Sunday, April 02, 2006

Neoliberalisme : modus baru penjajahan dunia

Semangat gold, glory and gospel diperlihatkan oleh sejarah penjajahan kapitalis dunia dengan wajah yang berbeda-beda. Bentuk dan model penguasaan ekonomi, politik, dan sosial-budaya ini bermetamorfosa sejalan dengan nilai-nilai umum yang sedang dikembangkannya sendiri.

Di awal 1900-an, terjadi kegagalan krisis konsolidasi kapitalis dunia (Eropa, USA, dll). Puncak awalnya dipicu oleh aksi unilateral USA. Liga Bangsa-Bangsa bubar dan berkobarlah PD I dan II. Bencana kemanusiaan terjadi. Volume Industri militer meroket seiring dengan melayangnya jutaan nyawa. Proses ini melemahkan kontrol mereka terhadap wilayah jajahan, dan warga di wilayah itu mengambil kesempatan untuk merdeka. Ratusan nation state di Afrika dan Asia "berdiri". Puncak akhir krisis ditandai dengan dibentuknya PBB (1945) dengan human right sebagai dasar pergaulannya.

Krisis panjang di atas berpuncak pada depresi besar 1930-an. Hal ini memukul telak faham liberalisme-Adam Smith (1776) yang selama itu berkuasa. Pendulum pun bergerak ke arah perluasan peran negara (new deal Rosevelt 1935). New deal menjadi gerakan protes terhadap pertikaian para pemain swasta yang meletuskan PD I dan II. Protes ini melahirkan welfare state di Eropa Barat. Dan negara komunis semakin subur di Cina, Soviet, dan Eropa Timur. Namun, sejarah liberalisme tidaklah habis. Di tengah sempitnya opini, mereka sempat berkonsolidasi ke dalam kekuatan supra state bernama IMF, World Bank dan GATT (Perjanjian Bretton Wood, 1947).

Apakah gerak pendulum itu menghentikan penjajahan? Tidak. Selama cold war, tiga supra state (DK PBB, IMF, dan World Bank) secara efektif digunakan TNCs sebagai forum “negosiasi” bagi aksi penciptaan ketergantungan terhadap negeri bekas jajahan. Utang menjadi instrumen utama. Disematkan istilah modernisasi dan development country sebagai paradigma “menolong” negara-negara miskin. Digunakan pula isu sosial budaya (demokrasi dam HAM) untuk menghantam Blok Timur Soviet. GATT mulai efektif pasca runtuhnya blok komunis. Belakangan berubah nama menjadi WTO pada medio 1990-an. Ujung cerita mudah ditebak. Kebanyakan negara miskin tetap berada dalam posisi dijajah. Perang Malfinas, Afghanistan, krisis ekonomi Argentina, isolasi Kuba-Iran-Korut, jatuhnya Soekarno, dll tidak lepas dari skenario di atas.

Lepas dari itu, bagi TNCs, tenggelamnya faham liberalisme merupakan petaka. Besarnya peran negara dibanding peran swasta---dalam sistem welfare state di negeri mereka sendiri---, telah menghambat laju akumulasi modal. Proteksionisme, faham kesejahteraan rakyat, serta pengelolaan SDA kerakyatan, dituding sebagai penyebabnya. Serta merta mereka mendapat momentum kembali sesaat setelah ambruknya USSR dan krisis ekonomi di Amerika Selatan, Eropa Timur, dan kawasan Asia. Jutaan dolar digerojok kepada ribuan "intelektual kampus" dan pusat-pusat riset untuk mengkampanyekan tiga isu ideologis yaitu demokrasi liberal (politik), pasar tunggal (ekonomi), dan konsumerisme (budaya). Ketiganya dibungkus manis dengan kata globalisasi. Begitulah globalisasi menjadi simbol kebangkitan kembali liberalisme-Adam Smith di awal abad ini: NEOLIBERALISME. Wallahu a'alm bissawab



By : Buddy

No comments: