Perhiasan hati yang satu ini sangat berharga, namanya rendah hati. Sebuah kata yang sangat mudah untuk diucapkan, namun banyak orang yang mengalami kesulitan dan bahkan gagal dalam melaksanakannya. Oleh sebab itu sangat patut bagi manusia untuk meminta ‘bantuan’ dari Allah agar dapat melaksanakannya. Sebagaimana disinggung dalam ayat yang disebutkan di muka, bahwa ”kalau bukan karena karunia Allah, tidaklah kamu berlaku lemah lembut” (fa bimaa rahmatin linta lahum). Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman: “Ingatlah tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami di sisimu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dari urusan kami ini.”
Pelajaran apa saja yang dapat dipetik dari kedua ayat yang di atas? Salah satunya adalah bahwa orang yang rendah hati itu memiliki ciri-ciri yang khas. Pertama adalah sikap dan sifat yang lemah-lembut; kedua pemaaf; ketiga suka memohonkan ampun; keempat, gemar bermusyawarah.
Kisah tentang kerasnya hati lalu berubah menjadi lembut karena rahmat Allah tergambar dalam perjalanan hidup Umar bin Khattab. Dikisahkan, Umar bin Khattab sebelum masuk Islam berperilaku sadis, kejam sekali, sampai suatu ketika ia melihat orang yang masuk Islam langsung hendak dibunuhnya. Termasuk anaknya sendiri ia bunuh. Suatu hari saat mendengar kabar bahwa adiknya sendiri masuk Islam, mukanya merah padam. Ia marah besar. Seketika ia menghunuskan pedangnya. Lalu ia pergi ke rumah adiknya dengan perasaan yang geram.
Saat itu adiknya sedang membaca al-Qur’an dengan khusyuknya. Lantunan ayat-ayat agung itu begitu indah dan merdu. Begitu mendengar untaian kalimah-kalimah mulia itu kemarahan Umar mendadak padam. Tubuhnya bergetar. Tangannya mengigil. Pedangnya terlepas dan jatuh. Hatinya luluh dan seketika itu ia bertanya kepada adiknya tentang lafaz-lafaz yang dibacanya. Fatimah, adiknya, mengatakan bahwa itu adalah al-Qur’an. Tanpa pikir panjang, Umar langsung menyatakan keyakinannya atas ajaran Nabi Muhammad ini. Ia masuk Islam. Tidak cukup hanya mengucapkan dua kalimah syahadat, ia juga mempelajari ajaran-ajaran Islam yang lain dari Nabi Muhammad sendiri maupun dari para sahabat yang lain. Walhasil, hatinya yang semula keras, kejam, dan sadis berubah menjadi lembut dan mulia.
Tak berhenti hanya ketika Rasulullah masih hidup, bahkan ketika Rasulullah sudah meninggal dunia, keteguhannya kepada Islam tetap kuat. Pada saat amanah kekhalifahan berada di pundaknya, selain memikirkan urusan-urusan kenegaraan, beliau juga memikirkan nasib rakyatnya. Kalau khalifah sebelumnya, Abu Bakar, membagi malam harinya untuk tidur, tahajud, dan membaca al-Qur’an, Khalifah Umar bin Khattab menggunakan sepertiga malam untuk tidur, sepertiga untuk tahajjud, dan sepertiga lainnya untuk berkeliling mendengar keluh kesah rakyatnya.
Dalam sebuah kesempatan, ketika Umar bin Khattab sedang berkeliling memeriksa kondisi rakyatnya, terdengar suara tangisan anak-anak yang begitu menyayat dari sebuah gubuk. Beliau berhenti. Suara tangis itu kian lama kian mengeras. Beliau memutuskan masuk ke gubuk tersebut. Tiga kali salam beliau ucapkan tapi tak ada sahutan dari dalam gubuk. Akhirnya, beliau masuk saja. Alangkah terkejutnya beliau saat mengetahui bahwa ternyata ibunya sedang merebus batu. Ketika ditanya kenapa ia melakukan hal itu, Ibu yang tampak bermuram durja itu menjawab bahwa suaminya telah meninggal di medan perang. Sementara anak-anaknya tidak ada yang bisa menafkahi, sudah tiga hari tidak makan. Semua ini, katanya, dikarenakan pemerintahan Umar yang tidak peduli pada keluarga mujahid yang meninggal di peperangan. Sehingga mereka sengsara dan menderita.
Hati Umar trenyuh dan sedih mendengar keluh kesah keluarga tersebut. Beliau kemudian pergi ke Baitul Maal, mengambil sekarung gandum, dan memanggulnya sendiri untuk dihantarkan ke keluarga yang menderita tadi. Ketika ada salah seorang sahabat yang tahu Sang Khalifah memanggul barang berat, ia menawarkan untuk menggatikannya, tapi Umar tak mau. Ia ingin mekakukannya sendiri. Malahan Umar balik bertanya, apakah kamu sanggup memikul dosaku di Padang Mahsyar nanti? Sahabat tadi lalu mebiarkannya saja sambil terheran-heran.
Sesampai di rumah keluarga yang memasak batu tadi, Umar menyediakan dirinya sebagai juru masak yang baik buat mereka. Ia memasak gandum tadi beserta sayur dan lauk pauknya sekalian. Setelah semuanya matang, ia menghidangkannya buat seluruh anggota keluarga tadi. Lalu beliau berpamitan pulang. Betapa gembiranya Ibu dan anak-anaknya. Ia menghaturkan ucapan terima kasih berulang-ulang. Ia mengatakan bahwa perilaku dan amalnya jauh lebih baik daripada Umar bin Khattab. Ibu tadi tidak menyadari bahwa ternyata yang dihadapinya adalah Umar, Sang Amirul Mukminin, orang yang disinggungnya.
Pada kesempatan yang lain, Umar bin Khattab berjalan-jalan di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya lagi. Kali ini ia menemukan kenyataan yang serupa dengan yang dijumpainya ketika ada keluarga yang merebus batu. Persis di sebuah gubuk kecil yang tampak terawat ada perbincangan seorang ibu dengan anak gadisnya. Sang ibu bertanya kepada anak gadisnya, “Anakku, apakah engkau sudah memeras susu?” Si anak menyahutinya dengan antusias,” Ya, sudah, Bu!” Ibunya bertanya lagi,“Dapat berapa?” Dengan lembut anaknya menjawab,” Dapat setengah liter, Bu!” Sang ibu tidak begitu puas dengan hasil perasan susu yang hanya setengah liter. Ia pun memerintahkan anaknya untuk mencampurnya dengan air. Tapi sang anak menolak. Ia ingat betul pesan khalifah Umar yang melarang mencampurkan (mengoplos) susu dengan air. Sebab pengoplosan sama dengan penipuan. Ibunya bersikeras,” Khalifah macam apa dia. Ayahmu perang, meninggal, dan kita dalam keadaan susah begini, ia tak tahu dan mengabaikan.” Dengan nada yang lembut dan tenang sang anak menyahuti ibunya,“ Iya Ibu. Namiun meski Khalifah Umar tidak belihat, bukankah Allah tetap melihat dan mengetahui perbuatan kita?!”
Demi mendengar kata-kata anak gadis itu, Umar terharu. Keesokan harinya beliau memerintahkan para sahabat untuk menyelediki siapa gerangan anak gadis itu. Ternyata benar, ia adalah seorang anak yatim yang ditinggal ayahnya yang meninggal di medan perang. Umar lalu memanggil anaknya yang masih bujangan. Ia bertanya kepadanya,“ Maukah engkau menikah dengan anak gadis yang dalam dirinya terdapat mutiara?” Demikianlah Umar yang dengan kerendahan hatinya dapat menemukan mutiara terpendam, meskipun letaknya ada di antara rakyatnya yang tak terpandang.
Di zaman yang serba materialistis ini, sulit menemukan pribadi pemimpin agung seperti Umar ini. Ia mencarikan jodoh buat anaknya tidak dengan memandang timbunan mutiara, aneka perhiasan, atau kekayaan yang dimiliki calon menantunya. Namun yang dicarinya adalah orang yang memiliki mutiara dalam hatinya, yakni keyakinan agamanya. Dengan kerendahan hati, Umar juga tidak mempermasalahkan pangkat, paras, maupun asal-usul kebangsaan keluarganya. Tapi ia begitu perhatian dengan hatinya, tempat dimana keyakinan agama bersemayam.
Kisah yang lain menceritakan tentang pembagian zakat. Suatu kali zakat yang terkumpul lumayan banyak, sebelum kemudian dibagi-bagikan kepada orang miskin. Sebagai pemimpin yang mengamili zakat, Umar seharusnya juga mendapatkan hak. Para amilin (pembagi) mengambil haknya secara penuh, yang masing masing nilainya cukup banyak. Sementara Umar hanya mengambil satu setel baju saja. Lalau ada sahabat yang memprotes,” Wahai pemimpin kami, kami tidak akan mematuhimu lagi.” “Kenapa demikian” Umar bertanya keheranan. “Sebab ini sungguh tidak adil. Orang lain mendapat banyak, sementara engkau sendiri hanya mendapatkan satu stel baju.” Umar tidak menjawab, ia hanya melikrik saja kepada anaknya. Mengerti akan isyarat yang diberikan ayahnya, sang anak angkat bicara,” Soal baju ayah, biar saya yang bertanggung jawab.”
Masih tentang Umar bin Khattab. Anaknya yang masih kecil tiba-tiba merajut. Ia tak mau pergi bersekolah dan bermain dengan teman-temannya lagi karena ia sering diejek gara-gara bajunya terlalu banyak tambalannya. Tak sampai hati mendengar keluhan dan aduan anaknya, Umar bin Khattab pergi ke bendahara negara. Ia hendak meminjam uang untuk membelikan baju untuk anaknya. Ia mengatakan kepada bendahara tentang keperluan pribadinya, meminjam uang. Untuk melunasinya, ia meminta agar bendahara memotong gaji bulanannya. Sang bendahara tidak begitu saja menerima permintaan Umar. Ia berkata,” Hai Umar, apa kamu yakin bahwa umurmu sampai bulan depan?” Mendengar peringatan dari bendahara itu, Umar terpukul sekali. Ia tersadar bahwa tak mungkin baginya untuk meminjam uang dari kas negara. Lalu Umar pun pulang menemui anaknya dengan tangan hampa. Tapi ia tetap membesarkan hati anaknya agar tetap mau bersekolah meskipun dengan pakaian yang apa adanya.
Kejadian semacam itu adalah suatu hal yang langka, barangkali malah mustahil dapat dilakukan oleh para pemimpin di zaman sekarang ini. Yang paling mungkin mereka lakukan adalah memecat bendahara yang membangkanag atau malah berkongkalikong dengan bendahara untuk melakukan korupsi bersama. Namun tidak demikian bagi pemipin atau seorang muslim yang mau meneladani perilaku Umar bin Khattab yang rendah hati itu.
Kenapa manusia bisa memiliki hati yang lembut dan mulia semacam Umar tadi? Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran bagimu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmatnya. Hendaklah dengan itu kita bergembira. Kurnia Allah dan rahmatnya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Karunia dan rahmat Allah adalah jawabannya. Jadi, jika manusia hendak mendapatkan kualitas sifat rendah hati yang baik, maka ia musti mencari dan mendapatkan rahmat dan karunia dari Allah. Bagaimana caranya? Allah sudah memanggil manusia dengan panggilan ”Wahai Manusia.” Kalau masih merasa manusia, tentu orang Islam musti menyahutinya. Ternyata setelah memanggil manusia Allah memberikan petunjuk tentang bagaimana agar manusia memperoleh rahmat dan karunia-Nya.
Dikatakan di ayat di atas bahwa telah datang pelajaran bagi manusia. Apakah pelajaran itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah al-Qur’an. Kalau yang dipanggil adalah an-naas, berarti yang dituju adalah manusia dalam pengertian ruhnya. Bukan manusia dalam pengertian al-insaan (jasad). Nah, jika demikian halnya maka bagaimana caranya agar ruh manusia ini terpanggil untuk mempelajari dan mengamalkan pelajaran yang didapatnya? Adalah dengan cara terus-menerus membaca, mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan al-Qur’an demi mendapatkan rahmat Allah. Jadi, jika ada manusia yang pergi ke sebuah majlis taklim hanya karena merasa tidak enak kepada teman-temannya yang lain, atau hanya untuk mencari teman, atau biar dikatakan soleh atau solehah, maka semua pekerjaannya menjadi sia-sia belaka. Orang yang semacam itu tidak akan mendapatkan inti dari pelajaran al-Qur’an yang artinya rahmat Allah pun enggan mampir kepadanya.
Semua tindakan musti dilandasi oleh keinginan tulus untuk mendapatkan rahmat dan karunia Allah. Sebab keduanya hanya diberikan kepada orang yang dikehendaki. Artinya, orang-orang yang mampu memahami dan mengamalkan pelajarannya dengan baik. Untuk itu, hal-hal yang penting musti dicatat, dibaca ulang, dipelajari sambil terus berdo’a agar diberi kepahaman yang benar,” Rabbii zidnii ilman wa-rzuqnii fahman (Tuhan, beri aku ilmu, beri aku paham ya Allah).
Dengan pelajaran yang menghujam ke dalam hati dan pikiran, niscaya penyakit-penyakit yang bercokol di dalam diri manusia akan terobati. Begitu pula halnya dengan Umar bin Khattab yang berhasil menghilangkan sifat kejinya dan berganti dengan kerendahan hati. Hal itu semata-mata karena beliau mampu menghafalkan, menghayati, dan mengambil pelajaran darinya. Sehingga perbuatan-perbuatan jahat yang tadinya bercokol di dalam dada terkikis habis hingga hilang sama sekali atas rahmat dan petunjuk dari Allah. Atas karunia semacam itu lalu manusia bergembira, bersyukur, dan selalu ingat kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang terpuji.
Tentang pentingnya mengasah dan menghiasi diri dengan pelajaran dari Allah ini, ada tauladan dari sejarah kenabian. Alkisah, suatu hari Nabi Muhammad sedang memberikan pelajaran kepada para sahabat. Nabi bertanya, “Wahai sahabatku, adakah di antara kalian yang mau keluar rumah, berdagang, dan lalu pulang dengan membawa keuntungan dua ekor unta?” Para sahabat menjawab dengan gembira,” Kami mau ya Rasulullah.” Nabi melanjutkan bahwa yang dimaksud dengan keluar rumah itu adalah pergi ke majelis ilmu, menuntut ilmu dengan benar. Yang demikian itu, menurut Rasulullah, lebih baik daripada 2 ekor unta. Berdagang dengan Allah melalui belajar di sebuah majelis ilmu ternyata lebih menguntungkan dan mulia daripada berdagang dalam arti sesungguhnya. Tentu saja keuntungannya bukan materi, tapi bisa saja dengan keuntungan yang sifatnya non-materi (yaitu ilmu), materi akan datang dengan sendirinya. Namun demikian, ilmu yang didapat dan diamalkan dengan benar akan mendatangkan kebahagiaan yang tak ternilai harganya, yakni kebahagiaan ukhrawi. Bukankah Allah pernah berfirman,” Wal-aakhiratu khairul-laka minal-uulaa (negeri akherat itu lebih baik dan lebih kekal daripada dunia)?”
Namun demikian, hanya sedikit orang yang percaya akan adanya kebahagiaan di akhirat itu. Orang yang sedikit itulah yang disebut sebagai orang pilihan. Sebab mereka mau belajar al-Qur’an, memahaminya, dan mengamalkannya sehingga dapat memetik hikmah dan buah darinya. Pernah ada seorang sahabat yang berdoa di Multazam. Doanya unik tapi indah. Bunyinya,” Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam golongan yang sedikit.” Nabi mendengarnya. Doa itu dipanjatkan berulang-ulang kali. Nabi penasaran dan bertanya,” Kenapa kamu berdoa dengan lafaz yang seperti itu?” Sahabat tadi dengan santai menjawab,” Allah memberitahukan bahwa sedikit orang yang masuk surga. Untuk itu aku berdoa semoga aku dimasukkan ke golongang orang yang sedikit itu.” Benar juga si sahabat ini !!
Tentu saja nasib orang yang terpilih tadi akan sangat berbeda dengan orang kebanyakan. Dari seluruh jumlah penduduk di Idonesia ini, berapa orang yang bisa membaca al-Qur’an? Dari orang yang bisa membaca, berapa orang yang mengerti maknanya? Dari yang mengerti maknanya, berapa yang mau mengamalkannya dan kemudian mengimani seutuhnya? Jika diurutkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka urutannya makin ke belakang pasti jumlahnya makin sedikit saja. Dan, orang yang termasuk dalam golongan yang sedikit itu (orang beriman) adalah orang yang akan mendapatkan kenikmatan dari Allah. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka, amat buruklah apa yang disangka itu.”
Orang yang suka melakukan kejahatan berbeda dengan orang yang beriman. Seiring sunnah alam yang di dalamnya ada kehidupan dan kematian, ada yang hidup dan ada yang mati, maka demikian pula dengan manusia. Benar bahwa konsep mati adalah ketika ruh meninggalkan jasad dan hidup itu adalah ketika ruh masih bersama jasad. Namun demikian, orang yang berbuat jahat sesungguhnya ‘mati’. Ruhnya yang mati meskipun ia masih berada dalam kandungan jasad. Tapi karena ruh itu tak pernah diberi makan, dimandikan, dirawat, dan di beri pendidikan maka ia hakekatnya telah mati. Dalam kaitan inilah, sabda nabi menemukan ketepatan maknanya ketika beliau mengatakan, ruh itu di dunia tidur (an-nafsu fiddunya niyamun). Ruh tidak bekerja dan tidak berfungsi. Itu sama artinya dengan mati.
Sementara orang yang beriman, ia mengerti firman Allah. Meskipun semula juga tidak tahu apa makna dan pengertiannya, tapi ia terus mau belajar. Dari belajar ia faham. Proses belajar dan membacanya tak pernah mengenal kata henti. Semakin ia baca firman Allah itu, semakin banyak makna dan kepahaman yang menghambur ke dalam dirinya, dan merasuk ke dalam ruhnya.
Dulu pernah saya ibaratkan orang yang beriman itu melalui kisah dua anak muda yang saling mengikat janji. Karena satu dan lain hal berkaitan dengan pekerjaan, akhirnya mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Tapi sebenarnya jarak itu tak sanggup memisahkan ikatan cinta yang begitu dalam di antara mereka. Lama kelamaan, kabar dari yang pria tak kunjung datang. Sehingga si perempuan yang tadinya setia menunggu di rumah, akhirnya tak kuasa lagi menunggu. Dia dan keluarganya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki lain. Tak lama setelah itu, surat dari sang kekasih lama nun jauh di sana datang. Di dalamnya tertulis untaian ungkapan cinta yang menentramkan. Dia menulis, “Kita dulu memadu kasih dan janji setia dengan hikmatnya. Kesyahduan alam meliputi dan meridhai kita. Demi masa depan kita, aku pergi meninggalkanmu sementara. Memang aku keliru karena agak lama tak memberimu kabar. Padahal, tadinya aku ingin memberimu sebuah kejutan. Aku hendak datang dan langsung melamarmu menjadi istri abadiku. Sayangnya, lelaki yang kini jadi suamimu itu telah berhasil menaklukanmu. Aku mengenalnya. Dulunya ia penipu dan perbuatannya tidak baik. Semoga dengan bersamamu ia kini berubah. Asal kamu tahu saja, bahwa cintaku kepadamu tak pernah padam. Bahkan badai pun takkan sanggup membekukan bara cinta sejatiku kepadamu. Kuharap suatu saat kita bisa bertemu. Dalam keadaan yang lebih baik. Semoga kamu bahagia. Bersama ini kusertakan petunjuk jika sekiranya engkau masih ingin bertemu denganku suatu saat. Wassalam.”
Demikianlah gambaran ikatan janji manusia dengan Tuhannya di alam rahim. Tapi sayang, begitu lahir ke dunia, manusia seringkali tidak merasa bahwa ia pernah punya ikatan janji. Ia tak tahu siapa dan dimana Allah. Akhirnya, ia pun jatuh cinta kepada alam, kepada dunia. Tuhan Yang Maha Kasih mengetahui semua gerak-gerik manusia yang sudah menduakan cinta-Nya. Maka Dia mengirimi surat, namanya al-Qur’an. Di dalamnya terdapat pemberitahuan bahwa kekasihnya yang bernama dunia itu adalah tipuan belaka. Keindahannya sementara saja. Tawaran kenikmatannya semu. Yang sejati adalah kebahagiaan di akhirat dan pertemuan dengan Allah di akhirat nanti.
Jadi, telah jelas bahwa kualitas hidup orang yang beriman sangat berbeda dengan kualitas hidup orang yang tidak beriman. Yang pertama memenuhi janjinya untuk senantiasa menyambung tali kasih-sayang dengan Allah. Sedangkan yang kedua lalai dan acuh dengan perjanjian di alam rahimnya. Akibatnya, orang yang beriman masih mampu menyambungkan ruhnya dengan Allah sementara jasadnya dapat bergaul dengan sesama manusia dengan cara-cara yang baik dan luhur. Sementara itu orang yang tidak beriman, selain hubungannya dengan Allah terputus, pergaulannya dengan manusia mengarah pada kemaksiatan dan kejahatan yang merusak tatanan kemanusiaan.
Tidak hanya dalam kualitas hidup keduanya berbeda. Dalam hal menjelang mati pun tidak sama. Sewaktu sekarat, orang yang tidak beriman seakan-akan bertarung hebat dengan malaikat pencabut nyawa. Ketika malaikat hendak mencabut nyawanya, orang yang tidak beriman itu memberontak, menolak, dan melawan yang padahal menambah penderitaannya saja. Malaikat memukulnya dari depan dan belakang sebelum akhirnya manusia tadi menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara orang yang beriman mengalami dan menyambut sakaratul maut dengan senang dan gembira. Bahkan malaikat dengan sopan dan penuh hormat mempersilahkannya menuju tempat yang diidamkan semua orang, yaitu surga. Kenapa demikian? Sebab orang yang beriman itu menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Nyawanya tidak akan dicabut sebelum tempat tinggalnya disurga nanti tampak jelas. Itulah rahmat dan karunia dari Allah SWT. Namun, bagaimana caranya agar manusia bisa mendapatkan rahmat yang seperti itu? Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Kami mereka menyungkur sujud, bertasbih serta memuji Tuhannya sedang mereka tidak menyombongkan diri, lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan hara, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada merek. Seseorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk merekam, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyebabkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan, maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik, atau kafir.”
Salah satu makna yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah ciri kerendahan hati seorang muslim. Ciri itu adalah kalau dibacakan ayat Tuhan atau diperingatkan dengan ayat Tuhan, mereka tersungkur sujud dan bertasbih. Yang sujud tersungkur itu bukan hanya jasad, tapi lebih-lebih adalah ruh. Sujudnya ruh tidak sama dengan sujudnya jasad yang cukup menyungkurkan kening dan bibir di atas alas sajadah atau bumi. Ruh yang sujud itu adalah yang ruh yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Ruh yang melawan dorongan kebaikan adalah ruh yang tak bersujud meskipun keningnya masih menyentuh ujung sajadah. Misalnya ada seseorang yang diingatkan agar mencari nafkah yang halal. Tapi hatinya memprotes dengan mengatakan bahwa mencari yang haram saja susah apalagi yang halal. Dinasehati agar jujur dalam berdagang, malah melengos sambil mengatakan bahwa orang yang jujur tak mungkin bisa untung. Ruh yang seperti ini adalah contoh dari ruh yang tidak bersujud.
Balasan bagi orang-orang yang memiliki ciri-ciri tersebut sungguh agung. Sebuah hadis pernah menyinggung bahwa orang yang gemar bertahajud, akan dibuatkan istana-istana di dalam surga, gedung-gedung yang megah, dan kebun-kebun yang indah. Bahkan sebelum nyawanya meninggalkan jasad, tempat tinggalnya nanti yang bernama surga sudah ditampakkan.
Sebaliknya orang yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut dan bahkan menentang Allah, ia akan mengalami penderitaan yang tak putus-pustusnya. Nabi Ibris pernah melukiskan penderitaan sekaratnya orang-orang yang jahat. Menurutnya, penderitaan mereka lebih sakit dan pedih dua kali lipat daripada penderitaan kambing yang dikupas hidup-hidup. Rasa sakit orang yang beriman akan hilang karena ia telah melihat keindahan surga yang menjadi jatah dan haknya. Semoga kita semua termasuk golongan yang mendapakan rahmat dan karunia dari Allah yang berupa surga itu. Amien.
By : Buddy
Sebaliknya orang yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut dan bahkan menentang Allah, ia akan mengalami penderitaan yang tak putus-pustusnya. Nabi Ibris pernah melukiskan penderitaan sekaratnya orang-orang yang jahat. Menurutnya, penderitaan mereka lebih sakit dan pedih dua kali lipat daripada penderitaan kambing yang dikupas hidup-hidup. Rasa sakit orang yang beriman akan hilang karena ia telah melihat keindahan surga yang menjadi jatah dan haknya. Semoga kita semua termasuk golongan yang mendapakan rahmat dan karunia dari Allah yang berupa surga itu. Amien.
By : Buddy
No comments:
Post a Comment