Wednesday, May 10, 2006

Memimpikan Indonesia Sebagai Poros Dialog Peradaban

Jakarta (7/5), Islam di Asia Tenggara, dengan kepeloporan Indonesia, memiliki peluang yang paling baik untuk menjadi poros peradaban sebab watak toleran dan moderat dari Islam di Indonesia diyakini mampu belajar, menyerap, dan sekaligus berdialog dengan pelbagai kekuatan peradaban.

Rencana kunjungan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada 10-11 Mei ini memperkuat keyakinan, bahwa Indonesia mempunyai posisi strategis dalam konteks peradaban dunia. Tidak hanya para petinggi negara-negara Barat yang melihat potensi Indonesia dalam agenda dialog peradaban. Republik Revolusi Islam Iran, sebuah negara yang dipersepsikan radikal dan dituduh sebagai poros setan pun, juga melihat posisi strategis Indonesia dalam konteks dialog dan diplomasi peradaban ini. Untuk itu, the sleeping giant yang bernama Indonesia ini harus segera bangun dan bangkit sebagai bangsa besar. Dengan kebangkitan itulah Indonesia akan mampu menjadi pusat gravitasi dialog peradaban dunia.

Kenapa Indonesia?
Negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini sebenarnya sangat potensial memainkan peran penting di dunia global. Akan tetapi pemerintah dan otoritas-otoritas yang berkompeten belum berinisiatif mengambil peran itu. Rendahnya inisiatif pemerintah terlihat dari pembangunan ekonomi yang masih berbasis pada hutang, terutama hutang luar negeri. Dan tak ada terobosan yang berarti untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kalangan masyarakat sipil juga mengidap penyakit yang serupa. Sinergi antar pemuka agama atau lembaga-lembaga non-pemerintah tak terlihat. Padahal semua itu penting untuk mengokohkan bangunan keindonesiaan, yang pada gilirannya, memperbesar kans Indonesia menjadi pusat gravitasi dialog peradaban dunia.

Namun demikian, semua itu tak menyurutkan peluang Indonesia untuk menjadi bangsa besar. Jumlah populasi yang besar dapat menjadi modal. Ditambah lagi dengan watak masyarakatnya yang toleran. Alvin Toffler, seorang futurolog, dalam sebuah ceramahnya di hadapan Muslim Melayu (Indonesia dan Malaysia) memperkuat optimisme ini. Sebagaimana dikutip oleh Dr. Mustafa Kamil Ayub (2000), ia mengatakan: You are here a test case for Islam. If you could develop your region, the center of Islam will move from the Middle East to this region. Kenapa Alvin Toffler tampak begitu optimis dengan Islam di kawasan ini? Tantu saja ada beberapa alasan. Di antaranya adalah berkaitan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang unik.
Cak Nur pernah mencatat tiga karakteristik utama masyarakat Muslim berdasarkan iklim dan alam yang mengitarinya. Pertama, Desert Islam (Islam Sahara). Islam kategori ini berada di wilayah Timur Tengah (Arab) dan kawasan Afrika Utara (White African). Ciri utamanya adalah warna tribal yang kental dan cenderung agresif. Kedua, Savanah Islam (Islam Sabana). Kaum Muslim yang berasal atau tinggal di wilayah Persia, Pakistan, dan Afrika Hitam (Black African) termasuk model Islam Sabana ini. Umumnya mereka menyukai model dan praktik keagamaan yang estetik, gnostik, dan spiritualistik. Ketiga, Archipelagic Islam (Islam Kepulauan). Ini adalah Islam yang berkembang di wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan.
Karakter keberagamaannya meski cenderung pasif tapi memiliki sikap yang toleran.

Meski pemilahan yang dilakukan Cak Nur tadi sangat bermanfaat, tapi ada beberapa wilayah yang luput. Sebagaimana diketahui bahwa Islamic hemisphere (belahan dunia Islam) tidak hanya tersebar di wilayah Arab, Afrika Sahara, Afrika Sub-Sahara, atau Melayu saja. Perlu dicatat juga penyebaran Islam di Asia Selatan (Pakistan-Bangladesh), Asia Tengah (eks Uni Soviet), Dunia Barat (Eropa dan AS), serta Islam di Cina. Semua memiliki potensi untuk menjadi pusat peradaban Islam yang koeksisten dengan peradaban-paradaban lainnya. Dari zaman klasik hingga modern peran itu berturut-turut dimainkan oleh Madinah, Damaskus, Baghdad, Mesir, Andalusia, Afrika Utara, dan terakhir Turki. Kini dunia Islam kehilangan pusat sekaligus orientasi peradabannya. Lalu, siapa yang paling potensial mengemban amanah untuk berinisiatif membangun peradaban itu?

Dunia Arab (Timur Tengah pada umumnya) di masa kontemporer tak bisa diharapkan. Selaras dengan karakteristiknya (yang tribal dan agresif), mereka selalu diwarnai dengan pusaran konflik yang tak berkesudahan. Lalu, apakah mungkin berharap kepada negeri-negeri Asia Tengah (Uzbekistan, Kazakhstan, dsb.) dan Asia Selatan (Iran, India, Pakistan)? Konsolidasi Islam di Asia Tengah belum maksimal pasca represi rejim komunis Uni Soviet. Negeri-negeri di Asia Selatan juga masih tak bisa dilepaskan dari lingkaran konflik tak berkesudahan, baik dengan negeri-negeri tetangga mereka maupun dengan dunia luar. Negeri-negeri di Afrika masih berjuang untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan politiknya. Dalam posisi yang seperti ini, maka Islam di Indonesia (plus Malaysia) sesungguhnya mempunyai peran yang sangat strategis.

Islam di Asia Tenggara, dengan kepeloporan Indonesia, memiliki peluang yang paling baik untuk menjadi poros peradaban. Ini tidak hanya didasari oleh karena Indonesia mempunyai jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Utamanya adalah karena watak toleran dan moderat dari Islam di bumi pertiwi ini diyakini mampu belajar, menyerap, dan sekaligus berdialog dengan pelbagai kekuatan peradaban. Namun disadari bahwa modal karakteristik Islam yang seperti itu saja tidak cukup. Dibutuhkan konsolidasi pondasi-pondasi peradaban yang lebih intens dan konkret.

Penguatan Tiga aspek
Pertama, yang patut dicamkan adalah bahwa pembangunan peradaban dimanapun tak bisa dilepaskan dari konstruk filosofis (mode of thought) yang melandasinya. Revolusi Prancis menghasilkan rumusan filosofis; liberte, fraternite, dan egalite. Lain halnya dengan filosofi yang melandasi Revolusi Amerika. Dengan diilhami oleh White Anglo Saxon Protestan (WASP) yang nota bene mendasarkan diri pada etika Protestan, kaum imigran di AS merumuskan filosofi revolusi negeri barunya dalam slogan; life, liberty, dan pursuit of happiness.

Untuk konteks Indonesia, Pancasila sebagai landasan teologis (filosofis) bangsa ini harus dielaborasi dan dilaksanakan secara konsekuen. Inilah konsolidasi peradaban tingkat pertama. Sayang di aspek ini Indonesia tampak belum mempunyai kekuatan enforcement untuk mempraktikkannya. Kepercayaan kepada Tuhan lazim hanya berbuah ritus. Padahal bakti kepada Tuhan meniscayakan penghargaan setinggi-tingginya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kasus pelanggaran HAM yang tak tuntas dan berakhir pada impunitas pelakunya, menandakan tidak seriusnya kita dalam agenda kemanusiaan ini.

Amanah konsolidasi peradaban yang kedua adalah keharusan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ternyata cita keadilan sosial ini juga masih jauh dari kenyataan. Meningkatnya angka kemiskinan (mencapai 30% dari jumlah penduduk) dan pengangguran (BPS 2005: 10,24%) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di negeri ini masih dinikmati oleh segelintir orang saja. Membaiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar di pasar uang tidak seiring-sejalan dengan perbaikan taraf kehidupan ekonomi rakyat di tingkat riil. Oleh sebab itu, langkah kedua dalam konteks konsolidasi peradaban ini adalah dedikasi seluruh kegiatan ekonomi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indikatornya adalah berkurangnya kemiskinan dan pengangguran secara drastis.

Kemudian, konsolidasi peradaban yang juga harus diintensifkan adalah investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Peluang perbaikan sumber daya manusia Indonesia sangat terbuka bila anggaran 20% untuk pendidikan terealisasi. Hanya saja memang diperlukan perbaikan birokrasi terlebih dahulu agar dana yang diperkirakan mencapai 125 triliun rupiah itu tidak dikorupsi dan mencapai sasaran yang tepat. Kini, yang menjadi kendala bagi pembangunan sumber daya manusia ini adalah mahalnya biaya pendidikan. Orang miskin mempunyai akses yang sangat terbatas pada pendidikan yang baik. Padahal jumlah orang miskin makin meningkat saja.

Konsolidasi peradaban di tingkat filosofi, ekonomi, dan pendidikan adalah sebuah keharusan. Filosofi yang kokoh akan memandu sebuah peradaban ke arah peradaban yang agung. Sejarah mencatat keunggulan peradaban Yunani, Arab, India, Persia, Eropa hingga Cina yang berbasis kokoh pada bangunan filosofisnya. Penopang peradaban berikutnya yang tak kalah penting adalah ekonomi. Gairah industri dan perdagangan terbukti mampu menjadi penyangga utama peradaban di Eropa dan Amerika.

Di atas itu semua adalah perlunya memperkuat basis pendidikan. Dari sinilah penyegaran filosofi berbangsa bermula, ketrampilan dan profesionalisme diasah, serta karakter sebuah generasi dibangun. Sejarah kebangkitan Jepang dari keterpurukan Perang Dunia II membuktikan kekuatan pendidikan sebagai basis pembangunan peradaban. Lalu, bagaimana dengan kita? Wallahua`lam bis shawab.

By : Syifa A.W

No comments: