Friday, May 26, 2006

Masyarakat Mutamaddin dan Demokrasi Lokal Perspektif Ormas

A higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (IbnuKhaldun).

Demokrasi di tingkat lokal menjanjikan dua kemungkinan sekaligus, yakni: kemajuan dan kemunduran atau perubahan dan kemandegan. Apabila demokratisasi itu berjalan secara substatif maka perubahan menuju tata masyarakat yang maju dapat diharapkan. Sebaliknya jika proses demokrasi itu hanya menyentuh aspek-aspek yang superfisial, hanya formalitas dan ritual demokrasi belaka, maka angan-angan tentang perubahan itu hanya akan menjadi mimpi. Salah satu yang menjadi penentu apakah demokratisasi akan mengarahkan masyarakat pada peradaban yang luhur (tamaddun) atau tidak adalah masyarakat itu sendiri.

Masyarakat yang apatis dan berpartisipasi secara pasif atau oportunistik dalam konteks demokratisasi di wilayahnya sangat berpotensi untuk melahirkan kualitas peradaban yang rendah. Di dalamnya tidak ada interpersonal trust (kepercayaan antar-orang) dan civic engagement (ketelibatan sosial masyarakat) juga nihil. Padahal keduanya, menurut Putnam dalam Making Democracy Work (1993), merupakan faktor yang sangat penting (crucial) bagi kukuhnya bangunan demokrasi. Dengan demikian keruntuhan demokrasi tinggal menunggu waktuny saja.

Sebaliknya bila masyarakat memupunyai partisipasi kritis dalam konteks demokratisasi itu, maka kekuatan tamadduni bisa mengarahkan masyarakat kepada kualitas peradaban yang lebih baik. Kekuatan gerakan tamadduni yang asasnya adalah sinergi antara konsolidasi ketauhidan, sosial, dan budaya terbukti menjadi penopang utama bagi demokrasi yang bernafas keagamaan. Dalam desertasinya yang berjudul Religious Democrats (2003), Dr, Saiful Mujani mendedahkan sebuah hasil penelitian bahwa kesalehan seorang muslim mempunyai kontribusi yang positif bagi demokrasi. Menurutnya, kepercayaan kepada Allah, mengerjakan ibadah wajib, kegemaran mengerjakan amalan sunnah, dan keaktifan dalam organisasi islam maupun sekuler di tingkat lokal maupun nasional secara linear mempunyai korelasi yang langsung dan positif bagi kekuatan masyarakat sipil yang pada gilirannya menjadi pondasi bagi demokrasi yang substantif.

Oleh sebab itu, penting bagi organisasi massa atau organisasi non-pemerintah untuk melakukan gerakan partisipasi kritis terhadap proses demokrasi yang berlangsung di daerahnya. Gerakan inilah kemudian yang penulis sebut sebagai gerakan tamadduni. Ia membasiskan dirinya pada ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban adiluhung. Peradaban itu dirumuskan oleh Ibnu Khaldun sebagai A higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architectur (Mustafa Kamil Ayub, 2004).

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik Masyarakat Mutamaddin meliputi empat aspek, yakni: aspek keberagamaan (A higher form of religion), aspek kenegaraan (a well-organized state, a system of law), aspek kemasyarakatan (city life), dan aspek kebudayaan (writing (script),art, and architectur).

Tercapainya tingkat ketamaddunan yang tinggi di sebuah masyarakat memerlukan partisipasi aktif dan kritis dari masyarakat yang tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki tata kenegaraan saja, tetapi juga tata kemasyarakatan, keberagamaan, dan kebudayaan sekaligus. Artinya apa? Ritual demokrasi melalui pemilu adalah sesuatu yang perlu untuk melakukan regulasi kepempinan dan keterwakilan politik. Demikian pula adanya sistem hukum yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat juga sangat diperlukan. Akan tetapi formalisme demokrasi semacam itu saja tidak cukup. Masyarakat Mutamaddin juga membutuhkan kepeloporan organisasi-organisasi independen di dalam masyarakat untuk menggerakkan konsolidasi demokrasi di tingkat akar rumput. Hal ini utamanya bisa diperankan oleh organisasi-organisasi keagamaan non-partisan untuk menggarap perbaikan kualitas keberagamaan, meninggikan kualitas hubungan sosial, dan menumbuhkan kreatifitas kebudayaan. Oleh sebab itu penting bagi organisasi masyarakat di tingkat lokal untuk melakukan tigal utama sebagai pondasi masyarakat tamaddun di wilayahnya. Pertama, penguatan visi lokal, kedua, penguatan partisipasi lokal, dan ketiga, pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal.

Singkatnya, dalam konteks demokratisasi di tingkat lokal, kekuatan tamadduni merambah di dua aras sekaligus; negara dan masyarakat. Di satu sisi, negara harus dipaksa untuk menjadi a well-organized state yang dicirikan dengan adanya akuntabilitas, transparansi, bersih dari segala praktik menyimpang, sistem hukum yang baik, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang bertamaddun juga mempunyai partisipasi yang lebih substantif dalam konteks demokratisasi daripada hanya partisipasi formalistik melalui pemilu. Partisipasi itu pada gilirannya akan memperbaiki kualitas keberagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan. Wallahua`lam bis shawab.

By : Syifa A.W

No comments: