Saturday, September 09, 2006

HUTAN HANCUR, MORATORIUM MANJUR

Usulan Proses Pelaksanaan Komitmen Pemerintah Indonesia untuk penyelamatan Hutan Tropis Indonesia Yang Tersisa

Mari sejenak membayangkan apa yang akan terjadi pada hutan kita lima tahun yang akan datang. Ada berbagai situasi yang mungkin terjadi. Salah satu kemungkinan skenario tersebut adalah bahwa dalam lima tahun yang akan datang, Indonesia gagal melakukan perbaikan mendasar di sektor kehutanan. Dan inilah yang akan terjadi.

Indonesia tahun 2005: Pemerintah sudah menyerah dan tidak mampu menghentikan kehancuran hutan Indonesia. Penebangan haram sejak 10 tahun terakhir tidak teratasi dan bahkan semakin terang-terangan dilakukan, dan bagaikan penyakit menular mewabah dikawasan hutan diseluruh Indonesia. Dokumen-dokumen resmi yang melegalisasi kayu-kayu haram tersebut dan perlindungan militer menyebabkan praktek haram ini semakin sulit diberantas.

Kebakaran hutan besar yang terjadi pada tahun 2002/2003 soleh mengulangi tragedi yang pernah terjadi pada tahun 1997/1998 yang lalu, dan menghabiskan jutaan hektar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Harimau Sumatera dilaporkan telah punah dan orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka.

Musim kemarau dan musim hujan semakin tidak menentu, puluhan sungai-sungai penting di Kalimantan kering pada musim kemarau dan banjir besar pada musim hujan. Intrusi laut ke sungai mahakam, Kapuas dan Barito dilaporkan telah mencapai 30 km ke hulu sungai dan menyebabkan kota Samarinda, Banjarmasin dan Pontianak mengalami krisis air yang serius. Penyakit muntaber, diare dan malaria menjadi penyakit yang mematikan bagi balita dan rumah-rumah sakit dikota-kota tersebut tidak mampu menampung ledakan penderita pada musim kemarau.

Kemiskinan menjadi pemandangan yang memilukan di pedalaman-pedalaman Kalimantan dan Sumatera. Hidup orang-orang Dayak di Kalimantan dan suku-suku asli Sumatera semakin tidak menentu dan urbanisasi menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah daerah di era otonomi.

Dalam lima tahun terakhir, kebutuhan bahan baku untuk industri olah kayu secara perlahan tetap meningkat, sementara kayu-kayu semakin sulit diperoleh. Ijin-ijin HPH skala kecil yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mencapai belasan ribu buah diseluruh Indonesia tidak pernah mencukupi kebutuhan kayu nasional. Pabrik-pabrik kertas belum berhasil membangun hutan-hutan tanaman dan beberapa diantaranya terancam tutup karena tidak mampu menutupi kebutuhan bahan baku. Meskipun telah pernah dilarang, pemerintah kembali mengeluarkan ijin praktek tebang habis (IPK) untuk menyelamatkan industri-industri tersebut. Sertifikat ekolabel yang dinujumkan dapat mendorong pengelolaan hutan lestari gagal, karena kerusakan hutan-hutan di 30 konsesi HPH yang telah mendapat sertifikat ekolabel sama parahnya.

Sebagian besar industri kayu di Riau, Jambi dan Kalimantan Barat nyaris gulung tikar, menunggu kematian, karena kesulitan mendapatkan kayu. Protes ribuan pekerja didaerah tersebut menjadi pemandangan sehari-hari yang menuntut pesangon dari perusahaan yang sudah bangkrut. Sementara itu, di Kalimantan Timur, penghasil kayu utama sudah sejak lama megap-megap. Beberapa kawasan koservasi didaerah tersebut diciutkan untuk mendapatkan pasokan kayu namun tetap tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku.

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam laporannya pada tahun 2005 menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan devisa 7 milyar dollar AS per tahun dari sektor ini, dan ratusan ribu pekerja terancam kehilangan pekerjaan dalam dua tahun mendatang.

Kehutanan Indonesia berada di kegelapan yang pekat, dan kehancuran lingkungan mengancam kehidupan rakyat Indonesia.

Masa depan hutan Indonesia ditentukan hari ini! Jargon ini mengikuti skenario IMD (Indonesia Masa Depan). Meskipun kerusakan hutan tropis telah parah, sebenarnya masih tersisa sedikit waktu untuk menyelamatkannya. Dengan tingkat keruskan hutan tropis telah parah, sebenarnya masih tersisa sedikit waktu untuk menyelamatkannya. Dengan tingkat kerusakan yang demikian parah dan kompleksitas masalah yang dihadapi memang tidak banyak yang masih dapat dilakukan. Salah satu aksi yang dapat dilaksanakan saat ini adalah moratorium penebangan (pembalakan) hutan. Solusi ini, dibeberapa tempat terbukti manjur untuk menghentikan kerusakan hutan dan menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa.

Apa dan mengapa Moratorium

Moratorium (jeda) pembalakan kayu adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala besar (skala industri) untuk aementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yan diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium biasanya ditentukan oelh berapa lama waktu yang dibuthkan untuk mencapai kondisi tersebut.

Masalah sturktural kehutanan yang kita hadapi saat ini begitu ruwet dan kompleks. Maslah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling mempengaruhi satu dengan lain. Reformasi kehutanan hanya dapat tercapai bila masalah-masalah tersebut dapat diatasi secara simultan dan menyeluruh untuk menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.

Dengan tingkat kompleksitas maslah tersebut, oratorium menyediakan peluang dan manfaat ganda bagi pelaksanaan seluruh langkah-langkah perubahan yang diperlukan untuk melakukan reformasi dibidang kehutanan.

Moratorium pembalakan kayu di Indonesia dapat dihubungkan dengan keinginan atau komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi dibidang kehutanan. Moratorium pembalakan kayu dapat dijadikan sebagai langkah dan proses pelaksanaan komitmen reformasi kehutanan tersebut.

Moratorium dapat menyelamatkan hutan tropis yang tersisa

Penebangan hutan untuk industri (industri logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan tropis dalam skala masif. Kecepatan penyusustan hutan alam antara tahun 1984 dan 1998 adalah sebesar 1,6 juta hektar per tahun, dan saat ini telah melampaui 2,4 juta hektar per tahun salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia.

Tutupan hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkuatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Sebagian besar hutan produksi dalam keadaan rusak parah, dan hutan-hutan tropis asli hanya tersisa di kawasan-kawasan konservasi seperti Taman Nasional, hutan Lindung Cagar Alam. Namun mal ngnya kawasan hutan ini tetap berada dalam ancaman terutama oleh aktifitas pembalakan haram (illegal logging) dan operasi pertambangan. Dengan tingkat kehancuran seperti ini, dimana lebih dari sparuhnya diakibatkan oleh operasi penebangan haram, maka WALHI memperkirakan hutan di Sumatera akan hilang dalam waktu lima tahun, hutan di Kalimantan akan hilang dalam 10 tahun dan hutan Papua akan menyusul dalam kurun waktu 15 tahun.

Over kapasitas industri olah kayu adalah salah satu penyebab utama kehancuran hutan Indonesia. Setiap tahun, industri kayu memerlukan 100 juta meter kubik per tahun, dengan sebesar 51,1 juta meter kubik untuk konsumsi domestik dan sebanyak 48,9 juta meter kubik lainnya untuk keperluan ekspor. Dengan mengimpor sejumlah 21,9 juta meter kubik, maka sebesar 78,1 juta meter kubik kayu ditebang dari hutan-hutan Indonesia setiap tahunnya.

Dengan suplai resmi hanya sebesar 21,4 meter kubik yang berasal dari HPH, IPK atau tebang habis dan hutan rakyat, maka industri perkayuan kita mengalami over kapasitas sebesar 56,6 meter kubik atau sebesar 70 persen setiap tahun (Scotland, dkk). Dengan kata lain, tujuh dari sepuluh kayu di Indonesia berasal dari pemanenan illegal dan atau penebangan yang tidak tercatat.

Hutan alam Indonesia telah menyusut dengan cepat--baik kuantitasnya maupun kualitasnya--, namun itu disisi lain, industri olah kayu tumbuh dengan kecepatan konstan, terutama oleh pertumbuhan industri kertas dan bubur kertas (pulp). Dengan tumbuhnya industri-industri olah kayu tersebut maka gap atau kesenjangan antara suplai dan permintaan semakin menganga lebar. Ketidakseimbangan antara permintaan dan supali inilah yang menjadi salah penyebab maraknya penebangan haram.

Industri olah kayu Indonesia tidak saja bermasalah dengan penghancuran hutan, tetapi juga bermasalah dengan keuangan. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat ini menyita utang-utang sektor industri kehutanan sebesar 21,9 triliun rupiah(2 milyar dollar AS). Utang –utang oni terkonsentrasi kepada beberapa kelompok besar yang mempunyai hubungan politik denagn Orde Baru. Dua kelompok usaha memiliki 47% hutang (Bob Hasan 32% dan Djajanti Group 15%) di BPPB. Lebih dari separuh utang atau hampir 12 triliun rupiah dimiliki oleh industri olah kayu yang bahkan tidak memiliki HPH.

Sebagian besar industri kehutanan Indonesia yang telah menikmati rezeki kayu murah, dengan berbagai kemudahan dan insentif (keuangan dan kebijakan) serta telah menikmati hak-hak istimewa dan perlindungan bisnis dari pemerintah selama puluhan tahun, malah menyisakan masalah-masalah keuangan yang harus di tanggung oleh publik.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk reformasi kehutanan

Pada sidang SGI ke-9 tanggal 1-2 Februaro 2000 di Jakarta Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan menyampaikan 8 komitmen pemernitah dalam bidang kehutanan, sebagai berikut: (1) moratorium konversi hutan alam; (2) penutupan industri sarat utang; (3) penghentian penebangan hutan secara liar atau illegal logging; (4) restrukturisasi industri olah kayu; (5) rekalkulasi nilai sumberdaya hutan; (6) pengaitan program reforestasi dengan kapasitas industri; (7) desentralisasi urusan kehutanan, dan (8) penyusunan program kehutanan nasional.

Dalam penyusunan action plan pada bulan November 2000, komitmen ini ditambah menjadi: (9) penanggulangan kebakaran hutan; (10) penataan kembali hak-hak tenurial; (11) melakukan inventarisasi sumberdaya hutan; (12) memperbaiki sistem pengelolaan hutan

Ke-12 langkah tersebut diyakini dapat membawa perubahan mendasar dalam kehutanan menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih berkelanjutan (lestari). Untuk melaksanakan seluruh komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah membentuk Inter Departmental Committee on Forestry (IDCF) melalui keputusan presiden (Keppres) No. 80 tahun 2000 pada tanggal 7 Juni 2000 sebuah badan yang akan mengkoordinasikan dan melaksanakan seluruh komitmen pemerintaha dibidang kehutanan tersebut.

Usulan moratorium logging

Dalam krisis kehutanan seperti ini, moratorium logging (pembalakan kayu) skala besar dapat menjadi langkah awal bagi dilaksanakannya reformasi pengelolaan sumberdaya. Langkah-langkah moratorium pembalakan kayu dapat dilaksanakan secara bertahap dengan tujuan untuk menghentikan penebangan haram dan penebangan hutan yang merusak sambil memajukan usaha-usaha pengelolaan hutan yang lestari.

Perubahan sejati pengelolaan hutan kearah berkelanjutan hanya akan dapat terlaksana bila keseluruhan masalah diatas diselesaikan sekaligus. Penyelesaian masalah-masalah tersebut diatas hanya dimungkinkan dengan moratorium pembalakan kayu dilaksanakan terlebih dahulu. Moratorium logging harus dilaksanakan sampai tersusunnya sebuah frame-work (kerangka kerja) bagi pelaksanaan komitmen reformasi diatas.

Keuntungan moratorium pembalakan kayu

Moratorium memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan berkelanjutan, seperti antara lain:

Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia

Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat serta penyergapan terhadap penebangan liar melalui teknologi monitoring satelit

Memberikan kesempatan unutk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan) sumberdaya hutan dan meningkatkan hasil sumberdaya hutan non-kayu

Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestic dengan membuka keran impor seluas-luasnya sehingga harga pasar kayu domestic sebanding dengan harga kayu bulat dunia

Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri oleh kayu dan mengkoreksi over kapasitas industri, hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing

Lewat mekanisme pasar, memaksa industri kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku

Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp unutk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya

Kerugian bila poratorium pembalakan kayu tidak dilaksanakan

Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan dating apabila tidak memberlakukan moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:

Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif

Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi

Tidak ada paksaan untuk industri unutk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku atau mengimpor lebih banyak

Industri pulp akan menunda-nunda pemabngunan hutan-hutan tanaman dan semakinjauh akan menghancurkan hutan alam

Defisit industri kehutanan sebesar US$ 2,5 milyar per tahun dari penebangan liar tidak bias dihentikan

Hutan dataran rendah di Sumatera akan habis dalam 5 tahun dan hutan dataran rendah Kalimantan akan habis dalam waktu 10 tahun

Kita akan kehilanagan basis industri yang menghasilkan devisa sebesar US$ 7 milyar pada masa yang akan dating dan bila sumberdaya hutan telah habis dan ratusan ribu pekerja disektor ini akan kehilangan pekerjaannya dalam masa 10 tahun mendatang

Kebutuhan kayu bagi industri dapat diimpor melalui kebijakan membuka keran impor kayu selebar-lebarnya. Marigin keuntungan dari industri kayu yang besar memungkinkan menggunakan suplai dari kayu impor. Tujuan jangka panjang pelaksanaan moratorium adalah menyeimbangkan kapasitas industri pada tingkat keberlanjutan hutan alam.

Subyek diberlakukannya moratorium tentu saja adalah pemerintah bersama masyarakat local. Dalam proses sosialisasi yang matang, maka masyarakat dapat menjadi aktor utama dalam memastikan bahwa moratorium ini dapat ditegakkan. Pemerintah-pemerintah daerah juga harus menjadi unsure penting dalam pelaksanaan moratorium ini bagi masa depan daerahnya.

Tahapan moratorium logging dan implementasi reformasi kehutanan

Moratorium pembalakan kayu hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah disektor kehutanan. Moratorium juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah moratorium dapat dilakukan selama dua hingga tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian pengeluaran ijin-ijin baru

Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK, perkebunan,sambil menghentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan kebijakan impor bagi industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000>

Komitmen reformasi yang dapat dilaksanakan pada tahap ini adalah komitmen # 1 (Moratorium konversi hutan alam) dan komitmen # 10 (penataan kembali hak-hak tenurial).

Tahap II: Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan

Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium dilaksanakan, penghentian ijin HPH bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh BPPN. Utang harus dibayar kembali pemilik dan penegakan hokum dilakukan bagi industri-industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independent oleh pihak ketiga.

Pada tahap ini, pemerintah dapat mengimplementasikan komitmen # 2 (Penutupan industri sarat utang) serta komitmen # 5 (Rekalkulasi nilai sumberdaya hutan).

Tahap III: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu di Sumatera dan Sulawesi, kedua pulau ini hutannya terancam. Penataan kembali wilayah hutan di Sumatera dan Sulawesi serta penanganan masalah social akibat moratorium logging dengan mempekerjakan kembali pekerja pada proyek-proyek penanaman pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina.

Pada tahap ketiga ini, pemerintah dapat melaksanakan komitmen # 4 (Restrukturisasi industri olah kayu); komitmen # 6 (Pengaitan program reforestasi dengan kapasitas industri); Komitmen # 7 (Desentralisasi urusan kehutanan) dan komitmen # 3 (Penghentian penebangan hutan secara liar atau illegal logging).

Tahap IV: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalah-masalah potensi social

Dalam waktu satu tahun moratorium pembalakan kayu dilaksanakan, pemerintah dapat menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kalimantan dan penanganan masalah social yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan melalui sebuah kebijakan nasional.

Pada tahap ini, langkah-langkah reformasi dapat dilaksanakan dengan melaksanakan komitmen # 12 (Memperbaiki system pengelolaan hutan) serta komitmen # 8 (Penyusunan program kehutanan nasional)

Tahap V: Larangan sementara penebangan hutan diseluruh Indonesia

Dalam waktu 2-3 tahun, penghentian seluruh penebangan kayu dihutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh Indonesia. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat local.

Psda tahap ini, pemerintah dapat menjalankan komitmen # 9 (Penanggulangan kebakaran hutan) serta komitmen # 11 (Melakukan inventarisasi sumberdaya hutan).

Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

Moratorium di negara lain

Pelaksanaan moratorium pembalakan kayu nampaknya sulit dilaksanakan, tetapi banyak Negara di Asia Pasifik menggunakan moratorium untuk menghentikan penebangan haram dan mengontrol degradasi hutan. Kamboja, Filipina , Vietanam dan Papua Nugini telah menggunakan moratorium pada decade terakhir ini dengan maksud untuk menghentikan penebangan liar.

Negara Cina dan Thailand telah melarang penebangan hutan alam untuk melindungi banyak nilai-nilai dan ekonomi yang tergantung pada hutan alam yang terancam oleh penebangan kayu (logging). Indonesia seharusnya mengikuti jejak Negara tetangganya bila berniat untuk menyelamatkan hutan tropis yang tersisa. Berikut ini adlah ringkasan singkat dari penggunaan moratorium dan larangan penebangan hutan (logging ban) di Thailand, Cina dan Papua Nugini.

Thailand (1988)

Menyusul banjir besar dan tanah longsor akibat penebangan hutan, Thailand menerapkan larangan penebangan kayu di hutan-hutan Negara (hutan public). Permintaan larangan penebangan kayu diminta oleh organisasi petani Thailand dan kelompok lingkungan selama bertahun-tahun. Larangan penebangan hutan tersebut masih berlangsung hingga kini.

Cina (1998)

Setelah puluhan tahun mengalami bencana, Cina melarang penebangan 80 persen kawasan hutannya yang tersisa. Keputusan ini dikeluarkan menyusul terjadinya banir besar di kawasan dataran endah di sekitar sungai kuning dan sungai yang tse. Banjir tersebut meminta korban ratusan jiwa dan sementara itu jutaan rumah musnah dihantam banjir, dengan kerugian ekonomi diperkirakan lebih 10 miliar dolar.

Larangan penebangan berdampak pada sekitar 1 juta pekerja kehutanan. Separuh diantaranya kemudian dipekerjakan pada proyek-proyek penanam pohon (umumnya menggunakan pohon-pohon asli untuk memulihkan lahan hutan yang mengalami degradasi). Sementara itu, seperempat diantaranya menjadi penjaga hutan yang terlibat di dalam perlindungan dan pemulihan kawsan-kawasan hutan-hutan asli. Pemerintah Cina mengakui bahwa keputusan itu akan mengakibatkan langkah mundur terhadap tujuan mereka menjadi swasembada kayu. Kebutuhan kayu bagi industri perkayuan Cina ditutupi dengan impor dari luar negeri. Industri perkayuan Cina justru meningkat selama dilaksanakannya moratorium pembalakan kayu.

Papua Nugini (1999)

Papua Nugini menetapkan moratorium terhadap pemberian ijin baru HPH, akibat masalah-masalah social dan lingkungan yang muncul akibat penebangan pohon oleh HPH-HPH. Sebuah kajian dilakukan pemerintah saat ini untuk pelanggaran yang terjadi pada HPH yang beroperasi dan terhadap ususlan HPH baru. Pemberian HPH baru ditunda sampai rekomendasi atas kajian dapat diselesaikan. [selesai]



Longgewa Ginting

No comments: