Mukaddimah
Judul di atas dengan tanda tanya besar adalah salah satu tesis penulis di training HMI yang terinspirasi oleh pembacaan penulis terhadap gerakan feminisme yang berkembang sebagai sebuah ideologi politik budaya. Benarkah feminisme muslim sebagai sebuah garakan politik budaya menjanjikan sebuah pembebasan dan memperjuangkan keadilan dan kesamaan martabat kemanusiaan? Atau feminisme muslim hanyalah merupakan konsumen ideologis Barat yang reaksioner dan rapuh dalam aspek filosofis?
Pledoi Kemunculan Feminisme
Apabila merujuk kepada awal awal kemunculannya tahun 1960-an feminisme merupakan gerakan politik budaya melawan dominasi struktur patriarkis. Kegelisahan akan kedudukan wanita yang selalu menjadi subordinat dan terdiskriminasikan secara sosial terutama dalam persoalan peran-peran publik. Semangat perlawanan tersebut menemukan dasar yang kuat setelah melihat bahwa jenis kelamin merupakan faktor utama dalam konstruksi gender. Feminisme menemukan konsep yang cukup bernas dengan memunculkan isu gender sebagai pisau analisisnya. Bahwa menurut mereka antara seksualitas atau jenis kelamin sangat berbeda dengan gender. Seksualitas berkaitan dengan sesuatu yang kodrati dan tidak bisa berubah, namun gender lebih kepada bentukan atau pencitraan masyarakat tentang sifat dan karakter wanita yang punya implikasi serius terhadap pengambilan peran sosial. Dari sinilah ideologi mereka dibangun dalam melakukan aksi perlawanan.
Peta Gerakan Feminisme
Semua teori-teori feminisme, walaupun pendekatannya berbeda namun mainstream dari gerakan ini adalah mengikis segala macam struktur patriarkat dalam masyarakat dan mengkonversinya menjadi struktur matriarkat, yaitu struktur yang egaliter tanpa hirarkis. Setidaknya kalau kita petakan, ada tiga gerakan feminisme di awal kemunculannya dan ada dua gerakan feminisme kontemporer yang dilihat dari perspektif cultural studies yaitu feminisme postmodern dan feminisme postkolonial. Pertama, gerakan politik liberal feminis yang dipelopori oleh Margerets Fuller, Harriet Martineau, Anglina Grimke dan Susan Anthoni. Feminisme liberal yang terinspirasi oleh konsep-konsep pencerahan, menyamakan laki-laki dan perempuan secara ontologis; hak-hak yang dimiliki laki-laki secara otomatis menjadi hak perempuan. Gerakan ini lebih mengusung isu urgensi kesetaraan dan kesempatan dalam hal pekerjaan, akses kependidikan dan perawatan anak. Bahwa tidak ada satupun pekerjaan yang terspesialisasi bagi laki-laki atau tidak ada pekerjaan yang melulu harus dikerjakan wanita, termasuk dalam hal merawat anak. Kedua, politik budaya yang terpusat pada perempuan, dipihak lain, memusatkan perhatian pada perspektif yang mengistimewakan perempuan. Bahwa perempuan harus mendapatkan perhatian lebih karena ia berada dalam posisi inferior. Ia harus mendapatkan hak istimewa dalam hal-hal tertentu, dalam rangka menempuh derajat yang sama dengan laki-laki. Namun perspektif ini kemudian melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tetapi juga menyangkut persamaan 'seks', kekuasaan seksual bisa diperoleh dari sesama perempuan dan menganggap laki-laki sebagai masalah bagi perempuan. Inilah feminisme radikal. Ketiga, feminis Marxis-sosialis yang dipelopori oleh Cxlara Zetkin dan Rosa Luxemburg. Gerakan ini menganggap bahwa gender adalah merupakan fenomena budaya dan menuntut keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dengan cara menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domistik dan sektor publik. Perbedaan dalam politik kebudayaan perempuan tidak dilihat sebagai tanda adanya perbedaan esensial diantara kedua jenis kelamin tersebut.
Feminisme Postmodern
Postmodernisme adalah sebuah gerakan filosofis yang mendelegitimasi proyek modernisme yang dianggap telah gagal. Postmodernisme mengandaikan tiadanya 'grand narrative' dan tidak adanya kebenaran tunggal, sehingga legitimasi menjadi plural dan lokal (bukan universal). Postmodernisme dan feminisme memang berbeda basis epistemologinya, yang pertama adalah gerakan filosofis dan yang kedua adalah gerakan sosial budaya. Lalu bagaimana memformulasikan sintesisis dekonstruksionis postmodernis dengan kritik sosial feminis? Apakah feminisme harus menolak 'grand theory' feminis agar tidak menciptakan 'grand narasi'? Maka yang diperlukan oleh kritik feminis postmodern adalah sebuah teori yang secara eksplisit historis, dengan memperlihatkan tipikal budaya dan zaman yang berbeda-beda. Artinya teori feminisme postmodern bersifat non-universalis dan non-uniformis.Signifikansi teori postmodern bagi teori feminis kontemporer adalah adanya kesadaran 'studi komparatif' yang mengkonfrontir semua usaha pentotalan, uniformitas dan universalitas. 'Studi komparasi' akan menawarkan alternatif-alternatif pengalaman dari kebutuhan perempuan. Dengan diferensiasi ini berarti perempuan berani mempertanyakan paradigma dominan yang harus terus didelegitimasikan.Dari konsepsi di atas, bisa dipahami kalau dalam perspektif feminisme postmodern gender dan ras tidak memiliki makna yang konstan, abadi maupun universal, melainkan hanyalah merupakan konstruksi diskursif. Setiap individu bebas merayakan kebebasan termasuk hal memilih laki-laki atau perempuan. Bahwa tak ada yang secara alami adalah laki-laki atau perempuan. Feminitas dan maskulinitas dikonstruksi secara sosial dan merupakan mozaik perjuangan politik dalam perebutan makna. Sehingga feminisme postmodern tidak lagi mempersoalkan autentisitas perempuan, melainkan dalam rangka menunjukkan bahwa konstruksi sosial atas gender melibatkan relasi. Dan feminisme postmodern menyediakan ruang bagi perbedaan mengenai identitas. Hal ini nampak dalam fenomena lesbian dan gay.
Feminisme Postkolonial
Perbincangan mengenai feminisme dari perspektif postkolonial adalah memandang bahwa selama ini kaum perempuan telah menjadi subaltren yang kehilangan hak-haknya untuk berbicara. Postkolonialisme memandang kaum perempuan, terutama di Dunia Ketiga, telah menanggung beban penindasan ganda: dari bangsa kolonial dan dari kaum laki-laki pribumi. Postkolonialisme mempostulatkan perempuan di Dunia Ketiga sebagai korban par excellence, yaitu korban dari ideologi imperial dan patriarki pribumi yang sering terlupakan. Gayatri Spivak dalam Can the Subaltern Speak?menyatakan bahwa ‘subaltern tidak bisa berbicara’. Yang dimaksudkan di sini adalah kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa konseptual untuk bebicara karena tidak memiliki bahasa konseptual untuk berbicara karena tidak ada telinnga dari kaum laki-laki kolonial maupun pribumi untuk mendengarkannya, sehingga perempuan tidak bisa menjadi subyek yang bisa mengartikulasikan dirinya dalam wacana kolonialisme. Mereka 'ditakdirkan' untuk diam. Dengan demikian feminisme postkolonial berkonsentrasi kepada perlawanan terhadap orientalisme dan patriarkhi pribumi.
Feminisme Muslim?Kalau dilihat lima kategori di atas, gerakan feminisme merupakan gerakan yang anti sentralisme dan melakukan dekodifikasi terhadap grand narrative dan melakukan ex-sentralisme demi co-eksistensi antara laki-laki dan perempuan. Dari sinilah sebenarnya feminisme Muslim bisa dibaca. Dimana mereka merasa dijajah tidak hanya oleh social constucted melainkan juga oleh teks-teks keagamaan. Persoalan poligami, warisan dan sebagainya menjadi gugatan yang serius. Namun adakah persoalan yang lebih mendasar dari gerakan ini,melihat dana yang begitu melimpah dalam proses sosialisasi gender.Saya khawatir jangan-jangan gerakan ini hanya rekayasa Barat terhadap dunia muslim. Bisa saja wanita –yang merupakan aset terbesar kapitalisme-menjadi bebas dalam menentukan sikap, seperti keluar malam dan sebagainya. Sehingga klub-klub malam menjadi ramai dan disitulah kapitalisme hidup. Iklan-iklan, entah itu yang ada dan tidak ada hubungannya dengan kebutuhan wanita selalu diperankan oleh wanita. Kekhawatiran saya hanya kepada persoalan eksploitasi kapitalisme terhadap perempuan, jangan-jangan ini tidak disadari sepenuhnya. Bukan kepada persoalan penggugatan terhadap teks-teks agama yang bias gender.Lalu, feminisme muslim harus mengambil posisi proporsional terhadap gerakan feminisme. Yang sebenarnya harus menjadi prioritas dari gerakan feminis muslim adalah penyadaran akan posisi dan tanggung jawab terhadap peran yang dipilihnya secara sadar. Bahwa merawat anak itu tidak melulu tugas perempuan, memang ia, namun bukan berarti menjadi justifikasi terhadap pembagian beban tanggung jawab dalam keluarga. Sangat bijak kalau kemudian upaya mencapai kesetaraan laki-laki dan perempuan itu dilandasi oleh sifat kemitraan, bahwa masing-masing memiliki beban tanggung jawab (division of labour) yang berbeda. Dan perbedaan itu dipandang dalam logika yang satu memperalat yang lain atau yang satu menguasai dan satunya dikuasai. Karena yang dituntut adalah keseimbangan (keharmonisan) yang dilandasi oleh pembagian tugas yang jelas dan bukan mempertentangkannya. Gerakan ini biasa dikenal dengan teori ekofeminisme yang dalam filsafat Cina dikenal dengan dengan yin dan yang merupakan kunci utama untuk mengharmonikan kehidupan di alam semesta. Sehingga harus ada harmoni dibalik perbedaan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yag sederajat di hadapan Tuhan. Dan disinilah seharusnya penyadaran itu dilakukan dan tidak harus menjadi gerakan feminisme Muslim. Menjadi Muslimah saja sudah cukup!
By : Buddy
Tuesday, April 11, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment