Ketika hampir semua alternatif solusi kandas, lembaga-lembaga internasional tak punya taji, lalu peran apa yang bisa dimainkan oleh Indonesia? Sejauh ini Indonesia belum berperan secara maksimal. Tidak ada sikap kreatif dan berani dari pemerintah untuk menembus kebuntuan jalan damai di Timur Tengah ini. Lain dengan kerja pemerintah yang dinilai lamban, masyarakat Indonesia justru sudah tidak sabar untuk segera bergerak. Selain gencar melakukan demonstrasi, masyarakat juga telah mengirimkan voluntir perang dan relawan kemanusiaannya.
Gerakan Bom Jihad di Pontianak mengklaim telah mengirimkan 70 relawan. Beberapa organisasi masih terus membuka posko-posko pendaftaran jihad untuk diberangkatkan. Yang jelas sudah bergerak adalah tiga relawan kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Mereka menyalurkan 1,1 milyar rupiah dari masyarakat Indonesia untuk para korban perang di Lebanon. Bila pemerintah terus bersikap lunak, gumpalan emosi masyarakat untuk membantu rakyat Lebanon dan Palestina tidak mendapatkan katarsis. Harapan dan emosi mereka potensial menjadi gerakan yang lebih radikal dan tidak terkendali.
Modal Indonesia
Memang pemerintah telah mengecam agresi Israel dan siap mengirimkan pasukan perdamaian untuk misi perdamaian. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Bahkan komitmen yang tampaknya positif itu bisa menjadi blunder. Apa jadinya bila yang dimaksud pasukan perdamaian itu hanya melucuti senjata Hezbollah secara sepihak sementara pasukan Israel tidak ditarik ke belakang 'garis biru'. Itu sama artinya dengan membiarkan pasukan Israel bercokol di wilayah Lebanon. Kehadiran pasukan perdamaian menjadi muspra. Lalu, apa alternatifnya?
Pembukaan konstitusi dan arah politik luar negeri Indonesia jelas mengamanahkan perlunya partisipasi atau prakarsa pemerintah dalam mewujudkan perdamaian dunia secara bebas dan aktif. Dalam praktiknya, Indonesia pernah memprakarsai gerakan kemerdekaan dan perdamaian dunia melalui Konferensi Asia Afrika 1955 yang menghasilkan Gerakan Non-Blok. Gerakan ini berhasil merangsang kemerdekaan di beberapa negeri dan membuat keseimbangan baru dunia di luar bandul Blok Barat dan Blok Timur. Belakangan Indonesia juga dipercaya berperan aktif dalam lembaga-lembaga baru PBB seperti, Dewan HAM PBB, Peace Building Comission, dan Democracy Fund's Advisory Board. Seharusnya modal ini dapat membuat pemerintah percaya diri menjadi pemain utama dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Dengan modal seperti itu pula, kecaman pemerintah terhadap Israel dan kesiapan mengirim pasukan perdamaian terasa terlalu lunak. Biasa-biasa saja. Apalagi negara-negara lain, kecuali AS dan Inggris, melakukan hal yang sama. Indonesia semestinya dapat berbuat lebih banyak. Di antaranya adalah melobi AS agar menekan Israel dan yang tak kalah pentingnya adalah mendorong terwujudnya persatuan Arab dalam konteks menghadapi Israel. Ini penting karena tak ada yang disegani Israel kecuali AS. Sementara Lebanon dan Palestina tidak bisa berharap bantuan banyak selain kepada saudara-saudaranya di Dunia Arab. Barangkali akan muncul pertanyaan, kalau lembaga-lembaga internasional saja tidak mampu melobi pihak-pihak yang bertikai, apakah Indonesia bisa berbuat banyak?
Dua Poros Lobi
Kalaupun Indonesia tidak mungkin menekan Amerika Serikat sendirian, upaya itu dapat ditempuh melalui pelbagai cara. Salah satunya melalui PBB, khususnya Dewan HAM PBB. Indonesia sebagai salah satu dari 47 negera anggota Dewan HAM PBB seharusnya mampu menggalang lobi untuk menekan Amerika Serikat. Dalam konteks ini, komunikasi dan forum negara-negara Non-Blok juga bisa dioptimalkan.
Negeri Paman Sam ini harus diyakinkan bahwa kebijakannya di Timur Tengah kontraproduktif bagi perdamaian dunia. Kampanye perang melawan teror yang dikumandangkannya bisa hancur karena makin maraknya sentimen anti-AS dan radikalisme. Kaum moderat yang disponsorinya juga makin tersudut karena dianggap tidak punya keberpihakan dan sensitifitas kemanusiaan. Lebih dari itu, national interest Amerika sendiri banyak yang dirugikan akibat dukungan tanpa batasnya kepada Israel.
Penelitian John Mearsheimer dari Chicago University dan Stephen Walt dari Harvard University dalam The Israel Lobby (LRB, Vol. 28 No. 6, 23 Maret 2006) menunjukkan betapa sokongan AS kepada Israel justru berdampak buruk terhadap kepentingan nasional Amerika. Tingkat kebencian dan sikap antipati terhadap Amerika makin hari makin meningkat dan meluas. Sementara Israel semakin bebas memperluas wilayahnya dan meneguhkan superioritasnya di Timur Tengah. Amerika Serikat sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan ketika sebagian negara Arab memberi fasilitas kepada Amerika untuk menyerbu Irak, Israel tidak memberikan sejengkal tanah pun kepada AS untuk dijadikan pangkal militer. Ringkasnya, tidak pernah dalam sejarahnya Israel membantu Amerika Serikat secara ekonomi, politik, maupun keamanan.
Lebih jauh kedua ilmuwan berpengaruh di AS itu juga mendedahkan kenapa Israel tetap menjadi faktor paling menentukan dalam pengambilan kebijakan luar negeri AS. Menurut keduanya, kekuatan lobi Israel di tingkat eksekutif maupun yudikatif sangat kuat. Dipelopori oleh AIPAC (The American-Israel Public Affairs Committee) dan The Conference of Presidents of Major Jewish Organisations, lobi-lobi Israel sangat menentukan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Hasilnya tentu saja selalu menguntungkan pihak Israel.
Kekuatan lobi inilah yang tidak dimiliki oleh negara-negara pro-Palestina dan Lebanon ketika berhadapan dengan AS. Padahal bila kekuatan lobi Israel dapat dikalahkan dan pemerintah plus publik Amerika dapat diyakinkan bahwa kebijakan di Timur Tengah berdampak buruk bagi negerinya, tidak tertutup kemungkinan mereka mau berubah haluan. Kebijakan baru dibuat. Israel didesak menarik pasukannya dari Lebanon dan melakukan gencatan bersenjata tanpa syarat. Pasokan senjata pun dihentikan.
Lobi terhadap Amerika Serikat ini harus diimbangi dengan soliditas negara-negara Arab baik dalam menghadapi AS maupun Israel. Persatuan Arab yang terkoyak setelah kalah menghadapi Israel tahun 1948-1973 perlu direvitalisasi kembali. Indonesia dan negara-negara di Islam di luar Arab dapat memediasi persatuan Arab ini. Baik melalui OKI ataupun forum-forum lain yang memadai. Sebab sulit mengharapkan persatuan Arab dengan mengandalkan kesukarelaan dan kesedaran mereka sendiri. Polarisasi mazhab, kelompok, kabilah, atau kesukuan menjadi ganjalan yang berarti. Kelompok Sunni sulit berdampingan dengan kelompok Syi'ah. Mereka yang pro-Barat, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Jordania enggan bersikap sama dengan mereka yang anti-AS, seperti Iran dan Suriah. Indonesia bersama negara lain (misalnya Malaysia dan Brunei Darussalam) mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendudukkan negara-negara Arab itu di satu kursi untuk melawan Israel. Alangkah kuat dan kerasnya tekanan Arab jika negara seperti Arab Saudi, Mesir, Jordania, Suriah, plus Iran bersatu memaksa Israel mundur dari Lebanon. Amerika dan Israel pasti berhitung dibuatnya. Wallahua'lam bis shawab.
By : Syifa Amin W
Gerakan Bom Jihad di Pontianak mengklaim telah mengirimkan 70 relawan. Beberapa organisasi masih terus membuka posko-posko pendaftaran jihad untuk diberangkatkan. Yang jelas sudah bergerak adalah tiga relawan kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Mereka menyalurkan 1,1 milyar rupiah dari masyarakat Indonesia untuk para korban perang di Lebanon. Bila pemerintah terus bersikap lunak, gumpalan emosi masyarakat untuk membantu rakyat Lebanon dan Palestina tidak mendapatkan katarsis. Harapan dan emosi mereka potensial menjadi gerakan yang lebih radikal dan tidak terkendali.
Modal Indonesia
Memang pemerintah telah mengecam agresi Israel dan siap mengirimkan pasukan perdamaian untuk misi perdamaian. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Bahkan komitmen yang tampaknya positif itu bisa menjadi blunder. Apa jadinya bila yang dimaksud pasukan perdamaian itu hanya melucuti senjata Hezbollah secara sepihak sementara pasukan Israel tidak ditarik ke belakang 'garis biru'. Itu sama artinya dengan membiarkan pasukan Israel bercokol di wilayah Lebanon. Kehadiran pasukan perdamaian menjadi muspra. Lalu, apa alternatifnya?
Pembukaan konstitusi dan arah politik luar negeri Indonesia jelas mengamanahkan perlunya partisipasi atau prakarsa pemerintah dalam mewujudkan perdamaian dunia secara bebas dan aktif. Dalam praktiknya, Indonesia pernah memprakarsai gerakan kemerdekaan dan perdamaian dunia melalui Konferensi Asia Afrika 1955 yang menghasilkan Gerakan Non-Blok. Gerakan ini berhasil merangsang kemerdekaan di beberapa negeri dan membuat keseimbangan baru dunia di luar bandul Blok Barat dan Blok Timur. Belakangan Indonesia juga dipercaya berperan aktif dalam lembaga-lembaga baru PBB seperti, Dewan HAM PBB, Peace Building Comission, dan Democracy Fund's Advisory Board. Seharusnya modal ini dapat membuat pemerintah percaya diri menjadi pemain utama dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Dengan modal seperti itu pula, kecaman pemerintah terhadap Israel dan kesiapan mengirim pasukan perdamaian terasa terlalu lunak. Biasa-biasa saja. Apalagi negara-negara lain, kecuali AS dan Inggris, melakukan hal yang sama. Indonesia semestinya dapat berbuat lebih banyak. Di antaranya adalah melobi AS agar menekan Israel dan yang tak kalah pentingnya adalah mendorong terwujudnya persatuan Arab dalam konteks menghadapi Israel. Ini penting karena tak ada yang disegani Israel kecuali AS. Sementara Lebanon dan Palestina tidak bisa berharap bantuan banyak selain kepada saudara-saudaranya di Dunia Arab. Barangkali akan muncul pertanyaan, kalau lembaga-lembaga internasional saja tidak mampu melobi pihak-pihak yang bertikai, apakah Indonesia bisa berbuat banyak?
Dua Poros Lobi
Kalaupun Indonesia tidak mungkin menekan Amerika Serikat sendirian, upaya itu dapat ditempuh melalui pelbagai cara. Salah satunya melalui PBB, khususnya Dewan HAM PBB. Indonesia sebagai salah satu dari 47 negera anggota Dewan HAM PBB seharusnya mampu menggalang lobi untuk menekan Amerika Serikat. Dalam konteks ini, komunikasi dan forum negara-negara Non-Blok juga bisa dioptimalkan.
Negeri Paman Sam ini harus diyakinkan bahwa kebijakannya di Timur Tengah kontraproduktif bagi perdamaian dunia. Kampanye perang melawan teror yang dikumandangkannya bisa hancur karena makin maraknya sentimen anti-AS dan radikalisme. Kaum moderat yang disponsorinya juga makin tersudut karena dianggap tidak punya keberpihakan dan sensitifitas kemanusiaan. Lebih dari itu, national interest Amerika sendiri banyak yang dirugikan akibat dukungan tanpa batasnya kepada Israel.
Penelitian John Mearsheimer dari Chicago University dan Stephen Walt dari Harvard University dalam The Israel Lobby (LRB, Vol. 28 No. 6, 23 Maret 2006) menunjukkan betapa sokongan AS kepada Israel justru berdampak buruk terhadap kepentingan nasional Amerika. Tingkat kebencian dan sikap antipati terhadap Amerika makin hari makin meningkat dan meluas. Sementara Israel semakin bebas memperluas wilayahnya dan meneguhkan superioritasnya di Timur Tengah. Amerika Serikat sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan ketika sebagian negara Arab memberi fasilitas kepada Amerika untuk menyerbu Irak, Israel tidak memberikan sejengkal tanah pun kepada AS untuk dijadikan pangkal militer. Ringkasnya, tidak pernah dalam sejarahnya Israel membantu Amerika Serikat secara ekonomi, politik, maupun keamanan.
Lebih jauh kedua ilmuwan berpengaruh di AS itu juga mendedahkan kenapa Israel tetap menjadi faktor paling menentukan dalam pengambilan kebijakan luar negeri AS. Menurut keduanya, kekuatan lobi Israel di tingkat eksekutif maupun yudikatif sangat kuat. Dipelopori oleh AIPAC (The American-Israel Public Affairs Committee) dan The Conference of Presidents of Major Jewish Organisations, lobi-lobi Israel sangat menentukan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Hasilnya tentu saja selalu menguntungkan pihak Israel.
Kekuatan lobi inilah yang tidak dimiliki oleh negara-negara pro-Palestina dan Lebanon ketika berhadapan dengan AS. Padahal bila kekuatan lobi Israel dapat dikalahkan dan pemerintah plus publik Amerika dapat diyakinkan bahwa kebijakan di Timur Tengah berdampak buruk bagi negerinya, tidak tertutup kemungkinan mereka mau berubah haluan. Kebijakan baru dibuat. Israel didesak menarik pasukannya dari Lebanon dan melakukan gencatan bersenjata tanpa syarat. Pasokan senjata pun dihentikan.
Lobi terhadap Amerika Serikat ini harus diimbangi dengan soliditas negara-negara Arab baik dalam menghadapi AS maupun Israel. Persatuan Arab yang terkoyak setelah kalah menghadapi Israel tahun 1948-1973 perlu direvitalisasi kembali. Indonesia dan negara-negara di Islam di luar Arab dapat memediasi persatuan Arab ini. Baik melalui OKI ataupun forum-forum lain yang memadai. Sebab sulit mengharapkan persatuan Arab dengan mengandalkan kesukarelaan dan kesedaran mereka sendiri. Polarisasi mazhab, kelompok, kabilah, atau kesukuan menjadi ganjalan yang berarti. Kelompok Sunni sulit berdampingan dengan kelompok Syi'ah. Mereka yang pro-Barat, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Jordania enggan bersikap sama dengan mereka yang anti-AS, seperti Iran dan Suriah. Indonesia bersama negara lain (misalnya Malaysia dan Brunei Darussalam) mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendudukkan negara-negara Arab itu di satu kursi untuk melawan Israel. Alangkah kuat dan kerasnya tekanan Arab jika negara seperti Arab Saudi, Mesir, Jordania, Suriah, plus Iran bersatu memaksa Israel mundur dari Lebanon. Amerika dan Israel pasti berhitung dibuatnya. Wallahua'lam bis shawab.
By : Syifa Amin W
No comments:
Post a Comment