Thursday, April 27, 2006

Pasar Modern VS Pasar Tradisional

Terobosan demi terobosan dalam membenahi kantong-kantong ekonomi terus dilakukan, termasuk merenovasi wadah transaksi ekonomi. Pasar tradisional yang makin tersudut dan terpinggirkan di tengah-tengah konglomerasi ritel mulai menggeliat. Operator pasar DKI Jakarta, PD Pasar Jaya mengambil langkah berani. Dalam agenda kerja institusi ini sebanyak 90 pasar tradisional yang tersebar di seantero Jakarta akan dipercantik secara bertahap. Tahun 2006 ini sebanyak 20 pasar yang mulai dipugar. Bujet yang dialokasikan sebesar Rp240 miliar. Sedangkan sisanya akan dilaksanakan hingga pada 2010 dari seluruh pasar tradisional yanga ada di Jakarta sudah tidak tradisional lagi.

Keputusan untuk mempercantik dan membuat pasar tradisional tidak kumuh lagi, adalah langkah yang tepat. Pasar baru yang dibangun PD Pasar Jaya adalah pasar dalam kategori modern sekaligus mewah mengimbangi pusat-pusat peberlanjaan modern yang sudah lebih awal berdiri. Tujuan strategic ini jelas menguntungkan secara ekonomi, tetapi pada tataran social akan menenggelamkan para pelaku ekonomi tradisional (sector rill). Dapat dipastikan, tidak semua pemain tradisional yang sudah terbiasa berniaga ditempat kumuh, becek, berbau, mampu beradaptasi secara finansial di tempat yang berpendingin, bersih, dan penuh dengan aroma wewangian. Estimasi dan kalkulasi return investment adalah sebuah rasionalitas yang tidak terbantahkan. Artinya, penghuni baru pasar hasil renovasi bukan lagi pemain lama, melainkan pemain baru dan pemain lama yang tidak sangggup secara finansial akan termarginalkan dengan sendirinya.

Logika ini menjadi tidak berarti manakala PD Pasar Jaya tetap berpihak dan memberi empati ekonomi kepada pedagang kecil. Mereka harus tetap diberi prioritas utama unuk mengisi gedung baru bukan pendatang dengan finansial yang kuat.

Perang dagang yang terjadi pada pusat-pusat perbelanjaan saat ini sudah begitu mengkhawatirkan. Pasar tradisional sedikit demi sedikit terhempas bukan semata-mata karena kehadiran hypermarket, melainkan konglomerasi ritel yang kian menjamur di sejumlah pemukiman warga. Sekarang ini hampir di setiap sudut strategis lokasi pemukiman di Jakarta berdiri minmarket. Tak hanya pasar tradisional kehilangan pelanggan setianya, sejumlah warung atau toko tradisional yang menjadi tumpuan hidup pedagang kecil banyak yang gulung tikar.

Mengapa para pedagang kecil ini bangkrut, karena mereka tidak mampu bersaing dengan minimarket. Padahal, sebelum adanya konglomerasi ritel ini menjamah lokasi pemukiman, rata-rata toko dan warung tradisional bisa hidup.

Menghidupkan pasar tradisional berwajah modern tidak cukup dengan menyulap bentuk fisiknya saja, tetapi harus ada regulasi yang jelas dan kuat untuk memberikan pelindungan kepada para pengusaha kecil menengah (UKM). Selama ini, pemerintah masih cenderung obral janji daripada mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh para pengusaha UKM. Soal fasilitas kredit misalnya, bank masih tebangpilih untuk menyalurkan kreditnya kepada UKM. Disisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata, para pengusaha kecil ini kerap tidak mampu menjaga kontinuitas pasokan barang. Kelemahan-kekurangan ini mestinya menjadi perhatian dan bimbingan dari instansi terkait. Memodernkan pasar tradisional jalan tengah menju pemerdayaan baru pengusaha UKM. Asal modernitas pasar tidak menenggelamkan pemain tradisional. Mereka juga harus dimodernkan agar tidak tertinggal. Semoga!!!

By: Buddy

No comments: