Wednesday, August 09, 2006

Seorang Kawan

Perjalanan hidup manusia memang serba tak terduga. Siapa yang bisa menyangka, Mardin, kawan yang terkenal royal pada masa kuliah tiga tahun yang lalu, kini setelah tiga tahun menikah dan sudah punya dua orang anak, jangankan untuk menraktirku menonton film di bioskop seperti yang selalu ia lakukan seusai menerima gajinya di setiap awal bulan, untuk membeli sebatang rokok pun kini ia harus pikir-pikir. Pakaiannya pun kelihatannya sudah lusuh dan mungkin tidak pernah diganti dengan yang baru. Sinar matanya redup menandakan kelelahan yang sangat dalam pergulatan hidup yang keras. Ada apa dengan kawan ini? Itulah pertanyaan dalam batinku, ketika aku bertemu dengannya di rumah kontrakanku setelah dua tahun lamanya aku tak berjumpa dengannya.

Sore itu seusai shalat ashar, aku mengetik skripsiku yang hampir rampung di ruang tamu kontrakanku. Lapat-lapat kudengar suara dua orang laki-laki yang rasanya pernah aku kenal dekat. Radius suara itu makin dekat saja ke tempatku. Pintu masih tertutup. Beberapa saat kemudian, ada yang mengetuk pintu dan berucap: "Assalamu'alaikum." Aku beranjak dari depan komputer, sambil berjalan, "Wa'alaikumussalam", dan kubuka pintu. Betullah ternyata dugaanku. Dua laki-laki muda berdiri di depan pintu: Rizal dan Mardin. Rizal tidaklah mengejutkan bagiku. Setiap minggu aku biasa berkunjung ke tempat kostnya. Seperti aku, dia pun masih kuliah dan belum memutuskan untuk cepat-cepat berkeluarga. Tapi Mardin, mengapa dia datang dengan wajah buram seperti ini?

"Masuk, masuk. Lama tak berjumpa, nih. Bagaimana kabar?" kataku.

"Beginilah. Sudah lama tinggal di sini?" balasnya.

"Sudah. Sudah hampir setahun. Bagaimana kabar isterimu, anak-anakmu?"

"Baik. Sehat," jawabnya singkat.

Setelah puas mengobrol dan bernostagia hingga menjelang maghrib, aku persilahkan mereka untuk mandi. Setelah itu kami berjamaah di Mesjid yang dekat dari kontrakanku.

Usai shalat maghrib, Rizal minta izin untuk pulang. Ternyata Mardin turut meminta izin pulang juga. Kusarankan kepada mereka, menginap saja di kontrakanku. Jika pun tidak, paling tidak Mardin sendiri, sebab sudah lama tidak berjumpa. Apa salahnya dia bermalam di sini hanya untuk semalam, begitu jalan pikaranku berkata. Tiba-tiba Mardin memintaku berbicara dengannya di sudut Masjid. Ada apakah?

"Dai, sebenarnya aku ada perlu denganmu," katanya agak-agak segan, "Bisa kau bantu aku? Aku butuh uang untuk membayar kontrarakan tempat tinggal kami. Yang punya kontrakan sudah mencoba-coba meneror isteriku, jika tak dibayar pekan ini, ia memastikan akan mengusir paksa kami. Aku kasihan kepada situasi psikologis isteriku. Dia sangat tertekan sekali."

Aku terperanjat dengan perkataannya ini. Sungguh tak kuduga orang yang dulu berpantang meminta tolong kepada orang lain itu, kini seakan bersimpuh di hadapanku mengharap moga-moga aku memberikan jalan keluar baginya. Aku belum percaya dengan perkataannya itu. Mana bisa aku percaya ada perubahan sikap setajam ini padanya. Kawan yang dulu kukenal ini adalah orang yang tegar dan pantang membikin tangan di bawah. Egonya merasa terhina jika sempat ia melakukan itu. Pernah suatu ketika dia kekurangan uang untuk membayar rekening listriknya. Tak sedikit pun ia mencoba meminjam uang kepadaku, kendatipun ia tahu aku punya uang untuk itu. Sebagai kawan yang juga tempat kostnya berdekatan, apa salahnya ia melakukan itu. Saat itu aku pun tak berinisiatif menawarkan bantuan kepadanya, karena kutahu ia tak akan menerima tawaranku. Bisa-bisa ia menafsirkan dirinya sebagai beban orang lain saja. Kalau sudah seperti itu, harga dirinya akan terusik. Dengan cekatan ia dapatkan uangnya dari menarik angkot yang ia pinjam sehari dari teman sekampungnya. Tapi mengapa tiba-tiba sekarang ia berubah? Inilah yang tidak kumengerti itu.

"Berapa perlunya, Din?" tanyaku. Aku sengaja tak mencoba menanyakan ketidakmengertianku kepada sikapnya yang berubah itu. Kupikir-pikir, apa gunanya aku menanyakan hal itu kepadanya. Bisa-bisa ia menjadi malu dan mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan kepadaku.

"Aku butuh lima puluh ribu rupiah lagi. Dua ratus ribu sudah ada," katanya.

Aku terdiam sejenak. Mengapa cuma perlu lima puluh ribu rupiah, jauh-jauh datang kemari? Tidak bisakah kawan ini mencarinya di tempat lain seperti yang ia lakukan waktu dulu? Sebelum aku mengiyakannya, ia melanjutkan bicaranya:

"Sudah sebulan ini aku tak punya kerjaan. Kios buku yang kami buka di pasar Jatinegara itu, sudah hancur. Tak ada lagi yang tersisa di sana. Entah siapa yang membakarnya. Padahal sumber hidup keluargaku seratus persen berasal dari sana," katanya dengan pilu, "Aku terpukul sekali dengan musibah ini. Sungguh tak pernah kubayangkan, akan terjadi seperti ini. Aku belum melunasi semua utang-utangku ke distributor. Kini tanpa berperasaan mereka menagih semua utang-utang itu. Aku sudah coba jelaskan duduk persoalannya kepada mereka. Tapi mereka tidak mau tahu dengan keadaan itu. Akhirnya terpaksa aku melelang motor dan beberapa perhiasan isteriku. Tak ada lagi yang tersisa sekarang selain mungkin beberapa peralatan masak."

Tanpa berpikir panjang kuberikan keperluannya itu, meskipun uang di dompetku menjadi tersisa dua puluh ribu rupiah. Spontan aku melupakan keperluanku untuk seminggu ke depan yang tidak mungkin ditalang dengan tenaga uang sebanyak dua puluh ribu rupiah. Namun rasanya puas sekali dapat membantu orang seperti kawan ini. Dengan raut wajah penuh terima kasih, akhirnya Mardin permisi untuk pulang dan kedua kawan ini meninggalkanku di sudut Masjid dalam keadaan pikiran gundah.

* * *
Mardin adalah kawan seangkatan di masa kuliah dulu. Sama-sama aktif di gerakan ekstra unversitas. Saya masih ingat perannya saat memimpin barisan mahasiswa dalam menumbangkan pagar pengaman di depan gedung DPR/MPR sehingga para mahasiswa dengan leluasa dapat menyerbu masuk ke dalam gedung rakyat itu. Mungkin kalau pers jeli dalam mencatat kronologi pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa pada tahun 1998 itu, kiranya peristiwa itu menjadi story tersendiri dalam aksi penumbangan rezim Soeharto tersebut. Saat itu, sebagai kordinator lapangan, betapa gagahnya dia bentrok dengan para aparat yang kala itu masih dalam garang-garangnya. Tidak lama setelah itu, dia pun memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihannya. Saya ikut menemaninya melamar calon isterinya kepada orang tua gadis itu. Setahun kemudian aku baru bertemu lagi dengannya kala syukuran kelahiran anak pertamanya. Masa itu kelihatan kehidupan ekonomi keluarganya masih sehat-sehat saja.

* * *

Suatu petang, sebulan lebih kurang setelah kedatangannya yang pertama ke rumah kontrakakanku, dia datang kembali. Kali ini dia hanya datang seorang diri. Aku sebenarnya tidak merasa nyaman dengan banyaknya dia mengeluh tentang nasib keluarganya. Dikatakannya, isterinya mengalami radang tenggorokan karena meminum air fasilitas rumah kontrakan mereka yang tidak memenuhi standard kesehatan. Untuk ke Puskesmas memeriksa dan mengobatinya, mereka tidak punya uang. Ujung-ujungnya dia memintaku supaya memberikan bantuan kepadanya.

Selepas shalat maghrib aku meminta untuk ikut pulang bersamanya sekaligus ingin menengok keadaan keluarganya. Terutama aku ingin sekali melihat jagoannya yang sudah lancar merangkak seperti yang ia ceritakan itu. Di dalam perjalanan menuju rumahnya, setelah kuberikan tiga lembar sepuluh ribu rupiah seperti yang dimintanya, aku utarakan rencanaku hendak menikah dalam waktu dekat ini. Kuceritakan juga profil calon isteriku kepadanya. Dia antusias sekali mendengar rencanaku itu. Pendeknya ia akan mendukung dengan segala kemampuan yang ia miliki. Bila perlu, seperti tawarannya, ia bersedia menjadi piar dalam proses pernikahan kami.

Setibanya di rumah kontrakannya yang mungil, waktu sudah menunjukkan pukul 21. 00 WIB. Berarti hampir tiga jam di perjalanan dari tempatku ke tempatnya. Hal itu wajar saja, karena tiga kali ganti angkot baru sampai ke tempat tinggalnya. Pintu terbuka, kulihat isteri dan anak-anaknya sedang bercengkerama di ruang tamu. Mardin memberitahukan kedatanganku kepada isterinya.

"Assalamu'alaikum. Apa kabar," kataku kepada isterinya.

"Wa'alaikum salam," sahutnya datar.

Kugendong jagoannya yang menggemaskan itu. "Dialah yang membuat semangatku tidak pernah padam dalam hidup ini," kata Mardin sambil menatap jagoannya yang montok. Sedang putrinya yang pertama, terlihat agak malu-malu kepadaku. Tidak cepat akrab seperti adiknya.

Isterinya sudah siap menghidangkan makan malam dengan tumis kangkung ala kadarnya. Kemudian ia mempersilahkan kami untuk mencicipi masakannya. Aku pun sudah lapar, langsung saja kusantap yang terhidang di hadapan kami. Entah mengapa makan secara bersama nikmatnya terasa lebih dibanding dengan makan sendirian. Inikah namanya barakah?

Malam itu, sebelum mataku terpejam, pikiranku menerawang sampai ke langit-langit kamar tidur yang diterangi lampu pijar 25 watt. Mengapa selalu saja ada yang tidak adil dalam kehidupan ini? Apa kurangnya kawan ini, tapi mengapa rezekinya begitu payah? Sayup-sayup setengah berbisik kudengar percakapan Mardin dengan isterinya. "Besok kamu ke Puskesmas saja. Ini ada sedikit uang untuk keperluan itu," katanya kepada isterinya. Hatiku teriris dengan percakapan itu. Ya, Tuhan, betapa menyedihkannya kesulitan yang dialami kawan ini. Aku teringat dengan cerita-cerita sekolompok masyarakat yang menghabiskan uang dua sampai tiga juta rupiah dalam beberapa jam saja pada moment malam tahun baru yang lalu. Betapa kontrasnya kehidupan ini! Andaikan uang yang dihamburkan itu diberikan kepada kawan ini, alangkah bermanfaatnya. Tapi mana mungkin timbul pikiran seperti itu pada mereka. Akhirnya segalanya terbawa ke alam mimpi. Paginya aku tidak ingat lagi apa yang terjadi dalam mimpiku, selain ngilu sayatan yang dalam kurasakan dalam hatiku karena rekaman pesta pora para selebriti dan orang-orang pemburu kenikmatan hidup.



By : Syahrul ED

No comments: