Saturday, September 09, 2006

PROSPEK GLOBALISASI USAHA KEHUTANAN DI ABAD 21 SEBUAH TINJAUAN DARI PERSPEKTIF BISNIS

I. PENDAHULUAN

Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang selama lebih dari tiga dasawarsa memiliki peran signifikan terhadap proses pembangunan nasional. Pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan yang berorientasi ekspor telah mampu menyumbangkan devisa terbesar kedua dari sektor non migas setelah industri tekstil dan produk turunannya, menurut catatan MPI pada tahun 2000 telah menghasilkan devisa USD 8 milyar, diantaranya dan produk kayu lapis USD 3 milyar, produk pulp dan kertas USD 3,5 milyar dan dan produk lainnya USD 1,5 milyar. Jumlah tersebut merupakan 17% dari nilai ekspor non migas atau 13% dari nasional earning. Industrialisasi kehutanan juga telah memberikan nilai tambah yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, antara lain melalui penyerapan tenaga Kerja dan terbukanya peluang berusaha, SDM yang terlibat langsung dalam sektor usaha kehutanan + 2,5 juta orang dan tidak langsung + 1,5 juta orang

Krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997 telah memporakporandakan struktur dan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia. Berbagai sektor dan usaha ambruk seiring dengan makin membumbungnya nilai mata uang dollar pada saat itu terhadap rupiah.

Dampaknya, tingkat kesejahteraan masyarakat menurun drastis sementara angka pengangguran membengkak. Kondisi ini menyebabkan terjadinya instabilitas sosial politik di berbagai tingkatan yang sampai saat ini masih dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dinamika sosial, ekonomi dan politik makro dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya telah menempatkan kehutanan pada posisi yang bersifat paradoks. Di satu sisi, usaha kehutanan yang berbasis pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam diharapkan akan dapat menjelma menjadi salah satu sektor andalan bagi proses pemulihan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, belum ada kejelasan dan kepastian mengenai sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berkembang di berbagai tingkatan dalam bentuk konflik sosial, perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), serta penyelundupan kayu yang didukung oleh tiadanya upaya penegakan hukum (law enforcement) dan stabilitas keamanan justru sangat kontraproduktif terhadap iklim bisnis di sektor kehutanan, sehingga dapat merugikan negara bermilyar USD, terakhir angin segar yang memberi harapan berkurangnya perambahan dan penebangan liar dengan diterbitkannya SKB dua Menteri, Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian, tertanggal 03 Oktober 2001, masing-masing No. 1132/KPTS-l 1/2001 dan No. 2S2/MPP/Kep/10/2001 yang intinya melarang ekspor kayu bulat/bahan baku serpih.

I. DINAMIKA SOSIAL POLITIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BISNIS KEHUTANAN

Dewasa ini iklim investasi dan berusaha di sektor kehutanan berada di posisi titik nadir. Dinamika sosial. ekonomi dan politik makro sebagai dampak krisis ekonomi 1997 dan disusul gejolak politik berkepanjangan telah menyebabkan keberadaan dan masa- depan para pengusaha hutan berada dalam ketidakpastian.

Salah satu faktor penyebab kondisional tersebut diatas adalah mulai diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda) pada tahun 2001, termasuk otonomi pengelolaan sumber daya hutan. Dalam perspektif politik, melalui otonomi daerah akan terdapat kewenangan daerah beserta masyarakatnya dalam menerapkan kebijakan pengelolaan dan pernanfaatan sumber daya hutan. Sementara dalam perspektif ekonomi, otonomi daerah diharapkan akan melahirkan keadilan ekonomi, khususnya dalam hal redistribusi manfaat hasil hutan. Kondisi tersebut akan berdampak pada aspek sosial budaya, dimana sistem dan pola pengelolaan hutan Masyarakat setempat yang bersifat khas setempat (local specific) akan terakomodir dalam setiap kebijakan dan praktek pembangunan kehutanan. Persoalannya, hingga saat ini sebagian besar pemerintah daerah dan masyarakatnya ternyata belum memiliki kejelasan konsep dan rancang bangun otonomi pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan pemberian ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) kepada masyarakat setempat seluas 100 hektar serta penetapan Peraturan Daerah (Perda) tentang iuran/pungutan hasil hutan adalah beberapa realitas kebijakan kehutanan yang bersifat tumpang tindih (overlapping) dan berulang (redundant) yang kini terjadi dan merebak di berbagai daerah Propinsi dan Kabupaten di seluruh Indonesia. Kondisi tersebut jelas menunjukkan kompleksitas interaksi sosial, ekonomi dan politik sumber daya hutan yang mencerminkan pertentangan antara kebijakan-kebijakan bernuansa populis egaliter dengan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan prinsip kelestarian sumber daya hutan.

Terdapat beberapa implikasi sosial ekonomi dan sosial politik sebagai akibat berbagai kondisional diatas. Pertama, Intensitas dan kuantitas konflik sosial di kawasan hutan meningkat pesat. Ketidakjelasan domain (kewenangan) pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan telah menimbulkan ketidakpastian status kawasan hutan. Sampai saat ini, konflik sosial di kawasan hutan telah menyebabkan terhentinya kegiatan operasional berbagai perusahaan pemegang HPH/HPHTI dengan kerugian yang sangat signifikan. Kedua, merebaknya praktek penebangan liar dan pencurian kayu (illegal logging) yang telah menjadi keprihatinan masyarakat luas bahkan dunia Internasional.

Bagaimanapun, dampak dan ketidakjelasan selalu menimbulkan instabilitas. Sementara instabilitas selalu melahirkan kondisi ketidakpastian hukum. Maka, para pemodal (baik lokal, nasional bahkan internasional) yang hanya mengedepankan sikap aji mumpung (moral hazard) kini dapat leluasa melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara eksploitatif dan masif tanpa rasa takut dan khawatir akan ditindak oleh aparat karena ketidakjelasan, instabilitas dan ketidakpastian hukum. Ketiga, implikasi berikutnya adalah meningkatnya praktek penyelundupan kayu bulat (logs), SKB dua Menteri yang melarang ekspor kayu bulat, merupakan uji coba yang harus disadari oleh semua pihak, betapa pentingnya kelestarian sumber daya hutan. Kini, tidak saja secara ekonomi negara dirugikan dengan praktek penebangan liar dan penyelundupan kayu, lebih jauh, kelestarian sumber daya hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan terancam hancur dan punah. Akhirnya, dalam perspektif makro telah terjadi kehancuran sistem dan tata niaga kayu. Industri hasil hutan yang mendukung praktek-praktek ilegal kini justru dapat bertahan bahkan menangguk untung yang tidak kecil. Sementara industri pengolahan kayu yang mentaati prosedur dan aturan perundangan terancam gulung tikar karena tidak dapat bersaing dalam hal biaya produksi maupun harga jual bahan baku.

Departemen Kehutanan sebagai institusi publik yang secara politik diharapkan mampu membuat kebijakan dan instrumen implementasi bagi upaya penyelesaian berbagai persoalan diatas diharapkan bersikap proaktif. Dasar hukum bagi landasan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang telah diterbitkan, yaitu UU No. 41. tahun 1999 tentang Kehutanan justru belum ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pelaksanaan, walaupun konon masih dalam penggodogan.

III. DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP USAHA KEHUTANAN INDONESIA

Komunitas dunia Internasional sejak awal memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan ekonomi kehutanan Indonesia. Kemampuan pasar kayu dunia dalam menyerap produk-produk hasil hutan Indonesia terbukti telah menempatkan kehutanan sebagai salah satu sektor penting dalam proses pembangunan nasional. Era kesejagatan (globalisasi) yang kini melanda dunia Internasional telah merubah perilaku dan tata hubungan produsen konsumen berkaitan dengan keberadaan hutan tropis Indonesia. Terdapat dua issue penting yang kini berkembang disektor kehutanan sebagai wujud perubahan perilaku komunitas dunia Internasional, termasuk para konsumen produk-produk hasil hutan Indonesia. Pertama, issue tentang kelestarian fungsi lingkungan dan keanekaragaman hayati sumber daya hutan yang semakin menurun sebagai dampak kegiatan pembalakan hutan. Kedua, issue penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang dalam terminologi masyarakat Internasional dikenal sebagai indigenious people (masyarakat asli). Terakhir, dalam perspektif ekonomi globalisasi menuntut diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas konsekuensinya, seperti yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir tidak ada monopoli sehingga akses dari dan kepasar dibuka secara bebas.

Implikasi berbagai tuntutan diatas menyebabkan setiap pengelola hutan dewasa ini harus dapat mengelola sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan. Baik kelestarian fungsi ekonomi, lingkungan maupun sosial budayanya. Mekanisme dan instrumen yang telah disepakati oleh para pihak dalam mengukur tingkat kelestarian sumber daya hutan adalah melalui sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) atau umum disebut dengan istilah ekolabel. Di Indonesia, dewasa ini berkembang sistem sertifikasi yang dibangun oleh Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia (YLEI) disamping sistem-sistem sertifikasi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga lain ditingkat Internasional. Bahkan, mulai tahun 2002, beberapa importir produk-produk kayu besar dibenua Eropa dan Amerika, telah menegaskan untuk hanya akan menyerap produk-produk hasil hutan tropis yang berasal dari produsen bersertifikat ekolabel.

IV. PROSPEK MASA DEPAN BISNIS KEHUTANAN INDONESIA

Dengan berbagai kondisional yang kini berkembang disektor kehutanan, baik dalam perspektif dimensional (ekonomi, ekologi dan sosial) maupun dalam perspektif kawasan (lokal, regional, Nasional dan Internasional) maka tidak mudah untuk membuat sebuah rancang bangun tentang konsep ideal bisnis kehutanan dimasa depan. Paling tidak terdapat beberapa faktor signifikan yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bisnis kehutanan yang layak secara ekonomis (profitable), ramah lingkungan (environmental friendly) dan diterima serta tidak menimbulkan resistensi masyarakat diberbagai tingkatan serta (community acceptable).

Karenanya, konsep usaha kehutanan dimasa depan harus mempertimbangkan tiga dimensi penting. Pertama, ditingkat lokal harus mempertimbangkan dimensi hak-hak masyarakat setempat sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem sumberdaya hutan. Usaha kehutanan dimasa depan, baik dalam bentuk perusahaan pemegang HPH maupun HPHTL harus berbasis pada peran serta dan keterlibatan masyarakat lokal. Kedua, dalam tatanan regional-nasional usaha kehutanan harus mempertimbangkan dinamika sosial politik sebagai dampak penerapan kebijakan otonomi daerah serta kebijakan pertimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kedua instrumen kebijakan tersebut harus mampu mewujudkan keseimbangan aktualisasi hak politik daerah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan hutan, memberi keadilan ekonomi dalam redistribusi manfaat hasil hutan serta mengakomodir sistem sosial budaya masyarakat lokal dalam praktek pengelolaan sumber daya hutan. Ketiga, dalam perspektif global setiap pengusaha hutan harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan. melalui mekanisme sertifikasi ekolabel.

Dalam perspektif teknis, metode pengelolaan hutan yang dapat diterima adalah metode yang ekfektif dan ramah lingkungan. Salah satu metode pengelolaan hutan yang ramah lingkungan di masa depan karena memiliki dampak minimal terhadap kerusakan lingkungan adalah metode Reduced Impact Logging (RIL). Metode ini juga telah diakomodir kedalam sistem kriteria dan indikator (C & I) pengelolaan hutan produksi lestari bidang produksi dan lingkungan. Artinya, menerapkan secara benar dan tepat tahapan-tahapan kegiatan dalam sistem silvikultur TPTI yang disertai dengan metode RIL akan meningkatkan produktivitas, meminimalkan limbah tebangan disamping akan memperkecil dampak kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

V. PENUTUP

Apabila masih berlangsung ketidakjelasan dan ketidakpastian sosial, ekonomi dan politik sulit bagi bisnis kehutanan untuk bisa menjadi salah satu sektor andalan. Pun dalam perspektif masa depan, tidak mudah untuk membuat suatu konsep tentang bisnis kehutanan yang prospektif. Dengan demikian, setiap prediksi atas prospek bisnis kehutanan dimasa depan hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat normatif. Secara konseptual, bisnis kehutanan yang memiliki prospek dimasa yang akan datang adalah bisnis kehutanan yang dapat melakukan proses adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi dan politik masyarakat diberbagai tingkatan. Hal ini sesuai dengan teori seleksi alam, bahwa yang akan mampu bertahan adalah yang mampu beradaptasi (survival of the fitest). Konsep ini merupakan sebuah landasan termudah bagi setiap pengusaha hutan dalam mempertahankan ataupun meningkatkan peluang dan kesempatan usahanya.

Diluar faktor-faktor yang telah disampaikan diatas, sesungguhnya syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi terselenggaranya iklim bisnis dan berusaha yang kondusif dan produktif adalah stabilitas sosial politik yang memungkinkan adanya suatu dukungan berupa kepastian dan konsistensi kebijakan, supremasi hukum sebagai mekanisme solusi berbagai persoalan secara terbuka, sejajar dan anti kekerasan serta ketersediaan jaminan keamanan sebagai landasan terciptanya suatu tertib sosial. Tanpa ketiga faktor tersebut, tampaknya yang akan terjadi adalah anomali anomali ekonomi politik yang berujung pada penyimpangan sistem bisnis kehutanan. Seperti yang terjadi saat ini. Wallahu'alam

1 comment:

Anonymous said...

Memang pinter orang Indonesia ini kalo memutarbalikkan fakta..
Tunggulan kehancuran alam akibat bisnis ini..!
Wahai bagi yang Pro pembalakan dan bisnis hutan, ingat yang merasakan akibatnya bukan kalian tapi anak cucu kita..!!!!
Ingat azab yang akan diterima..!!