Begitupun yang terjadi pada sistem masyarakat hari ini. Drama penghisapan manusia terhadap manusia sudah sejak lama berlangsung dipentaskan. Sang sutradara dengan jenius merancang drama tanpa banyak yang menyadarinya. Mereka mengira bahwa mereka sedang menonton saja tanpa terlibat sebagai pemain. Padahal sesungguhnya mereka sedang memainkan peran yang ada kalanya sebagai figuran, korban, pengganti, atau bahkan sebagai pemain utama.
Drama penghisapan manusia terhadap manusia ini akan selamanya berlangsung, jika manusia itu sendiri tidak menyadari bahwa drama itu sedang berlangsung di depan mata mereka dan sedang mereka perankan. Yang telah menyadari bahwa mereka sedang memainkan peran dalam drama tragis ini pun tidak akan sanggup menghentikan pagelaran drama tersebut, bila hanya sampai pada sebatas insyaf saja tanpa ada aksi untuk menghancurkan seluruh penopang terjadinya pagelaran drama tersebut. Yang memerankan sebagai si korban hanya akan sia-sia saja jika jalan keluarnya hanya berjuang keluar dari peran sebagai si korban untuk menjadi pemeran yang lebih enak dan menguntungkan. Yang demikian itu ibarat hanya bertukar peran saja, sementara drama terus saja berlanjut. Sama halnya mengganti pemain dengan pemain lain, yang tentu saja tidak akan menghentikan jalannya drama atau akan merusak skenario.
Drama yang berjudul Penghisapan Manusia Terhadap Manusia ini hanya bisa dihentikan jika si pemain yang paling menderita dalam drama tersebut bersatu untuk keluar dari pagelaran drama yang telah menyiksa mereka selama ratusan tahun tersebut, dan menghancurkan skenario, pendukung-pendukungnya, merobohkan pentasnya, terutama memenggal kepala sang sutradara dan penulis skenario tanpa harus menghiraukan rasa belas kasihan, karena mereka sendiri (sutradara, penulis skenario dan pemain-pemain inti) tidak pernah mempunyai rasa belas kasihan kepada mereka yang menjadi korban keganasan dari skenario jahat mereka.
Tetapi sebelum si korban keluar dari drama tersebut, sudah sejak dini disiapkan drama alternatif yang tidak lagi berjiwa kejam seperti sebelumnya sebagai tempat penyaluran dari mereka-mereka yang eksodus dari drama jahat tersebut. Mereka harus mempunyai tempat penyaluran yang lebih baik untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusian mereka. Di sinilah sesungguhnya tugas dan tanggungjawab utama para intelektual yang berhati nurani dan yang bermoral, bukan malah menjadi kucing peliharaan para pemilik kekuasaan.
* * *
Demikian pula adanya jika kita tarik dengan keadaan yang menghajar kita hari ini. Drama lama tetap saja berlangsung tanpa diketahui hingga episode ke berapa mesti berakhir. Seakan-akan semua orang pasrah saja dengan “takdir” yang menghajar mereka. Kalaupun ada yang menjerit dan meronta-ronta terhadap dekapan kuat Penguasa yang menyesakkan rongga napas mereka, itu pun hanya sebatas jeritan dan rontaan saja yang tidak ada artinya sama sekali bagi si Penguasa. Secuil pun tak ada hasilnya untuk mengendorkan dekapan kuat lengan-lengan kokoh si Penguasa.
Pemeran penghisap dan yang dihisap boleh saja gonta-ganti setiap saat. Kadang diperankan si kulit putih, si kulit hitam, si kulit coklat, Cina, Eropa, Arab, Jawa, Sunda, Batak, Kristen, Budha, Muslim, Syi'ah, Sunni, anggota NU, Muhammadiyah, Darul Arqam, alumni HMI, sipil, militer, dan seterusnya. Kalau jalan ceritanya tetap tidak berubah, maka hasil ceritanya pun tidak berubah, meskipun pemainnya digantikan oleh si Idealis dari kampung rakyat yang membawa segudang obsesi perubahan. Apalah yang dapat diperbuat oleh si Idealis, kalau perannya sudah ditentukan sejak awal oleh sang sutradara dalam drama tersebut. Alur cerita yang terprogram dalam drama itu sendirilah yang menentukan perannya dalam drama kehidupan yang mengenaskan tersebut. Maka sudah barang pasti, drama penghisapan manusia terhadap manusia pun akan terus berlanjut sampai yang dihisap habis dan punah dari tempatnya. Kalau sudah demikian, barulah berakhir drama kemanusian tersebut. Oh, demikian pahitkah keadaan yang menimpa anak manusia. Wallahua'lam bisshawab.
No comments:
Post a Comment