Semangat gold, glory and gospel diperlihatkan oleh sejarah penjajahan kapitalis dunia dengan wajah yang berbeda-beda. Bentuk dan model penguasaan ekonomi, politik, dan sosial-budaya ini bermetamorfosa sejalan dengan nilai-nilai umum yang sedang dikembangkannya sendiri.
Apakah gerak pendulum itu menghentikan penjajahan? Tidak. Selama cold war, tiga supra state (DK PBB, IMF, dan World Bank) secara efektif digunakan TNCs sebagai forum “negosiasi” bagi aksi penciptaan ketergantungan terhadap negeri bekas jajahan. Utang menjadi instrumen utama. Disematkan istilah modernisasi dan development country sebagai paradigma “menolong” negara-negara miskin. Digunakan pula isu sosial budaya (demokrasi dam HAM) untuk menghantam Blok Timur Soviet. GATT mulai efektif pasca runtuhnya blok komunis. Belakangan berubah nama menjadi WTO pada medio 1990-an. Ujung cerita mudah ditebak. Kebanyakan negara miskin tetap berada dalam posisi dijajah. Perang Malfinas, Afghanistan, krisis ekonomi Argentina, isolasi Kuba-Iran-Korut, jatuhnya Soekarno, dll tidak lepas dari skenario di atas.
Lepas dari itu, bagi TNCs, tenggelamnya faham liberalisme merupakan petaka. Besarnya peran negara dibanding peran swasta---dalam sistem welfare state di negeri mereka sendiri---, telah menghambat laju akumulasi modal. Proteksionisme, faham kesejahteraan rakyat, serta pengelolaan SDA kerakyatan, dituding sebagai penyebabnya. Serta merta mereka mendapat momentum kembali sesaat setelah ambruknya USSR dan krisis ekonomi di Amerika Selatan, Eropa Timur, dan kawasan Asia. Jutaan dolar digerojok kepada ribuan "intelektual kampus" dan pusat-pusat riset untuk mengkampanyekan tiga isu ideologis yaitu demokrasi liberal (politik), pasar tunggal (ekonomi), dan konsumerisme (budaya). Ketiganya dibungkus manis dengan kata globalisasi. Begitulah globalisasi menjadi simbol kebangkitan kembali liberalisme-Adam Smith di awal abad ini: NEOLIBERALISME. Wallahu a'alm bissawab
By : Buddy
No comments:
Post a Comment