Friday, May 05, 2006

Realita Diknas: Guruku Sayang, Guruku Malang (Hari Pendidikan Nasional)

NESTAPA lama para guru yang mengajar di Jakarta, khususnya, sudah mulai terobati. Gaji mereka naik, dan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagaimana dengan guru yang bukan pegawai negeri sipil atau dosen sekalipun, apakah mereka juga memperoleh 'kenikmatan' baru tersebut? Di luar mereka, masih banyak yang terpaksa mengurut dada sembari tetap berdoa agar nasib merekapun segera berubah.

Kenaikan gaji guru sudah lama diperbincangkan. Berbagai argumentasi rasional dipaparkan dengan begitu apik, tetapi validitas faktual yang membenarkan kemutlakan ke­naikan gaji bagi para pendidik itu tak pernah dapat direalisasikan. Hampir semua rezim yang berkuasa di negeri ini pernah berjanji untuk memperhatikan dan memperjuangkan nasib guru. Dengan seabrek apologi, janji-janji itu masuk ke tong sampah. Nasib guru tetap tidak berubah. Gaji mereka tetap kerdil, dan kesejahteraan morat-marit. Kita menyambut hangat keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan gaji guru. Keputusan ini akan memotong mata rantai dilema besar dunia pendidikan kita. Selama ini pendidikan kita berkutat di antara dua karang: gaji guru yang kecil di satu sisi dan kualitas pendidikan yang rendah di sisi lain.

KUALITAS pendidikan rendah akibat guru yang tidak bermutu. Guru tidak bermutu ekses dari gaji yang kecil. Bagaimana mungkin orang yang berkualitas baik memasuki dunia pendidikan kalau gaji yang bakal mereka terima mini. Kalaulah kemudian generasi muda kita memilih profesi ini, kita mengasumsikan pilihan itu sebagai sebuah keterpaksaan. Dan, rata-rata mereka yang terjun ke dunia ini bukan yang terbaik di kelasnya. Mereka yang berkualitas tentu akan memilih melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, manakala gaji guru tinggi dan sudah memadai dilihat dari aspek pemenuhan kebutuhan hidup, niscaya generasi muda yang berkualitas akan cenderung memilih profesi ini sebagai pilihan utama. Dengan demikian ada harapan untuk mengubah wajah kusam dunia pendidikan kita. Kualitas pendidikan secara pasti bakal dapat diperbaiki karena guru dengan mudah mampu menerje-mahkan program dan kurikulum pendidikan. Guru yang mumpuni akan dengan sendirinya dapat mengembangkan bahan pengajaran dan media pembelajaran yang berkualitas pula.

Sisi positif ini sudah lama dipresentasikan, namun meski mulut sudah berbusa-busa menerangkannya, terpinggiran profesi ini masih belum juga dapat dibenahi. Pemerintah selalu punya dalih untuk menunda perbaikan nasib guru. Terhadap keputusan Pemda DKI menunjukkan common sense-nya kepada guru kita patut memberi apresiasi. Cuma bagaimana dengan nasib guru yang lain. Guru honorer, guru bantu, guru TK, dan guru lainnya yang ada di daerah? Ini persoalan yang belum terpecahkan.

Persoalan lain, setelah struktur gaji diperbaiki, terkait dengan jenjang karir guru. Kita juga melihat persoalan ini masih menyisakan residu yang tidak kalah paradoks. Bukan rahasia umum lagi, tidak sedikit guru yang berprestasi tetapi jenjang karirnya tidak berkembang. Sementara ada guru yang prestasinya di bawah rata-rata justru memperoleh promosi jabatan. Ketidakjelasan dalam skema karir para guru ini juga bisa berpengaruh terhadap kinerja dan spirit pengabdian. Kita tidak menghendaki guru berkualitas kehilangan gairah hanya karena ketidakjelasan jenjang karir. Semua hal harus mendapat penataan ulang, jika kita concern sepenuhnya untuk memperbaiki nasib guru dan dunia pendidikan kita. Wallahua'alam bis shawab

By : Buddy

No comments: