenakan hari Valentine merupakan bentuk memperingati kematian St. Valentine yang memasukan keluarga Romawi kedalam agama Kristen dan Santo Valentino yang merupakan seorang pendeta dari agama Khatolik. Sedangkan teman perempuan saya bukan berasal dari agama kedua tersebut.
Sepertinya, kita perlu belajar untuk bisa menerima dan mengakui nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dari siapapun. Kadang kita hanya mau mendengarkan, menerima dan mengakui suatu hal atas dasar siapa yang berkata atau siapa yang menyampaikannya. Kita tidak terbiasa untuk bisa menerima dan mengakui satu hal atas dasar apa yang dikatakan atau yang disampaikan. Kebaikan dan kebenaran yang kita terima, akui serta yakini terkadang terlalu yang bersifat subyektif, formalistik dan simbolik.
Untuk mengikis dan menghilangkan sifat tersebut, saya menganggap hari Valentine merupakan waktu yang tepat untuk digunakan sebagai (waktu) pembelajaran. Saya yakin kita semua sepakat bahwa cinta dan kasih sayang harus ter/dicurahkan setiap hari atau setiap waktu. Tetapi saya juga yakin bahwa kita semua perlu hari atau waktu khusus untuk dijadikan moment perbaikan, peningkatan cinta dan kasih sayang kita. Sebagaimana kita menjadikan hari kelahiran atau pergantian tahun sebagai moment perbaikan, peningkatan dan penjagaan diri.
At least, atas nama cinta dan kasih sayang (berdasarkan semangat pembebasan dan perlawanan), sekali lagi saya ucapkan : “Selamat hari Valentine!”
2 comments:
Hehehe.. kalau kita mau melihat valentine day dari versi lo mungkin gak apa kali yah.. tapi yah ada satu lagi yang mesti kita inget.Kalo gak salah ada Hadist Rasulullah SAW "Barang siapa mengikuti/meniru suatu kaum.. maka dia termasuk golongannya" kalo gak salah redaksinya gitu.. dan ini termasuk hadist Shahih. Nah.. ini yang masalah bud. Kalau misalnya emang bener hari valentine itu berkaitan erat dengan teman2 kita dari suatu agama tertentu, kita bisa terjebak dalam "mengikuti atau meniru suatu kaum" .. dan jangan2 kita bisa digolongkan kedalam golongan mereka. Padahal InsyaAllah Rasul SAW kan sudah susah payah supaya kita tidak menyerupai kaum manapun, misal dengan tidak menyerupai kaum Yahudi dalam urusan kumis.. maka yang disunahkan pada kita memelihara Jenggot. Misal dalam puasa sunah As-syura (10 Muharam) kita juga disunahkan untuk berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya supaya lagi2 tidak menyerupai Yahudi..dll. So.. kalo gw sih lebih memilih bersifat hati2 dengan tidak merayakan. Lagian setiap hari buat muslim adalah hari kasih sayang bukan..? kepada orang tua, kepada saudaranya sesama muslim, dan kepada alam semesta.. ^_^
hehehe.... thx banget Suk, atas tanggapanya!!. gue rasa itu hadistnya sahih koq, kalo baca dari hadist itu gue sedikit berspektif bawah (mudah2an salah!) mungkin kalo sesuatu yang ditiru itu yang baik kenapa kita harus memungkirinya? mis, kita ambil contoh aja teknologi sekarang!justeru ilmu-ilmu yang kita pelajari dari kaum-kaum yang berbeda agama dengan kita. maaf, gue rasa mungkin kita harus lebih banyak meanalisa dari isi Qur'an dan hadist itu sendiri. soalnya kalo menurut gue apabila kita menafsirkanya secara mentah2 apa yang terkadung dalam isinya gue rasa kita akan berada pada perspektif yang sempit nantinya.(tapi itu sintesa gue lhoo!!hehehe..). kalo soal kumis ato jenggot itu menurut gue berhubungan dengan Fiqih ya seperti tata cara sholat misalnya.
Hmmm.. kadang2 kita sering bertanya apa sih esensi dari ajaran Islam itu sendiri?kalo menurut gue sih inti dari ajaran Islam itu sendiri adalah keseimbangan, keseimbangan yang gue maksudkan disini:hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia. Oleh karena Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, karena manusia bukan makluk individu. Nah, dalam konteks inilah gue melihat kasih sayang itu,tapi bukan itu aja masih banyak sekelumit masalah2-nya. Manusia yang bisa berguna bagi manusia yang lain gue rasa itulah tujuan kita di ciptakan sebagai khalifah di dunia. Gue setuju dengan pendapat lo, soal kasih sayang bukan hanya dilakukan pada hari kasih sayang saja tapi setiap hari dan kasih sayang bukan hanya kpada yang kita cintai saja, kasih sayang juga harus buat disebarkan bagi semua orang tanpa pandang bulu termasuk alam semesta agar tercipta perdamian jangan ada lagi peperangan ya ga Suk??!!!hehehe.... yoo weis pegel neh huehuehue... at least thx banget temenku atas komentarnya yang membangun ini, sukses selalu buat lo yang jauh disana dan sukses juga buat film indie-nya kalo udah jadi jangan lupa kirim ke gue yach!!!buat nonton anak2 clan sattan mana tau terinspirasi juga hehehe...Ciao, Suk!!
Post a Comment