"… kami menghadapi suatu kenyataan yang pahit, tragedi yang harus kami ratapi, ialah: mengapa kami harus berhadapan dengan umat Islam sendiri, yakni orang yang mengaku Islam tapi menolak hukum Islam?" (KH. M. Isa Anshary, Kami Menuju Republik Indonesia Berdasarkan Islam, Pidato Pada Sidang Konstituante Tahun 1957)
Masuknya modernitas ke dunia Islam melalui suatu proses apa yang disebut “serbuan” (l’irruption) atau melalui kekerasan yang bersifat militer. Untuk kali pertama hal itu terjadi melalui sejarah, yakni ketika ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir sekitar 1798-1801. Peristiwa itu tidak saja bermakna penaklukan militer tetapi juga eksplorasi ilmiah. Sebab selain membawa militer, Napoleon juga membawa serta 500 ilmuwan ke Mesir. Demikianlah sejak Mesir berhasil ditaklukkan Napoleon-yang kemudian merambah ke wilayah lain-kaum Muslimin disadarkan akan kelemahannya selama ini. Bersamaan dengan ekspedisi Napoleon itu, negara-negara Eropa yang lain seperti Belanda, Inggris, Portugal dan Italia juga melakukan kolonialisasi di berbagai belahan dunia Islam. Negara-negara Eropa itu tidak sekedar melakukan kolonialisasi tetapi lebih dari itu mereka juga membawa misi untuk menancapkan mega proyek yang disebut "modernisasi", berupa paket besar dari Barat yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama bahkan budaya. Akibat modernisasi yang kadang-kadang terlihat sengaja dipaksakan itu, telah menimbulkan kontradiksi-kontradiksi di dunia Islam khususnya Timur Tengah.
Gambaran situasi kontradiktif itu dilukiskan secara baik oleh Daniel Lerner sebagai berikut:
"Di Turki seorang pedagang bergairah menginginkan kehidupan kota yang maju, sementara harus tetap dalam kehidupan tradisional di desanya. Seorang petani di Iran dengan bangga mempunyai satu stel jas karena telah berhasil menjadi usahawan tetapi jarang sekali mengenakan stelan itu di luar rumah karena khawatir menimbulkan kecemburuan sosial. Di Jordania, kepala suku Beduin yang buta huruf menganut hukum sukunya di padang pasir tetapi merencanakan untuk mengirimkan anak-anaknya ke luar negeri. Di Libanon, seorang Muslimah terpelajar tertarik pada film tetapi takut pada orang tuanya yang ortodoks. Di Syiria, seorang juru tulis yang kurang berpendidikan berambisi menjadi seorang Tito. Di Mesir, seorang Insinyur muda yang telah memakan daging babi di negeri Barat kemudian menyatakan taubatnya dan masuk ke Ikhwanul Muslimin." (Daniel Lerner, 1983).
Aliran-aliran pemikiran keagamaan ini satu sama lain berbeda respon dan pendapatnya terhadap isu modernitas. Aliran Fundamentalisme Islam misalnya memandang modernitas lebih merupakan bid’ah yang sewaktu-waktu dapat mengancam otentisitas dan orisinalitas ajaran Islam. Sehingga dapatlah dimengerti bila mana reaksi yang muncul dari aliran pemikiran keagamaan ini berwujud ide perlunya kembali ke Islam yang asli dan murni (salafashalah). Praktik-praktik syari’ah yang dipandang merupakan sunnah Salaf al-Shalih, mendapat tekanan khusus dari program-program keagamaan aliran pemikiran keagamaan jenis ini.
Ini berbeda misalnya dengan aliran Neo Modernisme Islam. Neo Modernisme Islam kelihatan lebih tertarik kepada isu perlunya upaya revitalisasi kekayaan tradisi intelektual Islam dalam menjawab persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernitas. Tetapi pada saat yang sama berusaha untuk tidak terjebak kepada situasi antagonistik antara Islam dan Modernitas. Neo Modernisme Islam berpendapat, kekayaan tradisi intelektual Islam klasik bila digali, akan memberikan jalan yang mulus dalam memecahkan problem kejumudan umat Islam dan dapat memberikan terobosan yang tidak konfrontatif dalam pertentangannya dengan modernitas. Itulah mengapa kemudian, bila khazanah-khazanah intelektual Islam klasik menjadi objek kajian favorit bagi aliran pemikiran keagamaan ini.
Sementara Post Tradisionalisme Islam berbeda lagi pola responnya terhadap modernitas. Sekilas bila tidak diamati secara jeli, kesan yang timbul pada aliran Post Tradisionalisme Islam adalah tidak lebih dari pada Modernisme Islam awal yang sinis terhadap tradisi Islam. Padahal sebetulnya, masalahnya tidak sesimpel itu. Post Tradisionalisme Islam, selain giat dalam usaha revitalisasi tradisi Islam, tetapi juga sangat kritis terhadap tradisi itu sendiri. Bahkan bagi aliran pemikiran keagamaan ini merupakan hal yang sah mendekonstruksi tradisi, sekalipun tradisi itu dipandang sakral. Boleh jadi aliran ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari metodologi Neo Modernisme Islam.
Perbedaan-perbedaan pemikiran keagamaan internal Islam dalam menjawab tantangan modernitas yang memang kebetulan datang dari luar (eksternal) dirinya itu, tidak sedikit memberikan pengaruh pada perbedaan sosiologis dan teologis komunitasnya masing-masing. Hal ini misalnya dapat diamati pada situasi keagamaan generasi muda Muslim di tanah air sekarang ini. Sementara yang terpengaruh pada aliran pemikiran keagamaan tertentu, sebutlah Post Tradisionalisme Islam yang juga sama-sama diimpor itu, membuat langgam keagamaan komunitasnya menurut aliran pemikiran yang mereka apresiasi. Demikian pun yang disebut dengan aliran Fundamentalisme Islam-istilah ini hanya untuk memudahkan pembedaan (distingsi) secara sosiologis dan teologis saja, sama sekali tidak berpretensi politis-juga membuat langgam keagamaan komunitasnya menurut aliran pemikiran yang mereka apresiasi. Sehingga yang terjadi kemudian adalah melebarnya jarak antar komunitas Islam, baik secara sosiologis, politis bahkan teologis. Apa yang kita saksikan pada kasus somasi iklan "Islam Warna-Warni" dan "Kondom" di televisi swasta beberapa tempo yang lalu adalah manifestasi jarak yang lebar-baik jarak sosiologis, politis maupun teologis-antar komunitas Islam yang berujung pada "konfrontasi"-walaupun masih pada level yang lunak-yang seharusnya tidak perlu terjadi..
Untuk mengantisipasi dan mengeliminir ekses yang lebih lanjut dari situasi keagamaan internal Islam yang tidak sehat ini, maka seharusnya digalakkan dialog ke dalam agar menghasilkan situasi keagamaan yang kondusif dan berwajah persaudaraan. Pengalaman pahit karena perbedaan mazhab dan aliran teologis dalam sejarah peradaban Islam di masa silam, tidak perlu diulangi kembali di abad yang penuh teka-teki ini. Agenda pluralisme ke dalam internal Islam tidak kalah pentingnya dengan agenda pluralisme ke luar yang digembar-gemborkan para intelektual kita tersebut. Akhir kalam, wallahua'lam bisshawab.
By : Buddy
No comments:
Post a Comment