Saturday, September 09, 2006

MEWUJUDKAN PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN MELALUI RENTE EKONOMI DAN DISTRIBUSINYA YANG BERKEADILAN

PERSOALAN YANG TIDAK PERNAH TUNTAS

Sesungguhnya ada tiga isu dalam judul ini, yaitu pengelolaan hutan lestari, keadilan distribusi manfaat-biaya dan rente ekonomi. Dalam gugus kebijakan kehutanan tidak berada pada tingkat yang sama, dua isu pertama adalah prinsip kondisi yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan, sedang rente ekonomi instrumen kebijakan. Dalam struktur demikian persoalan yang muncut sesungguhnya adalah adanya konflik kebijakan, dan tidak terpenuhinya persyaratan kehausan dan kecukupan dari kebijakan tersebut.

Kajian rente ekonomi sudah banyak dihasilkan, demikian juga pembahasannya sudah beberapa kali, oleh berbagai lembaga domestik maupun internasionai. Dari berbagai kajian itu pada dasarnya menggunakan rumus yang sama dengan variasi a) penghitungan tanpa dimensi waktu, artinya hanya pada satu tahun tertentu, b) penghitungan dengan dimensi waktu, untuk periode waktu tertentu. Adapun hasil penghitungan bervariasi, hal wajar saja apabila penghitungan dilakukan pada waktu berbeda, namun perbedaan secara substansial terjadi pada beberapa hal berikut ini yaitu :

1. Penentuan harga

2. Biaya produksi/pengelolaan hutan

3. Faktor resiko – ketidakpastian, dan entrepreneurship

Kebijakan Pemerintah (Dephut) mengenai larangan ekspor logs dan pengintegrasian pengusahaan hutan dengan industri pengolahan kayu, dimana kebijakan sepert itu telah melahirkan struktur pasar monopsoni, yang membawa implikasi ketidakadilan harga, dimana harga sumberdaya (kayu) terlalu rendah.

Disisi lain terdapat biaya produksi yang tidak relevan (irrelevant) dari sudut pandang paham normatif, meskipun dari sudut pandang paham posilif, biaya ini riil di dalam kegiatan pengelolaan hutan / produksi. Disini juga terjadi ketidakadilan, karena biaya-biaya tidak relevan sesungguhnya pengambilan manfaat oleh pihak yang tidak berhak untuk mengambilnya. Biaya-­biaya ini masuk kedalam biaya transaksi, baik berupa biaya informasi, biaya layanan administrasi, sumbangan, biaya keamanan dan lain-lain.

Faktor ketiga pandangan para pemegang hak pengusahaan hutan bahwa dalam pengelolaan hutan tingkat resiko sangat tinggi dan entrepreneurship harus dibayar mahal. Padahal pengusahaan hutan alam itu tidak memiliki resiko yang tinggi, bahkan memiliki turn over (perputaran modal) yang tinggi. Hal ini menjadikan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh para pelaku usaha bidang kehutanan.

Dengan harga sumberdaya (kayu bulat) yang rendah dan biaya (dengan ditambah biaya tidak relevan) cukup tinggi, maka seolah-olah unit usaha kayu bulat dalam situasi jauh dari untung, sehingga beban rente ekonomi sudah sangat tinggi, padahal rente ekonomi itu berpindah kepada pemegang kekuasaan / pembuat kebijakan dan pihak industri. Potensi rente ekonomi sesungguhnya cukup tinggi, tetapi potensi itu berpindah tangan kepada pihak-pihak yang tidak seharusnya memperolehnya. Oleh karena itu adanya usulan kenaikkan tarif iuran-iuran kehutanan tidak pernah mendapat respon, dengan berbagai alasan, yang sesungguhnya berujung pada ketidakadilan tersebut.

Harga sumberdaya yang rendah memberikan kinerja palsu di sektor industri perkayuan, yang seolah cukup mampu bersaing di pasar internasional dan menghasilkan devisa yang tinggi. Padahal efisiensi industri perkayuan rendah, industri hidup dengan menghisap kehidupan di sektor primer (pengusahaan hutan), yang akibatnya terjadi pengurasan hasilnya adalah degradasi sumberdaya hutan, dan penurunan kualitas lingkungan.

Faktor-faktor tersebut di atas ini terkait erat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (Dephut). Dengan demikian kebijakan pemerintah telah menumbuhkan ketidakadilan, dimana masyarakat luas menanggung biaya berupa kerusakan suberdaya hutan dan lingkungan, dan hilangnya rente eknomi yang seharusnya dapat direalisasikan (biaya opportunitas), efisien yang rendah juga sesungguhnya menimbulkan biaya bagi masyarakat.

Lantas dengan segala persoalan yang ada dalam pengelolaan/ pengusahaan hutan yang telah berlangsung lama dan masih berlangsung sampai saat kini, apakah rente ekonomi dapat dijadikan salah satu pilihan instrumen kebijakan ekonomi dalam pengelolaan hutan lestari. Ini nampaknya tidak mungkin karena :

1. Harga tidak mencerminkan kelangkaan sumberdaya

2. Biaya tidak mencerminkan perilaku produksi diminishing return to scale, dengan quota produksi pada tingkat produktivitas hutan.

Sekali lagi berbagai kebijakan kehutanan gagal membangun kondisi (syarat keharusan dan kecukupan) bagi berlakunya mekanisme rente ekonomi di dalam keputusan produksi.

Jadi sudah jelas bagi kita semua kebijakan kehutanan yang terus dipertahankan sampai saat ini gagal mencapai pengelolaan hutan lestari dan keadilan distribusi manfaat biaya.

BERBUATLAH DAN BERUBAHLAH

Pembahasan kebijakan, kajian ekonomi dan kajian teknis sudah banyak dilakukan, tetapi hanya berakhir sampai di ruang diskusi dan dokumen. Persoalan tetap melekat, enggan

Menghilangkan, rent seeking dan free rider hidup subur, versus sumberdaya dan masyarakat menderita.

Apabila pengambilan keputusan atau kebijakan kehutanan dan pelaku bisnis berlaku unfair tetap on the stage, dan tetap tidak menyadari hal itu, apakah akan ada perubahan yang menyelesaikan pesoalan-persoalan yang ada ini ?. Sudah saatnya berbuat untuk perubahan itu.

Jika bicara keadilan, maka akhiri ketidakadilan (unfairness mundurlah sebagai langkah regenerasi, berikanlah kesempatan generasi muda untuk berperan optimal secara lebih baik, bukankah teori rehabilitasi hutan dengan regenerasi sumberdaya telah kita pahami semua.

Mari kita dukung dan sukseskan Kongres Kehutanan Indonesia-III ini menjadi tonggak sejarah perubahan itu ? semoga..!



By: Dudung Darusman

No comments: