Membangun paradigma pendidikan yang benar dalam konteks kekinian adalah merupakan salah satu tuntutan didalam proses penyelesaian persoalan sistem pendidikan nasional yang merupakan salah satu bagian dari sistem keindonesiaan. Problematika keilmuan pada saat ini, hilangnya nilai- nilai ke- Tuhanan pada konteks keuniversalitasan bangunan keilmuan yang merupakan pondasi dasar proses pendidikan, akhirnya sangat memberikan pengaruh besar terhadap proses pendidikan bangsa kita. Proses pendidikan bangsa, tidak lagi mampu memberikan proses pencerdasan nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Terbukti oleh adanya keterpisahan pemahaman, atau cara pandang terhadap pendidikan formal (sekolah, kuliah) dan pendidikan informal (lembaga-lembaga kemasyarakatan). Predikat pendidikan hanya mampu dimiliki oleh mereka yang kebetulan punya kesempatan bersentuhan dengan institusi pendidikan (pendidikan formal), sedangkan mereka yang kebetulan tidak punya kesempatan untuk bersentuhan dengan Institusi pendidikan (pendidikan formal) terkadang harus menerima predikat Orang yang tidak berpendidikan, Lebih fatalnya lagi hal tersebut dianggap sebagai sebuah aib.
Keterpisahan paradigmapun, bukan hanya sampai pada tingkatan antara pendidikan formal maupun informal, bahkan sampai pada muatan nilai pendidikan, yaitu intelektualitas, spiritualitas maupun emosionalitas yang merupakan variable untuk memberikan muatan kualitas pendidikan. Hal ini menyebabkan institusi pendidikan harus kehilangan orientasinya dalam rangka melakukan proses pencerdasan nilai kemanusiaan masyarakat. Proses pendidikan yang dilakukan oleh institusi pendidikan seharusnya merupakan ordinat didalam mendorong terjadinya perubahan sistem keindonesian yang lebih baik lagi seperti yang dicita- citakan oleh masyarakat indonesia, bukannya malah mempolitisasi pendidikan. Pendidikan akhirnya menjadi salah satu instrumen oleh para elite politik, pejabat serta "kaum pemodal" untuk mempertahankan proses eksploitasi, baik eksploitasi sumber daya manusia (SDM) maupun eksploitasi sumber daya alam (SDA). UU No. 60 Thn. 1999 merupakan bukti, dimana institusi pendidikan dikatakan telah menjadi badan usaha milik bangsa, yang artinya institusi pendidikan harus menyetor kepada negara bukannya mendapatkan subsidi pendidikan.
Centralisasi pendidikan ternyata masih dipertahankan oleh pemerintah kita dalam hal ini oleh dinas yang terkait yaitu Dinas pendidikan Nasional (Diknas), terbukti bahwa kurikulum pendidikan bangsa kita harus tetap mengacu pada keputusan mentri (Kepment No 155 Thn... ). Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan undang- undang otonomi daerah serta undang- undang otonomi kampus. Dimana ruang gerak atau ekspresi maupun kreatifitas untuk mengembangkan kualitas proses pendidikan yang benar-benar sesuai dengan potensi lokal akan mengalami keterpasungan. Dalam konteks budaya, centralisasi pendidikan juga memunculkan terjadinya centralisasi budaya (Monistik budaya) pengajaran, adanya dominasi budaya yang baik sadar ataupun tanpa sadar memaksakan satu budaya. Lebih dari itu tentunya juga mengakibatkan munculnya centralisasi kebenaran, kebenaran yang harusnya relative pada tingkat manusia akhirnya dipahami secara mutlak.
Sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan terhadap realitas dunia pendidikan hari ini, dimana telah terjadi pergeseran "paradigma pendidikan" ditingkat masyarakat bangsa kita. Baik masyarakat elite, menengah maupun masyarakat bawah (kaum awam: red). Hal ini diakibatkan adanya problem dalam cara pandang masyarakat kita terhadap pendidikan itu sendiri, pendidikan hampir tidak pernah dilihat dari sudut pandang yang lebih holistik (keseluruhan) atau pendidikan ditinjau dari sudut pandang pendidikan itu sendiri. Fenomena yang berkembang dalam cara pandang masyarakat terhadap pendidikan malah sering kali cenderung materealistik, sehingga membentuk pola hidup yang akhirnya juga cenderung individualistik. Apa- apa yang dimiliki dalam "kesuksesannya" dianggap hasil dari usahanya sendiri, kerja kerasnya sendiri dan yang lebih parah maunya dimiliki sendiri. Terlupa bahwa, "kesuksesesan" yang kita raih pasti juga dipengaruhi oleh variable-variable diluar diri kita, terlebih variable nilai transendental (ketuhanan). Hal ini kemudian yang menyebabkan terbentuknya miniatur egoisme "kepemilikan" yang sering kali memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas diri yang kemudian menyebabkan munculnya potensi konflik dalam bangunan sosial kemanusiaan kita.
Pergeseran "paradigma pendidikan" sebetulnya juga sangat dipengaruhi oleh bangunan keilmuan (sains) yang ada dalam sistem pendidikan nasional kita. Memang, harus diakui bahwa pengaruh dari sejarah perkembangan keilmuan zaman Romawi, Yunani sampai Islam memberikan kontribusi positif maupun negatif terhadap peradaban dunia. Karena semuanya tergantung dari manusia itu sendiri untuk memanfaatkan ilmu, apakah untuk tujuan eksploitasi ataukah untuk tujuan kemakmuran Bumi. Pembicaraan yang sangat menarik sebetulnya ketika pendidikan ternyata sangat punya kaitan dengan bangunan keilmuan. Dapat kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan keilmuan, betapa dalam sejarah perkembangan keilmuan memberikan hikmah terhadap kita, bahwa proses pendidikan sebetulnya tidak pernah terdikotomikan dengan bangunan keilmuan dan dimana bahwasanya bangunan keilmuaan juga tidak pernah terdikotomikan antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Seperti contoh, sosok Ibnu shina yang ahli dalam ilmu kedokteran tapi juga seorang filosof, Enstein yang dalam eksperimennya terhadap keberaturan Alam semesta akhirnya mengakui bahwa pasti ada "Master Designer" yang mengatur keberaturan Alam semesta ini dan masih banyak tokoh yang lainnya. Artinya, bahwa dalam proses pendidikan yang dialami haruslah mampu memberikan nilai kecerdasan kemanusiaan yang lebih holistik, mendapati konsep "kebenaran" baru yang empiris dan yang lebih penting semakin meningkatkan keyakinan terhadap nilai- nilai ketuhanan.
Lain halnya dengan apa yang berkembang dalam proses pendidikan bangsa kita, yang ternyata telah mereduksi makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak lagi bermakna "pendidikan" yang mempunyai muatan holistik (intelektual, spiritual, emosional) tapi lebih bermakna pada megahnya miniatur institusi pendidikan, politisasi pendidikan dan komersialisasi pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya manusia yang nantinya mampu untuk lebih membawa martabat serta derajat bangsa, memberikan kewibawaan bangsa yang mempunyai tradisi intelektual, yang bukan malah membanggakan tradisi korupsi. Hal yang sangat memprihatinkan sekali ketika memaknai pendidikan hanya sekedar saja, sekedar sekolah, sekedar kuliah pada akhirnya juga nantinya akan memunculkan manusia yang hanya "sekedar manusia". Manusia yang tidak memahami akan tanggung jawab kemanusiaannya secara individu maupun sosial, secara vertikal maupun horizontal. Inilah potret wajah dunia pendidikan bangsa kita yang ternyata sangat jauh sebetulnya dari orientasi pendidikan. Banyak pengakuan orang- orang yang menganggap dirinya berpendidikan tapi sesungguhnya tidak cukup "berpendidikan". Kenapa...? sebab pendidikan tidak hanya identik dengan keberadaan kita di institusi pendidikan saja, tapi juga identik dengan bangunan moralitas, akhlak, etika, estetika dan juga logika. Pendidikan mempunyai orientasi proses pencerdasan nilai kemanusiaan yaitu nilai ntelektualitas, spritualitas juga emosionalitas. Jadi kita berhak untuk mengklaim diri orang yang "berpendidikan" ketika kita benar- benar merasa mempunyai kualitas kecerdasan yang holistik.
Penutup
Dalam rangka menyambut hari Pendidikan Nasional marilah kita mengevaluasi kembali pergeseran "paradigma pendidikan" harus segera disadari oleh setiap stake holder bangsa ini, baik itu kaum elite, menengah maupun masyarakat bawah. Kesadaran terhadap betapa pentingnya proses pendidikan adalah merupakan salah satu variable didalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sentuhan terhadap pergeseran paradigma pendidikan merupakan langkah awal dalam mengawali perubahan sistem pendidikan nasional bangsa kita. Sebab, harus diakui bahwa sistem pendidikan nasional bangsa kita belum mampu untuk memberikan muatan kecerdasan yang lebih holistik. Seperti jargon tentang pendidikan yang berbasis kompetensi, sebetulnya hal itu belum relevan dengan realitas pendidikan nasional kita. Karena belum ada kurikulum yang benar- benar punya relevansi terhadap produktifitas Sumber daya Alam, contohnya dan masih banyak lagi yang lain. Sehingga perlu setiap pihak yang merasa resah dengan problematika pendidikan untuk berperan aktif dalam melakukan kampanye terhadap keprihatinan pendidikan bangsa. Wallahua'lam bis shawab
By : Buddy
No comments:
Post a Comment