Thursday, April 27, 2006

MATINYA "SANG DEMONSTRAN"

Dalam diskusi bertajuk "Kesejarahan HMI dalam Azas Tunggal" bang Eggy Sudjana berpledoi bahwa raison de 'etre munculnya Majelis Penyelamat Organisasi (Baca: HMI-MPO) adalah menyelamatkan HMI dari ideologi selain Islam sehingga kita boleh menafsirkan bahwa pada waktu itu ada HMI di luar Islam. Namun ketika realitas berubah, HMI Dipo - sebut saja begitu - walaupun suatu saat kita tidak akan pernah menyebut Dipo lagi, karena markas besarnya sudah tidak akan ada lagi di jalan Diponegoro, ketika HMI Dipo pada kenyataannya kembali kepada asas Islam maka menurut bang Eggi "HMI-MPO harus membubarkan diri dan misi HMI-MPO sudah dianggap selesai". Sungguh suatu ungkapan yang sepintas sangat logis-linier. Bahkan dia menguatkan argumennya bahwa jika ternyata masih ada dualisme HMI itu berarti bahwa "kader HMI (dalam hal ini dia menunjuk kepada HMI yang berkomitmen dan berjuang dari awal untuk tegaknya Islam) belum mendapatkan hidayah". Begitulah pernyataan anomalis dari orang yang disebut-sebut sebagai “sang demonstran" karena bukunya yang berjudul "Jihad sang Demonstran" yang membaiat dirinya sebagai orang yang ajeg memperjuangkan ideologi Islam.

Sepintas, ada kegelisahan yang mendalam dari bang Eggi untuk mempersatukan dua HMI yang dipandang lebih sebagai konflik dari pada sebagai potensi. Sehingga seolah-olah dia mengatakan bahwa "menjadi beban moril bagi saya untuk mempersatukan HMI kembali, karena saya diklaim sebagai orang yang telah memecah belah HMI menjadi Dipo dan MPO, maka kini tugas saya adalah mempersatukannya kembali". Suatu kegelisahan yang patut dipuji secara sepintas lalu.

Dibalik ungkapan yang sepintas arif di atas, dimana kita harus berada di bawah payung tali Allah dan diharamkan bercerai berai, ada beberapa hal yang perlu diberi catatan kecil. Pertama, secara faktual historis Eggi Sudjana mungkin adalah salah satu pendiri, atau bahkan ketua umum pertama PB HMI-MPO, namun satu hal yang perlu dipertegas bahwa sebuah fakta sejarah tidak serta merta bisa menjadi hak sejarah. Karena ada dimensi ruang dan waktu, selalu ada perubahan zaman dimana setiap zaman adalah milik anak zamannya. Siapun pendirinya atau penarik gerbong sebuah komunitas, ia akan mati dimakan usia zamannya, dan di saat yang bersamaan sebuah komunitas tersebut akan berkembang dengan keunikan anak zamannya. Itulah arus sejarah yang tidak bisa ditolak, dan itulah kealpaan “fakta sejarah” otomatis menjadi "hak sejarah".

Kemudian kedua, perasaan bersalah bagi seseorang adalah sah-sah saja, apalagi bagi sang founding father. Namun yang perlu digaris bawahi adalah paradigma modernitas yang kental yang melatarbelakanginya. Dalam wacana modernitas, sang pengarang atau katakanlah sang pendiri adalah figur signifikan dan sentral. Semangat Cartesian - yang mencetuskan tentang otoritas subyek sebagai pemikir, pencetus gagasan, dan pencipta dengan ucapannya yang terkenal, "cogito ergo sum", akhirnya menjadikan subyek sebagai "pusat" dari ide dan gagasan. Demikian juga semangat Hegelian, dimana sebuah teks (baca HMI) selalu diidentifikasi dengan pendirinya, dimana sebuah karya adalah ekspresi diri sang subyek, dan yang menjadi pusat adalah pengarangnya. Inilah wacana dominan yang sangat kental dalam ungkapan bang Eggi Sudjana dalam awal tulisan ini. Sehingga kita meyaksikan sedemikian besar rasa bersalah dan tanggung jawab beliau untuk mempersatukan HMI kembali.

Namun lebih arif apabila kita mencoba meletakkan persoalan ini di atas meja kritisisme postmodernitas, dimana sang pengarang dengan semangat Cartesian dan Hegelian tidak lagi punya tempat dalam wacana (diskursus). Roland Barthes telah meneriakkan "The Death of The author" pengarang sudah mati. Ungkapan ini adalah sebuah metafor bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanya. Wafatnya sang pengarang dalam wacana postmodernitas membawa konsekuensi lahirnya para pembaca (reader) dan berkembangnya model writerly teks, yaitu teks yang menjadikan pembaca maupun teks sebagai pusat penciptaan, ketimbang pengarangnya sendiri. Wafatnya sang pengarang, juga diikuti dengan munculnya kekuatan pembaca "reader’s power" dimana para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang, dan mereka berpeluang untuk berpartsisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dalam diskursus. Kalaulah kita mau menerima analisa di atas, maka para founding father HMI tidak perlu gelisah, kecewa, sakit hati kalau melihat dualisme yang masih dimapankan. Inilah pilihan yang harus dipandang sebagai sebuah potensi dan bukan sebagai sebuah problem 'biang kerok' pemecah belah umat.

Yang ketiga, ungkapan bang Eggi diawal tulisan ini yang bertendensi seolah-olah HMI adalah representasi dirinya harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Mikhail Bakhtin, seorang pemikir berkebangsaan Rusia, memperkenalkan konsep dialogisme yaitu bahwa sebuah teks diproduksi dalam suatu ajang komunikasi - apakah dalam bentuk karnaval atau dialog. Sebuah teks bukanlah refleksi diri pengarang secara utuh dalam suatu 'refresensi diri' (self-reference). Dialogisme atau lebih tepatnya "intertekstualitas" - meminjam istilah Julia Kristeva - seorang pemikir postrukturalis Prancis, bahwa teks tidaklah otonom, ia tidak memiliki landasan dalam dirinya sendiri. Sebuah teks eksis karena sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan dari teks-teks yang lain. Artinya teks (HMI-MPO) tidak lahir dari satu atau beberapa orang, melainkan melalui sebuah dialogisme dari semua kader pada saat itu mencermati realitas zamannya. Maka klaim "MPO ada karena saya" atau segelintir orang adalah hal yang absurd.

Kalau kita lebih dalam menganalisa ungkapan bang Eggi diatas tentu bukanlah argumen yang tidak berdasar. Beliau mengatakan bahwa rekonsiliasi ini harus dilakukan karena saudara serahim (baca: HMI Dipo) sudah kembali mendasarkan asasnya kepada Islam. Namun argumentasi ini terkesan mengalami distorsi historis. Logika tauhid yang dikemukakan bang Eggi; "kita berpecah karena agama dan bersatu karena Islam" adalah tidak memiliki validasi historis. Kalau kita melihat jejak (trace) isu rekonsiliasi, sebenarnya sudah ia usung jauh sebelum HMI Dipo merubah asasnya menjadi Islam (thn: 2000), yaitu dalam pertemuan di Yogya tahun 1998. maka tidak salah kalau kita juga patut curiga terhadap vested interest dari founding father HMI-MPO ini. Ketika seorang kader MPO beranekdot pada kongres di Jogja mengatakan "nama bang Eggi Sudjana dalam bahasa sunda, Sudjana artinya baik tapi jika dia terjatuh dia akan menjadi durjana".

Hot Isue rekonsiliasi HMI seakan seperti headline semakin santer dibicarakan khususnya para Alumni HMI. Pressure - demi - pressure pun dilakukan para alumni kepada para kader HMI khususnya HMI-MPO untuk rekonsiliasi. Ini jelas para alumni tidak mengerti akan sejarah perjuangan HMI-MPO itu sendiri yang selama orde baru selalu dikejar-kejar dan ditindas. Itu pun masih terjadi sampai sekarang dimana terjadinya pen-diskriminasian yang dilakukan oleh para alumni HMI sendiri terhadap kader MPO. Setelah terjadi penurunan kuantitas kader pada HMI Dipo dan mulai berkembangnya HMI-MPO pasca tumbangnya orde baru, HMI-MPO pun mulai dilirik oleh para Alumni.

Walhasil, tulisan ini sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa detik-detik kematian itu kian mendekat, kematian figur "sang Demonstran" boleh jadi merupakan sebuah keharusan sejarah. HaRi GiNi NGoMoNGiN ReKoNSILIaSI??? Boleh saja anda tidak setuju dan berkata: "SIaPa TaKuT???". Atau sebagian lain berkata "RekOnSiLiASi??YuK, MaRi KiTa BuKtiKan SiAPa YaNg BeNaR!!!!" Itu hak bagi siapa saja yang berani menyatakan pendapatnya. Toh tulisan ini tidak bertendensi memonopoli kebenaran. Bravo HMI-MPO!!!


By : Buddy

No comments: