Prediksi banyak kalangan bahwa kapitalisme segera runtuh sejalan dengan kelemahan internal yang dimilikinya, serta serangan lawan-lawannya, ternyata tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, kapitalisme justru makin berkembang dan mampu mengalahkan lawan-lawannya. Setelah kapitalisme global menyadari banyak mengenai kelemahan internal yang dimilikinya, mereka melakukan tambal sulam (kritik imanen dalam istilah Bambang I. Sugiharto) teoritis maupun politis. Pada tingkat teoritis, kapitalisme berhasil merubah beberapa asumsi klasik kyang "tidak humanis" menjadi sebentuik wajah yang lebih 'humani'. Di dalam praktik politik, kapitalisme global mengembangkan "welfare state".
Tambal sulam ini menyebabkan kapitalisme global tidak hanya berkembang baik di tempat asalnya, namun ia juga diterima di negara-negara yang menjadi lawan politik dan ideologinya. Setelah keruntuhan Uni Soviyet, negara-negara penganut komunisme satu persatu jatuh ke dalam pelukan kapitalisme. Indikasinya ditunjukkan dengan penerimaan sistem ekonomi pasar. Pada kondisi ini, negara-negara kapitalis dengan lebih mudah melakukan ekspor ideologi ke berbagai negara di belahan dunia. Sehingga pada kurun waktu dua dekade kapitalisme berhasil membangun jaringan-jaringan kapitalisme dunia dengan nama MNC (Mutinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation). Saat ini hampir tak satu negarapun yang tidak masuk dalam jaringan kapitalisme ini. Dengan demikian kapitalisme global telah menghegemoni dunia. Ia menjadi gurita raksasa yang mempermainkan biduk negara-negara berkembang (dunia ketiga).
Walau telah mengalami kritik imanen, pada kenyataannya kapitalisme tidak juga kehilangan wajah buruknya. Pokok masalah utama mereka sejak awal adalah dibangunnya eksploitasi dalam prinsip paradigmanya, dimana dihalalkanlah persaingan bebas (laizes faire) yang tidak manusiawi. Sehingga walaupun telah mengalami tambal sulam teoritis, wajah eksploitasinya tetap tidak tersingkir hilang. Yang terjadi hanya sebatas penghalusan bentuk penindasan, dengan tujuan yang masih tetap sama. Kapitalisme klasik melakukan penindasan dengan bentuk yang lebih telanjang, sementara kapitalisme kontemporer melekukannya dengan bentuk yang lebih sopan. Kapitalisme dalam istilah Y.B. Mangunwijaya mengandung "Darwinisme Sosial". Nilai ideologis inilah yang menyebabkan kapitalisme tidak bisa ramah kepada manusia, walaupun modifikasi teoritis terus dilakukan. Karena dengan nilai ideologis ini exploitation de I'homme par I'homme (penindasan manusia oleh manusia lain) selalu ikut melekat dan menyertainya.
Dominasi kapitalisme telah sedemikian merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Secara kultural kapitalisme membentuk mental masyarakat yang sangat konsumeris. Pada tingkat struktural, kapitalisme mengkonstruksi ketergantungan masyarakat di berbagai negara berkembang terhadap negara-negara maju dalam bentuk utang luar negeri yang berdampak pada terpangkasnya jiwa independensi kebangsaan dan semangat puritan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan kondisi ketergantungan itu telah mengakibatkan upaya penyelesaian problem-problem kenegaraan dan kebangsaan dalam cita-cita dan agenda reformasi banyak terlupakan. Secara internal ke-Indonesiaan, kondisi ini diperparah lagi oleh munculnya perpolitikan elite yang saling berhadapan dalam logika pertarungan kepentingan.
Dalam keadaan demikian yang tak kunjung menunjukkan sinyal pasti penyelesaian, diperlukan adanya upaya dan sikap yang signifikan bahkan mungkin radikal dan intens dari seluruh komponen bangsa. Elemen yang ada apalagi yang duduk dalam struktur ataupun yang terdepak dari struktur, cenderung hanya dapat memetakan segala problem dengan serius dalam matra kepentingannya. Di luar matra kepentingan mereka adalah salah, yang berarti musuh. Yang memprihatinkan adalah terjadinya upaya "melibatkan" kekuatan kelompok-kelompok mahasiswa sebagai bamper untuk memberikan kesan reformis terhadap perjuangan kepentingan para elite politik itu.
Secara pasti kami masih ingin mendasarkan mata hati moral force sebagai cara pandang atau paradigma perjuangan kami. Sejak awal reformasi, kita tercekam oleh ketakutan akan come backnya ORBA. Di tengah jalan, nightmare itu mulai muncul dalam bentuk hiruk pikuk rakusnya berbagai kepentingan elite politik. Dan tibalah kita ke dalam jalan gelap kefrustasian yang tak berujung.
Dalam kondisi ini amatlah dibutuhkan kejernihan hati dan pikiran semua komponen harapan reformasi. Kita telah menyadari bahwa paradigma para elite politik selalu berujung pada upaya mendapatkan posisi dan kekuasaan. Walaupun dalam cita-cita, ada juga cita tindakan politik yang memperjuangkan moral sebagaimana ada pula tindakan moral yang memperjuangkan politik. Di sinilah letak orisinalitas bertindak akan diukur seberapa baik atau buruknya prinsip, strategi dan niat berbagai perilaku politik dan gerakan moral. Akhir kalam, wallahu a'lam bisshawab.
By : Buddy
No comments:
Post a Comment