Menarik, membincang masa depan demokratisasi di Indonesia di tengah menguatnya subkultur keagamaan pada hasil pemilu legislatif 2004 yang lalu. Tawaran yang kemudian mengemuka demi merawat masa depan demokratisasi ini adalah dengan jalan sekularisasi politik (Kompas, 8 Mei 2004). Sekularisasi politik yang dimaksud adalah membebaskan partai politik dari sentimen keagamaan.
Fenomena melambungnya suara PKS (Partai Keadilan Sejahtera) melampaui perolehan partai Islam PAN, sejatinya memberikan ruang bagi konstituennya untuk menjadikan partai ini menuju cita-cita transenden politik berupa kesejahteraan yang sejatinya (al-sa'adah al-haqiqiyah) dengan jalan menjalankan pemerintahan syari'ah (al-siyasah al-syar'iyah) secara substantif, berupa tumbuhnya rasa keadilan dan tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Pemerintah yang bersih dan peduli merupakan magnet baru.
Demikian juga secara mengejutkan perolehan dari PDS (Partai Damai Sejahtera) yang mengantongi perolehan sebanyak 2,13 persen melampaui partai-partai baru lainnya yang berbasis nasionalis dan sekuler yang hanya memperoleh suara kurang dari satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa betapa menguatnya kembali subkultur keagamaan dalam arena politik.
Tawaran sekularisasi politik dalam membaca fenomena dua 'partai sejahtera' di atas (PKS & PDS) yang mengedepankan sentimen keagamaan perlu kita sikapi secara cermat jangan sampai hal ini mengarah kepada simbolisasi agama berupa misalnya menaruh salib atau menaruh kaligrafi di istana negara seperti yang terlontar dalam diskusi Kompas tanggal 28 April 2004. Kalau kita ingin merawat demokrasi di Indonesia maka kita harus mendudukkan persoalan ini secara kritis dan jernih.
Politisasi Tuhan
Sebenarnya khittah awal munculnya 'politisasi Tuhan' dalam arena politik muncul dari doktrin agama yang menjadikan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi, yang dalam agama Islam disebut dengan konsep khalifah. Ditambah lagi dalam sejarah awal perkembangan Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad terbentuk sebuah rejim khilafah atau kekhalifahan yang mempertegas bahwa ada pertautan tegas antara agama dan politik, dimana politik harus didasarkan atas hukum-hukum agama (siyasah diniyyah) atau yang kita sebut sebagai nomokrasi religius. Penguasa akhirnya menamakan dirinya sebagai khalifatullah yang bertugas untuk menjalankan hak-hak allah atas hamba-hambanya (QS. Al-An'am: 165).
Sebenarnya konsepsi pemimpin sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) justru sedari awal sudah dijegal oleh al-Mawardi - seorang teoretikus pertama tentang politik Islam yang mengatakan bahwa penyebutan khalifatullah adalah hal yang keliru karena perwakilan hanya dapat dilakukan bagi orang yang sudah meninggal, sementara Allah bersifat abadi. Untuk mempertegas pendapatnya ini, al-Mawardi mengangkat peristiwa sahabat yang memanggil Abu Bakar dengan "wahai khalifah Allah", ia menjawab "aku bukan khalifah Allah, namun aku adalah khalifah Rasulullah).
Demikian juga hal yang sama juga terjadi pada Umar khalifah kedua, yang membentak sahabat ketika memanggilnya khalifah Allah dalam politik. Kemudian sahabat memanggilnya khalifah Rasulullah, tapi Umar balik berkata bahwa khalifah Rasulullah itu Abu Bakar yang sudah wafat. Lalu sahabat memanggilnya khalifah khalifah rasulullah. Kata Umar panggil saja aku seorang pemimpin. Dari narasi di atas jelas bahwa dalam politik termasuk sejak rezim khalifah Islam Tuhan tidak dibawa-bawa dalam politik. Bahkan Nabi Muhammad pun menjadi pemimpin bukan ditunjuk oleh Allah sebagaimana Nabi Daud melainkan diangkat oleh rakyat Madinah secara demokratis karena dianggap bisa menengahi dua kaum yang saling bertikai saat itu. Karena itu, praktek politik sejatinya harus bersifat sekuler, karena negara sekuler adalah negara madani non-aliran dan non-sektarian. Oleh karena itu dibutuhkan visi kepemimpinan postreligius dalam merawat proses demokratisasi di Indonesia.
Kepemimpinan Postreligius
Istilah postreligius di sini tidak bisa dimaknai sebagai antireligius, melainkan pembacaan terhadap hubungan agama dan kekuasaan yang melampaui agama (beyond religion). Khittah awal kepemimpinan postreligius ini adalah bahwa kalau kita percaya bahwa kenabian telah berakhir pada Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi yang berhak mengklaim sebagai penggantinya dalam urusan politik. Bagaimana mungkin kita menggantikan nabi sebagai simbol kerasulan untuk mengurusi persoalan non-kerasulan. Benar kata al-Asymawi bahwa Allah menghendaki Islam sebagai agama (din); tetapi manusialah yang menghendaki Islam sebagai politik. Mengalihkan domain agama pada ranah politik, hanya kan mempersempit ruang gerak dari agama itu sendiri. Agama akan bersifat ekslusif, temporal, picik dan sebagainya.
By : Buddy
No comments:
Post a Comment