Wednesday, September 13, 2006

"GERAKAN TAMADDUNI UNTUK TRANSFORMASI MASYARAKAT"

Ibnu Khaldun, pemikir Islam abad pertengahan par excelent, menggunakan tiga istilah untuk merujuk pada sebuah konsep peradaban, yakni úmran, hadlarah, dan tamaddun. Para pemikir di dataran Melayu lebih memilih istilah yang berakar dari kata tamaddun daripada dua istilah lainnya; 'umran atau hadlarah, karena secara etimologis memang lebih mempunyai makna yang dalam dan dinamik. 'Umran mempunyai konotasi "keramaian dan kemakmuran", "hadlarah" mengandung pengertian "kosmopolit", sedangkan "tamaddun" dalam konteks peradaban mencakup dua pengertian sebelumnya karena karakteristiknya yang mengandung jiwa perkotaan (madaniyah) dimana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif kebudayaan dan pencapaian pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep tamaddun, menurut Naquib al-Attas ( 1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada " suatu kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan."

Gerakan Tamadduni: Jalan Profetik Bagi Transformasi Masyarakat

"Gerakan Tamadduni" (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep tamaddun di atas. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan.

Itulah salah satu jalan transformasi kemasyarakatan yang jejaknya dapat dilacak dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah). Transformasi profetik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun Peradaban Madinah adalah pertama, pembangunan tauhid di Mekkah, kedua, pembangunan kemasyarakatan di Madinah awal dengan jalan saling mempersaudarakan antara Muhajirin-Anshar dan juga kontrak sosial dengan komunitas selain Islam (Piagam Madinah), dan yang terakhir (ketiga) adalah menjalankan pemerintahan yang berdaulat di Madinah. Dari sinilah peradaban Islam terbangun yang kemudian dapat mengatasi peradaban Persia dan Byzantium-Romawi.

Cita-cita transformasi dari gerakan tamadduni tentu saja adalah terciptanya masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT. Namun demikian, tamadduni lebih berkonsentrasi pada proses perjuangan, kuatnya energi untuk bergerak maju, dan daya kerja yang keras dan profesional untuk mencapai cita-cita transformasi daripada hanya menunggu atau bermimpi tentang bentuk jadi dari masyarakat bertamaddun yang diridhai oleh Allah SWT itu. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu kekuatan progresif yang mampu mengkonsolidasikan dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini.

Situasi kekinian menunjukkan adanya fenomena tiga kekuatan yang acapkali saling berkonflik meski di saat yang lain juga bisa saling bekerjasama dalam sebuah konsensus. Pertama adalah kekuatan pasar (pemodal). Kedua adalah kekuatan negara (masyarakat politik). Ketiga adalah masyarakat sipil (yang non-penguasa modal dan non-penguasa kenegaraan). Kekuatan yang pertama dan kedua mempunya kecenderungan yang besar untuk mengalahkan dan memperalat kekuatan ketiga untuk memantapkan dan memapankan kekuasaan masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat sipil sangat rawan untuk menjadi pihak yang lemah dan terpinggirkan, dan oleh karena itu susungguhnya, ia menyimpan kekuatan progresif untuk melakukan perubahan dan memaksa pemodal dan negara untuk memenuhi hak-haknya. Dari situlah peradaban yang tinggi akan dapat diwujudkan.

Masyarakat Sipil: Keniscayaan Konsolidasi Untuk Ber-Tamaddun

Masyarakat sipil adalah kekuatan ketiga yang peran dan posisinya sangat strategis bagi proyek tamaddun. Beberapa bentuk konsolidasi yang diharapkan dapat terwujud untuk menopang visi tamaddun itu adalah; konsolidasi untuk kemandirian ekonomi, konsolidasi untuk kemerdekaan politik, dan konsolidasi untuk pencapaian kebudayaan yang tinggi.

Pertama, kecenderungan mutakhir menunjukkan bahwa kekuatan pasar (neo-kapitalime) begitu kuat sehingga mengatasi negara dan masyarakat. Bahkan, negara dipaksa menjadi boneka yang manis untuk memenuhi selera para neo-kapitalis dan kemudian menindas masyarakat sipil. Maka dari itu, ketika neo-kapitalisme dan negara (sebagai bonekanya) berkongkalikong untuk semakin memperkaya dirinya masing-masing, masyarakat sipil mempunyai keharusan untuk melakukan konsolidasi sosial demi melindungi kepentingan ekonominya. Konsekuensinya, pada satu saat, masyarakat sipil musti melakukan perjuangan untuk mendesak kaum pemodal dan atau negara untuk memenuhi hak-haknya; misalnya kesejahteraan hidup, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat sipil juga niscaya untuk mengkosnsolidasikan kekuatan ekonomisnya melalui semangat kemandirian, keswadayaan, dan ke-swadhesi-an. Namun demikian, pada saat yang lain, masyarakat sipil juga dimungkinkan untuk bekerja sama dengan salah satu atau kedua kekuatan yang lain, hanya saja tujuannya harus jelas dan tegas, yakni; untuk kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi masyarakat sipil.

Kedua, selain kecenderungan menguatnya neo-kapitalisme yang membuat negara dan masyarakat tak berdaya secara ekonomi, negara juga mempunyai potensi yang kuat untuk menjadi korup, otoriter, dan memberangus hak-hak politik rakyat. Pendek kata, masyarakat sipil juga perlu untuk melakukan konsolidasi politik untuk makin meningkatkan bargaining position-nya terhadap negara maupun pemodal untuk menjamin bahwa kebebasan, harkat, dan martabatnya dijamin dan dihormati. Sebab, kedaulatan politik rakyat menjadi prasyarat utama bagi sebuah iklim tamaddun yang demokratik dimana fungsi negara adalah pelayan yang baik dan terpercaya bagi pemenuhan hak-hak politik rakyat.

Ketiga, masyarakat sipil juga tak luput dari krisis yang disebabkan oleh keroposnya bangunan budaya yang ada di dalamnya. Akibatnya, mereka mengalami ketumpulan dan kemunduran sense of advanced humanity (rasa kemanusiaan yang adiluhung), seperti ; religiusitas yang makin terkikis, semangat keilmuan yang menurun, gairah intelektualisme yang rendah, tak punya kreatifitas seni, sastra, atau musik yang dapat dibanggakan, tak ada kemajuan teknologi yang dapat dicapai, dan sebagainya. Konsolidasi kebudayaan masyarakat sipil diperlukan untuk mengatasi krisis itu. Dengan konsolidasi, gebrakan budaya untuk kembali menggairahkan energi kreatif masyarakat dapat dilakukan. Tidak hanya itu, cita-cita transformasi masyarakat yang nota bene adalah masyarakat yang diridhai Allah SWT sangat mungkin untuk diwujudkan. Masyarakat itu adalah masyarakat yang ber-tamaddun (civilized socoiety) yang di antara ciri yang disebutkan Ibnu Khaldun (sebagaimana dikutip Beg, M.A.J., 1982) adalah: a higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (Mustafa Kamal Ayub, 2004). Wallahu'alam




By : Syifa A.W

No comments: